Masyarakat Dayak Ngaju Tuntut Hak Kelola Hutan
TEMPO Interaktif, Jakarta -Perwakilan warga Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menuntut pemerintah mengakui hak kelola masyarakat. “Kembalikan tanah kami,” kata Tanduk, salah satu tokoh masyarakat, kepada wartawan di Jakarta, Senin 24 Oktober 2011 kemarin.
Wilayah yang mereka huni menjadi bagian dari Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektare. Setelah proyek ini gagal, kawasan tersebut dieksploitasi oleh 23 perusahaan kelapa sawit seluas 380 ribu hektare dan proyek konservasi BOS Mawas dengan luas 377 ribu hektare. Lalu 120 ribu hektare untuk proyek percontohan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) oleh Kalimantan Forest and Climate Partnership.
Nurhadi Karben, Sekretaris Desa Mantangai Hulu, meminta orang luar tidak mengajarkan warga bagaimana caranya menjaga hutan. “Nenek moyang kami sudah menerapkan hal itu sejak lama,” katanya.
Kearifan lokal masyarakat Dayak terwujud dalam pembagian zona hutan. Ada hutan pahewan ysahepan untuk aktivitas warga dan diperbolehkan mengambil hasil hutan. Lalu hutan koleka untuk pertanian dan perkebunan.
Nurhadi menilai aneka proyek sejak Orde Baru hingga REDD tidak membawa manfaat bagi warga. “Hanya jadi buruh di tanah kami sendiri,”katanya. Dia juga menyoroti manipulasi dalam sosialisasi proyek ini.
Berkomentar
Masyarakat Dayak Ngaju Tuntut Hak Kelola Hutan
TEMPO Interaktif, Jakarta -Perwakilan warga Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, menuntut pemerintah mengakui hak kelola masyarakat. “Kembalikan tanah kami,” kata Tanduk, salah satu tokoh masyarakat, kepada wartawan di Jakarta, Senin 24 Oktober 2011 kemarin.
Wilayah yang mereka huni menjadi bagian dari Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektare. Setelah proyek ini gagal, kawasan tersebut dieksploitasi oleh 23 perusahaan kelapa sawit seluas 380 ribu hektare dan proyek konservasi BOS Mawas dengan luas 377 ribu hektare. Lalu 120 ribu hektare untuk proyek percontohan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) oleh Kalimantan Forest and Climate Partnership.
Nurhadi Karben, Sekretaris Desa Mantangai Hulu, meminta orang luar tidak mengajarkan warga bagaimana caranya menjaga hutan. “Nenek moyang kami sudah menerapkan hal itu sejak lama,” katanya.
Kearifan lokal masyarakat Dayak terwujud dalam pembagian zona hutan. Ada hutan pahewan ysahepan untuk aktivitas warga dan diperbolehkan mengambil hasil hutan. Lalu hutan koleka untuk pertanian dan perkebunan.
Nurhadi menilai aneka proyek sejak Orde Baru hingga REDD tidak membawa manfaat bagi warga. “Hanya jadi buruh di tanah kami sendiri,”katanya. Dia juga menyoroti manipulasi dalam sosialisasi proyek ini.