Rabu,
26 Oktober 2011
PENGELOLAAN LAHAN
Masyarakat Adat Dayak Ngaju Tuntut Hak
Jakarta, Kompas – Masyarakat adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, merasa diabaikan dalam berbagai program pemerintah. Mulai Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar tahun 1996 hingga program pengurangan emisi melalui deforestasi dan pencegahan kerusakan lahan (REDD+) dalam proyek KFCP (Kalimantan Forest and Climate Partnership).
Itu belum termasuk berbagai proyek perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Semua itu dinilai merampas hak masyarakat Dayak Ngaju sebagai pemilik tanah secara turun- temurun.
Demikian diungkapkan beberapa perwakilan masyarakat adat Dayak Ngaju, Senin (24/10), di Jakarta. Pekan lalu, mereka yang berasal dari empat desa di Kecamatan Mentagai, Kapuas, Kalimantan Tengah, bertemu dan menyampaikan keresahannya kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Komisi IV DPR, dan Badan Pertanahan Nasional.
Mereka menyampaikan, kawasan bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut dengan gambut sedalam 1-20 meter telah dikuasai 23 perusahaan perkebunan sawit. Sebanyak 11 perusahaan disinyalir tak berizin seluas 380.000 hektar. Itu belum termasuk proyek konservasi yang dituding merampas hak dan akses masyarakat terhadap hutan.
”Kami mau tanah kami dikembalikan,” kata tokoh masyarakat Desa Pulau Kaladan, Tanduk.
Sementara itu, Abdul Hamid mengatakan, masyarakat adat Dayak punya zonasi yang diatur hukum adat desa. ”Kalau hukum adat desa ini tak diakui, tak ada REDD atau lainnya,” ucapnya.
Nurhadi, perwakilan masyarakat Dayak Ngaju, mengatakan, masyarakat desa tak perlu diajari cara mengelola hutan. Mereka yang tinggal di hutan mengerti apabila hutan dijaga, kehidupan mereka terjamin.
Zonasi pemanfaatan
Masyarakat Dayak Ngaju punya zonasi dalam hukum adatnya. Hutan Pahewan merupakan kawasan keramat atau terkait ritual adat dan dilindungi. Hutan Sahepan untuk berburu dan mencari kulit kayu, lateks, dan obat-obatan. Adapun hutan Kaleka untuk perladangan/kebun.
Teguh Surya, Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Walhi, mengatakan, laporan warga adat itu menunjukkan seluruh kebijakan tak melibatkan warga. Walhi, Sawit Watch, Pusaka, Yayasan Petak Danum Kapuas, dan Sarekat Hijau Indonesia kini mengadvokasi mereka. (ICH)
Berkomentar
Rabu,
26 Oktober 2011
PENGELOLAAN LAHAN
Masyarakat Adat Dayak Ngaju Tuntut Hak
Jakarta, Kompas – Masyarakat adat Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, merasa diabaikan dalam berbagai program pemerintah. Mulai Proyek Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar tahun 1996 hingga program pengurangan emisi melalui deforestasi dan pencegahan kerusakan lahan (REDD+) dalam proyek KFCP (Kalimantan Forest and Climate Partnership).
Itu belum termasuk berbagai proyek perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Semua itu dinilai merampas hak masyarakat Dayak Ngaju sebagai pemilik tanah secara turun- temurun.
Demikian diungkapkan beberapa perwakilan masyarakat adat Dayak Ngaju, Senin (24/10), di Jakarta. Pekan lalu, mereka yang berasal dari empat desa di Kecamatan Mentagai, Kapuas, Kalimantan Tengah, bertemu dan menyampaikan keresahannya kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Komisi IV DPR, dan Badan Pertanahan Nasional.
Mereka menyampaikan, kawasan bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut dengan gambut sedalam 1-20 meter telah dikuasai 23 perusahaan perkebunan sawit. Sebanyak 11 perusahaan disinyalir tak berizin seluas 380.000 hektar. Itu belum termasuk proyek konservasi yang dituding merampas hak dan akses masyarakat terhadap hutan.
”Kami mau tanah kami dikembalikan,” kata tokoh masyarakat Desa Pulau Kaladan, Tanduk.
Sementara itu, Abdul Hamid mengatakan, masyarakat adat Dayak punya zonasi yang diatur hukum adat desa. ”Kalau hukum adat desa ini tak diakui, tak ada REDD atau lainnya,” ucapnya.
Nurhadi, perwakilan masyarakat Dayak Ngaju, mengatakan, masyarakat desa tak perlu diajari cara mengelola hutan. Mereka yang tinggal di hutan mengerti apabila hutan dijaga, kehidupan mereka terjamin.
Zonasi pemanfaatan
Masyarakat Dayak Ngaju punya zonasi dalam hukum adatnya. Hutan Pahewan merupakan kawasan keramat atau terkait ritual adat dan dilindungi. Hutan Sahepan untuk berburu dan mencari kulit kayu, lateks, dan obat-obatan. Adapun hutan Kaleka untuk perladangan/kebun.
Teguh Surya, Kepala Departemen Hubungan Internasional dan Keadilan Iklim Walhi, mengatakan, laporan warga adat itu menunjukkan seluruh kebijakan tak melibatkan warga. Walhi, Sawit Watch, Pusaka, Yayasan Petak Danum Kapuas, dan Sarekat Hijau Indonesia kini mengadvokasi mereka. (ICH)