Selasa, 27 Desember 2011
KEKERASAN APARAT
Jakarta, kompas – Konflik tanah di Mesuji, Lampung ataupun Sumatera Selatan, hingga bentrokan antara warga dan aparat kepolisian terkait izin pertambangan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, semakin menunjukkan pemerintah seharusnya serius menyikapi konflik-konflik agraria. Pemerintah seharusnya membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.
Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad, di Jakarta, Minggu (25/12), jika pemerintah serius melakukan pembaruan agraria, persoalan konflik tanah sebenarnya bisa diredam.
Idham mengatakan, pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria juga mewajibkan pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada rakyat. Namun, justru amanat terpenting Undang-Undang Pokok-pokok Agraria inilah yang, menurut Idham, tidak pernah terealisasikan. Belum lagi amanat Undang-Undang Pokok-pokok Agraria soal redistribusi lahan dijalankan, pemerintah malah membuat berbagai aturan dan regulasi yang justru meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat, seperti Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Dalam rapat kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pekan lalu, persoalan reforma agraria sempat dibahas. Pemerintah tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang reforma agraria yang diharapkan dapat terbit pada Januari 2012.
Presiden saat itu menyatakan, masalah pertanahan harus dikelola dengan baik dan kebijakannya juga harus tepat. Presiden menekankan pentingnya pemberian akses tanah kepada rakyat, baik kepemilikannya maupun penggunaannya. ”Pastikan keadilan dan pemerataan berlangsung baik,” kata Presiden.
Di Sumatera Selatan
Sementara itu, 30 sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan di Provinsi Sumatera Selatan masih berlangsung dan menunggu penyelesaian. Salah satunya adalah sengketa lahan di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang memuncak dengan bentrokan yang menewaskan tujuh orang pada April lalu. Masyarakat menilai, pemerintah tak pernah memberikan perhatian dan membiarkan masalah lahan ini berlarut-larut.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumatera Selatan, sebagian besar konflik lahan di Sumatera Selatan terjadi karena adanya tuntutan ganti rugi ataupun tuntutan kebun plasma dari masyarakat terhadap perusahaan.
”Masyarakat yang menuntut ini umumnya merasa dirugikan oleh perusahaan karena hasil kebun plasma atau ganti rugi lambat atau tak ada. Di lain sisi, masyarakat melihat perusahaan tersebut telah panen dari kebun inti,” ujar M Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumatera Selatan, di Palembang, Jumat (23/12).
Selama tahun 2011, tercatat ada belasan konflik akibat sengketa lahan tersebut.
(IRE/WHY/BILL)
Berkomentar
Selasa, 27 Desember 2011
KEKERASAN APARAT
Jakarta, kompas – Konflik tanah di Mesuji, Lampung ataupun Sumatera Selatan, hingga bentrokan antara warga dan aparat kepolisian terkait izin pertambangan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, semakin menunjukkan pemerintah seharusnya serius menyikapi konflik-konflik agraria. Pemerintah seharusnya membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.
Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Idham Arsyad, di Jakarta, Minggu (25/12), jika pemerintah serius melakukan pembaruan agraria, persoalan konflik tanah sebenarnya bisa diredam.
Idham mengatakan, pembaruan agraria sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria juga mewajibkan pemerintah untuk meredistribusikan lahan kepada rakyat. Namun, justru amanat terpenting Undang-Undang Pokok-pokok Agraria inilah yang, menurut Idham, tidak pernah terealisasikan. Belum lagi amanat Undang-Undang Pokok-pokok Agraria soal redistribusi lahan dijalankan, pemerintah malah membuat berbagai aturan dan regulasi yang justru meminggirkan status kepemilikan tanah rakyat, seperti Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Dalam rapat kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pekan lalu, persoalan reforma agraria sempat dibahas. Pemerintah tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang reforma agraria yang diharapkan dapat terbit pada Januari 2012.
Presiden saat itu menyatakan, masalah pertanahan harus dikelola dengan baik dan kebijakannya juga harus tepat. Presiden menekankan pentingnya pemberian akses tanah kepada rakyat, baik kepemilikannya maupun penggunaannya. ”Pastikan keadilan dan pemerataan berlangsung baik,” kata Presiden.
Di Sumatera Selatan
Sementara itu, 30 sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan di Provinsi Sumatera Selatan masih berlangsung dan menunggu penyelesaian. Salah satunya adalah sengketa lahan di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang memuncak dengan bentrokan yang menewaskan tujuh orang pada April lalu. Masyarakat menilai, pemerintah tak pernah memberikan perhatian dan membiarkan masalah lahan ini berlarut-larut.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Sumatera Selatan, sebagian besar konflik lahan di Sumatera Selatan terjadi karena adanya tuntutan ganti rugi ataupun tuntutan kebun plasma dari masyarakat terhadap perusahaan.
”Masyarakat yang menuntut ini umumnya merasa dirugikan oleh perusahaan karena hasil kebun plasma atau ganti rugi lambat atau tak ada. Di lain sisi, masyarakat melihat perusahaan tersebut telah panen dari kebun inti,” ujar M Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumatera Selatan, di Palembang, Jumat (23/12).
Selama tahun 2011, tercatat ada belasan konflik akibat sengketa lahan tersebut.
(IRE/WHY/BILL)