Balikpapan, – Kementerian Kehutanan membuka lebar pengelolaan hutan kepada masyarakat. Ini untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan serta mengurangi perambahan kawasan hutan dan konflik lahan.Warga Malaysia saja bisa mendapatkan hak pengelolaan, masak masyarakat kita sendiri tidak boleh,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Jumat (13/4), di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Ia menjadi salah satu pembicara dalam Pertemuan Nasional Lingkungan XI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Pembicara lain adalah para kandidat direktur eksekutif Walhi 2012-2016 Riza Damanik (Kiara), Abednego Tarigan (Sawit Watch), dan Ali Akbar (Eksekutif Nasional Walhi).
Zulkifli mengatakan, program ini ditujukan bagi kawasan areal penggunaan lain (APL) hutan produksi. Areal itu diklasifikasikan menjadi hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan.
Melalui program ini, sejak tiga tahun lalu, warga diberi hak menanam dan memanen hasil hutan produksi. ”Yang perlu diingat, hak warga ini adalah hak untuk mengelola hutan, bukan memiliki hutan atau lahan. Jadi tidak bisa disertifikasi,” kata Zulkifli.
Menhut memaparkan, Kementerian Kehutanan mencadangkan sekitar 700.000 hektar hutan untuk dikelola masyarakat. Hingga kini, izin yang diberikan sekitar 300.000 hektar.
Hanya untuk warga
Hal ini karena izin pengelolaan hanya diberikan dua hektar tiap keluarga. Zulkifli menuturkan, pengelolaan APL sempat ditunggangi ”kepentingan” tertentu. Ia menyebut fenomena ”ketua umum duluan” yang meminta hak pengelolaan sejumlah luasan lahan. ”Saya jamin Menhut tidak menerbitkan izin kalau bukan warga masyarakat yang akan mengelola,” ujarnya.
Pengelolaan oleh warga ini diajukan bupati/walikota kepada Menhut. Ia mengatakan, berbagai bentuk hutan rakyat bisa secara cepat dimanfaatkan pemerintah daerah melalui penetapan tata ruang wilayah masing-masing.
Abednego Tarigan mengatakan, kecenderungan pemerintah daerah adalah berpikir jangka pendek dengan lebih memilih memberikan izin kepada perusahaan daripada kepada masyarakat. Menurut dia, ketidakberpihakan ini menimbulkan konflik lahan terus-menerus.
Ia mendesak agar pemerintah merampungkan dan memberikan hak-hak tenurial masyarakat adat atau warga sekitar hutan. ”Harus ada kepastian, keadilan, dan kedaulatan tenurial di masyarakat,” katanya.
Sawit Watch mencatat, ada 600 konflik dalam kurun setahun ini antara masyarakat dan perkebunan sawit. Sebagian besar disebabkan konflik lahan/tenurial. (ICH/PRA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2012/04/14/04393623/pengelolaan.rakyat.dijamin.menteri
Berkomentar
Balikpapan, – Kementerian Kehutanan membuka lebar pengelolaan hutan kepada masyarakat. Ini untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan serta mengurangi perambahan kawasan hutan dan konflik lahan.Warga Malaysia saja bisa mendapatkan hak pengelolaan, masak masyarakat kita sendiri tidak boleh,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Jumat (13/4), di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Ia menjadi salah satu pembicara dalam Pertemuan Nasional Lingkungan XI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Pembicara lain adalah para kandidat direktur eksekutif Walhi 2012-2016 Riza Damanik (Kiara), Abednego Tarigan (Sawit Watch), dan Ali Akbar (Eksekutif Nasional Walhi).
Zulkifli mengatakan, program ini ditujukan bagi kawasan areal penggunaan lain (APL) hutan produksi. Areal itu diklasifikasikan menjadi hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan.
Melalui program ini, sejak tiga tahun lalu, warga diberi hak menanam dan memanen hasil hutan produksi. ”Yang perlu diingat, hak warga ini adalah hak untuk mengelola hutan, bukan memiliki hutan atau lahan. Jadi tidak bisa disertifikasi,” kata Zulkifli.
Menhut memaparkan, Kementerian Kehutanan mencadangkan sekitar 700.000 hektar hutan untuk dikelola masyarakat. Hingga kini, izin yang diberikan sekitar 300.000 hektar.
Hanya untuk warga
Hal ini karena izin pengelolaan hanya diberikan dua hektar tiap keluarga. Zulkifli menuturkan, pengelolaan APL sempat ditunggangi ”kepentingan” tertentu. Ia menyebut fenomena ”ketua umum duluan” yang meminta hak pengelolaan sejumlah luasan lahan. ”Saya jamin Menhut tidak menerbitkan izin kalau bukan warga masyarakat yang akan mengelola,” ujarnya.
Pengelolaan oleh warga ini diajukan bupati/walikota kepada Menhut. Ia mengatakan, berbagai bentuk hutan rakyat bisa secara cepat dimanfaatkan pemerintah daerah melalui penetapan tata ruang wilayah masing-masing.
Abednego Tarigan mengatakan, kecenderungan pemerintah daerah adalah berpikir jangka pendek dengan lebih memilih memberikan izin kepada perusahaan daripada kepada masyarakat. Menurut dia, ketidakberpihakan ini menimbulkan konflik lahan terus-menerus.
Ia mendesak agar pemerintah merampungkan dan memberikan hak-hak tenurial masyarakat adat atau warga sekitar hutan. ”Harus ada kepastian, keadilan, dan kedaulatan tenurial di masyarakat,” katanya.
Sawit Watch mencatat, ada 600 konflik dalam kurun setahun ini antara masyarakat dan perkebunan sawit. Sebagian besar disebabkan konflik lahan/tenurial. (ICH/PRA)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2012/04/14/04393623/pengelolaan.rakyat.dijamin.menteri