Penulis : Erwin Edhi Prasetyo | Selasa, 31 Juli 2012 | 22:32 WIB
MERAUKE, KOMPAS.com – Rancangan Peraturan Daerah Khusus (raperdasus) Provinsi Papua tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang disusun Pemerintah Provinsi Papua menuai kritik. Penyusunan raperdasus itu juga dinilai sangat terlambat.
Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antoniu Merauke -lembaga yang bergiat dalam pendampingan masyarakat – Jago Bukit di Merauke, Selasa (31/7/2012) mengatakan, posisi dan peran masyarakat adat dalam raperdasus itu masih lemah. Dicontohkan, lemahnya posisi dan peran masyarakat itu tampak dalam raperdasus yang belum mengakomodir pemetaan hak ulayat secara mandiri oleh masyarakat adat dan lembaga non pemerintah.
Padahal, pemetaan hak ulayat oleh masyarakat adat dan lembaga non pemerintah hasilnya bisa jauh lebih detil, akurat, dan lengkap dibandingkan pemetaan yang dilakukan pemerintah.
Sementara dalam raperdasus diatur bahwa pemetaan hak ulayat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah wajib mendampingi masyarakat hukum adat melakukan pemetaan adat secara partisipatif. Pemerintah juga dinilai ingin mendikte masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan dana-dana ganti rugi yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam.
Sekertaris Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua GB Rumkoren di Merauke, Selasa (31/7/2012) mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua masih memerlukan masukan dari banyak pihak untuk dapat menyempurnakan isi raperdasus ini.
Raperdasus ini terdiri dari 54 pasal. Antara lain mengatur tata cara atau bentuk pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, pemberian ganti rugi kepada masyarakat adat, izin usaha pemanfaatan SDA, dan juga tugas dan wewenang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA.
Editor : Rusdi Amral
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2012/07/31/22325770/Raperdasus.SDA.di.Papua.Menuai.Kritik
Berkomentar
One Comment
Leave A Comment
Penulis : Erwin Edhi Prasetyo | Selasa, 31 Juli 2012 | 22:32 WIB
MERAUKE, KOMPAS.com – Rancangan Peraturan Daerah Khusus (raperdasus) Provinsi Papua tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang disusun Pemerintah Provinsi Papua menuai kritik. Penyusunan raperdasus itu juga dinilai sangat terlambat.
Kepala Badan Pengembangan Sosial Ekonomi Yayasan Santo Antoniu Merauke -lembaga yang bergiat dalam pendampingan masyarakat – Jago Bukit di Merauke, Selasa (31/7/2012) mengatakan, posisi dan peran masyarakat adat dalam raperdasus itu masih lemah. Dicontohkan, lemahnya posisi dan peran masyarakat itu tampak dalam raperdasus yang belum mengakomodir pemetaan hak ulayat secara mandiri oleh masyarakat adat dan lembaga non pemerintah.
Padahal, pemetaan hak ulayat oleh masyarakat adat dan lembaga non pemerintah hasilnya bisa jauh lebih detil, akurat, dan lengkap dibandingkan pemetaan yang dilakukan pemerintah.
Sementara dalam raperdasus diatur bahwa pemetaan hak ulayat dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah wajib mendampingi masyarakat hukum adat melakukan pemetaan adat secara partisipatif. Pemerintah juga dinilai ingin mendikte masyarakat hukum adat dalam memanfaatkan dana-dana ganti rugi yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam.
Sekertaris Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Papua GB Rumkoren di Merauke, Selasa (31/7/2012) mengatakan, Pemerintah Provinsi Papua masih memerlukan masukan dari banyak pihak untuk dapat menyempurnakan isi raperdasus ini.
Raperdasus ini terdiri dari 54 pasal. Antara lain mengatur tata cara atau bentuk pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat hukum adat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, pemberian ganti rugi kepada masyarakat adat, izin usaha pemanfaatan SDA, dan juga tugas dan wewenang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan SDA.
Editor : Rusdi Amral
Sumber: http://regional.kompas.com/read/2012/07/31/22325770/Raperdasus.SDA.di.Papua.Menuai.Kritik
Berkomentar
One Comment
-
Yang dikritik itu konten atau prosesnya?
Yang dikritik itu konten atau prosesnya?