“Kalau ternyata sekarang DPRA menggunakan alasan yang sama dengan eksekutif yang dahulu untuk menunda pembahasan ini menunjukkan bahwa DPRA telah gagal dan tidak memiliki keinginan yang kuat untuk memberikan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh,” tambah dia.
Destika juga mengatakan, alasan penundaan pembahasan qanun KKR Aceh dengan mengatakan bahwa qanun ini tidak masuk prolega 2012 adalah alasan yang dibuat-buat. “Qanun KKR Aceh adalah qanun prioritas nomor urut 2 dalam Keputusan DPRA No. 2/DPRA/2012 dan termasuk dalam usul inisiatif dewan. Jelas ini adalah pembohongan bila mengatakan qanun KKR tidak masuk prolega,” terang Destika.
Sementara Direktur LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri menilai, DPRA gagap dalam melaksanakan kewenangan Aceh untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. “UUPA sebagai hukum khusus yang mengatur tentang Aceh serta merupakan dokumen legal resolusi bagi konflik di Aceh, telah memberikan ruang bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk kewenangan Aceh untuk membenuk KKR Aceh. Tapi kemudian DPRA gagap melaksanakan kewenangan tersebut dan menyerahkan kembali semua kepada regulasi nasional,” kata dia.
Sementara Koordinator Konsorsium Museum HAM dan Perdamaian Aceh, Reza Idria, menyatakan “penundaan pembahasan qanun ini menunjukkanbahwa jejaring impunitas masih ada dan menjadi persoalan paling besar dalam penyelesaian persoalan pelanggaran HAM masa lalu.”(nal)
Berkomentar
“Kalau ternyata sekarang DPRA menggunakan alasan yang sama dengan eksekutif yang dahulu untuk menunda pembahasan ini menunjukkan bahwa DPRA telah gagal dan tidak memiliki keinginan yang kuat untuk memberikan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh,” tambah dia.
Destika juga mengatakan, alasan penundaan pembahasan qanun KKR Aceh dengan mengatakan bahwa qanun ini tidak masuk prolega 2012 adalah alasan yang dibuat-buat. “Qanun KKR Aceh adalah qanun prioritas nomor urut 2 dalam Keputusan DPRA No. 2/DPRA/2012 dan termasuk dalam usul inisiatif dewan. Jelas ini adalah pembohongan bila mengatakan qanun KKR tidak masuk prolega,” terang Destika.
Sementara Direktur LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri menilai, DPRA gagap dalam melaksanakan kewenangan Aceh untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. “UUPA sebagai hukum khusus yang mengatur tentang Aceh serta merupakan dokumen legal resolusi bagi konflik di Aceh, telah memberikan ruang bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk kewenangan Aceh untuk membenuk KKR Aceh. Tapi kemudian DPRA gagap melaksanakan kewenangan tersebut dan menyerahkan kembali semua kepada regulasi nasional,” kata dia.
Sementara Koordinator Konsorsium Museum HAM dan Perdamaian Aceh, Reza Idria, menyatakan “penundaan pembahasan qanun ini menunjukkanbahwa jejaring impunitas masih ada dan menjadi persoalan paling besar dalam penyelesaian persoalan pelanggaran HAM masa lalu.”(nal)