Padang Ekspres • Sabtu, 13/10/2012 12:58 WIB
Padang, Padek, Keberpihakan pemerintah Sumbar terhadap petani dan masyarakat adat dalam penguasaan tanah dinilai masih lemah. Dengan alasan pembangunan, para pengelola daerah cenderung memberikan karpet merah pada investor ketimbang masyarakat lokal.
Ambivalensi itu tecermin dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Regulasi yang diharapkan mampu menjawab persoalan sengketa tanah ulayat selama ini, dinilai sebagian kalangan hanya basa-basi terhadap pemihakan pemda pada rakyat.
Di satu sisi pergub ini menunjukkan pembelaan Pemprov Sumbar terhadap masyarakat adat dan pemilik ulayat, di sisi lain memberikan privilese (fasilitas) kepada calon investor.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, Sukardi Bendang mengatakan, Pergub Nomor 21 hanya bersifat umum sebagaimana tata cara berivestasi yang sudah dilakukan di Sumatera Barat sejak kemerdekaan. “Kecuali, pasal yang mengatur pemulihan tanah ulayat kepada pemilik ketika berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tanah ulayat oleh penanaman modal (selengkapnya lihat grafis).
Artinya, masyarakat adat memiliki pijakan menguasai tanah ulayatnya kembali. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjadi konsideran pergub ini, mengatur hak guna usaha (HGU) setelah berakhir menjadi milik negara,” jelasnya.
“Jadi bisa dipertanyakan, apakah pergub ini betul-betul pembelaan Pemprov terhadap ancaman negara terhadap tanah ulayat, atau hanya basa-basi untuk masyarakat adat. Sebab, pergub ini bisa dianggap bertentangan dengan aturan perundang-undangan di Indonesia. Pergub juga tidak menjawab ketika terjadi konflik klaim kawasan hutan sebagai tanah negara terhadap tanah ulayat,” paparnya.
Menurut Sukardi, pergub ini hanyalah turunan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang spiritnya adalah mengundang investasi sebanyak-banyaknya di Sumatera Barat.
“Pergub ini dibungkus seolah-olah mencegah konflik tanah ulayat dan sebagai jalan tengah menjawab sengketa tanah ulayat dengan penanaman modal selama ini. Kita tidak menolak investasi di Sumbar. Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah harus menyelesaikan pelanggaran sosial yang terjadi dalam sengketa agraria,” ulas Sukardi.
Sukardi mengatakan, pemerintah di Sumbar seharusnya melindungi kepentingan rakyat banyak untuk mencegah kesenjangan sosial. Menyikapi maraknya konflik agraria akhir-akhir ini, Sukardi mengusulkan agar izin investasi distop sementara di Sumbar.
“Lakukan terlebih dahulu penataan tanah sesuai peruntukan yang lebih adil, yaitu perkebunan, lahan pertanian rakyat, peternakan, hutan, tambang dan lain-lain. Kemudian distribusikan tanah untuk petani, terutama untuk pengembangan pangan berbasis rakyat, jangan dibiarkan petani berebut tanah dengan korporasi yang jelas-jelas berorientasi laba dan loba,” jelasnya.
Investasi tanpa membekali anak cucu kemanakan dengan alat-alat produksi yang memadai, kata Sukardi, hanya akan menggiring mereka menjadi buruh di negerinya sendiri, dan jauh dari prinsip ekonomi berdikari.
Direktur LSM QBar, Nurul Firmansyah mengatakan, dia dan lembaga yang dipimpinnya menyatakan dukungan terhadap Pergub tersebut. Dia menilai pergub tersebut adalah salah satu terobosan hukum yang akan menyelamatkan tanah ulayat di masa yang akan datang.
Dia memaparkan, pergub itu lahir dari Perda Tanah Ulayat yang sebelumnya dikeluarkan DPRD Sumbar. “Lahirnya pergub itu justru memperkuat perda. Karena, dalam perda dikatakan, setelah HGU habis maka akan dikembalikan ke bentuk semula. Namun tidak dijelaskan kembali ke nagari atau ulayat. Nah, pergub ini menegaskan bahwa akan dikembalikan ke nagari. Kita tahu nagari adalah bagian dari negara, jadi tidak akan bertentangan dengan peraturan lainnya,” jelas Nurul.
Dia mendorong agar DPRD kabupaten dan kota juga melahirkan produk hukum berupa perda tanah ulayat ini, dan ditindaklanjuti dengan peraturan bupati dan walikota. “Itu untuk menunjukkan komitmen kita semua,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanaman Modal (BKPM) Sumbar Masrul Zein mengatakan, pergub itu untuk mempermudah investor menanamkan modal di Sumbar mengingat tingginya konflik lahan di Sumbar. Karena itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengeluarkan Pergub No 21/2012 tentang Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal.
Pergub secara tegas mengatur hak dan kewajiban masyarakat dan pemodal yang memanfaatkan tanah ulayat untuk berusaha di berbagai sektor, seperti perkebunan dan pertambangan. Setiap tanah ulayat dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal, selagi ada kesepakatan penanam modal dengan pemilik atau penguasa ulayat.
“Apabila masa perjanjian kontrak tanah ulayat yang dimanfaatkan pemodal telah berakhir, pemerintah daerah wajib memulihkan status tanah ulayat ke status semula. Tanah dikembalikan kepada pemerintah nagari. Tapi, bukan berarti pemerintah nagari dapat seenaknya membagi, apalagi memperjualbelikannya, karena itu akan menjadi kekayaan nagari,” ungkap Masrul Zein kepada Padang Ekspres di kantornya, awal Oktober lalu.
Dalam pergub itu juga mengakomodir keragaman tiap nagari di Sumbar. Pemanfaatan tanah ulayat harus disesuaikan hukum adat yang berlaku di masing-masing nagari, seperti dalam bentuk ganti rugi untuk tanah yang digunakan, dan kompensasi untuk tanah yang terkena dampak kegiatan perusahaan pemodal.
Kepala Biro Diklat LKAAM Sumbar Zainuddin Datuak Rajo Lengang menyambut baik pergub tersebut. Menurutnya, pergub itu bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat pemilik ulayat, dan membuat nagari tidak bangkrut akibat asset nagari digarap pemodal.
“Kami mendukung pergub itu karena manfaatnya banyak untuk masyarakat. Kalau tanah ulayat dibagibagi dan diperjualbelikan, bisa miskin nagari tersebut. Pemprov sudah menyosialisasikan materi pergub itu ke kami sebelumnya, dan materi di pergub tersebut sudah sesuai kebutuhan terkait persoalan tanah ulayat. Pergub ini juga bisa mengantisipasi konflik pemanfaatan tanah ulayat,” tuturnya. (*)
Sumber: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=35880
Berkomentar
3 Comments
Leave A Comment
Padang Ekspres • Sabtu, 13/10/2012 12:58 WIB
Padang, Padek, Keberpihakan pemerintah Sumbar terhadap petani dan masyarakat adat dalam penguasaan tanah dinilai masih lemah. Dengan alasan pembangunan, para pengelola daerah cenderung memberikan karpet merah pada investor ketimbang masyarakat lokal.
Ambivalensi itu tecermin dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Regulasi yang diharapkan mampu menjawab persoalan sengketa tanah ulayat selama ini, dinilai sebagian kalangan hanya basa-basi terhadap pemihakan pemda pada rakyat.
Di satu sisi pergub ini menunjukkan pembelaan Pemprov Sumbar terhadap masyarakat adat dan pemilik ulayat, di sisi lain memberikan privilese (fasilitas) kepada calon investor.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar, Sukardi Bendang mengatakan, Pergub Nomor 21 hanya bersifat umum sebagaimana tata cara berivestasi yang sudah dilakukan di Sumatera Barat sejak kemerdekaan. “Kecuali, pasal yang mengatur pemulihan tanah ulayat kepada pemilik ketika berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tanah ulayat oleh penanaman modal (selengkapnya lihat grafis).
Artinya, masyarakat adat memiliki pijakan menguasai tanah ulayatnya kembali. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang menjadi konsideran pergub ini, mengatur hak guna usaha (HGU) setelah berakhir menjadi milik negara,” jelasnya.
“Jadi bisa dipertanyakan, apakah pergub ini betul-betul pembelaan Pemprov terhadap ancaman negara terhadap tanah ulayat, atau hanya basa-basi untuk masyarakat adat. Sebab, pergub ini bisa dianggap bertentangan dengan aturan perundang-undangan di Indonesia. Pergub juga tidak menjawab ketika terjadi konflik klaim kawasan hutan sebagai tanah negara terhadap tanah ulayat,” paparnya.
Menurut Sukardi, pergub ini hanyalah turunan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang spiritnya adalah mengundang investasi sebanyak-banyaknya di Sumatera Barat.
“Pergub ini dibungkus seolah-olah mencegah konflik tanah ulayat dan sebagai jalan tengah menjawab sengketa tanah ulayat dengan penanaman modal selama ini. Kita tidak menolak investasi di Sumbar. Namun, sebelum itu dilakukan, pemerintah harus menyelesaikan pelanggaran sosial yang terjadi dalam sengketa agraria,” ulas Sukardi.
Sukardi mengatakan, pemerintah di Sumbar seharusnya melindungi kepentingan rakyat banyak untuk mencegah kesenjangan sosial. Menyikapi maraknya konflik agraria akhir-akhir ini, Sukardi mengusulkan agar izin investasi distop sementara di Sumbar.
“Lakukan terlebih dahulu penataan tanah sesuai peruntukan yang lebih adil, yaitu perkebunan, lahan pertanian rakyat, peternakan, hutan, tambang dan lain-lain. Kemudian distribusikan tanah untuk petani, terutama untuk pengembangan pangan berbasis rakyat, jangan dibiarkan petani berebut tanah dengan korporasi yang jelas-jelas berorientasi laba dan loba,” jelasnya.
Investasi tanpa membekali anak cucu kemanakan dengan alat-alat produksi yang memadai, kata Sukardi, hanya akan menggiring mereka menjadi buruh di negerinya sendiri, dan jauh dari prinsip ekonomi berdikari.
Direktur LSM QBar, Nurul Firmansyah mengatakan, dia dan lembaga yang dipimpinnya menyatakan dukungan terhadap Pergub tersebut. Dia menilai pergub tersebut adalah salah satu terobosan hukum yang akan menyelamatkan tanah ulayat di masa yang akan datang.
Dia memaparkan, pergub itu lahir dari Perda Tanah Ulayat yang sebelumnya dikeluarkan DPRD Sumbar. “Lahirnya pergub itu justru memperkuat perda. Karena, dalam perda dikatakan, setelah HGU habis maka akan dikembalikan ke bentuk semula. Namun tidak dijelaskan kembali ke nagari atau ulayat. Nah, pergub ini menegaskan bahwa akan dikembalikan ke nagari. Kita tahu nagari adalah bagian dari negara, jadi tidak akan bertentangan dengan peraturan lainnya,” jelas Nurul.
Dia mendorong agar DPRD kabupaten dan kota juga melahirkan produk hukum berupa perda tanah ulayat ini, dan ditindaklanjuti dengan peraturan bupati dan walikota. “Itu untuk menunjukkan komitmen kita semua,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Badan Penanaman Modal (BKPM) Sumbar Masrul Zein mengatakan, pergub itu untuk mempermudah investor menanamkan modal di Sumbar mengingat tingginya konflik lahan di Sumbar. Karena itu, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengeluarkan Pergub No 21/2012 tentang Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal.
Pergub secara tegas mengatur hak dan kewajiban masyarakat dan pemodal yang memanfaatkan tanah ulayat untuk berusaha di berbagai sektor, seperti perkebunan dan pertambangan. Setiap tanah ulayat dapat dimanfaatkan untuk penanaman modal, selagi ada kesepakatan penanam modal dengan pemilik atau penguasa ulayat.
“Apabila masa perjanjian kontrak tanah ulayat yang dimanfaatkan pemodal telah berakhir, pemerintah daerah wajib memulihkan status tanah ulayat ke status semula. Tanah dikembalikan kepada pemerintah nagari. Tapi, bukan berarti pemerintah nagari dapat seenaknya membagi, apalagi memperjualbelikannya, karena itu akan menjadi kekayaan nagari,” ungkap Masrul Zein kepada Padang Ekspres di kantornya, awal Oktober lalu.
Dalam pergub itu juga mengakomodir keragaman tiap nagari di Sumbar. Pemanfaatan tanah ulayat harus disesuaikan hukum adat yang berlaku di masing-masing nagari, seperti dalam bentuk ganti rugi untuk tanah yang digunakan, dan kompensasi untuk tanah yang terkena dampak kegiatan perusahaan pemodal.
Kepala Biro Diklat LKAAM Sumbar Zainuddin Datuak Rajo Lengang menyambut baik pergub tersebut. Menurutnya, pergub itu bisa memberikan perlindungan kepada masyarakat pemilik ulayat, dan membuat nagari tidak bangkrut akibat asset nagari digarap pemodal.
“Kami mendukung pergub itu karena manfaatnya banyak untuk masyarakat. Kalau tanah ulayat dibagibagi dan diperjualbelikan, bisa miskin nagari tersebut. Pemprov sudah menyosialisasikan materi pergub itu ke kami sebelumnya, dan materi di pergub tersebut sudah sesuai kebutuhan terkait persoalan tanah ulayat. Pergub ini juga bisa mengantisipasi konflik pemanfaatan tanah ulayat,” tuturnya. (*)
Sumber: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=35880
Berkomentar
3 Comments
-
Keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal adalah lagu lama. syahwat pejabat terhadap uang lebih mengemuka. tinggal rakyat miskin gigit jari (jari tangan dan jari kaki). Tapi inilah fenomena mata duitan pejabat indonesia
-
Tq telah menyebarkan berita ini ke publik, smg bermanfaat bg kita semua.
Terima kasih atas tanggapannya,
Bapak bisa mencari di Google. Salam
Keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal adalah lagu lama. syahwat pejabat terhadap uang lebih mengemuka. tinggal rakyat miskin gigit jari (jari tangan dan jari kaki). Tapi inilah fenomena mata duitan pejabat indonesia
Tq telah menyebarkan berita ini ke publik, smg bermanfaat bg kita semua.