Dibawah terik matahari yang membakar Jakarta, ribuan petani melakukan aksi longmarch dari mesjid istiqlal menuju Istana Merdeka. Datang dari berbagai daerah seperti Bogor, Hambalang, Karawang, Pangalengan, Subang, Sukabumi Jawa-Barat dan Buol-Sulawesi Tengah. Dini hari mereka baru tiba menghirup udara Ibu Kota, sebagian besar peserta aksi tersebut adalah korban perampasan tanah, melakukan aksi, bertujuan memperingati Hari Tani Nasional ke 54, juga memberi peringatan kepada Jokowi-JK, agar tidak melanjutkan kebijakn SBY yang anti tani.
“ Selama SBY memimpin, 78 petani mati ! selama ini, Negara menganggap petani sebagai penjarah, maling, perambah ! petani yang mempertahankan lahannya di tangkap, di tembak, di bunuh !”. Ungkap Sekjen Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Rahmat Adjiguna. Dalam orasinya di hadapan ribuan massa ia juga menyebut akan terus berlawan kepada Jokowi-JK, jika rezim pemerintahannya merampas hak kaum tani.
Hari Tani yang ke 54, rabu 24 September 2014, merupakan peringatan terakhir dalam kepemimpinan SBY-Boediono. Sepuluh tahun memerintah dan menjelang akhir kepemimpinanya, SBY meninggalkan jejak kelam konflik agraria. Munculnya sengketa di berbagai wilayah, dibiarkan berlarut tanpa ujung. Bahkan SBY menambah konflik baru dengan menerbitkan Perpres no 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia-MP3EI.
MP3EI, lahir atas timpangnya penguasaan agraria dan sumber daya alam, sejalan dengan masifnya laju perampasan lahan, jumlah keluarga petani pun menyusut. Saat ini terdapat 32 juta petani kehilaangan lahan garapan, mereka beralih telah menjadi buruh tani dan hanya 90 juta jiwa yang bertahan sebagai petani subsisten dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,35 ha.
“ Jika Indonesia tidak menjalankan land reform, tahun 2025 tak ada lagi petani di negeri ini”. Demikian Ungkap Noer Fauzi. Ia katakan, laju perampasan tanah di Indonesia mencapai 0,25 ha setiap jam.
Sebelumnya, dalam acara Konferensi Nasional Reforma Agraria mewakili tim transisi Anies Baswedan mengatakan, diskusi dalam tim transisi hal yang paling banyak dibicarakan adalah petani dan agraria.
“ Pak Jokowi sangat fokus terahadap petani dan agraria, ia utamakan nasib petaninya di banding hal lain”. Ujar Anies. Ia mengakui, selama ini nasib petani posisinya selalu termarjinalkan.
“ Hasil diskusi kawan-kawan, akan saya sampaikan ke Pak Jokowi”. Katanya.
Sejumlah ornop dan organisasi massa pendukung reforma agraria yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Untuk Pembaruan Agraria menyatakan siap mengawal kepemeimpinan Jokowi-JK, jika mereka komitmen menjalankan agenda reforma agraria. Namun jika melenceng, mereka akan terus berlawan, baik dalam ranah kebijakan maupun di lapangan.
Pernyataan itu sangat relevan, selain akibat kekerasan aparat, hilangnya profesi petani timbul akibat perampasan dan penggusuran lahan oleh korporasi. Tahun lalu 5 juta keluarga petani lenyap, agar tahun 2025 Indonesia masih mengenal petani, rakyat tetap harus mendesak Jokowi untuk menggulung lengan kemeja putihnya, turun tangan membebaskan rakyat. (AP).
Berkomentar
Dibawah terik matahari yang membakar Jakarta, ribuan petani melakukan aksi longmarch dari mesjid istiqlal menuju Istana Merdeka. Datang dari berbagai daerah seperti Bogor, Hambalang, Karawang, Pangalengan, Subang, Sukabumi Jawa-Barat dan Buol-Sulawesi Tengah. Dini hari mereka baru tiba menghirup udara Ibu Kota, sebagian besar peserta aksi tersebut adalah korban perampasan tanah, melakukan aksi, bertujuan memperingati Hari Tani Nasional ke 54, juga memberi peringatan kepada Jokowi-JK, agar tidak melanjutkan kebijakn SBY yang anti tani.
“ Selama SBY memimpin, 78 petani mati ! selama ini, Negara menganggap petani sebagai penjarah, maling, perambah ! petani yang mempertahankan lahannya di tangkap, di tembak, di bunuh !”. Ungkap Sekjen Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Rahmat Adjiguna. Dalam orasinya di hadapan ribuan massa ia juga menyebut akan terus berlawan kepada Jokowi-JK, jika rezim pemerintahannya merampas hak kaum tani.
Hari Tani yang ke 54, rabu 24 September 2014, merupakan peringatan terakhir dalam kepemimpinan SBY-Boediono. Sepuluh tahun memerintah dan menjelang akhir kepemimpinanya, SBY meninggalkan jejak kelam konflik agraria. Munculnya sengketa di berbagai wilayah, dibiarkan berlarut tanpa ujung. Bahkan SBY menambah konflik baru dengan menerbitkan Perpres no 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia-MP3EI.
MP3EI, lahir atas timpangnya penguasaan agraria dan sumber daya alam, sejalan dengan masifnya laju perampasan lahan, jumlah keluarga petani pun menyusut. Saat ini terdapat 32 juta petani kehilaangan lahan garapan, mereka beralih telah menjadi buruh tani dan hanya 90 juta jiwa yang bertahan sebagai petani subsisten dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,35 ha.
“ Jika Indonesia tidak menjalankan land reform, tahun 2025 tak ada lagi petani di negeri ini”. Demikian Ungkap Noer Fauzi. Ia katakan, laju perampasan tanah di Indonesia mencapai 0,25 ha setiap jam.
Sebelumnya, dalam acara Konferensi Nasional Reforma Agraria mewakili tim transisi Anies Baswedan mengatakan, diskusi dalam tim transisi hal yang paling banyak dibicarakan adalah petani dan agraria.
“ Pak Jokowi sangat fokus terahadap petani dan agraria, ia utamakan nasib petaninya di banding hal lain”. Ujar Anies. Ia mengakui, selama ini nasib petani posisinya selalu termarjinalkan.
“ Hasil diskusi kawan-kawan, akan saya sampaikan ke Pak Jokowi”. Katanya.
Sejumlah ornop dan organisasi massa pendukung reforma agraria yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Untuk Pembaruan Agraria menyatakan siap mengawal kepemeimpinan Jokowi-JK, jika mereka komitmen menjalankan agenda reforma agraria. Namun jika melenceng, mereka akan terus berlawan, baik dalam ranah kebijakan maupun di lapangan.
Pernyataan itu sangat relevan, selain akibat kekerasan aparat, hilangnya profesi petani timbul akibat perampasan dan penggusuran lahan oleh korporasi. Tahun lalu 5 juta keluarga petani lenyap, agar tahun 2025 Indonesia masih mengenal petani, rakyat tetap harus mendesak Jokowi untuk menggulung lengan kemeja putihnya, turun tangan membebaskan rakyat. (AP).