Hingga kini, portal kayu masih kokoh berdiri, portal tersebut menutup empat jalur sungai, salah satunya Sei Madang, sungai utama bagi perkebunan sawit PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR) mengeluarkan tandan buah segar hasil panennya. Buah sawit membusuk, pohon-pohonnya dibiarkan tumbang tanpa ada pemeliharaan. Selama lima bulan tak melakukan aktivitas, PT RASR telah lumpuh.
Itu terjadi, akibat warga yang terus melakukan perlawanan , sejak lima bulan silam, tepatnya 7 Juni 2014 perkebunan sawit itu tak bisa menjual hasil panennya. Warga Desa Sei Ahas, Katimpun dan Kalumpang Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas tiada henti lakukan protes, mereka memasang portal untuk menutup akses perusahaan.
“Kita melakukan cara ini, karena negosiasi dan mediasi sudah alami jalan buntu, bahkan dengan lancang perusahaan menggugat warga ke jalur hukum”. Demikian ungkap warga Desa Katimpun, Uber S Neous, kepada PUSAKA (17/10/2014).
Merasa tak berkutik atas perlawanan warga, sepekan setelah aksi blockade, Koordinator aksi, Misradi asal Desa Sei Ahas menjadi aktor utama yang digugat perusahaan. Langkah hukum ditempuh tanggal 25 Juni 2014, PT RASR mengajukan gugatan kepada Misradi secara perdata di Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dengan No. Reg.20/Pdt.G/2014/PN.Klk.
“Kami layani gugatan itu, namun perusahaan tak pernah datang ke pengadilan. Proses hukum ini pun kembali alami jalan buntu, mereka mencabut sendiri gugatannya”. Jelas Misradi.
Dengan dicabutnya gugatan tersebut, Misradi berpendapat, secara tidak langsung pihak perusahaan telah mengakui bahwa lahan seluas 2.922 ha yang di sengketakan perusahaan adalah lahan milik masyarakat.
“Langkah selanjutnya kita akan desak Bupati untuk menetapkan keputusan pengalihan ataupun bentuk penetapan kepemilikan lahan kepada masyarakat”. Lanjut Misradi.
Sebelum Bupati Kapuas Ben Ibrahim mengambil keputusan, warga sudah mulai menggarap lahan dengan melakukan penanaman bibit karet. Warga pun tidak akan membongkar portal yang mereka buat. Sementara PT RASR pun hanya dua aparat TNI dan dua puluh orang karyawan yang tinggal di camp Sei Madang. (AP).
Berkomentar
Hingga kini, portal kayu masih kokoh berdiri, portal tersebut menutup empat jalur sungai, salah satunya Sei Madang, sungai utama bagi perkebunan sawit PT Rezeki Alam Semesta Raya (RASR) mengeluarkan tandan buah segar hasil panennya. Buah sawit membusuk, pohon-pohonnya dibiarkan tumbang tanpa ada pemeliharaan. Selama lima bulan tak melakukan aktivitas, PT RASR telah lumpuh.
Itu terjadi, akibat warga yang terus melakukan perlawanan , sejak lima bulan silam, tepatnya 7 Juni 2014 perkebunan sawit itu tak bisa menjual hasil panennya. Warga Desa Sei Ahas, Katimpun dan Kalumpang Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas tiada henti lakukan protes, mereka memasang portal untuk menutup akses perusahaan.
“Kita melakukan cara ini, karena negosiasi dan mediasi sudah alami jalan buntu, bahkan dengan lancang perusahaan menggugat warga ke jalur hukum”. Demikian ungkap warga Desa Katimpun, Uber S Neous, kepada PUSAKA (17/10/2014).
Merasa tak berkutik atas perlawanan warga, sepekan setelah aksi blockade, Koordinator aksi, Misradi asal Desa Sei Ahas menjadi aktor utama yang digugat perusahaan. Langkah hukum ditempuh tanggal 25 Juni 2014, PT RASR mengajukan gugatan kepada Misradi secara perdata di Pengadilan Negeri Kuala Kapuas dengan No. Reg.20/Pdt.G/2014/PN.Klk.
“Kami layani gugatan itu, namun perusahaan tak pernah datang ke pengadilan. Proses hukum ini pun kembali alami jalan buntu, mereka mencabut sendiri gugatannya”. Jelas Misradi.
Dengan dicabutnya gugatan tersebut, Misradi berpendapat, secara tidak langsung pihak perusahaan telah mengakui bahwa lahan seluas 2.922 ha yang di sengketakan perusahaan adalah lahan milik masyarakat.
“Langkah selanjutnya kita akan desak Bupati untuk menetapkan keputusan pengalihan ataupun bentuk penetapan kepemilikan lahan kepada masyarakat”. Lanjut Misradi.
Sebelum Bupati Kapuas Ben Ibrahim mengambil keputusan, warga sudah mulai menggarap lahan dengan melakukan penanaman bibit karet. Warga pun tidak akan membongkar portal yang mereka buat. Sementara PT RASR pun hanya dua aparat TNI dan dua puluh orang karyawan yang tinggal di camp Sei Madang. (AP).