Paska kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menerbitkan peraturan Nomor 32 Tahun 2015 tentang hutan hak, mendapat respon dari kalangan masyarakat adat korban investasi perkebunan sawit di Tanah Papua. Salah satunya suku besar Yerisiam Gua di Kabupaten Nabre Provinsi Papua.
Baca juga: Kementerian LHK Menerbitkan Peraturan Yang Mengakui Kawasan Hutan Adat Sebagai Hutan Hak
Kisah PT.NABIRE BARU (PT.NB) bagi pemilik hak ulayat adalah kisah soal kekacauan dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit yang bercampur baur dengan beragam kepentingan, hak masyarakat adat diabaikan, para pekerja terlantar atau terintimidasi dan hutan habis di gundul, tanpa ada satupun solusi nyata yang bisah ditawarkan.
Baca juga: Riwayat Konsensi Perusahaan di Wilayah Adat Yerisiam Tanah Papua
Imanuel Money, Kepala Sub Suku Waoha pada suku besar Yerisiam Gua pada siaran pers tersebut mengatakan, salah satu penyebab utama dari permasalahan ini berpangkal dari izin yang diberikan kepada PT.NB tumpang tindih dengan izin HPH Jati Dharma Indah yang masih berlaku hingga 2017. Jika merujuk pada prosedur perijinan, maka izin yang dipegang PT NB, perlu dipertanyakan kesahihannya.
Tokoh penting di Yerisiam itu juga mengatakan, PT NB nampaknya memilih untuk memotong jalan terkait pengurusan syarat-syarat penting perizinan dan tentu ada bekingan birokrasi. Misalnya, perusahaan ini mengabaikan pentingnya proses negosiasi dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan ketidakjelasan perusahan dalam proses penyusunan dan penilaian AMDAL.
Robertino Hanebora, selaku sekertaris Suku ini mengatakan, pada tahun 2011, PT NB yang berkonsorsium kedalam CNOC dan pemilik IPK ( Izin pemanfaatan kayu ) PT.Sariwana unggul mandiri membabat hutan tanpa tedeng aling-aling disekitar perkampungan Sima dan Wami di Distrik Yaur.
Tino bilang, pada tahun 2013, Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BPSDALH) propinsi Papua mengambil tindakan, PT NB dilarang untuk melanjutkan operasinya sebelum mengantungi AMDAL.
Daniel Yarawobi selaku kepala Suku Besar yang mewadahi 4 sub suku orang Yerisiam (Waoha, Sarakwari, Koroba dan Akaba), menegaskan bahwa, kenyataan yang terjadi adalah, PT NB masih juga beroperasi sampai saat ini, walaupun sudah menyalahi aturan. Inikah birokrasi pemerintah Indonesia yang lebih cenderung melindungi dan memelihara sebuah investasi yang sudah jelas-jelas menyalahi aturan ketimbang masyarakat korban yang terus berupaya berjuang mengembalikan hak adat mereka malah ditindas, diteror dan diabaikan oleh negara.
Baca juga: Menelisik Akar Konflik SDA di Tanah Yerisiam Goa
Melihat polemik pengabaian yang dilakukan terus menerus oleh investasi perkebunan PT.Nabire Baru terhadap masyarakat suku besar Yerisiam Gua akan hak atas tanahnya, maka oleh sebab itu, melalui siaran pers yang diterima PUSAKA (Jumat 21 Agustus 2015), termuat permintaan sebagai berikut:
- Meminta Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, untuk segera meninjau ulang keberadaan Aktivis PT.Nabire Baru di atas tanah ulayatnya, karena sarat akan sejumlah pelanggaran aturan dan terjadi pengabaian hak masyarakat adat terutama menyangkut tanah.
- Meminta Kemenhut untuk mengeluarkan moratorium kepada aktivitas pekerjaan PT.Nabire Baru sehingga ada segera terjadi proses pertanggung jawaban atas kerugian masyarakat pemilik.
- Apabila dalam proses investigasi ada terjadi proses pelanggaran aturan dan pengabaian hak maka, kami meminta Kemenhut untuk mencabut izin PT.Nabire Baru
Arkilaus Baho
Berkomentar
Paska kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) menerbitkan peraturan Nomor 32 Tahun 2015 tentang hutan hak, mendapat respon dari kalangan masyarakat adat korban investasi perkebunan sawit di Tanah Papua. Salah satunya suku besar Yerisiam Gua di Kabupaten Nabre Provinsi Papua.
Baca juga: Kementerian LHK Menerbitkan Peraturan Yang Mengakui Kawasan Hutan Adat Sebagai Hutan Hak
Kisah PT.NABIRE BARU (PT.NB) bagi pemilik hak ulayat adalah kisah soal kekacauan dalam proses perizinan perkebunan kelapa sawit yang bercampur baur dengan beragam kepentingan, hak masyarakat adat diabaikan, para pekerja terlantar atau terintimidasi dan hutan habis di gundul, tanpa ada satupun solusi nyata yang bisah ditawarkan.
Baca juga: Riwayat Konsensi Perusahaan di Wilayah Adat Yerisiam Tanah Papua
Imanuel Money, Kepala Sub Suku Waoha pada suku besar Yerisiam Gua pada siaran pers tersebut mengatakan, salah satu penyebab utama dari permasalahan ini berpangkal dari izin yang diberikan kepada PT.NB tumpang tindih dengan izin HPH Jati Dharma Indah yang masih berlaku hingga 2017. Jika merujuk pada prosedur perijinan, maka izin yang dipegang PT NB, perlu dipertanyakan kesahihannya.
Tokoh penting di Yerisiam itu juga mengatakan, PT NB nampaknya memilih untuk memotong jalan terkait pengurusan syarat-syarat penting perizinan dan tentu ada bekingan birokrasi. Misalnya, perusahaan ini mengabaikan pentingnya proses negosiasi dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan ketidakjelasan perusahan dalam proses penyusunan dan penilaian AMDAL.
Robertino Hanebora, selaku sekertaris Suku ini mengatakan, pada tahun 2011, PT NB yang berkonsorsium kedalam CNOC dan pemilik IPK ( Izin pemanfaatan kayu ) PT.Sariwana unggul mandiri membabat hutan tanpa tedeng aling-aling disekitar perkampungan Sima dan Wami di Distrik Yaur.
Tino bilang, pada tahun 2013, Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (BPSDALH) propinsi Papua mengambil tindakan, PT NB dilarang untuk melanjutkan operasinya sebelum mengantungi AMDAL.
Daniel Yarawobi selaku kepala Suku Besar yang mewadahi 4 sub suku orang Yerisiam (Waoha, Sarakwari, Koroba dan Akaba), menegaskan bahwa, kenyataan yang terjadi adalah, PT NB masih juga beroperasi sampai saat ini, walaupun sudah menyalahi aturan. Inikah birokrasi pemerintah Indonesia yang lebih cenderung melindungi dan memelihara sebuah investasi yang sudah jelas-jelas menyalahi aturan ketimbang masyarakat korban yang terus berupaya berjuang mengembalikan hak adat mereka malah ditindas, diteror dan diabaikan oleh negara.
Baca juga: Menelisik Akar Konflik SDA di Tanah Yerisiam Goa
Melihat polemik pengabaian yang dilakukan terus menerus oleh investasi perkebunan PT.Nabire Baru terhadap masyarakat suku besar Yerisiam Gua akan hak atas tanahnya, maka oleh sebab itu, melalui siaran pers yang diterima PUSAKA (Jumat 21 Agustus 2015), termuat permintaan sebagai berikut:
- Meminta Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, untuk segera meninjau ulang keberadaan Aktivis PT.Nabire Baru di atas tanah ulayatnya, karena sarat akan sejumlah pelanggaran aturan dan terjadi pengabaian hak masyarakat adat terutama menyangkut tanah.
- Meminta Kemenhut untuk mengeluarkan moratorium kepada aktivitas pekerjaan PT.Nabire Baru sehingga ada segera terjadi proses pertanggung jawaban atas kerugian masyarakat pemilik.
- Apabila dalam proses investigasi ada terjadi proses pelanggaran aturan dan pengabaian hak maka, kami meminta Kemenhut untuk mencabut izin PT.Nabire Baru
Arkilaus Baho