Presiden Joko Widodo dalam pidatonya dihadapan para Kepala Negara pada COP 21, Perancis, (30 November 2015), menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 % dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 % dengan bantuan internasional. Salah satu langkah kebijakan untuk penurunan emisi tersebut adalah melakukan penataan pengelolaan hutan dan lahan melalui penetapan moratorium dan review ijin, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari.
Tidak ada yang baru dan luar biasa dari komitmen penurunan emisi melalui penataan pengelolaan hutan dan lahan ini. Presiden Jokowi hanya mengulang dan melanjutkan komitmen pemerintah sebelumnya dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015, isinya hanya copy paste dari Inpres Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer yang kadaluarsa. Padahal Inpres Nomor 6 Tahun 2013, masih banyak kelemahan dan penuh kritikan, seperti ketentuan pengecualian, cakupan objek moratorium pada hutan alam saja, perubahan dan konversi hutan masih terjadi, hak-hak masyarakat dikawasan hutan masih diabaikan dan konflik-konflik di kawasan hutan masih tidak terurus.
Setahun lebih pemerintahan Jokowi, belum terlihat usaha penataan pengelolaan hutan dan lahan, maupun review ijin-ijin pemanfaatan sumber daya alam dan lahan yang dianggap melanggar undang-undang, cacat hukum dan merugikan hak hidup masyarakat. Permasalahan transparansi, partisipasi rakyat dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam, masih belum tertata secara baik dan berarti. Buruknya tata kelola ditandai dengan meningkatnya kriminalisasi terhadap rakyat, lemahnya penegakan hukum, meluasnya pembukaan dan pengrusakan hutan. Kasus Kriminalisasi Obet Korie dan Odi Aitago di Sorong Selatan, Papua Barat, menunjukkan buruknya tata kelola hutan dan lahan mengakibatkan konflik dan kriminalisasi rakyat pemilik hak ulayat.
Komitmen dan keseriusan pemerintahan Jokowi untuk penataan pengelolaan sumber daya alam maupun pengurusan perbaikan kehidupan rakyat patut dipertanyakan. Apalagi Presiden Jokowi melalui Paket-paket Kebijakan Ekonomi mengeluarkan kebijakan yang sangat pro dan mengutamakan kepentingan investasi, ‘hambatan-hambatan’ pengaturan yang merintangi kebebasan investasi dipangkas, proses perizinan disederhanakan dan memudahkan pemodal untuk mengekstraksi sumber daya alam dan perolehan lahan, penurunan pajak dan jaminan ketersediaan infrastruktur, perluasan dan privatisasi penguasaan dan pemanfaatan lahan berbasis pada pemodal semakin banyak dalam skala luas. Hal ini juga menjadi penanda kuatnya pengaruh kekuatan modal dalam pemerintahan Jokowi dan sekaligus abai terhadap kepentingan rakyat luas dan keberlanjutan daya dukung lingkungan.
Pembukaan Hutan Alam Baru di Papua
Di Papua, kawasan hutan di daerah-daerah pedalaman yang kaya akan sumber daya alam kini menjadi sasaran investasi dan atas nama percepatan pembangunan. Pemerintah, investor dan organisasi dunia usaha, seperti: KADIN, GAPKI, APHI, memproduksi informasi pengetahuan dengan imajinasi miring tentang kondisi daerah pedalaman, misalnya penduduk terbelakang, primitif, miskin, daerah terisolir, sumber daya alam tidak produktif, terjadi pemanfaatan sumber daya alam yang tidak beraturan (ilegal) dan sebagainya. Masyarakat setempat disalahkan dan bahkan di kriminalisasi dengan dalil melakukan pembalakan kayu ilegal, tanpa izin dan merusak hutan. Meskipun semua orang tahu, aktifitas tersebut dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum dan pemodal dari kota.
Pemerintah dan organisasi dunia usaha menawarkan solusi dan deregulasi baru untuk menjadikan daerah tersebut lebih teratur “legal” dengan memberikan izin kepada perusahaan penanam modal untuk bisnis pembalakan kayu, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit dan sebagainya. Pemerintah membuka akses dan program percepatan pembangunan infrastruktur, sarana telekomunikasi, mencanangkan program transmigrasi perpindahan penduduk dari luar Papua, yang belum tentu bertujuan mengusahakan lahan transmigrasi, melainkan untuk menyediakan tenaga kerja bagi korporasi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Pada gilirannya, kebijakan pengaturan baru didaerah pedalaman tersebut untuk kepentingan korporasi mengakumulasikan modal dengan cara mudah dan murah.
Tahun 2014 lalu, Kementerian Kehutanan (sudah diganti menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) menerbitkan Surat Keputusan untuk pelepasan kawasan hutan produksi konversi kepada 13 perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah pedalaman Papua, yakni: (1) PT. Berkat Cipta Abadi, seluas 14.434 hektar, (2) PT. Duta Visi Global, seluas 33.975 ha, (3) PT. Tunas Sawaerma, seluas 19.001 hektar, (4) PT. Wahana Agri Karya , seluas 24.728, keempat perusahaan ini berada di Kabupaten Boven Digoel; (5) PT. Daya Indah Nusantara, di Sarmi, seluas 10.576 ha, (6) PT. Permata Nusa Mandiri di Jayapura, seluas 16.182,48 ha, (7) PT. Wira Antara di Jayapura, seluas 20.264 ha, (8) PT. Tunas Agung Sejahtera di Mimika, seluas 39.500 ha, (9) PT. Bintuni Agro Prima Perkasa di Tambraw, seluas 19.369 ha, (10) PT. Inti Kebun Sawit di Sorong, seluas 13.385 ha, (11) PT. Pusaka Agro Makmur di Maybrat, seluas 24.897 ha, (12) PT. Rimbun Sawit Papua di Fakfak, seluas 10.102 ha, (13) PT. Subur Karunia Raya di Teluk Bintuni, seluas 38.770 ha. Total luas hutan yang baru dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 seluas 285.183,48 hektar, kebanyakan hutan yang dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit berada diperbatasan pedalaman Papua.
Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit bertambah disaat pemerintah berkomitmen untuk melakukan penundaan pemberian izin baru hutan alam. Dalam dokumen review pemberian izin pelepasan kawasan hutan konversi dibolehkan jika kawasan hutan dimaksud berada dalam kawasan hutan sekunder. Penentuan hutan sekunder dan hutan alam ditentukan oleh tenaga teknis instansi berwenang berdasarkan kriteria tertentu. Lemahnya kontrol atas proses teknis dan lapangan, serta informasi yang terbatas, membuat penentuan dan kriteria hanya sepihak dan dipastikan meloloskan ‘memudahkan’ kepentingan investasi yang dikendalikan pemodal besar dan group perusahaan.
Teridentifikasi, para pemodal dan group perusahaan besar memiliki ke 13 perusahaan tersebut, antara lain: Korindo Group, perusahaan modal asing asal Korea, Pusaka Agro Sejahtera Group, Kayu Lapis Indonesia Group, Salim Group dan Musim Mas. Diketahui pula, ada dua perusahaan, PT. Duta Visi Global dan PT. Wahana Agri Karya, diperkirakan masih mempunyai hubungan dengan AM. Hendropriyono, mantan Kepala BIN, karena mempunyai alamat yang sama dengan perusahaan PT. Adiperkasa Citra Lestari milik AM Hendropriyono. Bisnis perkebunan kelapa sawit cukup dekat dengan salah satu anggota keluarga AM Hendopriyono, yaitu Rony Narpatisuta Hendropriyono, yang memiliki saham dari perusahaan perkebunan kelapa sawit Cipta Cakra Murdaya (CCM) Group, yang mana tiga anak perusahaan CCM tersebut berada di Merauke, Papua, yakni: PT. Central Cipta Murdaya, PT. Hardaya Sawit Papua dan PT. Hardaya Sugar Papua.
Pada awal November 2015, ditemukan perusahaan PT. Subur Karunia Raya, sudah mulai membuka kawasan hutan dan melakukan pembibitan kelapa sawit disalah satu tempat di Distrik Meyado, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Penduduk asli setempat, Suku Maskona, pemilik lahan dan hutan didaerah ini, pernah melakukan protes terhadap perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi secara legal dan ilegal di daerah ini pada April 2015, karena aktifitas pembalakan kayu telah menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan setempat, serta masyarakat tidak menerima manfaat berarti. Namun tidak ada tindakan dan kebijakan berarti terhadap suara masyarakat. Pemerintah justeru mengeluarkan izin kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit dan aktifitas pembalakan kayu terus berlangsung. Perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi didaerah ini, yakni: PT. Rimbakayu Arthamas, PT. Yotefa Sarana Timber (anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia), PT. Papua Satya Kencana, anak perusahaan Artha Graha, milik Tommy Winata.
Perusahaan PT. Subur Karunia Raya, diperkirakan masih berhubungan dengan pemodal besar Salim Group dan berhubungan dengan Indofood Agri. Salim Group juga melalui anak perusahaan PT. Sawit Timur Nusantara memegang 50 % perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Rimbun Sawit Papua di Fak-fak, Papua Barat. Perusahaan Salim Group juga sedang memohonkan pelepasan kawasan hutan konversi untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Teluk Wondama melalui anak perusahaan PT. Menara Wasior. Perusahaan Indofood Agri mengumumkan misinya untuk bertanggung jawab dalam segala aspek pengelolaan usahanya, termasuk praktik yang sehat dan berkelanjutan dalam menjaga lingkungan hidup dan sosial. Namun faktanya tidak demikian.
Ank, Des 2015
Berkomentar
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya dihadapan para Kepala Negara pada COP 21, Perancis, (30 November 2015), menyampaikan komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29 % dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 % dengan bantuan internasional. Salah satu langkah kebijakan untuk penurunan emisi tersebut adalah melakukan penataan pengelolaan hutan dan lahan melalui penetapan moratorium dan review ijin, pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari.
Tidak ada yang baru dan luar biasa dari komitmen penurunan emisi melalui penataan pengelolaan hutan dan lahan ini. Presiden Jokowi hanya mengulang dan melanjutkan komitmen pemerintah sebelumnya dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada Mei 2015 lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2015, isinya hanya copy paste dari Inpres Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer yang kadaluarsa. Padahal Inpres Nomor 6 Tahun 2013, masih banyak kelemahan dan penuh kritikan, seperti ketentuan pengecualian, cakupan objek moratorium pada hutan alam saja, perubahan dan konversi hutan masih terjadi, hak-hak masyarakat dikawasan hutan masih diabaikan dan konflik-konflik di kawasan hutan masih tidak terurus.
Setahun lebih pemerintahan Jokowi, belum terlihat usaha penataan pengelolaan hutan dan lahan, maupun review ijin-ijin pemanfaatan sumber daya alam dan lahan yang dianggap melanggar undang-undang, cacat hukum dan merugikan hak hidup masyarakat. Permasalahan transparansi, partisipasi rakyat dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam, masih belum tertata secara baik dan berarti. Buruknya tata kelola ditandai dengan meningkatnya kriminalisasi terhadap rakyat, lemahnya penegakan hukum, meluasnya pembukaan dan pengrusakan hutan. Kasus Kriminalisasi Obet Korie dan Odi Aitago di Sorong Selatan, Papua Barat, menunjukkan buruknya tata kelola hutan dan lahan mengakibatkan konflik dan kriminalisasi rakyat pemilik hak ulayat.
Komitmen dan keseriusan pemerintahan Jokowi untuk penataan pengelolaan sumber daya alam maupun pengurusan perbaikan kehidupan rakyat patut dipertanyakan. Apalagi Presiden Jokowi melalui Paket-paket Kebijakan Ekonomi mengeluarkan kebijakan yang sangat pro dan mengutamakan kepentingan investasi, ‘hambatan-hambatan’ pengaturan yang merintangi kebebasan investasi dipangkas, proses perizinan disederhanakan dan memudahkan pemodal untuk mengekstraksi sumber daya alam dan perolehan lahan, penurunan pajak dan jaminan ketersediaan infrastruktur, perluasan dan privatisasi penguasaan dan pemanfaatan lahan berbasis pada pemodal semakin banyak dalam skala luas. Hal ini juga menjadi penanda kuatnya pengaruh kekuatan modal dalam pemerintahan Jokowi dan sekaligus abai terhadap kepentingan rakyat luas dan keberlanjutan daya dukung lingkungan.
Pembukaan Hutan Alam Baru di Papua
Di Papua, kawasan hutan di daerah-daerah pedalaman yang kaya akan sumber daya alam kini menjadi sasaran investasi dan atas nama percepatan pembangunan. Pemerintah, investor dan organisasi dunia usaha, seperti: KADIN, GAPKI, APHI, memproduksi informasi pengetahuan dengan imajinasi miring tentang kondisi daerah pedalaman, misalnya penduduk terbelakang, primitif, miskin, daerah terisolir, sumber daya alam tidak produktif, terjadi pemanfaatan sumber daya alam yang tidak beraturan (ilegal) dan sebagainya. Masyarakat setempat disalahkan dan bahkan di kriminalisasi dengan dalil melakukan pembalakan kayu ilegal, tanpa izin dan merusak hutan. Meskipun semua orang tahu, aktifitas tersebut dibekingi oleh oknum aparat penegak hukum dan pemodal dari kota.
Pemerintah dan organisasi dunia usaha menawarkan solusi dan deregulasi baru untuk menjadikan daerah tersebut lebih teratur “legal” dengan memberikan izin kepada perusahaan penanam modal untuk bisnis pembalakan kayu, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit dan sebagainya. Pemerintah membuka akses dan program percepatan pembangunan infrastruktur, sarana telekomunikasi, mencanangkan program transmigrasi perpindahan penduduk dari luar Papua, yang belum tentu bertujuan mengusahakan lahan transmigrasi, melainkan untuk menyediakan tenaga kerja bagi korporasi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Pada gilirannya, kebijakan pengaturan baru didaerah pedalaman tersebut untuk kepentingan korporasi mengakumulasikan modal dengan cara mudah dan murah.
Tahun 2014 lalu, Kementerian Kehutanan (sudah diganti menjadi Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) menerbitkan Surat Keputusan untuk pelepasan kawasan hutan produksi konversi kepada 13 perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah pedalaman Papua, yakni: (1) PT. Berkat Cipta Abadi, seluas 14.434 hektar, (2) PT. Duta Visi Global, seluas 33.975 ha, (3) PT. Tunas Sawaerma, seluas 19.001 hektar, (4) PT. Wahana Agri Karya , seluas 24.728, keempat perusahaan ini berada di Kabupaten Boven Digoel; (5) PT. Daya Indah Nusantara, di Sarmi, seluas 10.576 ha, (6) PT. Permata Nusa Mandiri di Jayapura, seluas 16.182,48 ha, (7) PT. Wira Antara di Jayapura, seluas 20.264 ha, (8) PT. Tunas Agung Sejahtera di Mimika, seluas 39.500 ha, (9) PT. Bintuni Agro Prima Perkasa di Tambraw, seluas 19.369 ha, (10) PT. Inti Kebun Sawit di Sorong, seluas 13.385 ha, (11) PT. Pusaka Agro Makmur di Maybrat, seluas 24.897 ha, (12) PT. Rimbun Sawit Papua di Fakfak, seluas 10.102 ha, (13) PT. Subur Karunia Raya di Teluk Bintuni, seluas 38.770 ha. Total luas hutan yang baru dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 seluas 285.183,48 hektar, kebanyakan hutan yang dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit berada diperbatasan pedalaman Papua.
Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit bertambah disaat pemerintah berkomitmen untuk melakukan penundaan pemberian izin baru hutan alam. Dalam dokumen review pemberian izin pelepasan kawasan hutan konversi dibolehkan jika kawasan hutan dimaksud berada dalam kawasan hutan sekunder. Penentuan hutan sekunder dan hutan alam ditentukan oleh tenaga teknis instansi berwenang berdasarkan kriteria tertentu. Lemahnya kontrol atas proses teknis dan lapangan, serta informasi yang terbatas, membuat penentuan dan kriteria hanya sepihak dan dipastikan meloloskan ‘memudahkan’ kepentingan investasi yang dikendalikan pemodal besar dan group perusahaan.
Teridentifikasi, para pemodal dan group perusahaan besar memiliki ke 13 perusahaan tersebut, antara lain: Korindo Group, perusahaan modal asing asal Korea, Pusaka Agro Sejahtera Group, Kayu Lapis Indonesia Group, Salim Group dan Musim Mas. Diketahui pula, ada dua perusahaan, PT. Duta Visi Global dan PT. Wahana Agri Karya, diperkirakan masih mempunyai hubungan dengan AM. Hendropriyono, mantan Kepala BIN, karena mempunyai alamat yang sama dengan perusahaan PT. Adiperkasa Citra Lestari milik AM Hendropriyono. Bisnis perkebunan kelapa sawit cukup dekat dengan salah satu anggota keluarga AM Hendopriyono, yaitu Rony Narpatisuta Hendropriyono, yang memiliki saham dari perusahaan perkebunan kelapa sawit Cipta Cakra Murdaya (CCM) Group, yang mana tiga anak perusahaan CCM tersebut berada di Merauke, Papua, yakni: PT. Central Cipta Murdaya, PT. Hardaya Sawit Papua dan PT. Hardaya Sugar Papua.
Pada awal November 2015, ditemukan perusahaan PT. Subur Karunia Raya, sudah mulai membuka kawasan hutan dan melakukan pembibitan kelapa sawit disalah satu tempat di Distrik Meyado, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Penduduk asli setempat, Suku Maskona, pemilik lahan dan hutan didaerah ini, pernah melakukan protes terhadap perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi secara legal dan ilegal di daerah ini pada April 2015, karena aktifitas pembalakan kayu telah menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan setempat, serta masyarakat tidak menerima manfaat berarti. Namun tidak ada tindakan dan kebijakan berarti terhadap suara masyarakat. Pemerintah justeru mengeluarkan izin kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit dan aktifitas pembalakan kayu terus berlangsung. Perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi didaerah ini, yakni: PT. Rimbakayu Arthamas, PT. Yotefa Sarana Timber (anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia), PT. Papua Satya Kencana, anak perusahaan Artha Graha, milik Tommy Winata.
Perusahaan PT. Subur Karunia Raya, diperkirakan masih berhubungan dengan pemodal besar Salim Group dan berhubungan dengan Indofood Agri. Salim Group juga melalui anak perusahaan PT. Sawit Timur Nusantara memegang 50 % perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Rimbun Sawit Papua di Fak-fak, Papua Barat. Perusahaan Salim Group juga sedang memohonkan pelepasan kawasan hutan konversi untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Teluk Wondama melalui anak perusahaan PT. Menara Wasior. Perusahaan Indofood Agri mengumumkan misinya untuk bertanggung jawab dalam segala aspek pengelolaan usahanya, termasuk praktik yang sehat dan berkelanjutan dalam menjaga lingkungan hidup dan sosial. Namun faktanya tidak demikian.
Ank, Des 2015