PEMERINTAH GUGAT PERUSAHAAN PEMBAKAR LAHAN
RABU, 30 DESEMBER 2015 , 08:17:00 WIB
RMOL. Kebakaran yang menghanguskan 2,1 juta hektare hutan dan lahan pada 2015, harus disikapi serius oleh pemerintah. Selain memenuhi hak-hak masyarakat, pemerintah didesak menindak tegas pelaku dan korporasi yang melakukan pembakaran lahan. Salah satunya dengan memaksimalkan upaya hukum dan meminta ganti rugi dari korporasi tersebut.
Hal ini dinyatakan Kepala Deputi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati. Menurutnya, publik sering lupa dengan kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi selama dua dekade terakhir. Ingatan masyarakat mendadak hilang karena kabut asap berakhir begitu hujan turun.
“Kita terus mendorong pemerintah agar peristiwa kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang,” katanya.
Walhi, lanjut Hidayati, mendukung langkah pemerintah, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang saat ini sedang menggugat PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp 7,9 triliun di Pengadilan Negeri Palembang atas kebakaran lahan di wilayah konsesinya pada 2014.
Apalagi dalam dua tahun terakhir, Sumatera Selatan menjadi wilayah dengan titik api terbanyak di seluruh Indonesia. “Kita mengajak masyarakat sama-sama mengikuti apakah gugatan tersebut akan dipenuhi atau tidak, selama 2014 dan 2015 wilayah konsesi PT Bumi Mekar Hijau merupakan wilayah dengan titik api terbanyak di Sumatera Selatan,” sebutnya.
Hidayati berharap, pemerintah tidak hanya sekadar membekukan izin konsesi para perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Tapi juga mencabut izin dan meminta ganti rugi atas kerusakan alam dan bencana yang ditimbulkan oleh kabut asap. Dia mengungkapkan, tantangan utama dalam mengungkap kejahatan korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan adalah sikap perusahaan yang menyembunyikan peta wilayah konsesinya.
“Alasannya macam-macam, mulai dari rahasia perusahaan dan kepentingan bisnis, pemerintah juga kesulitan membuka data tersebut namun kami dari masyarakat sipil minta keterbukaan dari korporasi tersebut,” tandasnya.
Manager kampanye hutan dan perkebunan skala besar Walhi, Zenzi Suhadi mengatakan, korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan telah merampas sumber kehidupan rakyat dan hidup rakyat itu sendiri.
“Salah satu syarat untuk hidup itu kita butuh udara bersih, kebakaran hutan dan lahan yang disertai kabut asap telah merampas udara bersih yang menjadi kebutuhan manusia,” ujarnya.
Pihaknya mencatat, aku Zenzi, kebakaran hutan dan lahan menjadi semakin masif pasca dikeluarkannya PP 06 tahun 2007 juncto PP 03 tahun 2008 yang membolehkan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di kawasan hutan primer.
Sebelumnya, konsesi HTI hanya diperbolehkan di wilayah hutan kritis. “Pasca terbitnya regulasi tersebut, di Sumatera Selatan banyak terbit izin konsesi HTI, belum lagi ekspansi perkebunan sawit dengan cara membakar lahan,” katanya.
Tak hanya itu, di Sumatera Selatan 1,5 juta hektare lahan gambut juga diterbitkan izin konsesinya. Padahal jelas lahan gambut adalah kawasan kritis namun tetap diberikan ijin konsesi. “Celah regulasi dan penerbitan ijin yang permisif ditambah tidak seimbangnya kewenangan dan tanggung jawab penyelenggara negara, dimana bupati dan gubernur bisa beri ijin konsesi, berujung pada pembakaran hutan dan lahan,” sebutnya.
Sementara di saat sulitnya menjerat korporasi, juga tidak ada mekanisme untuk memberikan sanksi hukum kepada kepala daerah yang serampangan dalam mengeluarkan izin.
Walhi berharap, terang Zenzi, selain adanya perbaikan regulasi, pemerintah juga melakukan kontrol terhadap pemberian izin konsesi. Pihaknya juga menyayangkan buruknya skema penegak hukum terkait kasus kebakaran hiutan dan lahan. “Kepolisian kan ada sampai tingkat kecamatan, tapi kenapa penetapan tersangka kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh Mabes Polri,” kritiknya.
Selama ini, tambah Zenzi, jumlah keuntungan perusahaan tidak sebanding dengan konsekuensi hukum yang diterimanya jika mereka melakukan pembakaran lahan. Apalagi proses hukum mulai dari penyidikan dan peradilan masih toleran terhadap korporasi pembakar hutan. “Jika terus begini kami yakin pada 2016 nanti kebakaran hutan dan lahan akan semakin meningkat, bahkan akan terjadi di wilayah Indonesia bagian timur,” tandasnya.
Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengatakan, dalam enam bulan terakhir, tiga balita dan 60 ribu warga Sumatera Selatan terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat kebakaran hutan yang melanda 838 ribu hektare wilayah di provinsi tersebut.
“Perkebunan sawit dan karet sudah menyebar ke seluruh kabupaten di Sumatera Selatan, lahan gambut juga sudah dikuasai sawit dan HTI,” ujarnya.
Pihaknya mencatat, kebakaran hutan di Sumatera Selatan meningkat pasca tahun politik, seperti pada tahun 2010 pasca Pemilu 2009 dan tahun 2015 pasca Pemilu 2014. Selain itu, penegakan hukum juga terkesan tebang pilih. Akibatnya perusahaan yang melakukan pembakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya di tahun ini masih leluasa melakukan pembakaran.
“Penerbitan izin yang tanpa pertimbangan keberlanjutan lingkungan ditambah peran tanggung jawab dan kontrol pemerintah yang lemah menjadikan proses hukum sebagai harapan terakhir bagi rakyat yang menjadi korban kabut asap,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan optimis akan memenangkan gugatan atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang diduga membakar hutan dan lahan Sumatera Selatan pada 2014 lalu.
Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani, pengumpulan bukti di lapangan sangat kuat untuk menjerat BMH secara maksimal sesuai Undang-Undang.
KLHK menggugat PT Bumi Mekar Hijau sebesar Rp 7,9 triliun karena diduga menyumbang kebakaran lahan gambut 20 ribu hektar pada 2014. Kemudian tahun ini, kembali diduga menyumbang puluhan ribu hektar kebakaran lahan, sehingga izinnya dibekukan pemerintah. ***
http://www.rmol.co/read/2015/12/30/229920/Kejahatan-Korporasi-Pantas-Dihukum-Berat-
Berkomentar
PEMERINTAH GUGAT PERUSAHAAN PEMBAKAR LAHAN
RABU, 30 DESEMBER 2015 , 08:17:00 WIB
RMOL. Kebakaran yang menghanguskan 2,1 juta hektare hutan dan lahan pada 2015, harus disikapi serius oleh pemerintah. Selain memenuhi hak-hak masyarakat, pemerintah didesak menindak tegas pelaku dan korporasi yang melakukan pembakaran lahan. Salah satunya dengan memaksimalkan upaya hukum dan meminta ganti rugi dari korporasi tersebut.
Hal ini dinyatakan Kepala Deputi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Nur Hidayati. Menurutnya, publik sering lupa dengan kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi selama dua dekade terakhir. Ingatan masyarakat mendadak hilang karena kabut asap berakhir begitu hujan turun.
“Kita terus mendorong pemerintah agar peristiwa kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang,” katanya.
Walhi, lanjut Hidayati, mendukung langkah pemerintah, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang saat ini sedang menggugat PT Bumi Mekar Hijau senilai Rp 7,9 triliun di Pengadilan Negeri Palembang atas kebakaran lahan di wilayah konsesinya pada 2014.
Apalagi dalam dua tahun terakhir, Sumatera Selatan menjadi wilayah dengan titik api terbanyak di seluruh Indonesia. “Kita mengajak masyarakat sama-sama mengikuti apakah gugatan tersebut akan dipenuhi atau tidak, selama 2014 dan 2015 wilayah konsesi PT Bumi Mekar Hijau merupakan wilayah dengan titik api terbanyak di Sumatera Selatan,” sebutnya.
Hidayati berharap, pemerintah tidak hanya sekadar membekukan izin konsesi para perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan. Tapi juga mencabut izin dan meminta ganti rugi atas kerusakan alam dan bencana yang ditimbulkan oleh kabut asap. Dia mengungkapkan, tantangan utama dalam mengungkap kejahatan korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan adalah sikap perusahaan yang menyembunyikan peta wilayah konsesinya.
“Alasannya macam-macam, mulai dari rahasia perusahaan dan kepentingan bisnis, pemerintah juga kesulitan membuka data tersebut namun kami dari masyarakat sipil minta keterbukaan dari korporasi tersebut,” tandasnya.
Manager kampanye hutan dan perkebunan skala besar Walhi, Zenzi Suhadi mengatakan, korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan telah merampas sumber kehidupan rakyat dan hidup rakyat itu sendiri.
“Salah satu syarat untuk hidup itu kita butuh udara bersih, kebakaran hutan dan lahan yang disertai kabut asap telah merampas udara bersih yang menjadi kebutuhan manusia,” ujarnya.
Pihaknya mencatat, aku Zenzi, kebakaran hutan dan lahan menjadi semakin masif pasca dikeluarkannya PP 06 tahun 2007 juncto PP 03 tahun 2008 yang membolehkan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di kawasan hutan primer.
Sebelumnya, konsesi HTI hanya diperbolehkan di wilayah hutan kritis. “Pasca terbitnya regulasi tersebut, di Sumatera Selatan banyak terbit izin konsesi HTI, belum lagi ekspansi perkebunan sawit dengan cara membakar lahan,” katanya.
Tak hanya itu, di Sumatera Selatan 1,5 juta hektare lahan gambut juga diterbitkan izin konsesinya. Padahal jelas lahan gambut adalah kawasan kritis namun tetap diberikan ijin konsesi. “Celah regulasi dan penerbitan ijin yang permisif ditambah tidak seimbangnya kewenangan dan tanggung jawab penyelenggara negara, dimana bupati dan gubernur bisa beri ijin konsesi, berujung pada pembakaran hutan dan lahan,” sebutnya.
Sementara di saat sulitnya menjerat korporasi, juga tidak ada mekanisme untuk memberikan sanksi hukum kepada kepala daerah yang serampangan dalam mengeluarkan izin.
Walhi berharap, terang Zenzi, selain adanya perbaikan regulasi, pemerintah juga melakukan kontrol terhadap pemberian izin konsesi. Pihaknya juga menyayangkan buruknya skema penegak hukum terkait kasus kebakaran hiutan dan lahan. “Kepolisian kan ada sampai tingkat kecamatan, tapi kenapa penetapan tersangka kebakaran hutan dan lahan dilakukan oleh Mabes Polri,” kritiknya.
Selama ini, tambah Zenzi, jumlah keuntungan perusahaan tidak sebanding dengan konsekuensi hukum yang diterimanya jika mereka melakukan pembakaran lahan. Apalagi proses hukum mulai dari penyidikan dan peradilan masih toleran terhadap korporasi pembakar hutan. “Jika terus begini kami yakin pada 2016 nanti kebakaran hutan dan lahan akan semakin meningkat, bahkan akan terjadi di wilayah Indonesia bagian timur,” tandasnya.
Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengatakan, dalam enam bulan terakhir, tiga balita dan 60 ribu warga Sumatera Selatan terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat kebakaran hutan yang melanda 838 ribu hektare wilayah di provinsi tersebut.
“Perkebunan sawit dan karet sudah menyebar ke seluruh kabupaten di Sumatera Selatan, lahan gambut juga sudah dikuasai sawit dan HTI,” ujarnya.
Pihaknya mencatat, kebakaran hutan di Sumatera Selatan meningkat pasca tahun politik, seperti pada tahun 2010 pasca Pemilu 2009 dan tahun 2015 pasca Pemilu 2014. Selain itu, penegakan hukum juga terkesan tebang pilih. Akibatnya perusahaan yang melakukan pembakaran hutan pada tahun-tahun sebelumnya di tahun ini masih leluasa melakukan pembakaran.
“Penerbitan izin yang tanpa pertimbangan keberlanjutan lingkungan ditambah peran tanggung jawab dan kontrol pemerintah yang lemah menjadikan proses hukum sebagai harapan terakhir bagi rakyat yang menjadi korban kabut asap,” pungkasnya.
Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan optimis akan memenangkan gugatan atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang diduga membakar hutan dan lahan Sumatera Selatan pada 2014 lalu.
Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani, pengumpulan bukti di lapangan sangat kuat untuk menjerat BMH secara maksimal sesuai Undang-Undang.
KLHK menggugat PT Bumi Mekar Hijau sebesar Rp 7,9 triliun karena diduga menyumbang kebakaran lahan gambut 20 ribu hektar pada 2014. Kemudian tahun ini, kembali diduga menyumbang puluhan ribu hektar kebakaran lahan, sehingga izinnya dibekukan pemerintah. ***
http://www.rmol.co/read/2015/12/30/229920/Kejahatan-Korporasi-Pantas-Dihukum-Berat-