Dirman, seorang pemuda Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang baru saja pulang kampung dari kerjanya melimbang emas di kawasan hulu sungai Kapuas hanya bisa menopang dagu. Akibat larangan membakar lahan, beberapa bulan lalu ia tidak berladang. Bersama pemuda lainnya ia memilih kerja menambang emas. Selama beberapa hari di kampung ia habiskan waktu sekedar memandangi jatuhnya hujan pada sungai yang mengalir lamban. Seharusnya, jika ia berladang, pada bulan desember ini adalah moment indah, sejak pagi buta ia sudah berada di ladang untuk menyiangi rumput. Ia senang seharian berada di pondok ladang, menyaksikan liukan batang padi menari tertiup angin desember.
“Kampung menjadi sepi”. Ujarnya.
Sebab dari 625 KK penduduk desanya, sekitar 30 persen memilih kerja di luar kampung, karena di kampung tak ada penghasilan. Dari lahan pertanian Mantangai Hulu seluas 1.250 ha kini yang dikelola untuk padi gunung hanya sekitar 100 ha saja, akibatnya banyak lahan yang terbengkalai penuh semak belukar.
Menurut Dirman, tidak terkelolanya lahan tak lepas dari kebijakan pelarangan pembukaan lahan dengan cara membakar yang tertuang dalam Inpres No 11 tahun 2015. Kebijakan tersebut prakteknya telah mendiskreditkan petani, yang memposisikan mereka sebagai pelaku tunggal penyebab kebakaran hutan dan lahan. Efeknya, petani takut membuka lahan. Sebagian dari mereka pun telah beralih profesi menjadi buruh sawit, buruh tambang dan kerja serabutan lainnya.
“Jika lahan terbengkalai, sangat rentan berpindah tangan dan beralih fungsi”. Dirman mulai khawatir.
Lalu benarkah petani enggan mengelola lahan tanpa bakar karena malas ? dan benarkah pemerintah dengan kebijakan yang diterapkannya sudah menemukan solusi ?
Ini bukan perkara malas atau bukan, Siwu, warga Desa Pulau Kaladan menjelaskan. Sejauh ini, solusi yang di tawarkan pemerintah belum menyentuh persoalan sesungguhnya.
“Jika kami dipaksa meninggalkan pola lahan bakar terkendali, selain menurunnya tingkat ekonomi warga, kami pun akan kehilangan budaya handep dalam kegiatan manugal “. Kata Siwu, yang kesehariannya menjabat Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Kaladan sekaligus kepala handil yang mengatur pengelolaan lahan di Saka Suru.
Menurutnya, manugal hanya bisa dilakukan di lahan kering yang cocok untuk perladangan. Menjelang pembukaan lahan pada bulan juni hingga juli, secara serempak warga melakukan pembersihan di sekeliling hamparan calon ladang. Kegiatan pembersihan lahan dari kayu-kayuan ataupun rerumputan selebar 4 meter yang di sebut sekat bakar bertujuan untuk membatasi api supaya tidak menjalar ke tempat lain. Kemudian calon ladang yang sebelumnya sudah di tebas dibiarkan waktu hingga tumbuh tunas kayu kecil .
“Musim itulah yang menyatukan kita. Itu seperti hari besar, karena seluruh warga yang berada di luar pasti datang ke kampung untuk mmebuka lahan”.
Lokasi ladang berada dalam satu hamparan lahan dikerjakan secara gotong royong atau disebut handep. Seminggu sebelum melakukan pembakaran, dilakukan pertemuan warga atau kelompok untuk menyepakati waktu pembakaran. Kemudian, ketika sudah sepakat mengenai waktu, pelaksanaan pembakaran dilakukan serentak yang di pimpin oleh seorang pawang api. Kemudian, sebelum pembakaran selesai, warga tidak diperbolehkan meninggalkan lokasi sebelum api dipastikan padam. setiap warga memeriksa titik api dengan cara berkeliling ladang, setelah tak terlihat asap atau titik api, warga baru meninggalkan ladang.
“ Jika pola tersebut dijalankan dan di awasi dengan benar, saya yakin tidak akan menimbulkan kebakaran hutan dan lahan, dari dulu juga tidak”. Pungkas Siwu.
Setelah pemerintah mengeluarkan peraturan pelarangan membuka lahan dengan cara membakar, banyak warga tidak berladang. Jikapun ada yang berladang tanpa bakar, mereka melakukannya sendiri dengan mengguakan traktor.
Hal tersebut diakui oleh Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Kapuas, Putra Ardana, bahwa solusi pengelolaan lahan tanpa bakar oleh pemerintah salah satunya dengan mekanisasi dan pola intensifikasi pertanian belum di rasakan manfatnya oleh seluruh petani.
“Tidak semua tipe lahan bisa di mekanisasi dan menggunakan saprodi. Namun baru itu hal yang bisa dilakukan pemerintah”. Paparnya dalam pertemuan komunitas di Aula Kecamatan Mantangai, Sabtu 3 desember lalu.
Ia mengambil contoh, bahwa mekanisasi pertanian dengan penggunaan traktor kurang efektif jika di terapkan di lahan kering untuk perladangan karena masih banyak bekas tebangan kayu. Alat tersebut bisa efektif di lahan pesawahan, tentunya solusi yang ada sekarang ini masih memberatkan petani ladang yang terbiasa dengan pola bakar
Adanya kebijakan larangan pembukaan lahan dengan pola bakar berdampak signifikan terhadap penurunnan produksi pangan di kapuas, meskipun sejauh ini ketersediaannya masih cukup, bahkan kondisinya tetap surplus, tapi ada penurunan. Dijelaskan bahwa stock pangan tersedia dari mekanisasi pertanian lahan sawah yang terletak di Kecamatan Selat, kecamatan Tamban, Kecamatan Bataguh, Basarang dan sekitarnya. Menurutnya, petunjuk teknis bagi pencapaian program pertanian selalu mengarah kepada mekanisasi yang sudah berjalan di wilayay tersebut. Sehingga ia pun mengakui jika pertanian subsisten seperti perladangan kurang mendapatkan dukungan. Selain itu, perluasan lahan pertanian selama ini terkendala dengan status kawasan. Utamanya jika lahan tersebut berada di kawasan kehutanan atau moratorium gambut.
“ Kapuas mengusulkan 3.600 ha percetakan sawah baru, namun hanya di izinkan seluas 916 ha, karena lokasi harus berada di kawasan clear and clean serta tidak berada di kawasan hutan atau moratorium gambut”.
Camat Mantangai Yan Marto dalam kesempatan sama memberi tanggapan, solusi yang di tawarkan pemerintah bagi pengelolaan lahan tanpa bakar tentu sangat beresiko timbulnya ketergantungan petani terhadap bibit hybrid, obat pestisida dan pupuk urea. Padahal, selama ini masyarakat Dayak Kalteng bertani dengan pola organis. Ia berharap, program-proram pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian bisa mendukung pertanian subsisten yang bertani bukan untuk bisnis semata.
“Saya berharap prorgam pemerintah mampu melindungi petani yang berladang, selama ini mereka tidak ada yang mendukung”. Ungkap camat.
Program mekanisasi dan intensifikasi pertanian yang di dengungkan sebagai solusi pengolahan lahan tanpa bakar mengingatkan proyek revoluasi hijau di era orde baru. Proyek tersebut telah menghilangkan ribuan benih padi lokal yang adaptif, menciptakan ketergantungan petani kepada obat kimia dan pupuk urea, yang telah menyebabkan harga jual tak sebanding dengan ongkos produksi. Dan yang utama, telah menghilangkan budaya lokal dalam bertani.
Karenanya bagi petani Kapuas, desember tahun ini dilalui dengan cemas. Hujan seharusnya menumbuhkan batang-batang padi di hamparan ladang-ladang warga Dayak Ngaju bantaran DAS Kapuas, kali ini seperti tercurah begitu saja. Tak terlihat lagi hamparan padi menghijau di ladang-ladang. Bahkan sebagian besar hamparan di biarkan terlantar penuh dengan rerumputan. Tidak menutup kemungkinan lahan-lahan pertanian yang tidak terkelola tersebut kelak beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Yang akan memperluas ketimpangkan penguasaan lahan antara rakyat pemilik tanah dengan pemodal.
(A.P) Kapuas, 5 Desember 2016
Berkomentar
Dirman, seorang pemuda Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yang baru saja pulang kampung dari kerjanya melimbang emas di kawasan hulu sungai Kapuas hanya bisa menopang dagu. Akibat larangan membakar lahan, beberapa bulan lalu ia tidak berladang. Bersama pemuda lainnya ia memilih kerja menambang emas. Selama beberapa hari di kampung ia habiskan waktu sekedar memandangi jatuhnya hujan pada sungai yang mengalir lamban. Seharusnya, jika ia berladang, pada bulan desember ini adalah moment indah, sejak pagi buta ia sudah berada di ladang untuk menyiangi rumput. Ia senang seharian berada di pondok ladang, menyaksikan liukan batang padi menari tertiup angin desember.
“Kampung menjadi sepi”. Ujarnya.
Sebab dari 625 KK penduduk desanya, sekitar 30 persen memilih kerja di luar kampung, karena di kampung tak ada penghasilan. Dari lahan pertanian Mantangai Hulu seluas 1.250 ha kini yang dikelola untuk padi gunung hanya sekitar 100 ha saja, akibatnya banyak lahan yang terbengkalai penuh semak belukar.
Menurut Dirman, tidak terkelolanya lahan tak lepas dari kebijakan pelarangan pembukaan lahan dengan cara membakar yang tertuang dalam Inpres No 11 tahun 2015. Kebijakan tersebut prakteknya telah mendiskreditkan petani, yang memposisikan mereka sebagai pelaku tunggal penyebab kebakaran hutan dan lahan. Efeknya, petani takut membuka lahan. Sebagian dari mereka pun telah beralih profesi menjadi buruh sawit, buruh tambang dan kerja serabutan lainnya.
“Jika lahan terbengkalai, sangat rentan berpindah tangan dan beralih fungsi”. Dirman mulai khawatir.
Lalu benarkah petani enggan mengelola lahan tanpa bakar karena malas ? dan benarkah pemerintah dengan kebijakan yang diterapkannya sudah menemukan solusi ?
Ini bukan perkara malas atau bukan, Siwu, warga Desa Pulau Kaladan menjelaskan. Sejauh ini, solusi yang di tawarkan pemerintah belum menyentuh persoalan sesungguhnya.
“Jika kami dipaksa meninggalkan pola lahan bakar terkendali, selain menurunnya tingkat ekonomi warga, kami pun akan kehilangan budaya handep dalam kegiatan manugal “. Kata Siwu, yang kesehariannya menjabat Lembaga Pengelola Hutan Adat (LPHA) Kaladan sekaligus kepala handil yang mengatur pengelolaan lahan di Saka Suru.
Menurutnya, manugal hanya bisa dilakukan di lahan kering yang cocok untuk perladangan. Menjelang pembukaan lahan pada bulan juni hingga juli, secara serempak warga melakukan pembersihan di sekeliling hamparan calon ladang. Kegiatan pembersihan lahan dari kayu-kayuan ataupun rerumputan selebar 4 meter yang di sebut sekat bakar bertujuan untuk membatasi api supaya tidak menjalar ke tempat lain. Kemudian calon ladang yang sebelumnya sudah di tebas dibiarkan waktu hingga tumbuh tunas kayu kecil .
“Musim itulah yang menyatukan kita. Itu seperti hari besar, karena seluruh warga yang berada di luar pasti datang ke kampung untuk mmebuka lahan”.
Lokasi ladang berada dalam satu hamparan lahan dikerjakan secara gotong royong atau disebut handep. Seminggu sebelum melakukan pembakaran, dilakukan pertemuan warga atau kelompok untuk menyepakati waktu pembakaran. Kemudian, ketika sudah sepakat mengenai waktu, pelaksanaan pembakaran dilakukan serentak yang di pimpin oleh seorang pawang api. Kemudian, sebelum pembakaran selesai, warga tidak diperbolehkan meninggalkan lokasi sebelum api dipastikan padam. setiap warga memeriksa titik api dengan cara berkeliling ladang, setelah tak terlihat asap atau titik api, warga baru meninggalkan ladang.
“ Jika pola tersebut dijalankan dan di awasi dengan benar, saya yakin tidak akan menimbulkan kebakaran hutan dan lahan, dari dulu juga tidak”. Pungkas Siwu.
Setelah pemerintah mengeluarkan peraturan pelarangan membuka lahan dengan cara membakar, banyak warga tidak berladang. Jikapun ada yang berladang tanpa bakar, mereka melakukannya sendiri dengan mengguakan traktor.
Hal tersebut diakui oleh Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Kapuas, Putra Ardana, bahwa solusi pengelolaan lahan tanpa bakar oleh pemerintah salah satunya dengan mekanisasi dan pola intensifikasi pertanian belum di rasakan manfatnya oleh seluruh petani.
“Tidak semua tipe lahan bisa di mekanisasi dan menggunakan saprodi. Namun baru itu hal yang bisa dilakukan pemerintah”. Paparnya dalam pertemuan komunitas di Aula Kecamatan Mantangai, Sabtu 3 desember lalu.
Ia mengambil contoh, bahwa mekanisasi pertanian dengan penggunaan traktor kurang efektif jika di terapkan di lahan kering untuk perladangan karena masih banyak bekas tebangan kayu. Alat tersebut bisa efektif di lahan pesawahan, tentunya solusi yang ada sekarang ini masih memberatkan petani ladang yang terbiasa dengan pola bakar
Adanya kebijakan larangan pembukaan lahan dengan pola bakar berdampak signifikan terhadap penurunnan produksi pangan di kapuas, meskipun sejauh ini ketersediaannya masih cukup, bahkan kondisinya tetap surplus, tapi ada penurunan. Dijelaskan bahwa stock pangan tersedia dari mekanisasi pertanian lahan sawah yang terletak di Kecamatan Selat, kecamatan Tamban, Kecamatan Bataguh, Basarang dan sekitarnya. Menurutnya, petunjuk teknis bagi pencapaian program pertanian selalu mengarah kepada mekanisasi yang sudah berjalan di wilayay tersebut. Sehingga ia pun mengakui jika pertanian subsisten seperti perladangan kurang mendapatkan dukungan. Selain itu, perluasan lahan pertanian selama ini terkendala dengan status kawasan. Utamanya jika lahan tersebut berada di kawasan kehutanan atau moratorium gambut.
“ Kapuas mengusulkan 3.600 ha percetakan sawah baru, namun hanya di izinkan seluas 916 ha, karena lokasi harus berada di kawasan clear and clean serta tidak berada di kawasan hutan atau moratorium gambut”.
Camat Mantangai Yan Marto dalam kesempatan sama memberi tanggapan, solusi yang di tawarkan pemerintah bagi pengelolaan lahan tanpa bakar tentu sangat beresiko timbulnya ketergantungan petani terhadap bibit hybrid, obat pestisida dan pupuk urea. Padahal, selama ini masyarakat Dayak Kalteng bertani dengan pola organis. Ia berharap, program-proram pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian bisa mendukung pertanian subsisten yang bertani bukan untuk bisnis semata.
“Saya berharap prorgam pemerintah mampu melindungi petani yang berladang, selama ini mereka tidak ada yang mendukung”. Ungkap camat.
Program mekanisasi dan intensifikasi pertanian yang di dengungkan sebagai solusi pengolahan lahan tanpa bakar mengingatkan proyek revoluasi hijau di era orde baru. Proyek tersebut telah menghilangkan ribuan benih padi lokal yang adaptif, menciptakan ketergantungan petani kepada obat kimia dan pupuk urea, yang telah menyebabkan harga jual tak sebanding dengan ongkos produksi. Dan yang utama, telah menghilangkan budaya lokal dalam bertani.
Karenanya bagi petani Kapuas, desember tahun ini dilalui dengan cemas. Hujan seharusnya menumbuhkan batang-batang padi di hamparan ladang-ladang warga Dayak Ngaju bantaran DAS Kapuas, kali ini seperti tercurah begitu saja. Tak terlihat lagi hamparan padi menghijau di ladang-ladang. Bahkan sebagian besar hamparan di biarkan terlantar penuh dengan rerumputan. Tidak menutup kemungkinan lahan-lahan pertanian yang tidak terkelola tersebut kelak beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Yang akan memperluas ketimpangkan penguasaan lahan antara rakyat pemilik tanah dengan pemodal.
(A.P) Kapuas, 5 Desember 2016