Press Release: Amicus Curiae ‘Sahabat peradilan’ untuk Hakim Mahkamah Agung RI

Papua Bukan Tanah Kosong

Perkara ini berawal dari Keputusan Bupati Kabupaten Sorong mencabut perizinan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari. Tiga perusahaan tersebut kemudian menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Majelis hakim PTUN Jayapura memutus para penggugat perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR tidak memiliki kepentingan yang dirugikan untuk menggugat, menyatakan tidak menerima dan menolak gugatan untuk seluruhnya, atas perkara 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, majelis menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

Dalam upaya hukum banding, majelis hakim pengadilan tinggi Tata Usaha Negara Makassar mengabulkan gugatan perusahaan para penggugat 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR untuk seluruhnya. Majelis menilai tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi pencabutan secara langsung, maka seharusnya Bupati tidak memberikan sanksi terberat berupa pencabutan ijin namun terlebih dahulu memberikan teguran tertulis.

Atas putusan banding, Bupati Sorong mengajukan upaya kasasi. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia atas putusan Perkara Tingkat Banding PT TUN Makassar  Nomor 12/B/2022/PT.TUN.MKS, 13/B/2022/PT.TUN.MKS, 41/B/2022/PTTUN.MKS dan 42/B/2022/PTTUN.MKS.

Di dalam Amicus Curiae kami menilai keputusan Bupati Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit didasarkan evaluasi mendalam atas perbuatan pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban didalam IUP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan, kejanggalan penerbitan izin-izin dan perilaku ketidakseriusan para penggugat untuk melakukan usaha sejak menerima izin-izin[1].  Pelanggaran yang dilakukan berlapis sehingga harus dinilai  bukan pelanggaran biasa, sanksi yang diberikan harus bersifat regresif  berupa pencabutan keputusan yang menguntungkan. Pasal 55 Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman perizinan usaha perkebunan memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mencabut izin usaha.

Rekomendasi lain meminta Majelis hakim melihat keempat perkara memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan. Keempat perkara juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi Masyarakat Adat. Hakim Agung wajib menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dengan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dan Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutus.

Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi telah mengakui hak-hak masyarakat adat. Tanah Papua Bukanlah Tanah Kosong, setiap tempat ada pemiliknya.  Penolakan pemilik hak ulayat atas perusahaan wajib di pertimbangkan sebagai partisipasi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas hak-haknya dari lembaga peradilan.  Hakim Agung wajib memperhatikan sikap penolakan dan memenuhi nilai keadilan yang disuarakan masyarakat adat.

Jakarta, 31 Mei 2022

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua

Narahubung:   081287296687 (Tigor Hutapea)

Unduh Amicus Curiae di sini: Amicus Curiae untuk Hakim Mahkamah Agung

(1) Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, Februari 2021

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy