Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Author

Admin Pusaka

Admin Pusaka

Berita

Konflik dan Penggundulan Hutan Meningkat di Papua

by Admin Pusaka Agustus 1, 2022
written by Admin Pusaka

Informasi analisis peta citra satelit Nusantara Atlas menunjukkan telah terjadi Deforestasi di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 seluas lebih dari 1.150 hektar. Kebanyakan areal deforestasi tersebut berada pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis.

Ada lima lokasi perusahaan teridentifikasi tempat kejadian deforestasi terbesar di Papua, yakni PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera, kedua perusahaan ini beroperasi di Distrik Moi Segen dan Seget, Kabupaten Sorong ; PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, dan PT Selaras Inti Semesta di Kabupaten Merauke.

Kondisi di lapangan di Sorong, Jayapura dan Merauke, ditemukan berbagai permasalahan aktifitas penggundulan hutan. Pada April 2022, anggota marga Mugu mempersoalkan dan menghentikan aktifitas perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), terjadi keributan ketegangan dengan marga Klagumut, yang diduga memberikan restu perusahaan PT IKSJ.

Perusahaan menggusur hutan adat milik marga tanpa musyawarah dan kesepakatan Marga Mugu. Kepala Distrik Moi Segen dan Dewan Adat memediasi pertengkaran antara marga dan perusahaan di Balai Kampung Klasari pada 18 Juli 2022.

“Hutan adat kami terdapat tempat penting bersejarah disebut Mambus Wisnik, Tawili Wolu, Kelem Wobeles, yang digusur perusahaan, kami tidak pernah mengizinkan perusahaan dan kami menuntut perusahaan bertanggung jawab memulihkan kembali hutan adat ini, perusahaan dan pihak yang merusak harus diberikan sanksi”, jelas Efron Mugu.

Kasus serupa terjadi di Kampung Masmili, Distrik Moisegen, perusahaan PT IKSJ menggusur kawasan hutan adat dan mendapatkan perlawanan Marga Kutumun. Sejak April 2022, Nelson Kutumun dan beberapa keluarga, membuka hutan di Dusun Klawiri, persis berbatasan dengan bekas hutan yang telah digunduli perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ).

Mereka mendirikan beberapa rumah panggung dari kayu, berdiam dan berkebun di Dusun Klawiri. Sebelumnya, anggota Marga Kutumun ini tinggal di Kampung Masmili, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong.

“Kami buka dusun ini untuk menghadang dan menghentikan rencana perusahaan kelapa sawit yang memperluas kebun sawit dan menghabiskan hutan kami”, jelas Nelson Kutumun, saat ditemui Pusaka di Dusun Klawiri, pada Juni 2022.

Marga Kutumun menghadang dan menolak rencana perluasan PT IKSJ karena luas pembukaan hutan melebihi kesepakatan antara marga dan perusahaan, yakni panjang 1000 meter dan lebar 500 meter.

Berdasarkan peta citra satelit dan keterangan Marga Kutumun yang berdiam di Dusun Klawiri dan Kampung Masmili, deforestasi di Dusun Klawiri terjadi untuk pengembangan kebun kelapa sawit. PT IKSJ menggusur hutan sejak Desember 2021 dan meningkat cepat pada Januari 2022, hingga menyebabkan lebih dari 100 hektar hutan hilang. Aktifitas penggundulan hutan oleh PT IKSJ berhenti pada pertengahan Juni 2022. Diperkirakan deforestasi di Dusun Klawiri  lebih dari 200 hektar.

Menurut Nelson Kutumun, operator perusahaan PT IKSJ menjanjikan akan mengukur ulang luas hutan yang digusur dan bertanggung jawab atas hutan hilang. Masyarakat resah karena belum ada tanda terang dari janji perusahaan dan penanaman sawit terus berlangsung hingga saat ini.

Kebanyakan masyarakat tidak mengantongi surat-surat dokumen perusahaan terkait rencana perusahaan, surat resmi perizinan dan peta lokasi, surat kesepakatan perusahaan dengan marga dan sebagainya. Masyarakat hanya mengingat perusahaan datang dengan janji-janji pembangunan dan kesejahteraan.

Marga Klafiyu di Kampung Ninjemur, sejak awal meminta seluruh surat dan dokumen peta lahan dari perusahaan PT IKSJ. Ditemukan dalam surat penyerahan dan pelepasan tanah adat, marga mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 50.000/ha dan kompensasi kayu mix, tanam tumbuh sebesar Rp. 185.000/ ha. Artinya nilai tanah dan kekayaan alam didalam hutan sebesar Rp. 235.000 per hektar atau 1 m2 = Rp.23.500.  Angka tersebut tidak sebanding dengan nilai dan harga pasar kayu merbau Rp. 3.000.000, perkubik.

Ketegangan antara marga pemilik tanah dengan perusahaan menandakan buruknya pengelolaan bisnis perkebunan yang mengabaikan hak masyarakat, tidak adil dan tidak menjalankan prinsip keberlanjutan lingkungan. Pihak yang diuntungkan dari deforestasi adalah birokrat korup dan korporasi yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan masyarakat setempat mengalami kehilangan mata pencaharian dan kesulitan akses pemanfaatan sumber pangan, terpaksa menerima kompensasi yang tidak adil dan menanggung resiko bencana ekologis.

Pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen dan kebijakan pemerintah mencabut izin-izin yang tidak produktif dan tidak sesuai peraturan, dengan dalil “mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam”.  Pada 05 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut 192 izin konsesi di kawasan hutan, 51 izin diantaranya berada di Papua dengan luas 1.287.030,37 hektar.  Namun perusahaan tersebut masih tetap beraktivitas menggunduli hutan dan deforestasi meluas.

Masyarakat adat Papua bertahun-tahun melindungi hutan dengan tradisi pengetahuan dan norma adat, sebelum perusahaan datang dengan aturan, surat izin dari pemerintah, uang dan alat kekerasan negara, sebagai jalan menggunduli hutan adat.

Ank, Juli 2022

 

Agustus 1, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Info Grafis

Sesat Pikir Hutan Adat Tidak Produktif

by Admin Pusaka Juli 26, 2022
written by Admin Pusaka
Juli 26, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Kertas Kebijakan: Selamatkan Lembah Grime Nawa

by Admin Pusaka Juli 26, 2022
written by Admin Pusaka
Juli 26, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Amicus Curiae untuk Majelis Hakim Mahkamah Agung

by Admin Pusaka Juli 26, 2022
written by Admin Pusaka
Juli 26, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Masyarakat Adat di Lembah Grime Nawa Mendesak Bupati Cabut Izin PT PNM

by Admin Pusaka Juli 22, 2022
written by Admin Pusaka

Lebih dari 100 orang perwakilan dan pimpinan masyarakat adat asal dari suku Namblong, Kemtuk, Klesi, Orya, Elseng, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, terlibat dalam musyawarah adat yang diberikan tema Selamatkan Lembah Grime Nawa dari Ancaman Perampasan Tanah Adat, yang berlangsung di Kantor Dewan Adat Suku Namblong, Kamis, 21 Juli 2022.

Sejak awal 2022, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), melakukan pembongkaran dan penggusuran hutan adat, tanpa persetujuan masyarakat adat dan pemilik tanah. Pemerintah menerbitkan izin usaha kepada PT PNM tanpa konsultasi dan kesepakatan masyarakat luas. PT PNM memiliki izin seluas 30.920 hektar yang diterbitkan Badan Perjinan Terpadu dan Penanaman Modal Provinsi Papua pada tahun 2014.

Meskipun sudah ada pernyataan masyarakat menolak dan meminta perusahaan menghentikan aktifitasnya, namun perusahaan masih saja menggusur hutan dan mengembangkan kebun sawit.

Menteri Investasi / Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, mencabut persetujuan pelepasan kawasan hutan kepada PT Permata Nusa Mandiri, melalui surat putusan Nomor 20220329-21-78718, tertanggal 29 Maret 2022. Perusahaan PT PNM sempat menghentikan aktifitas penggundulan hutan dan mulai beroperasi kembali awal Juli 2022.

Masyarakat adat di Lembah Grima Nawa keberatan dan mendatangi Kantor Gubernur Provinsi Papua, Kantor DPMPTSP Kabupaten Jayapura, Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup,  menyampaikan permintaan tuntutan kepada pemerintah daerah untuk mencabut izin usaha perusahaan, namun belum ada tanda-tanda dari pemerintah, kecuali Kantor Pertanahan Kabupaten Jayapura yang menawarkan lahan usaha.

Musyawarah masyarakat adat di lembah Grima Nawa, yang berlangsung selama satu hari tersebut menghasilkan putusan pernyataan sikap sebanyak 11 tuntutan, antara lain: meminta Bupati Jayapura dan Kepala Dinas DPMPTSP untuk mencabut izin-izin usaha perkebunan perusahaan PT PNM, dan pemerintah daerah harus mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat.

“Kami memberikan batas waktu pencabutan izin – izin PT.PNM sampai pada tanggal 31 Juli 2022. Apabila tidak segera dicabut izin PT.PNM, maka kami Masyarakat Adat Daerah Grime Nawa akan melakukan aksi damai hingga mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat” ungkap Roscita Tecuari

Masyarakat adat masih solid sepakat menolak PT PNM.

TGH, Juli 2022

Juli 22, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Rapat Paripuran DPRD Sorong Selatan Menetapakan Perda Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat

by Admin Pusaka Juli 18, 2022
written by Admin Pusaka

Sejak tahun 2019 lalu, DPRD Kabupaten Sorong Selatan berinisiatif mengusulkan rancangan Peratuan Daerah (Perda) Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan. Setelah melewati proses konsultasi, pembobotan draft naskah akademik dan rancangan perda, dan uji publik, DPRD menggelar rapat paripurna dan menetapkan Perda hak inisiatif DPRD pada Jumat, 15 Juli 2022.

“Rapat paripurna DPRD dihadiri forum koordinasi pimpinan daerah dan perwakilan tokoh masyarakat, DPRD memutuskan dan menetapkan rancangan perda inisiatif DPRD tentang pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat,” kata Daun Senanfi, Wakil Ketua Bapemperda DPRD Kabupaten Sorong Selatan.

Sidang paripuran yang dipimpin Wakil Ketua DPRD, Jevries N Kewetare, juga menetapkan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Tahun Anggaran 2021, diantaranya pendanaan pelaksanaan penyusunan hingga penetapan perda dimaksud.

Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Kabupaten Sorong Selatan, Yoseph Bless, SH, MH, mengkonfirmasi dan memberikan informasi bahwa rancangan naskah akademik dan perda pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat ini sudah di konsultasikan dengan pemerintah Provinsi Papua Barat di Manokwari, sudah memenuhi persyaratan dan telah mendapatkan nomor registrasi pada 29 Juni 2022 yang lalu.

Tokoh masyarakat adat di Sorong Selatan, Yusuf Momot, Arkilaus Kladit, Simson Sremere, menyambut baik putusan rapat paripurna DPRD, dan berharap dapat dilaksanakan.

“Kami masih akan mengawal proses perolehan anggaran untuk sosialisasi dan penerapan Perda di masyarakat, rencana pembahasan anggaran pada September nanti dan akan dilakukan sosialisasi dengan masyarakat untuk penerapan perda, kami berharap organisasi masyarakat adat dan LSM juga dapat terlibat dalam sosialisasi ini”, jelas Daud Senanfi.

Mengenai Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA), yang berperan untuk melakukan identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat, dalam proses penetapan hak masyarakat, Yusuf Momot berharap  Bupati segera membentuk dan menetapkan Panitia MHA di Sorong Selatan.

Ank, Juli 2022

Juli 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Bendungan Warsamson untuk Siapa

by Admin Pusaka Juli 15, 2022
written by Admin Pusaka

Sungai lebih dari sekadar air yang mengalir. Sungai merupakan sumber kehidupan manusia dan tempat tumbuh keanekaragaman hayati yang ada pada daerah aliran sungai. Air minum, makanan, obat-obatan, sumber energi, transportasi dan banyak layanan sosial diperoleh dari sungai. Juga fungsi ekologi, menyaring polutan, mengurangi banjir dan kekeringan, mengisi ulang persediaan air bawah tanah, membawa sedimen yang kaya nutrisi dan mineral terlarut yang mengisi kembali tanah. dan mempertahankan perikanan.

Muara sungai, tempat air tawar bercampur dengan garam laut, adalah salah satu bagian sungai yang paling produktif secara biologis. Sebagian besar tangkapan ikan dunia berasal dari spesies yang setidaknya sebagian dari siklus hidupnya bergantung pada habitat muara.

Kini sungai dan aliran sungai di modifikasi menjadi komoditi komersial untuk kepentingan akumulasi kapital. Sungai-sungai diubah dan dibendung, airnya dialirkan untuk menghasilkan pembangkit energi listrik, usaha agroindustri, air minum dan sebagainya. Energi listrik bukan hanya untuk penerangan rumah tangga, melainkan menjadi penggerak mesin-mesin keruk dan eksploitasi sumberdaya alam, energi pembangkit industri guna menghasilkan barang dagangan pada daerah pusat ekonomi baru, lalu dipasarkan kepada rakyat.

Komoditi energi dari bendungan menjadi salah satu bagian proyek strategis nasional, pemerintah merencanakan pembangunan bendungan dan irigasi sebanyak 57 proyek,[1]  Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat jumlah bendungan di Indonesia saat ini mencapai 205 unit yang tersebar di 16 Provinsi.[2] Di Papua, rencana proyek bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air disebutkan antara lain PLTA Mamberamo di Mamberamo, Bendungan Sungai Kao di Boven Digoel, PLTA Urumuka di Paniai, PLTA Orya Genyem di Jayapura, PLTA Baliem di Wamena, Bendungan Digoel di Ninati, Boven Digoel, dan PLTA Warsamson di Sorong.

Keberadaan proyek PLTA Warsamson di Sorong dapat ditelusuri dari tahun 1996, lembaga pembangunan pemerintah Jepang JICA (Japan International Cooperation Agency) memberikan pinjaman dana dan bantuan teknis studi kelayakan pengembangan proyek pembangkit listrik di Sungai Warsamson , yang kini terletak di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Study ini merekomendasikan pembangunan pembangkit listrik di Sungai Warsamson dengan membangun bendungan berukuran tinggi 48 m hingga 100 m di puncaknya, untuk pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 46,5 MW.

Siapa yang Berkepentingan dari Proyek Bendungan

Proyek ini menunjukkan jejak dan kepentingan lembaga kuangan global sejak awal untuk memfasilitasi proses pembangunan infrastruktur yang pada gilirannya dapat mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Negara berperan mengatur, mengendalikan dan mengelola proyek, termasuk mereformasi hukum untuk memperlancar investasi dan proyek. Dalam kasus Bendungan Bener di Wadas dan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, negara berperan sekaligus menjadi alat kekerasan dan mengendalikan warga untuk menerima proyek pembangunan.

Tahun 2014, lembaga keuangan multilateral Asian Development Bank (ADB) memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia untuk peningkatan proyek PLTA Warsamson. JICA dan ADB merupakan agen keuangan yang memberikan investasi modal, pinjaman dan bantuan teknik dalam kerangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan investasi sektor publik dan swasta.

Investasi dan dukungan ini  masih terkait dengan komitmen dan ajakan berinvestasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya dihadapan forum ekonomi Konferensi Tingkat Tinggi The Asia Pacific Economic Cooperation (APEC, Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik) di Bali 2013, yang dihadiri pemimpin negara dan CEO perusahaan. “Sebagai kepala penjualan Indonesia Inc, sebagai sebuah perusahaan berupa negara, saya mengundang anda semua untuk meningkatkan peluang bisnis dan investasi di Indonesia”, kata Presiden SBY. Para pemimpin anggota APEC sepakat untuk membangunan konektivitas kawasan ekonomi dan investasi infrastruktur.

Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diundangkan pada November 2020, Undang-Undang yang mereformasi hukum untuk kepentingan investasi ini, ADB memperpanjang pemberian hutang kepada pemerintah Indonesia melalui Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Desember 2020, untuk proyek percepatan penyediaan infrastruktur pada beberapa daerah di Indonesia, salah satunya  persiapan pembangunan Bendungan Warsamson di Kabupaten Sorong, Papua, dengan nomor proyek 49141-001 dan nilai proyek sebesar 2.747.361,29 USD.

Balai Wilayah Sungai Papua Barat (BWSPB), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air,  Kementerian PUPR, sebagai penanggung jawab proyek.  Pada pertemuan persiapan pembangunan bendungan Warsamason (Desember 2021)[3], BWSPB bersama OPD Papua Barat, Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten Sorong, Bappeda Kabupaten Tambrauw, Dinas Lingkungan Hidup Papua Barat, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dan Dinas Pertanahan, menyampaikan proyek pembangkit energi ini di latar belakangi kepentingan pembangunan Kawasan  Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) Raja Ampat, dan Kota Baru Sorong.

Sejak tahun 2017, pemerintah Kota Sorong mereklamasi pantai untuk menjadi Waterfront City modern dalam pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Tembok Berlin pantai Dofior dan sekitarnya dihilangkan, digusur, dirubah dan dimodifikasi, agar sistem produksi bercorak kapitalistik dapat mendapatkan tempat dan meluas, dibangun super blok bisnis dan pusat belanja, sebagai wujud episentrum bisnis dan perdagangan terintegrasi.

Energi listrik akan memasok industri pengolahan di kawasan ekonomi (KEK) Sorong, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan nikel, hasil hutan kayu dan non kayu. Hingga tahun 2018, tercatat ada 18 investor pertambangan, pengolahan minyak kelapa sawit, pengilahan kayu dan semen, dan sebagainya, yang berada dalam kawasan KEK Sorong, antara lain: PT GAG Nikel, PT Henrison Inti Persada, dan PT Semen Gresik.

Mitos Pembangunan Bendungan

Seringkali kita mendengarkan pejabat, teknokrat, operator proyek, manager perusahaan, lembaga keuangan, membicarakan dan menjanjikan aspek positif manfaat pembangunan bendungan besar untuk masyarakat sekitar proyek, seperti meningkatkan mata pencaharian, lapangan pekerjaan, pemenuhan listrik dan air yang mudah dan murah, dan sebagainya. Tulisan berikut diolah dari laporan International River Network yang membuat laporan dan kasus pembangunan bendungan di dunia.

Mitos bendungan merupakan energi bersih. Bendungan bukan sumber listrik yang “bersih” karena dampak sosial dan lingkungan yang serius. Faktanya, bendungan menjebak sedimen dan nutrisi, mengubah suhu dan kimia sungai, dan mengganggu proses geologis erosi dan pengendapan yang membentuk tanah di sekitarnya. Perubahan seperti itu membuat seluruh daerah aliran sungai keluar dari keseimbangan ekologis. Diperkirakan pula, 40 hingga 80 juta orang telah mengungsi karena bendungan.

Mitos janji pemberian energi listrik, air bersih dan fasilitas sosial lainnya. Faktanya, janji seperti itu sering dilanggar. Kebanyakan kasus masyarakat sekitar proyek bendungan besar, digusur dan di relokasi ke daerah baru yang jauh dari proyek, karena kampung mereka ditenggelamkan. Dalam beberapa kasus, orang tidak menerima kompensasi atas kerugian mereka secara layak, pembayaran tunai jarang cukup untuk mengkompensasi hilangnya tanah, rumah, pekerjaan dan mata pencaharian. Biaya pembangunan bendungan dan transmisi distribusi listrik yang besar dan waktu lama membangun, akibatnya biaya dibebankan kepada rakyat konsumen listrik dan air yang tidak murah.

Mitos proyek bendungan membuka lapangan kerja. Faktanya, sebagian besar pekerjaan untuk merancang dan membangun bendungan diberikan kepada insinyur dan kontraktor yang sangat terlatih yang didatangkan untuk membangun proyek, bukan penduduk lokal atau bahkan warga negara tersebut. Mayoritas orang tergusur oleh bendungan akhirnya semakin miskin dan jarang mendapa

tkan manfaat proyek. Sedikitnya 500 juta lebih orang juga menderita dampak hilir bendungan, mencakup hilangnya perikanan, penurunan kualitas dan kuantitas air, penurunan kesuburan lahan pertanian dan hutan karena hilangnya pupuk alami dan banjir musiman yang menyehatkan sungai. Mereka yang menderita biasanya adalah mereka yang paling terpinggirkan dalam masyarakat, petani miskin dan masyarakat adat.

Bendungan menjaga kelestarian air dan lingkungan alam setempat. Faktanya rekayasa bendungan mengakibarkan penumpukan sedimen yang kemudian membentuk tepian sungai baru, delta sungai, dan pesisir pantai. Perubahan sedimentasi ini menyebabkan perubahan dramatis dalam kehidupan tumbuhan dan hewan, menyebabkan peningkatan erosi hilir dan dasar sungai semakin dalam dan menyempit dari waktu ke waktu. Bendungan menghalang migrasi ikan untuk berkembang biak di hilir dan atau hulu di sepanjang sungai, hal ini berdampak pada populasi ikan lokal terancam punah, mempengaruhi mata rantai makanan dan habitat setempat, dan mata pencaharian masyarakat dari hasil sungai. Sedimentasi, genangan air dan banjir sekitar bendungan telah membunuh pohon dan kematian kehidupan tanaman lain karena kekurangan oksigen, yang kemudian terurai dan melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer. Karena sungai tidak lagi mengalir deras, air menjadi tergenang dan dasar waduk menjadi kehabisan oksigen. Kekurangan oksigen ini menciptakan situasi di mana metana (gas rumah kaca yang sangat kuat) dihasilkan dari dekomposisi bahan tanaman di dasar reservoir yang akhirnya dilepaskan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global. Dekomposisi bahan organik dari tanaman yang membusuk dapat mengubah merkuri anorganik menjadi meti-merkuri dan menyebabkan efek toksik pada manusia dan satwa liar yang memakan ikan.

Orang utan Tapanuli, jenis kera paling langka di dunia, hanya 500 individu yang tersisa, terancam proyek bendungan Batang Toru, Sumatera Utara, terancam dan terdesak ke jurang oleh proyek pembangkit listrik tenaga air.

Melawan Kematian

“Apabila pembangunan Bendungan Warsamson tetap dilanjutkan dipastikan akan ada korban jiwa dan pertumpahan darah untuk mempertahankan tanah adat”, kutipan ini disampaikan perwakilan pemimpin masyarakat adat dan pemilik tanah adat dari daerah sasaran proyek bendungan Warsamson, (02 Maret 2022). Ekspresi masyarakat ini pasti ada alasannya dan perlu mendapatkan perhatian dan tanggapan dari pejabat dan pemegang otoritas.

Proyek bendungan Warsamson akan menenggelamkan kawasan hutan dan tanah adat seluas 6.855 hektar, yang didalamnya terdapat sumber kehidupan masyarakat, tempat keramat, tanaman dan kehidupan hewan penting bagi masyarakat dan lingkungan. Masyarakat adat Moi yang berdiam dan memiliki wilayah adat sasaran proyek khawatir akan kehilangan kehidupannya, ekonomi, budaya, lingkungan dan sebagainya.

Ada dasar dan alasan kekhawatiran. Berita horor kematian kehidupan ikan dan tanaman pada daerah sungai dan proyek bendungan setiap tahun ditemui. Masyarakat di kampung dan kita semua khawatir atas kehilangan dan merasa tidak aman atas horor kematian lingkungan yang tidak wajar, maupun dampaknya kekeringan dan banjir menjebol bendungan, yang berpengaruh pada keberlangsungan hidup rakyat setempat dan perubahan iklim berdampak terhadap masyarakat dunia.

Kematian datang dengan berbagai cara, tak ada yang bisa menghalangi, karena semua yang hidup pasti mati, hanya seoal waktu dan cara yang berbeda. Tapi untuk kematian lingkungan dan sosial yang disebabkan pembangunan dan kepentingan ekonomi kelompok tertentu, semestinya dapat dicegah dan dihentikan sebelum kematian sebenarnya, kehilangan sumber kehidupan dan bahkan nyawa.  Setiap kita pasti memiliki insting untuk melawan datangnya kematian lingkungan dan sosial yang tidak adil, dengan berbagai gagasan dan aksi damai.

Sejak awal tahun 2022, eskalasi pergerakan masyarakat adat Moi dan tuntutan menentang pembangunan bendungan Warsamon terus meluas. Mereka berdiskusi di kampung dan datang ke kota, bertemu dengan pejabat dan pengelola proyek, untuk membela kehidupan masyarakat dan lingkungan, dan kehidupan generasi mendatang.

“Tanah adat akan kami pertahankan dalam bentuk apapun demi generasi penerus kami sebagai pewaris tanah adat kami Suku Moi”, tegas masyarakat adat Moi yang dituangkan dalam Surat Pernyataan (02 Maret 2022), ditandatangani puluhan tokoh masyarakat adat Moi dan pemilik tanah adat.

Pemegang otoritas, pengelola proyek dan investor bendungan ini, seharusnya dapat bijaksana bertindak dan memenuhi hak konstitusional masyarakat adat Moi, dengan menghormati dan melindungi suara dan hak masyarakat adat untuk dapat melangsungkan kehidupan.

Ank, Juli 2022

Juli 15, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Masyarakat Adat Namblong Keberatan: PT PNM Melanjutkan Penggusuran Hutan

by Admin Pusaka Juli 9, 2022
written by Admin Pusaka

Kamis, 07 Juli 2022, perwakilan organisasi masyarakat adat Namblong di Distrik Nombokrang, Kabupaten Jayapura, melaporkan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PMN) yang kembali beraktifitas dan menggusur hutan di wilayah adat mereka.

Sebelumnya (23/02/2022), Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Jayapura, Dra. Delila Giay, M.Si, mengeluarkan surat penghentian sementara kegiatan pembukaan lahan dan operasional PT  PMN di lapangan sampai adanya surat klarifikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), terkait Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK 01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022, tanggal 5 Januari 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan atas nama PT Permata Nusa Mandiri.

Faktanya perusahaan PT PNM masih melakukan aktifitas. Rosita Tecuari, aktifis perempuan adat Namblong, menyampaikan perusahaan menggusur hutan adat mereka tanpa ada informasi dan pemeritahuan kepada masyarakat.

“Kami menolak hutan adat digusur secara sewenang-wenang. Perusahaan tidak memiliki itikad baik dengan mengabaikan putusan pemerintah dan ketentuan hukum”, ungkap Rosita Tecuari.

Sikap keberatan ini disampaikan perwakilan masyarakat adat saat bertemu Kepala Dinas PMPTSP Kabupaten Jayapura, Bupati Jayapura dan Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua (Kamis, 7/7/2022).

Dalam Surat Keberatan Masyarakat yang disampaikan kepada Gubernur Provinsi Papua, Bupati Jayapura, Menteri ATR/BPN dan Kanwil Pertanahan, masyarakat adat meminta agar pejabat berwenang tersebut secara tegas dengan waktu sesingkat-singkatnya mencabut izin-izin usaha perusahaan, Izin Lingkungan, Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri.

Masyarakat adat Namblong meminta Bupati Jayapura dan Gubernur Provinsi Papua mengembalikan tanah yang dibebani izin PT PMN kepada masyarakat adat Namblong.

Sikap dan tuntutan serupa disampaikan pemimpin masyarakat adat Kemtuk di Kampung Yanim, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura, yang sedang melakukan pertemuan menyikapi rencana aktifitas dan dampak perusahaan PT PMN (08/07/2022).

Dikutip dari jeratpapua.org, Ondoafi Braso, Yahya Bayeni, dalam pertemuan tersebut menyatakan, “Kami masyarakat adat Kemtuk menolak segala bentuk investasi di atas tanah adat kami terutama di lembah Grime Nawa”.

Gugatan Perusahaan

Tindak lanjut Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK KLHK No. 01/2022, tanggal 5 Januari 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi, dipimpin Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, telah menerbitkan putusan antara lain mencabut tiga izin konsesi perusahaan yang berada di Provinsi Papua dan Papua Barat, yakni atas nama PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, PT Tunas Agung Sejahtera di Kabupaten Mimika dan PT Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama.

Tiga perusahaan ini merupakan anak perusahaan Indo Gunta Group, yang diduga pemilik saham dan penerima manfaatnya adalah Anthoni Salim, bos dari Indofood Sukses Makmur TBK / Salim Gorup.

Perusahaan tersebut, termasuk PT PNM menggugat putusan pemerintah Menteri Investasi/Kepala BKPM ke PTUN Jakarta tentang pencabutan izin Nomor 20220329-21-78718 tanggal 29 Maret 2022 atas nama PT Permata Nusa Mandiri.

Gugatan PT PNM menuntut pencabutan izin pertama kali didaftarkan pada 14 Juni 2022, lalu ada perubahan pencabutan gugatan, kemudian PT PNM kembali melakukan gugatan malalui PTUN Jakarta pada 30 Juni 2022, dengan nomor perkara 184/G/2022/PTUN.JKT.

Beberapa waktu lalu diketahui, Bupati Jayapura telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 188.4/214 Tahun 2022, Tanggal 09 Mei 2022 tentang Pembentukan Tim Evaluasi Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Jayapura Tahun 2022. Tim ini bertugas untuk melakukan evaluasi terhadap perizinan usaha perkebunan kelapa sawit, melaksanakan pemeriksaan lapangan.

Masyarakat adat Namblong dan Kemtuk, dan Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa mengharapkan segera ada tindakan dari tim evaluasi dan Satgas untuk mencabut izin-izin usaha PT PNM yang diduga melanggar hak masyarakat adat dan melakukan kejahatan lingkungan.

Ank, Juli 2022

Juli 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Motif Ekonomi Perdagangan Senjata Api dan Amunisi Ilegal di Tanah Papua

by Admin Pusaka Juli 4, 2022
written by Admin Pusaka

Perdagangan senjata api dan amunisi illegal ‘tanpa izin’ di Tanah Papua semakin meningkat diikuti dengan peningkatan jumlah konflik bersenjata melibatkan aparat TNI dan Polri, berhadap-hadapan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), utamanya di daerah yang kaya akan sumberdaya alam.

Meskipun perdagangan tanpa izin ini mempunyai sanksi pidana dan ancaman hukuman berat, namun bisnis gelap tersebut masih gemerlap. Salah satu motif pendorongnya adalah keinginan meraup cuan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Penjual tidak perlu memproduksi senjata api dan amunisi, cukup dengan memiliki jaringan penyedia, makin pendek mata rantai transaksi, maka makin aman dan makin besar keuntungan yang diperolah.

Hal ini terungkap dalam laporan penelitian Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) yang disampaikan pada 01 Juli 2022. Ditemukan harga amunisi rata-rata dijual dengan harga Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per butir atau Rp. 5 juta – Rp. 7,5 juta per magasin yang berisi 50 butir. Sebagai perbandingan harga amunisi di lapangan Latihan tembak Perbakin sebesar Rp. 10.000 per butir. Margin atau selisih harga yang tinggi antara harga normal dan harga jual di pasar ilegal ini juga berlaku dalam penjualan jenis senjata api laras panjang dan laras pendek.

Direktur AlDP, Latifah Anum Siregar, menjelaskan beberapa motif lain dari perdagangan senjata illegal adalah motif karir dan kredit, yakni adanya insentif yang didapat dari transaksi dan menaikan karir dalam mengungkap kasus, rendahnya kesejahteraan prajurit mendorong anggota mendapatkan uang banyak dan disaat bersamaan ada pasar senjata api dan amunisi.

Adapun jenis senjata api yang beredar di Papua, antara lain jenis AK-47 dan AK-74, yang diproduksi Mikhael Khalasnikov ; Senapan mesin PKM Rusia, diduga senjata ini diperoleh dari pemasok secara illegal ; Steyr AUG buatan Austria, diduga senjata ini dirampas dari anggota Brimob (Polri) ; M16 dan M4, didapat dalam transaksi illegal ke Papua sejak tahun 2017; SS1 V1 dan SS2 V2 – produksi PT PINDAD Indonesia; diduga diperoleh dari hasil perampasan.

Berdasarkan wawancara dengan pihak yang terlibat dalam proses hukum hingga putusan di pengadilan umum dan peradilan militer, laporan ini mengungkap jejaring perdagangan senjata api dan amunisi illegal ini melalui empat jaringan, yakni jaringan diantara oknum TNI/Polri sebagai penyedia dan perantara dengan masyarakat sipil ; jaringan diantara masyarakat sipil dengan membeli senjata dari luar Indonesia, bekas wilayah konflik seperti  di Philipina ; jaringan langsung diantara TPNPB dan pendukungnya didaerah Papua New Guinea; atau jaringan langsung TNI/POLRI dan TPNPB. Sedangkan jalur perdagangan melalui sungai, laut, bandara udara, dan darat.

Baca disini Laporan AlDP tentang Perdagangan Senjata Api dan Amunisi Ilegal di Tanah Papua

Kepemilikan senjata api dan amunisi secara illegal “tanpa izin” disebutkan sebagai tindak pidana khusus dengan hukuman berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, pada Pasal 1 ayat (1) bahwa “barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam milikmya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun”.

Latifah Anum Siregar dalam peluncuran laporan ini menjelaskan, “seperti fenomena gunung es, kasus-kasus semakin bertambah dan melebihi kasus yang diungkap aparat penegak hukum. Namun proses hukum hanya memproses pelaku di lapangan,  proses hukum belum sampai pada mengungkap jaringan perdagangan illegal, terutama yang memiliki dan menguasai senjata api dan pemberi dana yang terlibat melawan hukum”.

Idealnya proses hukum menjangkau semua dan dapat mencegah kejadian berulang, dan impunitas bagi pelaku.

Ank, Juli 2022

Juli 4, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Sesat Pikir Hutan“Tidak Produktif”

by Admin Pusaka Juli 3, 2022
written by Admin Pusaka

Hutan Tidak Produktif, kata ini dituliskan dan dimuat dalam beberapa dokumen hukum resmi pemerintah untuk menunjukkan kondisi vegetasi dan tegakan hutan berdasarkan kriteria teknis dan pengetahuan rimbawan, seperti tegakan pohon yang jarang dan kurang, dan ukuran pohon tertentu.

Pengetahuan rimbawan negara ini digunakan pejabat penerbit izin, para konsultan dan operator perusahaan, dengan menuding dan mendikte keberadaan hutan adat sebagai hutan tidak produktif, karenanya harus diubah menjadi produktif melalui usaha komersial, usaha hutan tanaman industri, perkebunan dan budidaya pertanian, untuk meraup cuan.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, sudah turun temurun berdiam di dalam dan sekitar hutan. Mereka menolak pengetahuan rimbawan negara dan perusahaan, yakni dalil hutan tidak produktif dan tanah kosong dijadikan dasar untuk memberikan izin usaha hutan tanaman industri kepada perusahaan PT Merauke Rayon Jaya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pengabaian negara dan korporasi yang  tidak mengakui dan menghormati hak dan pengetahuan masyarakat adat.

Tahun 2021, PUSAKA bersama masyarakat adat Wambon Tekamerop di Kampung Aiwat, Distrik Subur, melakukan penilaian kondisi kawasan hutan berbasiskan pengetahuan adat setempat. Sesat pikir terhadap hutan adat dan pengetahuan masyarakat adat dapat dibantah dengan fakta bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan inovatif dalam mengatur dan memanfaatkan hutan secara berkelanjutan. Kondisi hutan setempat masih tergolong sehat dan masih mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Hutan milik suku Wambon Tekamerop dihuni oleh tetumbuhan sederhana (lumut dan paku-pakuan) hingga tumbuhan berkayu dan menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Hutan tersebut masih dipenuhi dengan berbagai jenis pohon kayu (diameter lebih dari 40 cm) dan non kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, bahan aksesoris budaya dan sebagai bahan bangunan.

Nama tanaman yang sering digunakan masyarakat untuk bangunan rumah, bahan pangan, obat-obatan dan upacara adat, dan makanan hewan liar, yakni: doruk (Damar resak – Vatica rassak), tenot (Genemon – Gnetum gnemon), keydan, mbu, oromun, moron, terah (Rotan – Calamus sp.), jon (Nibung – Oncosperma tigillarium) dan ndu (sagu – Metroxylon sagoo). Masyarakat masih memiliki pengetahuan akan hutannya karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan pengetahuan tersebut tertuang dalam norma adat pengelolaan dan pengamanan hutan adatnya.

Industrialisasi Hutan Alam Skala Luas

Tahun 1998, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/KPTS-II/1998 tanggal 05 Januari 1998 tentang pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp kepada PT Maharani Rayon Jaya (MRJ), yang kemudian berganti nama PT Merauke Rayon Jaya, dengan luas 206.800 hektar, yang secara administratif berada di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

Izin usaha industri hutan tanaman PT MRJ pernah dicabut oleh Bupati Merauke tahun 2007, Gubernur Papua tahun 2013, dan Menteri Kehutanan tahun 2014. Namun perusahaan menggugat putusan Menteri Kehutanan dan majelis hakim di Mahkamah Agung dalam sidang perkara peninjauan kembali menerima gugatan perusahaan dan membatalkan putusan Menteri Kehutanan tahun 2017. Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan SK Nomor 238/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2018 tanggal 17 Mei 2018 yang membatalkan dan memberikan kembali izin usaha PT MRJ.

Perusahaan PT MRJ merencanakan akan mengkonversi hutan alam yang disebutkan sebagai hutan tidak produktif dan tanah kosong, menjadi industri hutan tanaman untuk komoditi pulp.

Berdasarkan Rencana Kerja Usaha HTI untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun 2020 – 2029, perusahaan PT MRJ akan menggusur hutan alam dan menanam tanaman jenis jati salomon dan jati sengon salomon pada lahan seluas 152.974 hektar, atau sekitar 74 persen dari izin konsesi 206.800 hektar.

Tanaman baru jati salomon dan sengon, bukan tanaman endemic, didatangkan dari luar yang akan menggantikan dan menghilangkan keanekaragaman jenis tanaman pohon pada hutan adat.

Ancaman Deforestasi

Berdasarkan peta moratorium (PIPIB, 2019) dan peta tutupan lahan diketahui pada areal konsesi PT. MRJ tersebut di dominasi hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar. Karenanya, kawasan hutan alam disini pernah menjadi objek moratorium. Tahun 2022, Peta PIPIB (2022) direvisi, tidak lagi ditemukan keterangan hutan alam dan lahan gambut dalam areal PT MRJ.

Hasil kajian PUSAKA, kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ di dominasi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih eskosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah. Selain NKT 2 dan 3, kawasan hutan suku Wambon juga tergolong dalam kategori NKT 6 – Area yang memiliki peranan penting bagi masyarakat yakni hutan keramat douval, area kuburan keramat, area kampung tua dan kampung lama.

Diperkirakan jika terjadi konversi pada konsesi hutan alam oleh PT MRJ seluas 2.068 Km2, maka diperkirakan hutan alam yang hilang (deforestasi) sebesar 11 kali luas kota Stockholm di Eropa, kota tempat berlangsungnya Konferensi Majelis Umum PBB (1972), yang menetapkan Hari Lingkungan Internasional,  diperingati setiap tanggal 5 Juni. Potensi emisi karbon (CO2) dari penggundulan hutan tersebut sebesar 146,624,737 ton CO2.

Proyek industri hutan tanaman yang akan menggundulkan hutan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi dan mencegah perubahan iklim. Idealnya, pemerintah  melindungi dan memberdayakan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Investor Baru 

Perusahaan PT. Merauke Rayon Jaya didirikan tahun 1995 dan berkedudukan di Jl. Proklamasi Nomor 36, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat[1]. Awalnya, PT MRJ bagian dari Texmaco Group, yang dominan sahamnya dimiliki Marimutu Sanivasan. Setelah dilanda masalah keuangan dan hukum, dijerat skandal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah lalu menyita asset Texmaco Group yang dikendalikan Marimutu Sinivasan. Penyitaan tersebut akan melanjutkan dengan penjualan secara terbuka atau lelang dan atau penyelesaian lainnya, kata Menteri Polhukam Mahfud, MD (20/01/2022).

Berdasarkan data perseroan yang diterbitkan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM yang diakses Juni 2022, diketahui tahun 2021 terjadi perubahan Anggaran Dasar dan Data Perseroan dari PT Merauke Rayon Jaya, yakni jenis perseroan dari PMDN (Perusahaan Modal Dalam Negeri) menjadi PMA (Perusahaan Modal Asing).PT Merauke Rayon Jaya dimiliki investor baru asal dari Singapore, Energy Timber Bamboo Plantation, PTE, LTD, holding company yang dimiliki Tankappan Pillai Harirahan, yang menguasai saham PT MRJ sebesar 55 %, PT Star Timber Perkasa, yang dimiliki AR. Parmananthen (masih terkait dengan Texmaco Group) sebesar 44 %, dan Marimutu Sinivasan 1 %. Direktur Utama PT MRJ adalah Martin H Hutabarat, yang dikenal sebagai politikus asal dari Partai Gerindra.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop, pemilik tanah, tidak mendapatkan informasi perubahan dan kehadiran investor baru PT MRJ. Pemerintah seharusnya menjadikan PT MRJ sebagai salah satu perusahaan yang izinnya perlu di evaluasi dan diberikan sanksi. Sebagaimana pidato Presiden Joko Widodo, “Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan, kita cabut”. (Januari 2022).

Resistensi Masyarakat

Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Kampung Aiwat tidak pernah mengetahui apapun proses perizinan hingga perusahaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) mendapatkan izin usaha. Pemerintah dan perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi secara terbuka dan luas. Masyarakat mengeluhkan rencana bisnis perusahaan PT. MRJ yang akan menggusur hutan adat tersisa dan menghilangkan wilayah sakral suku Wambon Tekamerop, salah satunya berhubungan dengan sejarah kehadiran dan perjalanan Misi Katolik di Papua Selatan.

Terhadap rencana PT. Merauke Rayon Jaya masyarakat adat suku Wambon Tekamerop sebagai pemilik tanah adat telah melakukan resistensi penolakan dengan mengirimkan surat pernyataan menolak rencana dan mediasi dengan PT. MRJ (2019) ; bertemu perusahaan dan menyampaikan penolakan (2020); Masyarakat Adat Wambon Tekamerop melakukan ritual adat, menanam Salib Merah dan Pemalangan di wilayah adat Wambon Tekamerop untuk menjaga hutan dan wilayah adat (2020), menemui pejabat perwakilan Gubernur Papua, Dinas Kehutanan, MRP Papua (2021).

Masyarakat adat Wambon Tekamerop meminta (1) pemerintah daerah dan nasional tidak memberikan surat rekomendasi apapun dan mencabut izinperusahaan PT Merauke Rayon Jaya; (2) pemerintah daerah dan nasional harus menghormati keputusan masyarakat adat Wambon Tekamerop menolak seluruh rencana dan aktifitas industri PT MRJ di Kampung Subur dan Kampung Aiwat Kab Boven Digoel ; (3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memberikan pengakuan hutan adat yang dikuasai dan dikelola Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua.

Ank, Juni 2022

Juli 3, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Konflik dan Penggundulan Hutan Meningkat di Papua
  • Sesat Pikir Hutan Adat Tidak Produktif
  • Kertas Kebijakan: Selamatkan Lembah Grime Nawa
  • Amicus Curiae untuk Majelis Hakim Mahkamah Agung
  • Masyarakat Adat di Lembah Grime Nawa Mendesak Bupati Cabut Izin PT PNM

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo