Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Author

Admin Pusaka

Admin Pusaka

Berita

Sesat Pikir Hutan“Tidak Produktif”

by Admin Pusaka Juli 3, 2022
written by Admin Pusaka

Hutan Tidak Produktif, kata ini dituliskan dan dimuat dalam beberapa dokumen hukum resmi pemerintah untuk menunjukkan kondisi vegetasi dan tegakan hutan berdasarkan kriteria teknis dan pengetahuan rimbawan, seperti tegakan pohon yang jarang dan kurang, dan ukuran pohon tertentu.

Pengetahuan rimbawan negara ini digunakan pejabat penerbit izin, para konsultan dan operator perusahaan, dengan menuding dan mendikte keberadaan hutan adat sebagai hutan tidak produktif, karenanya harus diubah menjadi produktif melalui usaha komersial, usaha hutan tanaman industri, perkebunan dan budidaya pertanian, untuk meraup cuan.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, sudah turun temurun berdiam di dalam dan sekitar hutan. Mereka menolak pengetahuan rimbawan negara dan perusahaan, yakni dalil hutan tidak produktif dan tanah kosong dijadikan dasar untuk memberikan izin usaha hutan tanaman industri kepada perusahaan PT Merauke Rayon Jaya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pengabaian negara dan korporasi yang  tidak mengakui dan menghormati hak dan pengetahuan masyarakat adat.

Tahun 2021, PUSAKA bersama masyarakat adat Wambon Tekamerop di Kampung Aiwat, Distrik Subur, melakukan penilaian kondisi kawasan hutan berbasiskan pengetahuan adat setempat. Sesat pikir terhadap hutan adat dan pengetahuan masyarakat adat dapat dibantah dengan fakta bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan inovatif dalam mengatur dan memanfaatkan hutan secara berkelanjutan. Kondisi hutan setempat masih tergolong sehat dan masih mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Hutan milik suku Wambon Tekamerop dihuni oleh tetumbuhan sederhana (lumut dan paku-pakuan) hingga tumbuhan berkayu dan menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Hutan tersebut masih dipenuhi dengan berbagai jenis pohon kayu (diameter lebih dari 40 cm) dan non kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, bahan aksesoris budaya dan sebagai bahan bangunan.

Nama tanaman yang sering digunakan masyarakat untuk bangunan rumah, bahan pangan, obat-obatan dan upacara adat, dan makanan hewan liar, yakni: doruk (Damar resak – Vatica rassak), tenot (Genemon – Gnetum gnemon), keydan, mbu, oromun, moron, terah (Rotan – Calamus sp.), jon (Nibung – Oncosperma tigillarium) dan ndu (sagu – Metroxylon sagoo). Masyarakat masih memiliki pengetahuan akan hutannya karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan pengetahuan tersebut tertuang dalam norma adat pengelolaan dan pengamanan hutan adatnya.

Industrialisasi Hutan Alam Skala Luas

Tahun 1998, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/KPTS-II/1998 tanggal 05 Januari 1998 tentang pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp kepada PT Maharani Rayon Jaya (MRJ), yang kemudian berganti nama PT Merauke Rayon Jaya, dengan luas 206.800 hektar, yang secara administratif berada di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

Izin usaha industri hutan tanaman PT MRJ pernah dicabut oleh Bupati Merauke tahun 2007, Gubernur Papua tahun 2013, dan Menteri Kehutanan tahun 2014. Namun perusahaan menggugat putusan Menteri Kehutanan dan majelis hakim di Mahkamah Agung dalam sidang perkara peninjauan kembali menerima gugatan perusahaan dan membatalkan putusan Menteri Kehutanan tahun 2017. Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan SK Nomor 238/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2018 tanggal 17 Mei 2018 yang membatalkan dan memberikan kembali izin usaha PT MRJ.

Perusahaan PT MRJ merencanakan akan mengkonversi hutan alam yang disebutkan sebagai hutan tidak produktif dan tanah kosong, menjadi industri hutan tanaman untuk komoditi pulp.

Berdasarkan Rencana Kerja Usaha HTI untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun 2020 – 2029, perusahaan PT MRJ akan menggusur hutan alam dan menanam tanaman jenis jati salomon dan jati sengon salomon pada lahan seluas 152.974 hektar, atau sekitar 74 persen dari izin konsesi 206.800 hektar.

Tanaman baru jati salomon dan sengon, bukan tanaman endemic, didatangkan dari luar yang akan menggantikan dan menghilangkan keanekaragaman jenis tanaman pohon pada hutan adat.

Ancaman Deforestasi

Berdasarkan peta moratorium (PIPIB, 2019) dan peta tutupan lahan diketahui pada areal konsesi PT. MRJ tersebut di dominasi hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar. Karenanya, kawasan hutan alam disini pernah menjadi objek moratorium. Tahun 2022, Peta PIPIB (2022) direvisi, tidak lagi ditemukan keterangan hutan alam dan lahan gambut dalam areal PT MRJ.

Hasil kajian PUSAKA, kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ di dominasi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih eskosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah. Selain NKT 2 dan 3, kawasan hutan suku Wambon juga tergolong dalam kategori NKT 6 – Area yang memiliki peranan penting bagi masyarakat yakni hutan keramat douval, area kuburan keramat, area kampung tua dan kampung lama.

Diperkirakan jika terjadi konversi pada konsesi hutan alam oleh PT MRJ seluas 2.068 Km2, maka diperkirakan hutan alam yang hilang (deforestasi) sebesar 11 kali luas kota Stockholm di Eropa, kota tempat berlangsungnya Konferensi Majelis Umum PBB (1972), yang menetapkan Hari Lingkungan Internasional,  diperingati setiap tanggal 5 Juni. Potensi emisi karbon (CO2) dari penggundulan hutan tersebut sebesar 146,624,737 ton CO2.

Proyek industri hutan tanaman yang akan menggundulkan hutan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi dan mencegah perubahan iklim. Idealnya, pemerintah  melindungi dan memberdayakan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Investor Baru 

Perusahaan PT. Merauke Rayon Jaya didirikan tahun 1995 dan berkedudukan di Jl. Proklamasi Nomor 36, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat[1]. Awalnya, PT MRJ bagian dari Texmaco Group, yang dominan sahamnya dimiliki Marimutu Sanivasan. Setelah dilanda masalah keuangan dan hukum, dijerat skandal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah lalu menyita asset Texmaco Group yang dikendalikan Marimutu Sinivasan. Penyitaan tersebut akan melanjutkan dengan penjualan secara terbuka atau lelang dan atau penyelesaian lainnya, kata Menteri Polhukam Mahfud, MD (20/01/2022).

Berdasarkan data perseroan yang diterbitkan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM yang diakses Juni 2022, diketahui tahun 2021 terjadi perubahan Anggaran Dasar dan Data Perseroan dari PT Merauke Rayon Jaya, yakni jenis perseroan dari PMDN (Perusahaan Modal Dalam Negeri) menjadi PMA (Perusahaan Modal Asing).PT Merauke Rayon Jaya dimiliki investor baru asal dari Singapore, Energy Timber Bamboo Plantation, PTE, LTD, holding company yang dimiliki Tankappan Pillai Harirahan, yang menguasai saham PT MRJ sebesar 55 %, PT Star Timber Perkasa, yang dimiliki AR. Parmananthen (masih terkait dengan Texmaco Group) sebesar 44 %, dan Marimutu Sinivasan 1 %. Direktur Utama PT MRJ adalah Martin H Hutabarat, yang dikenal sebagai politikus asal dari Partai Gerindra.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop, pemilik tanah, tidak mendapatkan informasi perubahan dan kehadiran investor baru PT MRJ. Pemerintah seharusnya menjadikan PT MRJ sebagai salah satu perusahaan yang izinnya perlu di evaluasi dan diberikan sanksi. Sebagaimana pidato Presiden Joko Widodo, “Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan, kita cabut”. (Januari 2022).

Resistensi Masyarakat

Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Kampung Aiwat tidak pernah mengetahui apapun proses perizinan hingga perusahaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) mendapatkan izin usaha. Pemerintah dan perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi secara terbuka dan luas. Masyarakat mengeluhkan rencana bisnis perusahaan PT. MRJ yang akan menggusur hutan adat tersisa dan menghilangkan wilayah sakral suku Wambon Tekamerop, salah satunya berhubungan dengan sejarah kehadiran dan perjalanan Misi Katolik di Papua Selatan.

Terhadap rencana PT. Merauke Rayon Jaya masyarakat adat suku Wambon Tekamerop sebagai pemilik tanah adat telah melakukan resistensi penolakan dengan mengirimkan surat pernyataan menolak rencana dan mediasi dengan PT. MRJ (2019) ; bertemu perusahaan dan menyampaikan penolakan (2020); Masyarakat Adat Wambon Tekamerop melakukan ritual adat, menanam Salib Merah dan Pemalangan di wilayah adat Wambon Tekamerop untuk menjaga hutan dan wilayah adat (2020), menemui pejabat perwakilan Gubernur Papua, Dinas Kehutanan, MRP Papua (2021).

Masyarakat adat Wambon Tekamerop meminta (1) pemerintah daerah dan nasional tidak memberikan surat rekomendasi apapun dan mencabut izinperusahaan PT Merauke Rayon Jaya; (2) pemerintah daerah dan nasional harus menghormati keputusan masyarakat adat Wambon Tekamerop menolak seluruh rencana dan aktifitas industri PT MRJ di Kampung Subur dan Kampung Aiwat Kab Boven Digoel ; (3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memberikan pengakuan hutan adat yang dikuasai dan dikelola Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua.

Ank, Juni 2022

Juli 3, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

SOS untuk Tanah Papua: Presiden Segera Batalkan Kebijakan DOB Papua

by Admin Pusaka Juni 28, 2022
written by Admin Pusaka

Masyarakat Papua bereaksi atas rencana pemerintah pusat mengusulkan kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua, masyarakat terbelah dalam  kelompok yang menolak DOB Papua dan kelompok yang menerima DOB Papua. Kelompok pro DOB menggunakan argumentasi dan dalil antara lain kesejahteraan sosial ekonomi dan akses jangkauan pelayanan pemerintahan. Sebaliknya, DOB dikhawatirkan akan semakin memarginalkan Orang Asli Papua.

Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua dalam Siaran Pers (28 Juni 2022) menyampaikan fakta bahwa aksi dan reaksi terhadap kebijakan DOB Papua dihadapi aparatus negara dengan penangkapan dan pelarangan menyampaikan pendapat,  terjadi kekerasan dan korban meninggal dari masyarakat yang melakukan aksi damai, melibatkan aparatus keamanan negara,

“Sikap pemerintah Pusat yang terus mendorong kebijakan DOB tanpa melihat perpecahan dalam masyarakat dan tanpa melihat fakta pelanggaran hukum, kekerasan dan HAM, yang dialami oleh masyarakat Papua, sangat dikhawatirkan akan berpotensi menciptakan konflik sosial”, ungkap Emanuel Gobay, Koordinator SOS Papua.

Fakta perumusan Rencana Kebijakan DOB di Papua telah memicu ketegangan sosial dan menimbulkan keresahan masyarakat di Papua, menyusul pengiriman  ribuan aparat keamanan dan kepolisian yang didatangkan dari luar Papua, yang diduga untuk mengamankan dan memperlancar penetapan DOB di Papua.

Emanuel Gobay menegaskan dan meminta pemerintah pusat menghentikan pembahasan rencana kebijakan DOB Papua yang menjadi sumber pro kontra masyarakat dan berpotensi menciptakan konflik sosial.

SOS untuk Tanah Papua meminta Presiden Republik Indonesia segera batalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan Pro Kontra dalam Masyarakat Papua demi meredam konflik social sesuai perintah Pasal 6 huruf c, UU Nomor 7 Tahun 2012. Demikian pula DPR RI, segera hentikan Tim Pansus Perumusan Kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan Pro Kontra dalam Masyarakat Papua demi meredam konflik social.

Selengkapnya Siaran Pers SOS untuk Tanah Papua dapat dibaca disini: Kebijakan DOB Papua Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua

Juni 28, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Kebijakan DOB Papua Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua

by Admin Pusaka Juni 28, 2022
written by Admin Pusaka

 

Juni 28, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Siaran Pers:  Perusahaan di Papua Menggugat Menteri Investasi yang Mencabut Izin Pelepasan Kawasan Hutan

by Admin Pusaka Juni 23, 2022
written by Admin Pusaka

Jakarta, 22 Juni 2022 — Masyarakat adat dari Lembah Grime Nawa, Jayapura, Provinsi Papua, telah lama dihantui kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri, yang datang ke kampung mereka. Perusahaan ini, telah menggunduli ratusan hektar hutan tanpa ada persetujuan masyarakat luas.

Pada awal tahun 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. 01/2022 yang mencabut izin konsesi puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua, termasuk PT Permata Nusa Mandiri (PNM). Putusan ini seperti memberi harapan baru bagi masyarakat adat di Papua.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, diikuti oleh pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi oleh Presiden Joko Widodo. Pembentukan tim ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2022 yang dipimpin oleh Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, dibantu Wakil Ketua Menteri ESDM, Menteri LHK dan Menteri ATR/ Kepala BPN. Satgas bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Satgas ini bertugas menindaklanjuti pencabutan izin usaha pertambangan, izin pinjam pakai kawasan hutan, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, yang didasarkan proses verifikasi perizinan dan klarifikasi dari perusahaan.

Hasil kerja satgas tersebut, berlanjut dengan pencabutan izin konsesi kawasan hutan kepada 15 perusahan oleh Kepala BKPM pada 29 Maret 2022. Tiga perusahaan diantaranya yang dicabut izinnya adalah perusahaan yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan yang berada di Papua, yakni PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di Kabupaten Jayapura seluas 16.182,48 ha, PT Menara Wasior (MW) di Kabupaten Teluk Wondama seluas 28.838,82 ha, dan PT Tunas Agung Sejahtera (TAS) di Kabupaten Mimika seluas 39.500,42 ha, dengan total luas 84.521,72 hektar. Pemerintah tidak main-main untuk mencabut perizinan perusahaan yang tidak sesuai peruntukkannya dan tidak melaksanakan kewajibannya, tegas Bahlil dalam keterangan tertulis (30/032022)

Perusahaan PT Tunas Agung Sejahtera dan PT Permata Nusa Mandiri merupakan dua perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan semasa Menteri Zulkifli Hasan. Pelepasan tersebut ia berikan menjelang akhir masa jabatan sebagai Menteri Kehutanan, yang pernah diperiksa terkait kasus dugaan korupsi. Presiden Joko Widodo, kembali angkat Zulkifli Hasan yang juga politisi Ketua Partai Amanat Nasional, sebagai Menteri Perdagangan pada 15 Juni 2022.

Ketiga perusahaan PT PNM, PT TAS, dan PT MW, yang izinnya dicabut, merupakan anak perusahaan Indo Gunta Group, yang diduga saham dan bisnisnya dimiliki dan dikuasai Anthoni Salim, Direktur Indofood Sukses Makmur TBK, dan pemilik saham mayoritas Salim/Indofood Group, salah satu taipan penguasa lahan dan bisnis minyak kelapa sawit di Indonesia. Indogunta dan IndoAgri memiliki desain logo yang sama. Logo ini menjadi merek dagang Indofood. Beberapa anak perusahaan Indogunta dan Indofood di bawah IndoAgri juga berbagi kantor yang sama.

Perusahaan melawan dan menggugat putusan pemerintah yang mencabut izin perusahaan. Pada 14 Juni 2022 lalu, tiga perusahaan PT PNM, PT TAS, dan PT MW, menggugat keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kasus tersebut tercatat dengan nomor perkara 166/G/2022/PTUN.JKT, 167/G/2022/PTUN.JKT, dan 168/G/2022/PTUN.JKT.

Situasi hukum ini menjadi perhatian masyarakat adat disekitar areal konsesi perusahaan  penggugat tersebut dan organisasi masyarakat sipil untuk pembelaan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan.

“Gugatan ini, akan memperpanjang jalan perjuangan masyarakat merebut kembali wilayah adat mereka” ujar Tigor Hutapea, staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Tigor menekankan pentingnya wilayah adat bagi masyarakat adat untuk tetap dipertahankan sebagai hutan, yang bermanfraat sebagai salah satu sumber pangan masyarakat adat.

“Hutan di Gime Nawa, dan daerah sekitarnya memiliki bergam potensi. Bahkan masyarakat telah mengelolanya sebagai wilayah konservasi berbasis masyarakat adat” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Menurut Sekar, jika kehadiran perusahaan kebun sawit tetap dipertahankan, justru keragaman hayati ini akan semakin terancam dan bahkan punah.

Oleh sebab itu, dalam menghadapi serangan balik perusahaan ini, pemerintah harus menghadapinya dengan transparan, pemerintah harus membuka ke publik semua pertimbangan dan hasil evaluasi yang dilakukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan. Publik terutama masyarakat adat tentunya akan mendukung langkah pemerintah mempertahankan upaya pencabutan tersebut. Selain itu, untuk mempertahankan hutan tersisa, pemerintah harus mempercepat pengakuan masyarakat adat serta penetapan wilayah adat mereka.

Nara Hubung:

  • Tigor Hutapea Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: +62 812-8729-6684
  • Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia: +62 812-8776-9880
Juni 23, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Info Grafis

by Admin Pusaka Juni 9, 2022
written by Admin Pusaka
Juni 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Publikasi

Sikap Bersama CSO Indonesia: Proposal Regulasi Uji Tuntas Uni Eropa

by Admin Pusaka Juni 6, 2022
written by Admin Pusaka
Juni 6, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Masyarakat Asli Malind Meminta Perusahaan Bertanggung Jawab Memulihkan Sumber Kehidupan Masyarakat

by Admin Pusaka Juni 5, 2022
written by Admin Pusaka

(Jumat, 03 Juni 2022) Puluhan masyarakat asli Malind dari Kampung Buepe, Distrik Kaptel dan Kampung Zanegi, Distrik Animha, yang terdampak dari aktifitas perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT Plasma Nutfah Marind Papua PT Plasma Nutfah Marind Papua dan  PT Selaras Inti Semesta, bertemu dan berdialog dengan pemerintah di Kota Merauke. Pemerintah yang hadir pejabat DPMPTSP (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Merauke, Ismanto, anggota DPRD Kabupaten Merauke, Dominikus Ulukyanan.

Masyarakat menyampaikan  surat pernyataan sikap terkait permasalahan yg dihadapi dengan adanya aktifitas perusahaan yang menggusur hutan adat dan dusun, untuk industri kemersial  kertas dan energi biomass.

“Kami meminta perusahan bertanggung jawab untuk memperbaiki dan memulihkan fungsi-fungsi hutan dusun sagu, tempat mencari ikan, tempat keramat, tempat suci dan hutan tempat berburu, serta tempat sekitar aliran sungai dan rawa”, ungkap Lukas Samkakai, tokoh masyarakat Malind dari Kampung Buepe, Distrik Kaptel.

Perusahaan menebang kayu dan masyarakat adat setempat diberikan uang kompensasi kayu Rp. 2.500 per meter kubik. Standar nilai kompensasi ini digunakan perusahaan dengan dasar Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012 tentang Standar Kompensasi atas Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bulan Kayu yang Dipungut Pada Areal Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Gubernur Papua ini dan pemberian uang kompensasi perusahaan dianggap tidak adil, tidak sesuai dengan kerugian sosial ekonomi dan kerusakan hutan, yang ditanggung masyarakat.

“Nilai kompensasi merugikan masyarakat, kami minta pemerintah meninjau peraturan ini,” ungkap Vitalis Gebze dari Kampung Zanegi, Distrik Animha.

Pejabat DPMPTSP Kabupaten Merauke, Ismanto, menanggapi investor wajib mengakomodir kepentingan masyarakat. Ungkapan serupa disampaikan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Merauke, Dominikus Ulukyanan, “Perusahaan harus menghormati hak orang asli Papua. Penuhi janji-janji yang sudah disampaikan ke masyarakat”, kata Dominikus Ulukyanan.

Lukas Samkakai, mengungkapkan tidak mau lagi ada investasi di wilayah adatnya, “Perusahaan usaha yang ada saja dan harus penuhi janji kesejahteraan masyarakat.  Perjanjian juga harus dilihat lagi. Dan Kami minta,  perusahaan jangan larang kami berburu dan cari makan. Itu tanah kami”, tegas Lukas Samkakai.

Masyarakat berharap ada peninjauan kembali perizinan perusahaan dan realisasi janji perusahaan.

Ank, Juni 2022

Juni 5, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Publikasi

Surat Pernyataan: Masyarakat Malind Terdampak Perusahaan Bisnis HTI di Merauke

by Admin Pusaka Juni 5, 2022
written by Admin Pusaka
Juni 5, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Press Release: Amicus Curiae ‘Sahabat peradilan’ untuk Hakim Mahkamah Agung RI

by Admin Pusaka Juni 2, 2022
written by Admin Pusaka

Perkara ini berawal dari Keputusan Bupati Kabupaten Sorong mencabut perizinan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari. Tiga perusahaan tersebut kemudian menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Majelis hakim PTUN Jayapura memutus para penggugat perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR tidak memiliki kepentingan yang dirugikan untuk menggugat, menyatakan tidak menerima dan menolak gugatan untuk seluruhnya, atas perkara 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, majelis menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

Dalam upaya hukum banding, majelis hakim pengadilan tinggi Tata Usaha Negara Makassar mengabulkan gugatan perusahaan para penggugat 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR untuk seluruhnya. Majelis menilai tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi pencabutan secara langsung, maka seharusnya Bupati tidak memberikan sanksi terberat berupa pencabutan ijin namun terlebih dahulu memberikan teguran tertulis.

Atas putusan banding, Bupati Sorong mengajukan upaya kasasi. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia atas putusan Perkara Tingkat Banding PT TUN Makassar  Nomor 12/B/2022/PT.TUN.MKS, 13/B/2022/PT.TUN.MKS, 41/B/2022/PTTUN.MKS dan 42/B/2022/PTTUN.MKS.

Di dalam Amicus Curiae kami menilai keputusan Bupati Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit didasarkan evaluasi mendalam atas perbuatan pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban didalam IUP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan, kejanggalan penerbitan izin-izin dan perilaku ketidakseriusan para penggugat untuk melakukan usaha sejak menerima izin-izin[1].  Pelanggaran yang dilakukan berlapis sehingga harus dinilai  bukan pelanggaran biasa, sanksi yang diberikan harus bersifat regresif  berupa pencabutan keputusan yang menguntungkan. Pasal 55 Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman perizinan usaha perkebunan memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mencabut izin usaha.

Rekomendasi lain meminta Majelis hakim melihat keempat perkara memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan. Keempat perkara juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi Masyarakat Adat. Hakim Agung wajib menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dengan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dan Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutus.

Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi telah mengakui hak-hak masyarakat adat. Tanah Papua Bukanlah Tanah Kosong, setiap tempat ada pemiliknya.  Penolakan pemilik hak ulayat atas perusahaan wajib di pertimbangkan sebagai partisipasi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas hak-haknya dari lembaga peradilan.  Hakim Agung wajib memperhatikan sikap penolakan dan memenuhi nilai keadilan yang disuarakan masyarakat adat.

Jakarta, 31 Mei 2022

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua

Narahubung:   081287296687 (Tigor Hutapea)

Unduh Amicus Curiae di sini: Amicus Curiae untuk Hakim Mahkamah Agung

(1) Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, Februari 2021

Juni 2, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Publikasi

Amicus Curiae untuk Hakim Mahkamah Agung

by Admin Pusaka Juni 2, 2022
written by Admin Pusaka
Juni 2, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Sesat Pikir Hutan“Tidak Produktif”
  • SOS untuk Tanah Papua: Presiden Segera Batalkan Kebijakan DOB Papua
  • Kebijakan DOB Papua Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua
  • Siaran Pers:  Perusahaan di Papua Menggugat Menteri Investasi yang Mencabut Izin Pelepasan Kawasan Hutan
  • (tanpa judul)

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo