Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Author

Admin Pusaka

Admin Pusaka

BeritaPress Release

Organisasi Lingkungan Menjadi Pengungat Intervensi Atas Gugatan Lingkungan yang Dilakukan Masyarakat Adat Papua

by Admin Pusaka Mei 19, 2023
written by Admin Pusaka

Jakarta, 17 Mei 2023. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hari ini mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dalam perkara Hendrikus Woro melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, atas terbitnya Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Nomor 82 Tahun 2021 Tanggal 2 November 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 98 Ton TBS/Jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Kedua organisasi ini memiliki kepentingan di pengadilan untuk membela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup di Papua. Pemberiaan izin-izin kepada perusahaan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan mengkonversi kawasan hutan Papua dalam skala luas telah melanggar hak masyarakat adat dan tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.

Penerbitan objek gugatan menunjukkan belum adanya rasa keadilan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi.

Wilayah yang ditetapkan menjadi konsesi PT Indo Asiana Lestari, merupakan Ekosistem Hutan Adat Awyu Woro memiliki peran penting terhadap peradaban masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan.  Keberadaan hutan ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal di dua belas kampung, yaitu kampung Bangun (Yare), Kampung Kowo, Kampung Kowo Dua, Kampung Afu, Kampung Hello, Kampung Kaime, Kampung Memes, Kampung Piyes, Kampung Watemu, Kampung Obinangge, Kampung Uji Kia, Kampung Metto. Hutan dan aliran sungai juga menjadi ruang produksi untuk berburu / memancing ikan, menangkap buaya, dan meramu sumber pangan.

Hal yang paling mendasar adalah secara filosofi dan pandangan masyarakat adat Papua, konsep tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya memiliki kedudukan dan posisi yang penting yang mempengaruhi gerak hidup komunitas masyarakat adat. Tanah diyakini sebagai harapan bersama, dan tanah sebagai relasi iman. Konsep ini amatlah penting dan merupakan sebuah landasan kehidupan bagi masyarakat adat Papua. Tanah sebagai harapan bersama. Artinya, tanah bagi masyarakat adat Papua adalah sebuah harta yang abadi dan terakhir. Tanah mengandung nilai-nilai yang transendental yang absolut. Di dalamnya juga terkandung kemuliaan dan keagungan yang  memberi arti, makna, manfaat, ataupun tujuan hidup yang baik dan benar bagi masyarakat adat Papua.

Sementara mengenai konsep tanah sebagai harapan hidup berkaitan erat dengan harapan hidup masyarakat asli Papua. Masyarakat adat  tidak bisa hidup tanpa tanah. Masyarakat adat hidup, bekerja dan tinggal di atas tanah. Tanah menciptakan dan melahirkan orang asli Papua sebagai manusia sejati. Oleh karenanya, tanah juga dianggap sebagai Mama sejati, karena masyarakat adat hidup dan dibesarkan oleh tanah milik mereka.

Pengambilan wilayah adat secara sepihak sama artinya dengan mengambil seluruh kehidupan mereka. Sehingga sudah seharusnya Majelis Hakim dapat membuat keputusan yang memihak kepada masyarakat adat Papua dengan mengabulkan secara keseluruhan apa yang menjadi tuntutan masyarakat.

Dalam persidangan E-Court yang telah berlangsung majelis hakim telah menerima gugatan intervensi kedua organisasi, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban dari Pihak Tergugat  Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan pihak Tergugat Intervensi PT Indo Asiana Lestari.

Narahubung :

Uli Arta Siagian (Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional): +62 821-8261-9212

Tigor Hutapea ( Staff Advokasi Yayasan PUSAKA): +62 812-8729-6684

Mei 19, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

KLHK Segera Buka Informasi dan Partisipasi Publik untuk Akses Sumber Daya Alam yang Berkeadilan

by Admin Pusaka Mei 19, 2023
written by Admin Pusaka
Mei 19, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Permohonan Intervensi ke PTUN Jakarta

by Admin Pusaka Mei 10, 2023
written by Admin Pusaka
Mei 10, 2023 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Laporan

Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran

by Admin Pusaka Mei 4, 2023
written by Admin Pusaka
Mei 4, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers : Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran

by Admin Pusaka Mei 4, 2023
written by Admin Pusaka

Konstitusi UUD 1945, Pasal 28 E dan Pasal 28 F, secara tersurat dan tersirat menjelaskan hak bebas berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, hak untuk mencari, memperoleh dan menyampaikan informasi.

Praktiknya, penghormatan dan perlindungan atas hak dasar atas kebebasan berekspresi ini seringkali dilanggar, diabaikan dan digembosi oleh penguasa pemerintah dan aparatus keamanan negara. Masyarakat sipil dan aktivis pergerakan sosial yang mengekspresikan dan menyuarakan suara kritis dan aksi damai untuk menyoroti kekuasaan, mengungkap ketidakadilan dan kebenaran, dipaksa diam, disiksa, dan bahkan dipenjarakan, dengan berbagai alasan, diskriminasi dan legitimasi aturan hukum.

Di Tanah Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) mendokumentasikan peristiwa pelanggaran HAM berbasis pada peristiwa sepanjang tahun 2022 yang kami laporkan dalam publikasi “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”. Kami menemukan 26 kasus yang diduga melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang terjadi meluas di berbagai daerah di Papua, Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong.

Baca Laporan Pemantauan HAM PUSAKA 2022, Final

Aksi protes terhadap kebijakan Otonomi Khusus Papua dan pembentukan Daerah Otonomi Baru, dan menyuarakan ketidakadilan, dihadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi, yang melibatkan aparat keamanan negara Polri TNI dengan bertindak represif dan melanggar konstitusi hukum, yakni UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia ; UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ; UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ; Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalm Tindakan Kepolisian. Dalam kasus ini terdapat tiga korban meninggal dan 72 orang luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, diantaranya 18 orang dikenakan pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.

“Pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan beresiko merampas hak hidup, tidak demokratis, penguasa menjadi paling benar”, jelas Franky Samperante, Direktur Pusaka.

Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan memajukan HAM. Presiden Jokowi berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM dan Dialog Damai. Jauh Panggang Dari Api, praktiknya pelanggaran HAM di Papua masih  terus terjadi. Pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata saat ini menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi.

Pusaka berpendapat dan meminta pemerintah dan aparat keamanan negara untuk menghormati dan melindungi hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan/atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Papua.

Pemerintah segera mengevaluasi kebijakan pendekatan keamanan dan penggunaan taktik brutal TNI Polri dalam penanganan dan pengendalian aksi protes, melakukan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM dan memulihkan hak-hak korban; dan melakukan Dialog Damai yang efektif.

Jakarta, 03 Mei 2023

Kontak Person:

Franky Samperante: +62 813 1728 6019

Ambrosius Mulait: +62 812-8580-4545

Mei 4, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Mengkhawatirkan Situasi Konflik Bersenjata dan Ketidakamanan di Papua

by Admin Pusaka Mei 2, 2023
written by Admin Pusaka

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengumumkan dan menaikkan status operasi TNI di Papua dari pendekatan lunak (soft approach) dan pendekatan hukum menjadi siaga tempur. (18 April 2023). Peningkatan status ini disampaikan menyusul peristiwa serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terhadap  prajurit TNI yang menggelar operasi di Mugi, Nduga, yang menewaskan satu orang prajurit TNI. Situasi keamanan dan konflik bersenjata di Papua memanas dan mengkhawatirkan.

Sejak Maret 2023, gabungan aparat TNI Polri dalam Satgas Damai Cartenz diketahui melakukan operasi pencarian dan pembebasan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mark Marthens, yang disandera kelompok pro kemerdekaan pimpinan Egianus Kogoya pada Februari 2023. Operasi meluas dari wilayah Nduga ke daerah Lanny Jaya, Yahukimo dan Puncak. Negosiasi damai belum dapat diwujudkan.

Terjadi peningkatan operasi militer dan kontak senjata khususnya didaerah konflik bersenjata, seperti Nduga, Intan Jaya, dan sekitarnya. Pengiriman pasukan TNI ke Papua turut meningkat. Pada akhir Maret 2023, Panglima TNI mengirimkan 950 prajurit TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia – Papua Nugini.[1] Pada awal April 2023, Pangdam XVII Kasuari Papua Barat Mayjen TNI Gabriel Lema memimpin upacara penerimaan 1.200 personil anggota TNI yang dikirim dari Yonif 133/YS dan Yonif 623/BWU, di lapangan upacara Yonif 762/VYS Sorong Papua Barat Daya. Para prajurit ini kemudian di ditempatkan ke sejumlah kampung di Maybrat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten lainnya di Papua Barat Daya.

Berdasarkan dokumentasi Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) memperkirakan ada 9.205 personel TNI dan Polri yang dikirimkan ke Provinsi Papua dan Papua Barat sepanjang Januari – Desember 2022.[2]

Menurut KontraS Papua dalam siaran pers (14 April 2023), konflik bersenjata antara TPNPB dengan TNI Polri menimbulkan ketidakamanan dan berdampak pada kehidupan warga sipil di Intan Jaya, seperti informasi pembakaran rumah warga dan ada warga yang diduga hilang, satu korban jiwa.

Pendekatan keamanan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua. Pandangan ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melalui siaran pers (17 April 2023).

“Kami memandang evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI. Ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua”, jelas Michael Himan, anggota koalisi dari #PapuaItuKita.

Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Berdasarkan penelusuran Imparsial, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal.

Di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, Aliansi Masyarakat Maybrat Peduli Kenyamanan melakukan aksi demonstrasi damai melakukan protes penempatan dan penambahan pasukan TNI di kampung yang berada di Distrik Aifat Utara dan  Distrik Aifat, Maybrat (17 April 2023). Aksi protes warga Maybrat ini dilakukan di Kantor Bupati Maybrat, Kota Kumurkek.

Para demonstran menyatakan bahwa kampung mereka bukan wilayah perang, juga bukan merupakan  wilayah konflik bersenjata. Selama ini kampung mereka aman saja. Namun penempatan anggota TNI di kampung membuat warga cemas, trauma, tidak nyaman dan ketakutan, mereka takut dengan kehadiran TNI ini akan menciptakan kekerasan terhadap warga kampung dan berpotensi mendatangkan konflik baru. Mereka berkeberatan atas kehadiran militer.

Kapolda Papua, Irjen Mathius D. Fakhiri, berdalil pihak kepolisian tetap menjalankan penegakan hukum bersama pemda setempat, akibat makin maraknya gangguan keamanan. Sebelum melakukan penegakan akan meminta masyarakat warga di wilayah KKB Papua untuk sementara waktu diminta mengungsi ke ibu kota provinsi (28 April).[3]

Situasi kemanusiaan yang ditimbulkan dari operasi militer dan konflik bersenjata, kekerasan, penangkapan dan penyiksaan, jumlah pengungsi yang semakin meningkat di Papua, mendapat sorotan pemimpin agama di Tanah Papua.

Sudah tentu situasi (konflik, red) dewasa ini adalah ‘buatan manusia’, bukan suatu musibah alami. Orang menciptakannya! Sudah tentu kami mengutuk segala bentuk kekerasan serta pembunuhan oleh pihak mana saja, entah TPNPB-OPM, entah TNI, entah Polri, entah siapa. Bagaimana mungkin segala macam hak-hak dasar para warga Papua begitu saja dibatasi sampai ditiadakan, sampai dapat dibunuh? Apalagi makin banyak orang yang tak berdosa, warga sipil, menjadi korban dalam situasi yang diciptakan. Tulis para pemimpin gereja dalam Surat Pernyataan (24 April 2023).

Kebenaran sangat penting untuk ditetapkan bersama, karena menjadi kunci menuju perdamaian. Kebenaran Harga Damai. Karena itu juga kami berpendapat bahwa situasi di Papua hanya dapat diatasi kalau kita semua bersedia duduk bersama dan secara jujur menganalisa akar-akar konflik yang sebenarnya. Singkirkan segala retorika dan ideologi politik, dan terbukalah untuk melihat situasi serta latarbelakangnya secara jernih dan jujur.

Pernyataan Sikap Pemimpin Gereja di Tanah Papua dari Gereja Katolik, Gereja Kristen Injili, Gereja Baptis, Gereja Kingmi dan Gereja GIDI, ditujukan kepada Presiden RI dan Pejabat Pemerintah RI, meminta untuk dilakukan evaluasi keamanan dan upaya penghentian kekerasan di Papua melalui Dialog Damai Bermartabat.

Para pemimpin gereja meminta Presiden dan Pejabat yang berkehendak baik untuk mengubah pendekatan penyelesaian konflik dan meminta adanya pemulihan kembali segala hak dasar konstitusional. Pemulihan ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan medan yang lebih sesuai untuk memasuki suatu dialog yang lebih terarah dan jujur mengenai akar-akar konflik di Papua dan cara penyelesaiannya. Memohon kesediaan Presiden untuk memberikan mandat resmi kepada suatu kelompok kerja untuk memprakarsai ‘dialog perdamaian’ dengan Papua; melakukan ‘Jeda Kemanusiaan’, atau pemberhentian segala bentuk kekerasan dari pihak TPNPB-OPM maupun TNI-Polri ; secara khusus berhubungan dengan soal penyanderaan, kami menyarankan supaya proses negosiasi dijalankan oleh pihak gereja-gereja, dan segala pasukan di sekitar lokasi penahanan pilot ditarik masuk markas.

Selengkapnya Surat Pernyataan baca disini: Pernyataan Sikap Pemimpin Gereja Tanah Papua – 24 April 2023

Ank, Mei 2023

[1] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/03/24/850-prajurit-diberangkatkan-ke-papua

[2] https://jubi.id/tanah-papua/2023/aldp-sepanjang-2022-sedikitnya-ada-9-205-personel-tni-polri-dikirim-ke-papua-dan-papua-barat/

[3] https://news.republika.co.id/berita/rttvrh377/operasi-penegakkan-hukum-digelar-warga-di-wilayah-kkb-papua-diminta-mengungsi

Mei 2, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Memajukan dan Mewujudkan Penghormatan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat Papua

by Admin Pusaka April 13, 2023
written by Admin Pusaka

Negara mengakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujud penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Pengakuan ini tertuang dalam ketentuan menimbang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, huruf f.

Negara sebagai pemangku HAM (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menjamin pelaksanaan, pemajuan dan pemenuhan HAM di Tanah Papua dan wilayah lainnya. Negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to fulfill) dan memenuhi (to protect) Hak Asasi Manusia, termasuk didalamnya hak-hak masyarakat adat.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berpandangan gugatan Hendrikus Woro, Pembela Hak Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dari masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, terhadap kebijakan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boveb Digoel, Provinsi Papua, merupakan bagian dari menuntut tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Terkait dengan pemeriksaan gugatan lingkungan hidup tersebut, dalam perkara Nomor6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengajukan permohonan intervensi sebagai pihak ketiga, pada majelis hakim PTUN Jayapura pada Rabu, 12 April 2023, yang didampingi tim kuasa hukum tergabung dalam Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Pemohon Intervensi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat untuk memohon menjadi pihak ketiga atau intervensidengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar Pemohon Intervensi tidak dirugikan oleh sebuah putusan pengadilan. Pemohon Intervensi adalah organisasi non pemerintah yang memiliki perhatian penuh terhadap Hak Asasi Manusia khususnya yang berkaitan dengan Hak Masyarakat Adat di Papua dan Kelestarian Lingkungan Hidup di Papua.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengungkapkan “Permohonan intervensi ini didasarkan misi kepentingan dan tujuan untuk mengupayakan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat ; hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya, hak atas lingkungan hidup ; adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat miskin ; Adanya jaminan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan”, kata Franky Samperante.

Anggota Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Emanuel Gobay, S.H, M.H., menjelaskan, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidupsebagaimana yang diatur dalam Pasal 92 ayat 2 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dimana organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”, jelas Emanuel Gobay, S.H, M.H, yang juga Direktur LBH Papua.

Permohonan intervensi yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup, telah terdapat berbagai preseden didalam Putusan Perkara Nomor 75 /G.TUN/2003/PTUN-JKT/INTV, 4 (empat) organisasi lingkungan hidup antara lain WALHI, ICEL, APHI, dan PBHI dapat diterima sebagai pihak intervensi dalam perkara reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi masyarakat adat Awyu di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, untuk advokasi melindungi, mengamankan dan mengelola hutan adat secara adil dan berkelanjutan, salah satunya mendokumentasikan pengetahuan tenurial dan pemetaan wilayah adat, dan merencanakan upaya pengakuan hak atas tanah dan hutan adat oleh marga-marga setempat. Masyarakat adat Awyu telah menunjukkan kemampuan dan pengetahuan mereka mengelola hutan adat secara berkelanjutan.

Keberadaan objek Gugatan akan melanggar hak hidup dan hak atas lingkungan hidup, bahwa tempat penting  dan sakral dan temuan kenekaragaman bioderversity  terancam hilang akibat keberadaan objek gugatan. Hal ini merugikan kepentingan dari pemohon intervensi yang saat ini bersama-sama penggugat dan masyarakat adat lainnya yang sedang mempersiapkan syarat pengakuan hutan adat guna perlindungan sumber daya dan lingkungan.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat  mohon agar Majelis Hakim PTUN Jayapura yang memeriksa dan mengadili Perkara ini berkenan untuk memberikan Putusan sebagai berikut: (1) Menerima dan mengabulkan permohonan intervensi yang diajukan oleh Pemohon Intervensi untuk seluruhnya ; (2) Menyatakan secara hukum Pemohon Intervensi merupakan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum dalam Perkara Nomor6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura ; (3) Menerima Pemohon Intervensi sebagai pihak Penggugat Intervensi di dalam Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Jayapura, 13 April 2023

Kontak Person:

Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: +62 813 1728 6019

Tim Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Emanuel Gobay, S.H., M.H.: +62 821-9950-7613

Tigor G Hutapea, S.H.: +62 812-8729-6684

April 13, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Senator Filep: Sudahkah DBH SDA Kehutanan Bermanfaat Bagi Masyarakat Adat Papua

by Admin Pusaka April 3, 2023
written by Admin Pusaka

Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam Kehutanan penting untuk diperhatikan, terutama konteks Papua yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan memastikan DBH Kehutanan berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat adat Papua.

Anggota DPD RI, Dr. Filep Wamafma, S.H., M.Hum., mengatakan regulasi baik dalam sekala nasional maupun lokal telah menegaskan perihal pengelolaan DBH Kehutanan bagi daerah penghasil dan peruntukannya secara terperinci.

“Kita lihat regulasi nasionalnya, ada dalam Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lalu regulasi itu juga didukung dalam skala lokal yakni dengan adanya Otsus,” ujar Filep Wamafma, Sabtu (1/4/2023).

Filep menerangkan, Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa DBH SDA kehutanan bersumber dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi. Kemudian, DBH kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan ditetapkan sebesar 80 persen untuk bagian daerah dan dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 32 persen dan kabupaten/kota penghasil sebesar 48 persen.

Sedangkan, DBH kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80 persen dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 32 persen, kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16 persen, dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen. DBH kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi ditetapkan sebesar 40 persen untuk provinsi penghasil.

“Ketentuan dalam Otsus Papua Barat, Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2021 mengatakan bahwa dana perimbangan dan penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus dari bagi hasil SDA Kehutanan sebesar 80 persen. Sekarang mari kita lihat bagaimana fluktuasi dan dinamika DBH Kehutanan ini, khususnya di Papua Barat,” kata Filep.

Dana Bagi Hasil Kehutanan Papua Barat sejak tahun 2018 silam tercatat sebesar Rp 47,241 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 73,139 miliar, tahun 2021 sebesar Rp 45,736 miliar dan di tahun 2022 sebesar Rp 75,274 miliar. Dana-dana per tahun ini merupakan jumlah keseluruhan dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi.

“Sedangkan, komposisi DBH SDA kehutanan Papua Barat cukup besar bersumber dari DBH dana reboisasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kewenangan kehutanan di kabupaten menjadi kewenangan provinsi. Misalnya pada tahun 2018, DBH dana reboisasi sebesar Rp 34,736 Miliar dan di tahun 2019 sebesar Rp 63,958 Miliar. Jadi ada kenaikan sekitar 84 persen”, kata Filep, yang mempertanyakan alokasi dana tersebut bagi pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan Permenkeu Nomor 216/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi, menyebutkan bahwa DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi provinsi digunakan untuk membiayai kegiatan dengan urutan prioritas sebagai berikut: rehabilitasi di luar kawasan sesuai kewenangan provinsi; rehabilitasi hutan dan lahan sesuai kewenangan provinsi; pembangunan dan pengelolaan Hasil Hutan Kayu, HHBK dan/atau jasa lingkungan dalam kawasan; Pemberdayaan Masyarakat dan Perhutanan Sosial; operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan; pengendalian kebakaran hutan dan lahan; perlindungan dan pengamanan hutan; pengembangan perbenihan tanaman hutan; penyuluhan kehutanan; dan/atau strategis lainnya.

Pelaksanaan kegiatan itu dilakukan dengan mengutamakan pelibatan masyarakat untuk mendukung pemulihan perekonomian di daerah termasuk namun tidak terbatas melalui mekanisme padat karya, bantuan sarana produksi, dan/atau bantuan bibit. Provinsi atau kabupaten/kota dapat menggunakan paling tinggi 10 persen dari DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi atau sisa DBH dana reboisasi Kabupaten/Kota, untuk mendanai kegiatan penunjang yang berhubungan langsung dengan pencapaian keluaran kegiatan.

“Dalam penyusunan rancangan teknis, Pemda dapat berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis KLHK yang membidangi pengelolaan DAS dan rehabilitasi hutan atau lahan setempat untuk menentukan lokasi kegiatan berdasarkan peta lahan kritis, peta kebakaran hutan dan lahan, dan peta penutupan lahan. Gubernur kemudian menyusun laporan realisasi penggunaan DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi untuk kegiatan tersebut tiap semester,” papar Filep.

Filep menambahkan, aturan ini pun sejalan dengan PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang dalam Lampirannya memberikan kewenangan kepada Provinsi dalam hal pengelolaan hasil hutan, rehabilitasi hutan, dan pengelolaan hutan adat.

“Salah satu kewenangannya yang konkret terkait pengelolaan hutan adat yaitu menetapkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat setelah ditetapkannya hutan adat sesuai fungsi kawasan hutan. Ini berarti seharusnya ada sinergi antara pemerintah pusat dan provinsi dalam mengatur pengelolaan DBH Kehutanan bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Oleh sebab itu saya harus bertanya, bagaimana realisasi DBH Hutan ini?” tanya Filep lebih lanjut.

Doktor Hukum Universitas Hasanuddin ini pun berharap agar realisasi DBH Kehutanan ini benar-benar tepat sasaran dan menunjukkan hasil di tengah masyarakat Papua Barat, khususnya untuk pemberdayaan masyarakat adat.

“Hal ini sangat urgent untuk diperhatikan. Selama ini kita hanya fokus pada migas, sementara hutan Papua Barat ini semakin tergerus. Apakah kita hanya diam saja menyaksikan semuanya? Sebagai wakil rakyat, saya juga membawa amanat untuk melestarikan hutan Papua Barat sekaligus mengawal supaya DBH Kehutanan bisa dirasakan oleh masyarakat Papua Barat,” tegas Filep.

Ank, April 2023

April 3, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers: Mendesak Pemerintah Menyegerakan Penegakan Hukum Mencabut Izin Konsesi di Kawasan Hutan

by Admin Pusaka Maret 21, 2023
written by Admin Pusaka
Maret 21, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Hutan Malamoi Kembali Terancam oleh PT Sorong Global Lestari

by Admin Pusaka Maret 20, 2023
written by Admin Pusaka

Perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak kehilangan akal, setelah gugatan mereka dimenangkan oleh bupati Sorong. PT Inti Kebun Lestari kini datang dengan nama baru yaitu PT Sorong Global Lestari (SGL), yang saat ini sedang berusaha untuk mendekati pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan masyarakat adat.

Pada tanggal 14 Maret 2023, bertempat di salah satu hotel di kota Sorong, PT SGL gelar rapat koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Dinas Perijinan Provinsi Papua Barat Daya, Dinas Pertanahan dan Kehutanan Kabupaten Sorong, serta empat kepala distrik, yakni Distrik Salawati, Distrik Klamono, Distrik Malabotom, dan Distrik Segun. Rapat koordinasi tersebut untuk mengkaji tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada lahan seluas 16.305,16 ha dengan rincian penggunaan lahan adalah, untuk kebun inti seluas 11.739,71 ha, kebun plasma 2.934,93 ha, pembibitan 91,81 ha, pabrik Pengelolahan Kelapa Sawit (PKS) kapasitas 90 ton/jam akan di bangun dilahan seluas 25 ha, dan untuk menunjang kegiatan perkebunan dan pabrik akan dibangun perumahan karyawan diatas lahan seluas 100 ha yang tersebar di 13 lokasi. Untuk menjaga kelestarian lingkungan PT SGL menyiapkan lahan seluas 1.423,69 ha untuk kebutuhan buffer zone dan daerah sempadan sungai maupun sempadan jalan. Dalam rapat koordinasi tersebut beberapa pihak meminta perusahaan lebih fokus untuk penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dan limbah cair sebelum perusahaan beroperasi.

Rapat koordinasi dimaksud untuk mendengar saran dan pendapat dari pihak dan atau instansi terkait, terutama masyarakat terdampak dari aktivitas perusahaan. Dan untuk menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), sehingga dapat mempermudah pihak perusahaan untuk memperoleh berbagai izin yang mereka butuhkan.

Respon Masyarakat Adat Yang Terdampak

Setelah menggelar rapat koordinasi pada 14 Maret 2023, PT SGL kemudian berencana untuk melakukan sosialisasi dan atau konsultasi publik bersama masyarakat adat yang terdampak dibeberapa distrik yang menjadi sasaran aktivitas mereka.

Pada 16 Maret 2017, marga Fadan di Kampung Klasman dikagetkan dengan undangan pertemuan dari PT Sorong Global Lestari, undangan dengan nomor surat 008/E/SGL/III/2023, pada intinya hendak mengundang marga Fadan untuk mengadakan rapat koordinasi dalam rangka pelaksanaan studi AMDAL rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengelolahan kelapa sawit di kabupaten Sorong, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2023 di Balai Kampung Klaglu (SP 3).

Setelah menerima undangan, marga Fadan tidak tinggal diam. Dalam waktu singkat mereka segera menyiapkan atribut dan tuntutan penolakan untuk diserahkan kepada pihak perusahaan. Atribut seperti kertas warnah ukuran kecil, serta spanduk dengan tulisan yang pada intinya menolak kehadiran perusahaan diwilayah adat mereka.

Waktu yang ditunggu pun tiba, sekitar pukul 09.00 Wit beberapa mobil mewah  melintas dari arah distrik Klamono ke Distrik Malabotom dengan tujuan akhir balai kampung Klaglu. Besar harapan akan disambut baik oleh masyarakat adat yang telah mereka undang. Namun, yang terjadi tidak demikian, marga Fadan dan beberapa marga lain seperti marga Simi, marga Malalu, marga Malagilit punya pandangan yang berbeda tentang perkebunan sawit.

Dengan memegang kertas dan spanduk bertuliskan penolakan, masyarakat adat datangi balai kampung Klaglu dan bertemu pihak perusahaan. Selanjutnya marga Fadan bersama beberapa marga lainnya, menyampaikan pernyataan penolakan serta menyerahkan kertas penolak yang telah mereka siapkan.

Mewakili perusahaan, James Simanungkalit mengatakan pihaknya telah membeli sebagian lokasi PT Inti Kebun Lestari (IKL) yang izinnya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada tahun 2021. Sehingga kehadiran mereka untuk mengsosialisasikan hal tersebut serta mendengar masukan dari masyarakat adat untuk proses studi mengenai analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan tidak memaksa masyarakat adat untuk menyerahkan tanah adatnya. Setelah kehadiran mereka ditolak oleh masyarakat adat di wilayah Klamono, dihari yang sama perusahaan bergegas untuk bertemu dengan masyarakat adat Moi dari Distrik Segun Kabupaten Sorong.

Respon yang sama juga disampaikan oleh masyarakat adat Moi dari Distrik Segun. Bertemu di sala satu Café di alun-alun Aimas Kabupaten Sorong, perwakilan marga yang hadir menyampaikan bahwa mereka menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit.

Mewakili marga Sawit, Simon Sawat yang juga adalah Kepala Kampung Malamas dan pemilik tanah adat yang akan dijadikan sebagai lahan operasi PT SGL, menyampaikan alasan marga Sawat menolak kehadiran perkebunan sawit karena sebagian tanah adatnya telah digunakan oleh pemerintah untuk pemukiman warga (Transmigrasi). Sebagai masyarakat adat kami sangat bergantung pada hutan, sehingga jika hutan dibabat habis untuk perkebunan kami akan kehilangan sumber kehidupan. Sungai akan tercemar dengan limbah kelapa sawit dan kami akan susah untuk mencari ikan. Simon mencontohkan masyarakat adat Moi di distrik Moi Sigin yang tanah adatnya telah diserahkan untuk perusahaan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera, meraka tidak sejahtera setelah hutan mereka diserahkan untuk perkebunan sawit. Konflik antar marga juga tidak terhindarkan setelah adanya perusahaan sawit, misalnya yang terjadi antara marga Mugu Kwolat dan marga Klagumut yang saling mengkalin tanah adat akibat batas alam yang sudah di gusur oleh bul doser milik perusahaan, tapi juga yang terjadi antara marga Kutumun dan Marga Sawat, tutur Simon.

Simon mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit sangat merugikan masyarakat adat, seingga ia meminta kepada pemerintah untuk tidak menerbitkan Ijin Lokasi, Ijin Lingkungan dan Ijin Usaha Perkebunan kepada PT Sorong Global Lestari karena masyarakat adat telah menolak kehadiran perusahan tersebut.

Sebelumnya, pada tahun 2020 dan tahun 2021 bupati Sorong mencabut beberapa ijin perusahaan PT Mega Mustika Plantation (2020), PT Cipta Papua Plantation (2021), PT Papua Lestari Abadi (2021), PT Sorong Agro Sawitindo (2021), PT Inti Kebun Lestari (2021). Beberapa perusahaan merasa kecewa dengan kebijakan pencabutan ijin tersebut, diantaranya PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) kemudian mengugat bupati Sorong ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jayapura, gugatan tersebut dimenangkan oleh bupati Sorong. Ketiga perusahaan tersebut mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Makasar permohonan banding, dimenangkan oleh ketiga perusahaan, hakim PTTUN Makassar pada amar putusannya membatalkan putusan hakim PTUN Jayapura. Bupati Sorong tidak tinggal diam, melalui kuasa hukumnya, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), hakim MA dalam amar putusannya menguatkan putusan PTTUN Makasar atas PT PLA dan PT SAS, sedangkan PT IKL hakim MA justru mengabulkan Kasasi Bupati Sorong.

Apa yang Harus Masyarakat Adat Moi Lakukan?

Masyarakat adat Moi, telah bersentuhan dengan investasi sejak tahun 1935. Kehadiran investor dengan iming-iming kesejahteraan telah merampas tanah masyarakat adat Moi. Setelah Indonesia merdeka, kedatangan migrasi dari tanah Jawa dan beberapa daerah lain atau kita kenal dengan istilah transmigrasi telah mendatangkan penduduk dalam jumlah yang besar ke tanah Papua dan juga tanah Moi, sehingga sekali lagi masyarakat adat Moi harus menyerahkan tanah adat mereka untuk para transmigran.

Tidak sampai disitu hutan Malamoi yang kaya, menarik para pembalak kayu untuk hancurkan hutan Malamoi. Setelah kayu habis diambil, lalu muncul perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2004-2005 untuk membumihanguskan hutan Malamoi. Mungkin ada yang bertanya, apakah masyarakat adat Moi telah sejahtara dan hidup layak? Pertanyaan tersebut dapat dijawab secara cepat dan tegas dengan kata “TIDAK”, masyarakat adat Moi hidup sengsara dan jauh dari kata sejahtera. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat Moi untuk menjaga tahan dan hutan adat yang tersisa.

Pada tahun 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sorong menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 (Perda 10/2017) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Dengan adanya perda 10/1017 pemerintah daerah kabupaten Sorong memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat Moi.

Perda tersebut, mendudukan masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum. Dengan kedudukannya sebagai subyek hukum, masyarakat adat Moi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak dan kepentingannya.

Masyarakat adat Moi dapat menentukan bentuk pembangunan diwilayah adatnya sesuai denga kebutuhan mereka dan apabilah pemerintah hendak merencanakan pembangunan harus terlebih dahulu meminta izin kepada masyarakat adat setempat (Moi).

Masyarakat adat berhak menolak rencana pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah, sehingga tidak ada alasan atas nama pembangunan tanah masyarakat adat Moi harus di korbankan.

Oleh sebabnya, dengan hak yang dimiliki, masyarakat adat Moi harusnya lebih kuat lagi mempertahankan kepemilikan atas tanah adat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

Ijin perkebunan kelapa sawit, akan menghilangkan status kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya, beberapa dokumen perjanjian yang penulis peroleh dari masyatakat adat Moi di Moi Sigin tertuang kata “Melepaskan Tanah kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk kepentingan PT Inti Kebun Sejahtera”, perusahan yang telah membabat habis hutan Malamoi untuk perkebunan Sawit.

Menolak hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah keharusan bagu masyarakat adat Moi, sehingga tanah dan hutan adatnya tidak berpindah tangan dan status kepemilikannya.

Perkembangan hukum Indonesia, telah memudahkan pemerintah dan pemodal untuk merampas tanah milik masyarakat adat, merampas dengan dasar Hak Menguasa Negara. Penyalahgunaan pasal 33 UUD 1945, pasal tersebut sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk merampas tanah masyarakat adat. Sejatinya pasal tersebut tidak memposisikan negara sebagai pemilik atas semua kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat adat. Negara hanya bertugas untuk melindungi dan bukan sebagai pemilik.

Maret 20, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Organisasi Lingkungan Menjadi Pengungat Intervensi Atas Gugatan Lingkungan yang Dilakukan Masyarakat Adat Papua
  • KLHK Segera Buka Informasi dan Partisipasi Publik untuk Akses Sumber Daya Alam yang Berkeadilan
  • Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Permohonan Intervensi ke PTUN Jakarta
  • Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran
  • Siaran Pers : Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo