Produk kebijakan pemerintah Provinsi Papua Barat terkait Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat mengalami perkembangan berarti. Tahun 2019, Pemerintah Provinsi Papua Barat menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman, Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Dalam Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, Pasal 7 – Pasal 14, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten wajib memberikan pengakuan terhadap keberadaan MHA yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Pelaksanaan pengakuan MHA melalui proses penelitian hukum terhadap kriteria MHA, yakni memiliki : (a) letak dan batas wilayah adat; (b) sejarah asal usul MHA; (c) hukum adat yang tumbuh dan berlaku ; (d) kelembagaan atau sistem pemerintah adat; atau (e) harta kekayaan dan atau benda-benda adat.
Lalu tahun 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan MHA dan Wilayah Adat. Guna menindaklanjuti kebijakan pengakuan MHA tersebut, saat ini pada tingkat provinsi, sudah dibentuk tim kerja untuk percepatan pengakuan dan penetapan MHA dan wilayah adat di Provinsi Papua Barat, berdasarkan SK Gubernur Papua Barat Nomor 189/63/3/2022. Pergub dan SK Gubernur Papua Barat ini memberikan arahan pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagai bagian dalam proses penetapan dan percepatan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di wilayah Provinsi Papua Barat.
Namun implementasi isi kebijakan tersebut masih minim penerapannya. Pada tingkat kabupaten, misalnya pemerintah daerah Sorong Selatan sudah ada wacana untuk untuk mendiskusikan dan membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat tingkat kabupaten. Rencana dan inisiatif Pemda Sorong Selatan mendapat tanggapan peserta diskusi terfokus yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Betala Rakyat dan Relawan Peduli Sosial dan Lingkungan, di Gedung Putih Kota Teminabuan, pada Rabu, 13 April 2022.
Sarce Saflesa, perempuan adat Tehit, mengungkapkan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat, termasuk perempuan adat, diperlukan untuk memastikan terpenuhinya kesejahteraan dan kepastian hak-hak atas tanah dan hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat adat.
“Kami juga mengharapkan keterlibatan perempuan adat dalam Panitia Masyarakat Hukum Adat dan seluruh rangkaian kebijakan program pemberdayaan masyarakat adat”, ungkap Sarce Saflesa.
Setalah mendiskusikan perkembangan kebijakan tersebut dan proses pembentukan kebijakan peraturan di daerah Kabupaten Sorong Selatan, peseta dari perwakilan masyarakat adat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perempuan, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa, pemimpin organisasi masyarakat sipil, menyampaikan surat terbuka dan rekomendasi kepada pemerintah daerah Sorong Selatan yang menyoroti dan meminta Bupati Sorong Selatan secepatnya menetapkan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, dan mendukung pendanaan program untuk percepatan penetapan pengakuan hak masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan.
Aliansi juga mendesak Bupati Sorong Selatan segera secepatnya melaksanakan amanat Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, untuk memberikan pengakuan, perlindungan, pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat ; mengeluarkan putusan perlindungan tempat penting dan tempat sakral, serta kebijakan program untuk melakukan identifikasi tempat penting dan sakral, yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat adat setempat.
“Kami meminta Bupati Sorong Selatan untuk mendorong dan mendukung percepatan proses pembahasan dan penetapan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Selatan tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, yang digagas dan diusulkan oleh DPRD Kabupaten Sorong Selatan sejak tahun 2019 lalu”, tegas Yusuf Momot.
Selengkapnya Surat Terbuka baca disini: Surat Terbuka untuk Bupati Sorong Selatan, April 2022
Ank, April 2022