Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Category:

Berita

BeritaPress Release

Siaran Pers: Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Harus Hentikan Kriminalisasi Terhadap Pembela HAM

by Admin Pusaka Maret 7, 2023
written by Admin Pusaka

Demi Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Harus Hentikan Kriminalisasi Terhadap Pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar Atas Kritiknya Terhadap Pejabat Publik. Tuntutan ini disampaikan dalam Siaran Pers oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi.

Kasus kriminalisasi Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar terkait kritiknya terhadap pejabat publik kian tampak dipaksakan. Proses hukum yang memakan waktu sekitar 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan memberi kesan keragu-raguan yang nyata dari kepolisian dan kejaksaan dalam melihat ada tidaknya unsur perbuatan pidana dalam perkara ini. Baru pada Senin 6 Maret 2023, proses hukum terhadap keduanya memasuki tahap penyerahan tersangka dan barang bukti (Tahap 2) dari Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Kami menilai, Penyidik dari Polda Metro Jaya dan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta telah keliru dalam kasus ini. Tindakan Fatia dan Haris tidak dapat dipidanakan karena masih tergolong kritik yang sah terhadap pejabat publik, sekaligus bentuk partisipasi publik dalam rangka pengawasan pemerintahan. Hal ini diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Seharusnya kasus ini tidak berlanjut andai saja Kepolisian dan Kejaksaan tunduk serta taat pada Surat Keputusan Bersama Nomor 229 tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang telah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa bukan sebuah delik pidana apabila berbentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Surat keterangan Komnas HAM nomor 588/K-PMT/VII/2022 pada Juli 2022 menyatakan Fatia dan Haris merupakan pembela HAM. Apabila dihubungkan dengan kritik keduanya yang terkait lingkungan di Papua maka keduanya dilindungi oleh Pasal 66 tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Selain itu, Bab VI Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan apabila tindakan yang dilakukan menjadi bagian dari memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat maka penuntut umum harus menutup perkara tersebut demi hukum dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Oleh karena itu kami mendesak kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta untuk menghentikan perkara ini demi hukum. Jika tidak, maka kondisi ini semakin menunjukan aparat penegak hukum turut menjadi aktor dalam menyempitnya ruang kebebasan.

Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau sikap kritis rakyat terhadap pejabat publik tidak boleh dibungkam aparat penegak hukum melalui penerapan pasal-pasal karet.

Jakarta, 6 Maret 2023

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Demokrasi
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Jakarta, Amnesty International Indonesia, KontraS, LBH PP Muhammadiyah, ICJR, TATAK, LBH Sulteng, YLBH Sisar Matiti Manokwari, Lokataru Foundation, PAHAM Papua, PBHI, PUSAKA, PAKU ITE, IM57+ Institute, Trend Asia, AJI, LBH Pers, WALHI, LBH Masyarakat, Asian Human Rights Commission/AHRC, KIKA dan AJAR.

Maret 7, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Kisah Orang Awyu Mencari Informasi

by Admin Pusaka Maret 1, 2023
written by Admin Pusaka

Suara Hendrikus Woro meninggi. Sudah tiga kali beliau mendatangi kantor dinas yang mengurusi Lingkungan Hidup di Kabupaten Boven Digoel untuk menanyakan permohonan informasi yang dikirimkan pada Mei 2022. Seorang petugas honorer yang menemuinya mengatakan belum ada disposisi dari pimpinan. Bagaimana tidak mutung, Hendrikus berjalan sejauh empat kilometer untuk bertemu dengan pejabat dinas di daerah ini. Hari ini (28 Juni 2022), ketiga kalinya Dia datang, diminta menunggu dan tanpa hasil.

Beberapa hari kemudian  staf dinas menemuinya dan menyatakan tidak bisa memberi informasi tanpa alasan apapun. Hendrikus mengatakan “kami pemilik tanah adat kenapa tidak bisa mendapatkan informasi, hak kami dilanggar”.

Sejak tahun 2017, Komunitas Paralegal Cinta Adat Suku Awyu menolak rencana perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah adat Suku Awyu. Komunitas ini dibentuk Hendrikus Woro bersama tokoh-tokoh adat Awyu, tujuannya menjaga hutan dan tanah adat Awyu.

Tanpa berbicara dengan masyarakat adat, Pemerintah Kabupatan Boven Digoel menerbitkan izin kepada perusahaan kelapa sawit di wilayah adat Suku Awyu, lokasinya diantara Kali Mappi dan Kali Digoel, luasnya mencapai 260.000 hektar, luasnya serupa empat setengah kali luas wilayah DKI Jakarta, terluas untuk satu jenis tanaman monokultur. Ada peran salah satu menteri Joko Widodo saat ini yaitu Zulkifli Hasan,  saat menjabat menteri KLHK dengan melepas areal kawasan hutan di wilayah Suku Awyu, untuk dapat ditebangi diganti tanaman lain.

Pertengahan 2021, alat berat perusahaan membongkar hutan yang terletak dipinggir Kali Digoel, beredar isu akan dibangun pelabuhan alat-alat berat untuk pengembangan perkebunan sawit. Donatus Ana, salah satu anggota komunitas paralegal, menolak hutan adatnya digusur. Ia kemudian melakukan ritual penancapan salib merah sebagai tanda larangan membuka hutan, bila dilakukan sanksi adat berlaku. Sejumlah pihak melaporkan Donatus Ana ke Polsek Mandobo. Ia bersikeras untuk menolak perusahaan bukan kejahatan.

Menyadari ancaman semakin dekat, komunitas paralegal memutuskan harus mencari informasi yang jelas terkait legalitas perizinan perusahaan. Sejak Mei 2022, Hendrikus Woro bersama komunitas paralegal mengirimkan permohonan informasi ke dinas-dinas yang ada di Boven Digoel, mencari tahu apakah pemerintah telah mengeluarkan izin-izin perkebunan kelapa sawit di wilayah adatnya.

Upaya mencari informasi tidak mudah. Selama sebulan komunitas paralegal harus bolak balik dari satu dinas ke dinas lain, menunggu hingga harus berdebat. Sebuah informasi awal diperoleh, Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu Kabupaten Boven Digoel membalas surat menyatakan informasi yang dicari menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Provinsi Papua.

Penelusuran melalui website resmi pemerintah provinsi pun nihil, artinya mereka harus ke Jayapura. Mereka sempat hilang harapan, mencari informasi ke Jayapura butuh biaya yang besar, informasi juga tidak akan langsung didapat mereka mengingat-ingat pengalaman buruk bolak-balik dinas. Mereka berpikir pemerintah tidak adil, seharusnya pemerintah mempermudah masyarakat mencari informasi.

Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat meminta bantuan hukum ke Yayasan Pusaka  dan LBH Papua dengan memberikan kuasa.

Ada dua permohonan ketersediaan infomasi yang diajukan, informasi izin lingkungan ke Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Papua, informasi izin usaha perkebunan ke DPMPTSP Provinsi Papua. Hendrikus Woro terkejut saat memperoleh analisa dampak lingkungan hidup dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan. Hal ini langsung disampaikan ke komunitas paralegal, semua terkejut dan menahan amarah karena pemerintah dinilai diam-diam mengeluarkan izin lingkungan tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

DPMPTSP Provinsi Papua tidak memberikan izin yang dimintakan justru meminta Hendrikus Woro melengkapi nama seluruh para pemilik ulayat secara kolektif, dilampirkan KTP dari masing-masing pemilik ulayat, yang diketahui kepala suku, kepala kampung, kepala distrik, pemerintah daerah kabupaten dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) setempat

Edo Gobay, Direktur LBH Papua mengatakan “syarat itu membatasi dan melanggar hak konstitusional Hendrikus Woro sebagai masyarakat adat untuk memperoleh informasi publik”

Karena hak-haknya telah dilanggar, Hendrikus menggugat DPMPTSP Provinsi Papua hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN Jayapura). Tuntutannya meminta hakim PTUN Jayapura untuk menghukum DPMPTSP Provinsi Papua memberikan informasi ketersedian izin usaha perkebunan sawit diwilayah adatnya.

Informasi adalah hak dasar bagi masyarakat adat yang terdampak dari proyek pembangunan, konstitusi telah menjamin hal itu. Melalui informasi yang terbuka dan mudah dipahami masyarakat adat dapat memberikan pendapat dan menentukan menerima atau menolak. Pendapat dan keputusan ini harus dipertimbangkan untuk diputuskan. Ini adalah bagian dari partisipasi bermakna. Pembangunan saat ini kerap mengabaikan keterbukaan informasi, bila hak ini tidak dipenuhi sama dengan pengabaian terhadap masyarakat adat, ini merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Pengalaman Yayasan Pusaka mencari informasi senada dengan pengalaman Hendrikus Woro, sulit memperoleh akses informasi yang tersedia bahkan tertutup. Untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat adat, keterbukaan informasi perlu diperbaiki pemerintah papua untuk mewujudkan pemerintah yang bersih.

Saat ini Hendrikus Woro bersama Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat Suku Awyu berharap keadilan pada putusan hakim yang akan dibacakan pada tanggal 8 Maret 2023. Hendrikus Woro menyatakan perjuangan yang dilakukan tidak akan berhenti mengamankan wilayah adatnya.

TGH, Feb 2023

Maret 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Perusahaan Korindo Gagal dalam Gugatan Intimidasi terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

by Admin Pusaka Februari 23, 2023
written by Admin Pusaka

Pada Desember 2019, PT Kenertec Power Systems milik Korindo, mengajukan gugatan pencemaran nama baik di Pengadilan Tinggi Hamburg, Jerman, terhadap Center for International Policy (CIP), pendukung Mighty Earth, dan LSM Jerman, Rettet den Regenwald (Rainforest Rescue), yang mengkampanyekan mengenai deforestasi Korindo di Papua.

Kenertec menuntut agar Rettet den Regenwald e.V. dan mitranya Mighty Earth mencabut pernyataan mengenai penggunaan buldoser dan api untuk menebang hutan hujan dan tidak mengulangi pernyataan seperti itu di masa datang.

Hakim Pengadilan Hamburg, Jerman (21 Februari 2023) menyatakan bahwa perusahaan PT Kenertec Power Systems milik Korindo  tidak dapat menuntut. Penggugat akhirnya oleh karena perbandingan hukum yang disarankan pengadilan telah mencabut semua tuntutan dan membayar tiga perempat biaya pengadilan. Baca Siaran Pers: Rettet den Regenwald

Gugatan PT Kenertec Power Systems kepada pembela lingkungan jelas dimaksudkan untuk membungkam kampanye masyarakat sipil untuk melindungi hutan hujan, di Provinsi Papua, Indonesia, yang terancam oleh operasi kelapa sawit Korindo yang ekstensif.

Gugatan SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation) dirancang untuk membungkam dan mengintimidasi kelompok masyarakat sipil serta mencegah mereka menyampaikan pernyataan, atau konsekuensinya mendapat ancaman denda 250.000 Euro atau menghadapi hukuman penjara. Baca: Siaran Pers – Gugatan Korindo untuk Membungkam Organisasi Masyarakat Sipil

Rettet den Regenwald e.V. setelah menerima gugatan tersebut telah ikut mengorganisir gerakan di seluruh Eropa menentang tuntutan intimidasi dan termasuk salah satu anggota awal aliansi di seluruh Eropa yang menentang SLAPP yang disebut CASE. Aliansi ini pada tahun 2021 telah memberikan penghargaan buruk kepada Korindo sebagai „International bully of the year“.

Petisi Lindungi demokrasi sekarang – hentikan gugatan intimidasi oleh Rettet den Regenwald e.V. dan Umweltinstitut München e.V. telah ditanda tangani oleh 216.620 orang. Di dunia internasional, gugatan intimidasi tersebut menimbulkan gelombang solidaritas. Lebih dari 90 organisasi lingkungan dan hak asasi manusia dari Jerman, Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia bersolidaritas dengan Rettet den Regenwald e.V.. Dalam sebuah deklarasi: “Siapa yang mengugat aktivis dan organisasi yang bekerja demi keadilan bagi masyarakat dan alam, berarti menyerang kita semua!”.

Ank, Feb 2023

Februari 23, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Operasi PT Freeport Mencemari Lingkungan: Warga Diserang Penyakit dan Kematian Sungai

by Admin Pusaka Februari 13, 2023
written by Admin Pusaka

Orang Sempan (Semopane Owe) berdiam dipesisir pantai Mimika Timur dan mempunyai corak kehidupan nomaden, mereka hidup dari alam hasil hutan, sungai dan laut, disepanjang kaki gunung, pesisir pantai hingga ke laut luas. Setiap perubahan ekosistem daerah ini akan mempengaruhi penghidupan masyarakat dan daya dukung lingkungan.

Kini, penghidupan penduduk asli, Suku Sempan, Suku Kamoro dan suku kecil lainnya, yang berdiam di daerah Mimika Timur Jauh, sudah tidak aman lagi dan tidak sehat. Sungai, pantai dan laut sekitar sudah tercemar oleh kotoran berbahaya dari sisa proses produksi tambang perusahaan PT Freeport Indonesia (FI).

Limbah tambang PT FI, logam berat, seperti arsenic, tembaga, timbal, merkuri, limbah batu, pasir, dan benda lain yang mengandung bahan kimia berbahaya, dibuang ke sungai selama puluhan tahun, yang kotorannya menutupi dan menghilangkan sungai dan tanah, merusak dan mencemari perairan laut sekitar. Nahas kejahatan ini menimbulkan kematian sistem kehidupan sungai dan alam sekitarnya.

Sistem dan kehidupan sungai tercemar, berbahaya dan mati. Tanaman mati, ikan, udang dan biota lain mati. Lebih dari 6.000 jiwa warga yang berdiam pada 23 kampung di Distrik Agimuga, Jit dan Manasari, terancam kelangsungan penghidupannya karena pencemaran dan kematian sungai, pesisir dan laut. Anak-anak dan perempuan paling rentan dan mengidap berbagai macam penyakit.

Aktifis lingkungan hidup, Doli Adolfina Kuum, menceritakan anak-anak Suku Sempan dan Suku Kamoro di daerah ini mengalami gangguan penyakit kulit, gatal dan terjadi perubahan warna kulit. Dihadapan anggota DPR RI (01/02/2023), Doli menunjukkan kematian ikan, kecelakaan maut dan meningkatnya biaya hidup yang disebabkan pendangkalan dan pencemaran limbah tailing.

Berbeda dengan kesaksian pembela masyarakat akar rumput, kalangan atas Presiden Direktur PT FI, Tony Wenas, dalam RDP dengan Komisi IV DPR RI (27/09/2022), berkilah mengklaim bahwa pengelolaan tailing PT FI sudah sesuai peraturan dan tidak menimbulkan permasalahan, terhadap masyarakat dan lingkungan. Tony Wenas juga mengatakan limbah tailing tidak beracun (Lihat Video Dirut PT FI Tony Wenas, detik 0:57 – 1.21).

Tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menemukan 48 pelanggaran PT FI yang dijatuhi sanksi administrasi. Sebanyak 31 temuan terkait pelanggaran AMDAL/RKL-RPL, Izin Lingkungan; 5 temuan pelanggaran pencemaran air ; 5 temuan pelanggaran pencemaran udaha ; dan 7 temuan pelanggaran pengolahan limbah dan B3. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan bahwa PT FI telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 185 triliun akibat pembuangan limbah. Hasil audit BPK menyebutkan PT FI telah menimbulkan perubahan ekosistem akibat pembuangan limbah operasional penambangan di sungai, hutan, estuary, dan bahkan telah mencapai kawasan laut.

Masyarakat adat terdampak PT FI meminta pemerintah dan aparat penegakan hukum memeriksa dan mengaudit aktifitas PT FI, menghentikan pembuangan limbah yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan melumpuhkan sebagian sistem penghidupan mereka, mata pencaharian, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

“Kami mendesak pemerintah dan perusahaan melakukan pemulihan atas seluruh kerusakan, baik bagi warga maupun lingkungan hidup. PT Freeport Indonesia untuk mengganti seluruh kerugian yang dialami warga dan lingkungan hidup”, kata Doli.

Ank, Feb 2023

Februari 13, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Kekerasan di Mappi: Aparat Bertindak Represif dan Eksesif

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

Tidak ada peristiwa bentrok antar kelompok Suku Wiyagar dan Suku Yagai sebagaimana informasi yang beredar. Informasi yang menyebutkan bahwa aparat menembak korban pada saat memisahkan bentrok antara kelompok korban dan kelompok pelaku adalah tidak benar.

Hal ini disampaikan Koalisi Penegakan Hukum dan HAM di Papua dalam Siaran Pers (23 Desember 2022), yang menyampaikan hasil investigasi kejadian kekerasan dan penembakan warga sipil di Kepi, Kabupaten Mappi, terjadi pada Rabu, 14 Desember 2022. Ditemukan ada tiga peristiwa kekerasan Saat itu yang terjadi pada waktu dan tempat kejadian berbeda. Dalam peristiwa tersebut ada sembilan orang masyarakat dari daerah Menyamur yang menjadi korban penembakan, salah satu diantaranya meninggal saat dirawat di RSUD Mappi.

Peristiwa pertama pada pukul 16.00 WIT, penganiayaan oleh sekelompok orang yang sedang dalam pengaruh minuman alkohol terhadap korban bernama Martinus Base, warga Distrik Menyamur, dengan lokasi kejadian Simpang Emete, Kepi. Polisi berhasil menangkap satu orang dari kelompok pelaku kekerasan.

Keluarga dan warga Distrik Menyamur sekitar 50 orang mendatangi mobil tahanan pelaku dan merusak mobil patroli, merek amenuntut pelaku dikeluarkan dalam mobil.

Peristiwa kedua sekitar pukul 18.00 WIT,  bertempat di Pos TNI Kopasus terdengar suara tembakan sebanyak dua kali. Warga terkesan diprovokasi dan balas melempar pagar kantor Pos Kopasus, setelah itu terdengar bunyi tembakan beberapa kali yang diarahkan ke masyarakat. Akibat penembakan itu setidaknya ada 9 (Sembilan) orang korban dengan luka tembak dan dirawat di RSUD Mappi, Kilo 5, Kepi.

Peristiwa lain pada 17 Desember 2022, aparat kepolisian mengunjungi korban penembakan di RS Mappi. Salah satu korban, Moses Ero, yang mengalami luka tembak serius di paha kanan dan tidak mendapatkan pelayanan memadai, hendak turun dari tempat tidur, jatuh dan tidak sadarkan diri. Moses tidak tertolong dan meninggal.

Dalam Siaran Pers Koalisi disampaikan aparat menggunakan senjata api saat kejadian, tanpa didahului dengan pendekatan persuasive kepada  masyarakat korban, aparat langsung mengambil tindakan represif dan eksesif.

Koalisi merekomendasikan agar Komnas HAM RI melakukan penyelidikan terhadap perstiwa dugaan pelanggaran HAM; Koalisi jug ameminta kepada Kapolri dan pimpinan TNI melakukan penyelidikan terhadap aparat kepolisian dan TNI. Baca disin: Siaran Pers Koalisi Hukum dan HAM Papua – Kasus Kekerasan Mappi, Desember 2022

Pusaka mencatat peristiwa kekerasan di Kabupaten Mappi yang melibatkan aparat TNI, sebelum kejadian 14 Desember 2022, telah terjadi sebanyak dua kali, yakni penganiayaan melibatkan anggota TNI AL terhadap warga sipil di Kampung Sumur Aman, Distrik Menyamur,  pada 07 Januari 2022, dan penyiksaan TNI AD dari Yonif Raider 600/Modang terhadap dua warga sipil di Kampung Mememu, Bade, Mapi, pada 31 Agustus 2022. Penyiksaan terjadi selama 8 jam menyebabkan seorang warga tewas bernama Bruno Amenim Kimko.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan, sebanyak 10 prajurit TNI menolak menjalani pemeriksaan terkait kasus dugaan penyiksaan dua warga Kampung Mememu, Kabupaten Mappi, Papua. Dalam kasus ini, salah seorang korban akhirnya meninggal setelah mengalami tindakan kekerasan selama sekitar 8 jam.

Berdasarkan informasi, sebanyak 18 prajurit dari Satgas Yonif Raider 600 telah menjalani pemeriksaan dan ditahan di Denpom XVII/3 Merauke dan tumah tahanan Kodim 1707 Merauke Dalam perkara ini, sebanyak 10 prajurit TNI diperiksa menolak memberikan keterangan kepada Komnas HAM

Ank, Des 2022

Desember 24, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers : Bupati Kabupaten Jayapura Tidak Memenuhi Janji untuk Mencabut Izin Usaha Perusahaan

by Admin Pusaka Desember 9, 2022
written by Admin Pusaka

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa
Hingga saat ini, perusahaan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih terus melakukan aktifitas pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Daerah Lembah Grime Nawa, Distrik Nimbokran dan Unurumguay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Padahal, Bupati Jayapura telah menerbitkan surat keputusan agar perusahaan PT PNM menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan (Februari 2022), surat peringatan dan meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembangunan perkebunan (September 2022 dan November 2022).
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, telah berkali-kali berdialog dengan pemerintah Kabupaten Jayapura di Kantor Bupati Jayapura. Pada dialog hari ini Jumat, 09 Desember 2022, yang dihadiri oleh Asisten I, Elphyna Situmorang ; Asisten II, Delila Giay ; Kabag Hukum, Timotius Taime. Kami meminta pemerintah konsisten dengan janji untuk memenuhi tuntutan mencabut izin usaha perusahaan PT PNM.
Faktanya, pemerintah Kabupaten Jayapura belum mempunyai sikap keputusan untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan, izin lokasi, izin lingkungan, izin usaha perkebunan dan Hak Guna Usaha, meskipun perusahaan disebutkan tidak dapat memenuhi syarat ketentuan dan perusahaan telah melakukan kelalaian atas surat peringatan dan pemberitahuan penghentian aktifitas.
Kami memandang pemerintah Kabupaten Jayapura tidak sungguh-sungguh mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
“Bupati tidak memenuhi janji-janjinya untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri yang melanggar hukum, merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat, dan penggundulan hutan. Pemerintah terkesan sengaja membiarkan permasalahan yang ada, di satu sisi perusahaan menjadi arogan dan sewenang-wenang, disisi lain masyarakat adat resah karena tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah”, kata Yustus Yekusamun, perwakilan masyarakat adat dan juru bicara Koalisi Lembah Grime Nawa.
Aktivis Perempuan Adat, Rosita Tecuari, menyoroti dan menyampaikan misi dan putusan Bupati Jayapura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan program yang seolah-olah dapat melindungi hak masyarakat adat dan wilayah adat, namun tidak sepenuhnya mutlak memberikan kepastian hak untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Lembah Grima Nawa.
“Kampung adat diakui, tapi masyarakat adat tidak punya hak kuasa dan kelola atas tanah dan hutan adat, karena dikuasai dan dikelola oleh perusahaan. Bagaimana mungkin keputusan yang dihasilkan dapat dijalankan tanpa ada kuasa dan kewenangan masyarakat adat dalam mengatur dan mengelola tanah dan hutan adat”, ungkap Rosita Tecuari.
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, menduga belum adanya sikap dan putusan untuk pencabutan izin usaha perusahaan dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi, yang melibatkan kekuatan pihak-pihak tertentu dan berpotensi terjadinya pelanggaran hukum, dan tindakan koruptif. Karenanya, Koalisi meminta pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengawasi pejabat dan aktor yang berkepentingan dalam jejaring bisnis, serta aliran transaksi keuangan.

Jayapura, 09 Desember 2022

Kontak Person:
Yustus Yekusamun : +62 822-3441-5750
Rosita Tecuari : +62 823-1150-8559
Franky Samperante: +62 813 1728 6019
Asep Komarudin: +62 813-1072-8770

Desember 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Upaya Pembangunan Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya, Mengancam Hilangnya Hutan dan Tanah Masyarakat Adat Moi di Kabupaten Sorong

by Admin Pusaka Desember 4, 2022
written by Admin Pusaka

Oleh Ambo Klagilit

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah tetap menetapkan rancang undang-undang tentang pembentukan provinsi Papua Barat Daya (PBD) dalam Rapat Paripurna DPR RI ke 10 masa persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, pada tanggal 17 November 2022. Penetapan RUU Prov. PBD menjadi UU tanpa mempertimbangkan aspirasi Orang Asli Papua yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut, karena kebijakan ini hanya akan berdampak pada konflik berkepanjangan di Tanah Papua. Aksi-aksi penolakan yang dilakukan hingga menelan korban jiwa adalah bentuk nyata bahwa rakyat Papua tidak menghendaki kebijakan pemekaran yang sarat kepentingan.

UU PBD yang telah disahkan tersebut mencakup beberapa daerah kabupaten, terdiri dari: Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat, dan Kota Sorong. UU PBD menetapkan ibu kota Provinsi PBD berkedudukan di Kota Sorong. Namun, tim pemekaran berupaya mencari lokasi ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong untuk pembangunan perkantoran yang akan menjadi pusat pemerintahan Provinsi PBD. Ada beberapa tempat yang dalam pembahasan tim pemekaran, yakni tanah di wilayah perbatasan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan (wilayah Sub Suku Moi Salkhma) dan di wilayah Salawati (wilayah Sub Suku Moi Sigin). Rencana pusat pemerintahan dan ibukota provinsi berada di luar Kota Sorong, telah melanggar ketetapan UU tentang PBD tersebut.

Rencana pembangunan ibukota provinsi PBD di wilayah Sub Suku Moi Salkhma mendapat penolakan dari masyarakat adat Moi Salkhma di daerah Distrik Sayosa, Distrik Sayosa Timur, Distrik Maudus, Distrik Sunok, Distrik Klawak, Distrik Konhir, Distrik Salkma, dan Distrik Wemak. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penolakan masyarakat adat setempat, pertama, bahwa wilayah adat mereka merupakan pusat pendidikan adat bagi suku Moi terutama sub Moi Salkma, yang harus dilindungi oleh semua pihak. Kedua, pembangunan ibu kota PBD akan mengancam ruang hidup, tanah dan hutan adat.

Masyarakatadat di Kampung Garma, Distrik Sayosa Timur, Kabupaten Sorong, telah mengadakan diskusi untuk merespon rencana tim pemekaran. Mereka tegas menyatakan menolak rencana tersebut, karena wilayah adat mereka adalah pusat pendidikan adat suku Moi dan tidak bisa diperuntukan untuk pembangunan lain. Ketersediaan sumber daya manusia juga menjadi alasan mereka menolak. Penduduk kampung persiapan Garma, merupakan warga yang berasal  dari kampung Sailala dan kampung Kladuk Kabupaten Sorong.

Pemerintah terus menggunakan cara lama untuk merampas tanah masyarakat adat. Tim pemekaran berencana untuk bertemu dengan Dewan Adat Distrik Salawati, Distrik Moi Sigin, dan Distrik Segun, guna membahas lokasi yang akan dijadikan pusat pemerintah provinsi baru itu. Mereka rencanakan di wilayah Salawati. Pada dasarnya Dewan adat bukan pemilik tanah sehingga mereka tidak dapat mewakili marga-marga pemiliki tanah adat untuk membuat kesepakatan denagan pemerintah.

Lokasi ibukota Prov PBD yang mereka rencanakan di Salawati (Moi Sigin), merupakan wilayah eks PT Inti Kebun Lestari (IKL), IKL merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang izin nya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada 2021 lalu. Status tanah pada wilayah ini belum jelas apakah sudah menjadi milik masyarakat adat atau masih dikuasasi oleh pemerintah, sehingga pemerintah harus terlebih dahulu menjelaskan status tanah tersebut.

Perampasan tanah adat akan terus terjadi, pemerintah yang diberi kewajiban untuk melindungi masyarakat kini menjadi aktor utama merampas tanah dan hutan masyarakat adat Papua. Program transmigrasi oleh pemerintah Indonesia, telah merampas sebagian besar tanah adat masyarakat adat Moi di Sorong. Tanah dan hutan masyarakat adat Moi juga telah dikuasai oleh berbagai izin perusahan. Perusahaan HPH, PT Mancaraya Agro Mandiri menguasai tanah masyarakat adat Moi Seluas ± 97. 820 ha, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menguasasi hutan dan tanah adat suku Moi diantaranya PT Hendrison Inti Persada (HIP) memiliki Izin Usaha Perkebunan seluas 32.546,30 Ha, PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ) memiliki seluas 38.300 Ha, PT Inti Kebun Sawit (IKS) memiliki seluas 37.000 Ha, PT Papua Lestari Abadi (PLA) memiliki seluas 15.631 Ha, PT Sorong Agro Sawitindo memiliki seluas 40.000 ha.

Selain itu, Kawasan Ekonomi Khusu (KEK) yang mengambil alih tanah masyarakat adat Moi seluas 523,7 ha dan perusahaan pertambangan batubara dengan luas ratusan hektar. Pemekaran PBD diperkirakan akan mengambil alih puluhan ribu hektar tanah.

Lebih lanjut, pembahasan lokasi pusat perkantoran provinsi PBD sama sekali tidak melibatkan masyarakat adat Moi yang adalah subjek hukum sebagaimana Paraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tantang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum mempunyai hak untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak-haknya serta mendapat perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif oleh pemerintah dan pihak pihak lain.

UU Otsus Papua pasal 38 ayat 2 dan Pasal 42, juga menegaskan masyarakat adat Papua berhak menentukan bentuk pembagunan (ekonomi) seperti apa yang mereka butuhkan. Sehingga pemerintah dalam merencanakan sebuah pembangunan harus melibatkan masyarakat adat sejak awal perencanaan hingga tahap pelaksanaan, agar masyarakat adat diberi manfaat dari kebijakan tersebut. Yang paling penting adalah pemerintah harus tunduk pada prinsip-prinsi FPIC(Free Prior Informed Consent)

Pemerintah berdalil bahwa pemekaran dilakukan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, mengatasi ketimpangan sosial. Rakyat Papua justru melihatnya dari sudut yang berbeda, mereka menilai pemekaran adalah politik pemerintah Indonesia untuk menguasai tanah Papua, pemekaran akan mendatangkan migran dalam jumlah yang besar. Mereka membayangkan nasib mereka akan sama seperti suku Aborigin di Australia dan banyak tempat lainnya, dimana masyarakat pribumi terpingirkan dan hidup dalam penderitaan. Kebudayan baru yang masuk beriringan dengan kedatangan para mingran akan mendominasi serta menghilangkan kebudayaan masyarakat pribumi. Akhirnya masyarakat pribumi kehilangan jati diri mereka sebagai masyarakat adat, dimana tanah, hutan, dan adat istiadat mereka tidak lagi ada.

Suku Moi kini diambang kehancuran, jika ingin berdaulat diatas negeri sendiri, pastikan wilayah adat kita tidak diambil alih oleh korporasi. Kita akan menjadi kuat jika kekuasaan atas tanah, hutan dan sumber daya alam lainya ada dibawa penguasaan kita. Jangan berharap akan menjadi tuan dinegeri sendiri jika masuk dalam sistem politik yang hari ini telah merampas tanah dan hutan adat kita. Ini penting kita semua ketahui, sistem negara hari ini telah menciptakan keteragantung kepada kita. Kita dibuat tidak berdaya sehingga tidak ada pilihan, selain bergabung menjadi penindas dengan sistem yang mereka ciptakan. Jangan bermimpi merdeka untuk menjadi tuan dinegeri sendiri, jika kita masih terbelenggu dan tidak mau menentang sistem negara yang tidak adil.

Des 2022

Desember 4, 2022 0 comment
2 FacebookTwitterEmail
Berita

Sengkarut Menuntut Dana Bagi Hasil Migas

by Admin Pusaka Desember 1, 2022
written by Admin Pusaka

Sorong diceritakan sebagai salah satu daerah paling tajir di Provinsi Papua Barat. Isi buminya mengandung dan menghasilkan minyak dan gas bumi (migas), dan bahan tambang mineral lainnya. Sejak awal abad 19, korporasi trans nasional dan perusahaan negara menguras kekayaan migas ini untuk membangkitkan mesin industri raksasa dan penggerak roda ekonomi lainnya.

Berdasarkan data Dana Bagi Hasil (DBH) Kementerian Keuangan, total dana bagi hasil migas di Kabupaten Sorong sebesar Rp. 13.967.965.000, atau sekitar 10,5 persen dari total dana bagi hasil  dari migas dan non migas (Rp. 133.528.826.000) pada tahun 2021.

Namun, tanah dan kekayaan alam yang dimiliki dan menjadi tempat hidup dari suku bangsa Moi ini belum mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup, utamanya bagi Suku Moi, Orang Asli Papua di daerah ini. Berbanding terbalik dengan kemegahan korporasi yang diperoleh dari keuntungan dan eksploitasi nilai lebih bisnis migas.

Berdasarkan angka statistik kelayakan hidup yang ditunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua Barat, diketahui pencapaian IPM Kabupaten Sorong (2021) diberikan status indeks pembangunan manusia sedang, artinya kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak, dapat terpenuhi.  Namun secara nasional, IPM Provinsi Papua Barat pada Mei 2022 (65,26) berada di nomor dua terendah setelah Provinsi Papua (60,62), bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta dengan capaian IPM tertinggi (81,11).

Angka standar hidup layak yang diukur dari pengeluaran per kapita yang disesuaikan masyarakat di Provinsi Papua Barat pada tahun 2021 mencapai Rp. 7,93 juta per tahun. Angka pengeluaran biaya hidup ini menunjukkan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat dan sebaliknya sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara memadai dan berkwalitas, dan termasuk keterbatasan mengakses hasil pembangunan.

Fakta potret kesulitan sosial lebih lebar menunjukkan ketidakadilan dan kesulitan hidup Orang Asli Papua, lebih dari sekedar angka statistik ini. Mereka menempuh jalan berliku-liku untuk mendapatkan hak-hak pembangunan.

Mariana Ulimpa, perempuan adat asal Suku Moi, Kabupaten Sorong, sedang memperjuangkan hak keluarga dan komunitasnya untuk dapat hidup layak dan dihormati. Marga Idik, Mamringgofok dan Klawom, pemilik ulayat dari lokasi produksi migas di Klamono, menuntut pemerintah memenuhi kewajibannya membagikan hasil bisnis migas kepada pemilik ulayat.

Tahun 2010, masyarakat pemilik tanah adat menuntut haknya dan sesuai perjanjian untuk mendapatkan dana bagi hasil dan janji program kesejahteraan. Tidak ada kejelasan dan kepuasan. Tahun 2019 dilalui dengan berbagai aksi-aksi menyurat dan bertemu DPR, pejabat kementerian, Staf Ahli Presiden dan Pertamina EP di Jakarta. Mediasi dan dialog yang ditempuh bersengkarut dengan berbagai argumentasi dan dalil, yang memakan waktu lama, namun belum juga ada hasil baik dan memuaskan.

“Di situ saya kembali, jatuh pemalangan pada tanggal 15 September 2019, dilapangan produksi Klamono. Disitulah tibalah bapak bupati Jhony Kamuru bertemu masyarakat ditempat pemalangan, dengan dibuka palang secara tertulis dibuat untuk masyarakat bahwa poin-poin yang sebagai tuntutan masyarakat itu ada berapa poin sekali bahwa ada asrama khusus tiga marga, dana pendidikan diserahkan ketiga marga yang ada di satu Klamono dan dana bagi hasil (DBH)”, jelas Mariana, saat melakukan aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022).

Beberapa kali palang adat sebagai peringatan dan larangan adat dilakukan untuk menghadang dan menghentikan aktivitas PT Pertamina EP. Palang selalu juga dibuka setelah ada insentif  janji.

Tahun 2021, Mariana pernah diberikan kesempatan menyulut lentera api PON XX Papua dari area PT Pertamina EP Klamono, tapi Mariana tidak langguk dan surut menuntut haknya. Alih-alih, Mariana kembali melakukan dan memimpin aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022), menuntut hak-hak pemilik tanah adat. Mariana membacakan tuntutan yang dicetak diatas banner, antara lain menuntut Pemda Kabupaten Sorong segera menjawab dana pendidikan anggaran tahun 2022, menjawab Dana Bagi Hasil 10 Persen ; menjawab asrama pelajar Putra-Putri.

Pemda Provinsi Papua Barat telah menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 3 Tahun 2019, Tanggal 18 Juli 2019, tentang Pembagian Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi Antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan keseluruhan penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota penghasil, dibagi sebagai berikut: pendidikan sebesar 30 % (tiga puluh persen);dana alokasi kesehatan dan perbaikan gizi sebesar 20 % (dua puluh persen); pemberdayaan masyarakat adat sebesar 33 % (tiga puluh tiga persen); beasiswa perguruan tinggi untuk orang asli papua sebesar 5 %  (lima persen); Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat sebesar 10% (sepuluh persen); dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar 2 % (dua persen). Pasalnya belum bisa diterapkan dalam kasus ini.

Mariana tidak dapat bertemu bupati karena tidak berada di tempat. Staf Ahli Bupati Sorong, Suroso, menolak mengambil keputusan. Kepala Bagian Hukum, Demianus Aru, menyemangati untuk menanggapi tuntutan masyarakat.

“Kami juga punya beban moril, kami konsen sekarang ini, antara BLT dan beasiswa bisa berjalan sama-sama, kami punya target pokoknya jangan sampai lewat dari Desember”, ungkap Demianus Aru.

Aksi damai bubar dan masih ada pertanyaan tersisa soal bagaimana mewujudkan tuntutan. Sementara mesin-mesin industri terus menguras kekayaan migas dan menumpuk cuan.

Ank, Des 2022

Desember 1, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Surat Pernyataan: Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO): 19 Tahun Sudah Cukup!

by Admin Pusaka Desember 1, 2022
written by Admin Pusaka

Pertemuan umum Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 1 December 2022 di Malaysia ini menandakan tahun ke-19 terbentuknya RSPO. Selama hampir dua dekade, RSPO telah gagal memenuhi misinya menjadikan sektor industri sawit ‘berkelanjutan’. Sebaliknya, RSPO telah digunakan oleh industri sawit sebagai alat ‘tipu muslihat’ untuk menutupi penghancuran lingkungan, pelecehan hak asasi manusia dan buruh, serta perampasan lahan.

Kami, dan berbagai organisasi yang bekerja dengan masyarakat yang terdampak oleh perkebunan sawit, telah berulang kali mengecam RSPO atas kegagalannya dalam mengangkat permasalahan masyarakat yang lahannya dirampas oleh perusahaan sawit.

Masalah utama dari kelembagaan beserta sistem sertifikasi RSPO telah diuraikan dengan detail dalam pernyataan internasional yang ditandatangani oleh berbagai organisasi di seluruh dunia pada 2008 dan 2018, termasuk laporan terbaru pada 2021 tentang kegagalan RSPO dalam mencegah penggundulan hutan, mengabaikan masyarakat terdampak dan mengangkat persoalannya (laporan bisa dibaca di sini dan di sini).

Sejak 2020, RSPO telah mengeluarkan sertifikat konsesi sawit di Kamerun, Sierra Leone, Nigeria, Sao Tome, Ghana, DRC, Nigeria dan Pantai Gading untuk Socfin, perusahaan yang berbasis di Luksemburg. Sertifikat ini dikeluarkan dengan mengabaikan komplain masyarakat terkait konflik lahan, deforestasi, polusi, pelanggaran hak buruh, serta praktik kekerasan.

Masyarakat Sierra Leone, Kamerun dan Pantai Gading telah menuntut penangguhan sertifikat Socfin tersebut. Setelah terbitnya suatu laporan media tentang perkebunan sawit Socfin di Kameron, sekretariat RSPO mengirimkan tim verifikasi untuk memeriksa tuntutan masyarakat. Meski tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa tim dari RSPO menghindari bertemu dengan pihak-pihak yang kritis terhadap perusahaan dan mengabaikan bukti-bukti yang diberikan olehnya, hasil verifikasi RSPO tetap menunjukkan adanya pelanggaran standar-standar RSPO yang dilakukan oleh kebun milik Socfin di Kamerun. Namun, meski adanya bukti-bukti tersebut, RSPO tetap mengeluarkan sertifikat untuk perkebunan sawit lainnya milik grup Socfin.

Di Sierra Leone pada Januari 2022, sebanyak 1.475 masyarakat setempat yang terdampak oleh perkebunan milik Socfin mengeluarkan petisi kecaman terhadap keputusan RSPO mengeluarkan sertifikat kepada Socfin. Petisi tersebut menyatakan bahwa proses audit RSPO terbukti cacat dan mengabaikan masalah terkait perampasan lahan, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan. Seperti yang diuraikan dalam siaran pers internasional yang ditandatangani oleh berbagai organisasi, “Proses konsultasi RSPO berjalan dengan penuh kesalahan. Para pihak yang terdampak, termasuk para pemilik lahan, tidak dimintai pendapatnya. Salah satu buktinya adalah penolakan atas laporan pemerintah setempat yang telah mengeluarkan perintah pencabutan izin dan menuntut adanya proses partisipatif untuk menyelesaikan konflik lahan. Proses audit tidak independen dari perusahaan, tidak ada ruang konsultasi yang aman bagi masyarakat, meski dampak besar akan dihadapi oleh para masyarakat.”

Sertifikasi untuk Socfin yang belum lama berjalan di Afrika ini menunjukkan bagaimana RSPO tidak hanya gagal dalam membantu masyarakat, namun justru ikut mengurangi hak masyarakat atas kehidupan. Para masyarakat dan kelompok sipil pendukung telah menyia-nyiakan waktu dan sumber daya berharga untuk mengikuti alur proses RSPO yang rumit dan berlapis-lapis. Para tokoh masyarakat yang vokal dalam proses RSPO menjadi rentan terhadap intimidasi dan kekerasan.

Pada satu kasus baru lainnya, anggota masyarakat Barranquilla de San Javier di Ekuador mengadakan aksi protes damai pada 2019 untuk menuntut perusahaan Energy & Palma, anggota RSPO untuk angkat kaki dari tanah milik masyarakat. Masyarakat juga menuntut penghentian pencemaran air dan deforestasi. Namun, aksi tersebut direspon oleh aparat keamanan dengan kekerasan, dan kemudian, sebagai tindakan intimidasi terang-terangan, perusahaan membawa tujuh pemimpin masyarakat ke pengadilan, dan menuntut ganti rugi sebesar US$320.000. Pengadilan telah mengeluarkan satu dari dua putusan dan menghukum anggota masyarakat untuk membayar US$151.000, yang kemudian diajukan banding oleh para pembela. Perusahaan kemudian turut mengajukan banding dan bersikeras untuk pembayaran sebesar US$320.000. Putusan kedua masih tertunda. Sampai hari ini, RSPO belum mengambil tindakan untuk memberikan sanksi kepada Energy & Palma.

Di saat yang sama, masyarakat di Liberia masih menantikan solusi atas komplain yang diajukan kepada RSPO sejak 10 tahun yang lalu terhadap Golden Agri-Resources (Sinar Mas). Pengalaman-pengalaman masyarakat ini menunjukkan bagaimana sistem komplain RSPO tidak pernah betul-betul berjalan efektif.

Saat ini kita telah menyaksikan bagaimana selama 19 tahun terakhir RSPO sebetulnya adalah instrumen yang tidak becus dalam menuntut tanggung jawab perusahaan atas pengrusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat dan buruh. RSPO telah terbukti sebagai sarana yang dapat dipercaya bagi komunitas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi terhadap perusahaan sawit. Namun sebaliknya, RSPO justru melemahkan upaya masyarakat dan memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk terus merampas lahan.

Pada saat lahan-lahan yang telah mendapat sertifikat RSPO terus merambah, dan ketika RSPO dipromosikansebagai standar rujukan bagi aturan dan kebijakan nasional, regional, internasional, kami hendak menyatakan kembali kecaman kami terhadap RSPO. Kami juga bermaksud menyatakan komitmen kami untuk terus berupaya melayani kepentingan masyarakat serta menghentikan model kolonial industri perkebunan sawit.

Pernyataan ini ditandatangani oleh:

(1) Greenpeace Africa, (2) Down to Earth Consult, (3) Forum Ökologie & Papier, (4) Rettet den Regenwald e.V. (Allemagne), (5) Red Latinoamericana contra los monocultivos de árboles (RECOMA), (6) Labour Resource Center (LRC), (7) Entraide et Fraternité, (8) Fern, (9) FIAN Belgium, (10) MIJARC Europe, (11) Solsoc, (12) RADD, (13) Struggle to Economize Future Environment (SEFE), (14) SYNAPARCAM, (15) JVE Côte d’Ivoire, (16) REFEB ci, (17) NOAH – Friends of the Earth Denmark, (18) Fundación pro Defensa de la Naturaleza y sus Derechos, (19) Red Ecuatoriana de Alternativas a la Palma Aceitera, (20)  Salva la Selva, (21) A Growing Culture, (22) Friends of the Earth United States, (23) The Oakland Institute, (24)  European Coordination Via Campesina (ECVC), (25) Association Française d’Amitié et de Solidarité avec les Peuples d’Afrique, (26) ReAct Transnational, (27) Sherpa, (28) Confédération paysanne, (29)  Muyissi Environnement, (30) Red Mesoamericana contra la Palma de Aceite, (31) Indigenous Perspectives, (32) Mahila Kisan Adhikaar Manch (MAKAAM), (33) Palm Oil Concerns, (34) REACH-M, (35) Sustainable Development Forum Nagaland, (36) Aceh Wetland Foundation, (37) Betang Bagawi, (38) FBTPI, (39) FNPF, (40) Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining, (41) Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP. GSBI), (42) Greenpeace Indonesia, (43) Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, (44) JASOIL TANAH PAPUA, (45) Kaoem Telapak, (46) KRuHA (People’s Coalition for the Right to Water), (47) Lingkungan hidup URAI UNI, (48) LITORAL, (49) Pantau Gambut, (50) Save Our Borneo, (51) SBPI, (52) Selamatkan Hutan Hujan Indonesia, (53) Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network, (54) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indonesia, (55) WALHI East Nusa Tenggara, Indonesian, (56) WALHI Kalimantan Barat, (57) WALHI Sulawesi Selatan, (58) Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, (69) CADTM, (60) Friends of the Earth International, (61) GRAIN, (62) World Rainforest Movement, (63) Alliance for Rural Democracy (ARD), (64) Green Advocates International, (65) Natural Resource Women Platform (NRWP), (66) Malaysian Food Sovereignty Forum (FKMM), (67) Tenaganita’, (68) Otros Mundos Chiapas, (69) Reentramados para la vida, Defendiendo Territorios, (70) Environmental Rights Action/Friends of the Earth Nigeria, (71) Pakistan Kissan Rabita Committee – PKRC, (72) Milieudefensie – Friends of the Earth Netherlands, (73) Women Engage for a Common Future (WECF), (74) Unyon ng mga Manggagawa sa Agrikultura (UMA), (75) asa-cadecvim coops, (76)  Association Paysannes des Jeunes Entrepreneurs Agricoles, (77) Confédération Paysanne du Congo -Principal Regroupement Paysan COPACO -PRP/ASBL, (78), Coopérative des Paysans de Lonzo, COPACLO en sigle, (79) Alliance Paysanne pour la Souveraineté Alimentaire, ASA/OP, (80) Consortium Asa-CADECVIM, (81) COPACO-PRP, (82) Réseau d’information et d’appui aux ONG en République Démocratique du Congo, (83) Réseau National des Organisations des femmes Paysanne, (84)  Réseau d’Information et d’Appui aux ONG en République Démocratique du Congo, (85) Earthsight, (86) Environmental Investigation Agency (EIA), (87) Friends of the Earth England, Wales & Northern Ireland, (88) Biofuelwatch, (89)  GREEN SCENERY, (90)  Women’s Network Against Rural Plantations Injustice (WoNARPI), (91) agrarinfo.ch, (92)  Bruno Manser Fonds, (93)  Agroecological Transitions Research Group, (94)  GREEN BOOTS, (95)  HEKS Swiss Church Aid, (96)  Pro Natura / Friends of the Earth Switzerland, (97) Public Eye, (98)   Solidar Suisse, (99)  SOLIFONDS, (100) Uniterre.

Desember 1, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Berita

Politik Perizinan yang Merampas Hak Masyarakat Adat

by Admin Pusaka November 21, 2022
written by Admin Pusaka

“Dorang punya hukum-hukum segala macam, dorang atur supaya torang punya tanah itu dorang pancuri dengan aturan”

Ungkapan ini disampaikan oleh salah satu peserta aksi dalam orasi solidaritas di depan Kantor Bupati Jayapura. Aksi massa ini bertujuan menuntut pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perjuangan menyelamatkan Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua. Namun, ini bukan sekadar pernyataan melainkan pesan yang mengungkapkan situasi hukum (negara) saat ini. Hukum diproduksi tidak bertujuan untuk merubah, menata dan menertibkan kesemrawutan sosial agar tercapai kehidupan sosial yang adil, bermartabat, damai dan kesejahteraan rakyat banyak. Justru sebaliknya, digunakan penguasa untuk memperlancar kepentingan ekonomi, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan kelompok orang atau kelembagaan sosial ekonomi dan politik.

Menurut Alan Hunt (Wijaya, 2008) terdapat beberapa tema mengenai hakikat hukum. Pertama, hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya dari politik. Kedua, hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan (mewujudkan) monopoli negara atas beragam instrumen represif. Ketiga, isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas dominan. Keempat, hukum itu bersifat ideologis, dengan demikian hukum menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang melekat pada kelas yang berkuasa.

Kita juga mengalami dan menyaksikan, bagaimana hukum digunakan secara menyimpang “mengsubversi keadilan” untuk jadi alat memanipulasi, menggusur dan merampas hak-hak rakyat, hak atas tanah dan hutan, dan penghancuran lingkungan hidup. Menjadi alat represi untuk melakukan kekerasan dan pembenaran melakukan pembatasan. Situasi yang tidak ubahnya sejak masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda seperti peraturan tanam paksa yang mewajibkan warga tunduk pada kepentingan kolonial untuk menghasilkan komoditi komersial dan merubah pranata sosial. Pemerintah kolonial memberlakukan peraturan Agrarische Wet (1870) untuk melanggengkan akumulasi primitif dan investasi perkebunan skala luas dengan menancapkan hak legal atas tanah agar bisa dijadikan komoditas. Prinsip Domein Verklaring dalam peraturan ini menjadi alat perampasan tanah-tanah yang tidak digarap langsung, termasuk tanah adat, yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis disebut “tanah tidak bertuan”, diubah statusnya menjadi tanah milik negara.

Peraturan Agrarische Wet (1870) dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan mengakhiri hukum agraria penjajahan yang kelam dan tidak menjamin kepastian hukum. Namun perampasan tanah untuk kepentingan akumulasi kapital terus terjadi. UUPA 1960 diabaikan dan kebijakan baru pertanahan untuk kepentingan pasar bergonta-ganti.

Di Tanah Papua, perampasan tanah dan proses pemisahan hubungan masyarakat adat dari alat produksi dan subsistensi mereka (tanah dan hutan adat) sedang berlangsung. Proses ini mau tidak mau memaksa mereka menjual tenaga kerja ke pemilik sarana produksi untuk mendapatkan upah. Ekspansi kapital dengan cara primitif dan pengerukan hutan alam untuk menghasilkan surplus telah mengakibatkan kerusakan hutan (deforestasi), konsentrasi dan monopoli kekuasaan, serta eksploitasi sarana produksi, tanah, hutan dan kekayaan tambang mineral yang tak berkesudahan.

Daerah perbatasan teritorialisasi (negara) dan pedalaman yang minim akses infrastruktur konektivitas menjadi sasaran ekspansi kapital. Topografi dan sumber daya di daerah ini dibingkai sebagai ‘tanah kosong’, tidak produktif, hidup miskin, tertinggal, sehingga menjadi dalih untuk alasan perluasan proyek pembangunan dan usaha komersial. Hal ini diperkuat dengan klaim hutan negara dan rencana pemanfaatan geografi negara (RTRW). Klaim tanah dan hutan adat diakui dengan syarat harus dapat dibuktikan melalui peraturan daerah dan syarat ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang relatif tidak mudah dan mahal.

Berbeda dengan korporasi yang mendapat kemudahan dan kelancaran untuk mengantongi surat izin dari negara, pemerintah dan aparatus keamanan negara juga memperlancar urusan korporasi untuk mendatangi daerah ini dan bertemu penduduk asli dan tuan tanah. Perusahaan memohon tanah, hutan dan kekayaan alam, yang ditukarkan dengan uang kompensasi, janji lapangan kerja dan kesejahteraan.

Idealnya, kebijakan pembangunan dan pemberian izin usaha bisnis ekstraktif mengutamakan asas kepentingan umum bagi rakyat banyak dan daya dukung lingkungan. Asas kepentingan umum merupakan bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Pasal 10 ayat (1) huruf g, UU Nomor 30 Tahun 2014), dengan penjelasan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Pemberian izin dan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), masih jauh dari asas kepentingan umum. Dalam konflik antara masyarakat adat Namblong dengan perusahaan kelapa sawit, PT PNM, pemerintah mengabaikan asas kepentingan umum. Pemerintah memberikan kumpulan izin, mulai dari lokasi, lingkungan, konversi kawasan hutan, usaha perkebunan dan hak guna usaha (HGU). Dalam proses ini, pengetahuan dan nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat sama sekali tidak dipertimbangkan. Akhirnya, masyarakat adat pemilik tanah dan warga negara semakin terpinggirkan.

Namun sejatinya, masyarakat adat di Lembah Grime Nawa mempunyai komitmen sosial dan moral pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan tanah dan hutan secara berkelanjutan. Hal ini tersirat dalam ekspresi dan keluhan peserta aksi dari masyarakat akar rumput yang menjadi korban konflik dan merasakan dampak akuisisi tanah.

“Tanah kami diambil, hutan sudah dirusak dan illegal logging masih berjalan…, kami tidak mau pembangunan yang merusak hutan, kami mau pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuhkan”, tegas Mama Regina Bay.

Namun visi, pengetahuan dan praktik hidup mereka, belum menjadi prioritas pertimbangan pembangunan. Perkebunan cokelat, kopi, sagu, matoa, yang diusahakan secara mandiri dan menjadi sumber pendapatan keluarga, dan berkontribusi pada pendapatan negara, terancam digusur industri perkebunan kelapa sawit yang merusak dan menggundulkan hutan alam Lembah Grime Nawa.

Pemerintah daerah Jayapura telah mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adat di daerah Lembah Grime Nawa, namun perusahaan tetap menggusur dan mengembangkan usaha secara ilegal. Bupati Jayapura mengeluarkan surat peringatan ketiga, perusahaan PT PNM belum bergeming.

Ank, Nov 2022

November 21, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Organisasi Lingkungan Menjadi Pengungat Intervensi Atas Gugatan Lingkungan yang Dilakukan Masyarakat Adat Papua
  • KLHK Segera Buka Informasi dan Partisipasi Publik untuk Akses Sumber Daya Alam yang Berkeadilan
  • Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Permohonan Intervensi ke PTUN Jakarta
  • Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran
  • Siaran Pers : Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo