Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Category:

Berita

Berita

Pemerintah Harus Proaktif Menindaklanjuti Putusan Sanksi Pencabutan Izin Perusahaan

by Admin Pusaka Januari 29, 2022
written by Admin Pusaka

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengeluarkan Surat Keputusan No. SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tanggal 05 Januari 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Berdasarkan Lampiran SK tersebut yang memuat daftar perizinan perusahaan yang dicabut, termasuk di Provinsi Papua sebanyak 26 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan luas 681.029 ha, dan di Provinsi Papua Barat sebanyak 22 perusahaan dengan luas 382.071 ha.

Berdasarkan pemantauan Pusaka dan informasi jaringan komunitas, masih terdapat aktivitas penebangan hutan pada areal perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di daerah Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada Minggu II Januari 2022. Padahal diketahui izin konsesi kehutanan PT PNM yang dikeluarkan tahun 2014, telah dicabut oleh pejabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022.

Dalam Siaran Pers  Pusaka (28/01/2022) disampaikan kebijakan perbaikan tata kelola sumberdaya alam, evaluasi dan sanksi pencabutan izin usaha perusahaan, harus diikuti dengan tindakan konkrit dan penegakan hukum, untuk pemulihan hak-hak masyarakat dan restorasi lingkungan, yang melibatkan organisasi masyarakat sipil dan dilakukan secara transparan.

“Pemerintah daerah dan nasional seharusnya mengambil langkah-langkah proaktif menindaklanjuti hasil evaluasi dan putusan sanksi pencabutan izin usaha perusahaan, dengan melarang aktivitas perusahaan,  menegakkan hukum dan memberikan sanksi pidana, membayar denda dan kompensasi ganti rugi, untuk masyarakat terdampak dan restorasi lingkungan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”, jelas Tigor G Hutapea, Staf Divisi Advokasi Pusaka.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat meminta pemerintah tidak lagi memberikan kemudahan perizinan dan memberikan izin baru kepada perusahaan negara dan swasta (dalam negeri dan luar negeri) yang terbukti melakukan aktifitas pengrusakan alam dan melanggar HAM.

Selengkapnya baca disini: Siaran Pers Pusaka, Hentikan Aktifitas Perusahaan Yang Izin Dicabut, 28 Jan 2022

Ank, Jan 2022

Januari 29, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Gereja Mengajak Memberikan Penghargaan yang Tinggi Terhadap Ciptaan Allah

by Admin Pusaka Januari 18, 2022
written by Admin Pusaka

Tanggung jawab Gereja adalah mengajak manusia untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah, termasuk lingkungan hidup. Pernyataan ini disampaikan Sekretaris KPKC Klasis GKI Teminabuan, Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si, pada aksi protes penolakan kelapa sawit di pelataran Taman Trinati, Kota Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan (10 Januari 2022).

“Pengrusakan lingkungan telah menimbulkan banyak dampak negatif, yaitu pemanasan global, pencemaran udara, air, tanah, dan lain-lain. Oleh karena itu sikap ekspolitatif terhadap lingkungan merupakan bentuk pengrusakan terhadap karya Allah”, tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si., yang disambut tepuk tangan dan sorak sorai peserta aksi. 

Massa aksi lebih dari 100 orang, berasal dari perwakilan masyarakat adat Tehit, Kais dan Maybrat, dari Distrik Teminabuan, Konda, Saifi, Seremuk, Kais, Wayer dan Moswaren. Selain itu, peserta aksi berasal dari warga gereja setempat, tokoh perempuan adat, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa.

Aksi protes ini terjadi menyusul beredar dan tersiarnya informasi Surat Panggilan PTUN Jayapura, Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR,  Tanggal 30 Desember 2021, kepada Bupati Sorong Selatan, terkait gugatan perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa, yang diketahui izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut dicabut oleh Bupati Sorong Selatan, pada Mei 2021 lalu. Masyarakat adat yang terancam bereaksi mengecam sikap perusahaan, menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit dan mendukung Bupati Sorong Selatan menghadapi gugatan perusahaan.

Tokoh perempuan adat Tehit dan Kepala Distrik Konda, Sopice Sawor, mengatakan pemerintah distrik dan masyarakat adat di Distrik Konda mendukung sepenuhnya Bupati Sorong Selatan dalam persidangan pencabutan perizinan di PTUN Jayapura, masyarakat dengan tegas menolak perkebunan kelapa sawit di Distrik Konda, Sorong Selatan.

Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa dari Kampung Wersar dan Tapiri, menuliskan dalam spanduk aksi “Dukungan kami menjadi bagian dalam menjaga dan melestarikan alam sebagai ciptaan Tuhan bagi kelangsungan hidup kami, anak kami dan cucu cece kami”. Ungkapan serupa disampaikan LMA Suku Tehit.

Dalam Surat Pernyataan Klasis GKI Teminabuan, Komisi Diakonia Hukum dan KPKC, Nomor: 002/1-7.3/G-16.a/I/2022, Tanggal 10 Januari 2022, sikap gereja  yang mewadahi 37 Jemaat, 1 Pos Pelayanan, 5 (lima) wilayah pelayanan Klasis GKI Teminabuan, menyatakan dengan tegas  menolak pembangunan lahan dan pabrik kelapa sawit yang berdampak pada kerusahaan lingkungan secara global.

“Sebab lingkungan hidup harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan demi menjaga keseimbangan ekologis”, ungkap tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si.

Ank, Jan 2022

Januari 18, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Berita

Perusahaan Menggugat, Masyarakat Adat Membela Bupati Sorong Selatan 

by Admin Pusaka Januari 5, 2022
written by Admin Pusaka

Teminabuan, 4 Januari 2021, Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agromulia (PUA), memperkarakan keputusan Bupati Sorong Selatan ke PTUN Jayapura terkait Surat Keputusan Pencabutan Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan yang dimiliki masing-masing perusahaan PT ASI dan PT PUA, pada Mei 2021 lalu.

Dalam SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) PTUN Jayapura, perkara tersebut didaftarkan pada 29 Desember 2021, dengan  Nomor Perkara: 45/G/2021/PTUN.JPR dan Nomor Perkara: 46/G/2021/PTUN.JPR. Kedua perusahaan penggugat PT ASI dan PT PUA meminta Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan batal atau tidak sah keputusan Bupati Sorong Selatan tersebut, serta mewajibkan Bupati Sorong Selatan mencabut keputusannya. 

Masyarakat adat di Sorong Selatan yang terancam menjadi korban perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut menanggapi. Dalam Siaran Pers Koalisi Masyarakat Adat Dukung Bupati Sorong Selatan, disampaikan tindakan perusahaan memperkarakan keputusan Bupati Sorong Selatan merupakan wujud dan sikap perusahaan yang tidak menghormati hak-hak kami Orang Asli Papua, tidak memperdulikan suara kami yang menolak keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di atas tanah adat kami, tidak mempunyai komitmen untuk melindungi hutan dan lahan gambut, dan hanya mempertimbangkan ambisi ekonomi untuk keuntungan diri sendiri. 

Tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, Sopice Sawor, mengatakan “masyarakat adat akan mendukung Bupati Sorong Selatan dalam menghadapi gugatan perusahaan”, tegas Sopice. 

Koalisi Masyarakat Adat Dukung Bupati Sorsel, menyatakan sepenuhnya memberikan dukungan dan aksi advokasi membela Bupati Sorong Selatan dalam menghadapi gugatan perusahaan di PTUN Jayapura.

Koalisi meminta Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk tidak mengabulkan dan tidak menerima gugatan tersebut karena keberadaan dan rencana aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut ditolak masyarakat adat. 

Baca disini: Siaran Pers Koalisi Masyarakat Adat Dukung Bupati Sorong Selatan

Ank, Jan 2022

Januari 5, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Praktik Monopoli dan Deforestasi di Kabupaten Teluk Bintuni

by Admin Pusaka Desember 20, 2021
written by Admin Pusaka

Reinvestasi laba merupakan salah satu strategi dan praktik pemilik modal untuk meraup laba besar dengan cara menggandakan labanya kembali melalui usaha memperbesar dan memperluas investasi proyek-proyek baru. Di Tanah Papua, praktik reinvestasi laba dilakukan perusahaan-perusahaan ekstraktif dalam usaha pembalakan kayu, perkebunan dan pertambangan. Perluasan dan pembesaran laba dilakukan dengan membeli saham dan mengambilalih (akuisisi), dan mengkonsolidasikan perusahaan dalam perusahaan payung atau group perusahaan, dengan berbagai nama lokal dan branding berkelanjutan.

Perusahaan kelapa sawit PT Subur Karunia Raya (SKR) yang berlokasi di Distrik Moskona dan Meyado, Kab. Teluk Bintuni, merupakan salah satu bagian dari perusahaan Indo Gunta Group, yang diduga berhubungan dan atau nama lain dari Salim / Indofood Group, yang dikendalikan dan dimiliki keluarga Anthoni Salim, salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Perusahaan Indo Gunta Group mempraktikkan reinvestasi laba dengan mengakuisisi saham perusahaan.

Berdasarkan data Ditjen AHU (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, teridentifikasi pada tahun 2012 pemilik saham dan pengurus PT SKR berubah dan beralih sahamnya kepada perusahaan PT Mulia Abadi Lestari, pemilik saham dominan. Pemilik saham PT Mulia Abadi Lestari masih berhubungan dengan pemilik saham dan pengurus perusahaan-perusahaan lain yang terkait  juga dengan Indo Gunta Group.

Pemilik saham dan pengurus perusahaan Indo Gunta ini juga mengakuisisi dan menguasai sekitar 6 (enam) perusahaan perkebunan di Tanah Papua dengan menggunakan nama-nama baru  dengan branding lokal dan populis, yakni PT Bintuni Agro Prima Perkasa yang berlokasi di Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, dengan luas lahan 19.369 hektar, diakuisisi pada tahun 2014 ; PT Menara Wasior yang berlokasi di Distrik Naikere, Kabupaten Teluk Wondama, dengan luas lahan 32.173 hektar, diakuisisi pada tahun  2014 ; PT Rimbun Sawit Papua yang berlokasi di Distrik Bomberai, Kabupaten Fakfak, dengan luas lahan 24.455 hektar, diakuisisi pada tahun 2015 ; PT Tunas Agung Sejahtera yang berlokasi di Distrik Mimika, Kabupaten Mimika, dengan luas lahan 40.000 hektar, diakuisisi pada tahun 2017 ; PT Adijaya Mulia yang berlokasi di Distrik Baruway, Kabupaten Kaimana, dengan luas lahan 8.000 hektar, diakuisisi pada tahun 2017 ; PT Permata Nusa Mandiri yang berlokasi di Distrik Unurum Guay, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, dengan luas lahan 32.000 hektar,diakuisisi pada tahun 2017. Total luas lahan dan kawasan hutan yang dikuasai 7 (tujuh) perusahaan ini di Tanah Papua seluas 164.417 hektar.

Praktik penguasaan pemilikan saham dan rangkap jabatan pengurus, serta penguasaan tanah skala luas pada sejumlah perusahaan tersebut diatas patut diduga telah melakukan praktik monopoli. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pengertian Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Keberadaan kepemilikan saham dan pengurus, serta aktifitas PT SKR dan perusahaan lain yang saling berkaitan satu sama lain dengan enam perusahaan lainnya, berpotensial melanggar  ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 17 yang melarang praktik monopoli, dan Pasal 26 yang melarang jabatan rangkap seseorang sebagai direksi atau komisaris untuk suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan merangkap direksi atau komisaris perusahaan lain, terhadap perusahaan yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama, mempunyai keterkaitan erat dalam bidang atau jenis usaha, atau secara bersama dapat menguasai pasar barang dan jasa tertentu. Demikian pula Pasal 27 terkait pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis untuk melakukan kegiatan dalam bidang yang sama.

Lembaga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang diberikan kewenangan untuk pengawasan dan penegakan hukum seharusnya segera bertindak atas dugaan pelanggaran PT SKR dan enam perusahaan lainnya.

Ancaman Deforestasi Meluas
Tahun 2018, perusahaan PT SKR bersama perusahaan pemilik izin pemanfaatan kayu PT Agro Papua Inti Utama (APIU) melakukan pembabatan hutan di daerah Distrik Meyado dan Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni. Daerah yang dibabat disebut oleh perusahaan sebagai Barma Estate.  Sekitar 616 hektar kawasan hutan berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan informasi Perkumpulan Panah Papua (2018), kawasan hutan yang dibabat habis sebagian besar merupakan tempat penting, yakni kawasan resapan air seluas 399 hektar dan kawasan bergambut seluas 96 hektar. Perusahaan terindikasi melanggar kebijakan Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang  RTRW Kabupaten Teluk Bintuni terkait perlindungan kawasan lindung. Namun belum ada informasi dan tanggapan otoritas setempat terkait dengan permasalahan hukum dan penegakan hukum.
Dalam Siaran Pers Perkumpulan Panah Papua (18/12/2021) dilaporkan bahwa pada November 2021, perusahaan PT APIU kembali melakukan pembabatan kawasan hutan untuk perluasan usaha perkebunan. Kayu-kayu produksi hasil pembabatan hutan ditumpuk untuk dipasarkan, meskipun belum ada kejelasan dokumen legalitas kayu.

Warga Kampung Jagiro, Distrik Moskona Selatan, yang berada disekitar areal perusahaan dan pemilik tanah adat, mereka mengeluhkan Surat Keputusan Kepala BPN Provinsi Papua Barat Nomor 1/SKHGU/BPN-92/IX/2021 Tanggal 17 September 2021 tentang pemberian Hak Guna Usaha  (HGU) dan status HGU atas tanah adat yang dimiliki masyarakat adat.

Masyarakat merasa perusahaan dan pemerintah belum pernah bermusyawarah dan bersepakat tentang pengukuran tanah dan pemberian HGU diatas tanah adat milik masyarakat. Pemberian HGU dalam waktu 95 tahun dan tanpa ada kejelasan kesepakatan manfaat dan penanganan resiko, akan berdampak merugikan masyarakat adat setempat dan lingkungan.

“Perolehan HGU perusahaan sawit tersebut tidak dapat terima karena dianggap menipu masyarakat. Perusahaan PT SKR dan BPN Cabang Bintuni pernah datang di kampung dan menyampaikan bahwa akan melakukan pengukuran tanah masyarakat dan berjanji akan memberikan sertifikat kepada masyarakat dalam rangka pembangunan Kebun Plasma. Sejauh pengetahuan saya bahwa sertifikat ini untuk masyarakat, tapi sampai saat ini masyarakat belum melihat dan pegang sertifikat yang dijanjikan itu. Namun dengar kabar ternyata seritifikat HGU perusahaan malah sudah terbit”, kata Arnoldus Yerkohok, Pemuda Adat dari Kampung Jagiro.

Ketua Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, mengatakan “Saya menduga penerbitan SK HGU ini tanpa melalui proses PADIATAPA secara baik dan berpotensi menimbulkan konflik”, jelas Sulfianto.

Semestinya pemegang izin dan pemerintah harus membuka secara luas tujuan dan proses perolehan lahan menurut aturan yang berlaku sehingga masyarakat harus benar-benar paham tentang tujuan pengurusan HGU perusahaan, dan perusahaan wajib menyampaikan keuntungan maupun kerugian dari surat keputusan tentang HGU.

“Kami juga meminta pemerintah daerah Teluk Bintuni untuk melakukan peninjauan kembali terhadap izin perkebunan sawit yang saat ini sedang beroperasi karena menimbulkan banyak masalah” tuntut Sulfianto.

Ank, Des 2021

Desember 20, 2021 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
BeritaPublikasi

KIBAS Menuntut Pertanggungjawaban Dampak Multidimensi Atas Kabut Asap di Kalimantan Tengah

by Admin Pusaka Desember 15, 2021
written by Admin Pusaka

Jakarta (15/12/2021) Koalisi Indonesia Bebas Asap (KIBAS) bertemu Komnas HAM, menyampaikan dan menyerahkan Petisi meminta “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Segera Melakukan Investigasi Terhadap Perusahaan Penyebab Krisis Kabut Asap dan Perubahan Iklim Untuk Bertanggung Jawab Dalam Melakukan Pemulihan”. Petisi ini diajukan oleh ELSAM, JPIC Kalimantan, AURIGA Nusantara, Komunitas Hukum Tamuan Bangkal (Kalimantan Tengah), Komunitas Korban Asap Kuala Kuayan (Kalimantan Tengah) ini didukung oleh 16 organisasi dan 239 individu diantaranya korban terdampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 silam.

Baca Petisi disini: Petisi Kabut Asap untuk Komnas HAM

Koalisi dalam siaran pers menyampaikan, tahun 2015 Indonesia mengalami krisis kabut asap terparah dalam hampir dua dekade akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Berdasarkan data WRI Indonesia (2017), kasus kebakaran hutan dan lahan berasal dari lahan perkebunan sawit mencapai lebih dari 2,6 juta hektar atau lebih dari 4,5 kali luas Pulau Bali terbakar dari bulan Juni hingga Oktober 2015, yang mana 869.754 hektar merupakan lahan gambut. Di Kalimantan Tengah dimana luas area terbakar pada 2015-2019 seluas 809.315,8 ha.

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan bencana asap yang begitu dahsyat. Masyarakat mengalami penderitaan, seperti kesulitan dan gangguan bernapas, sakit dan bahkan korban meninggal.

Masyarakat menggugat negara (citizen lawsuit) Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalimantan Tengah, dan DPRD Kalimantan Tengah. Putusan Tingkat Kasasi pada Mahkamah Agung RI Nomor 3555 K/Pdt/2018 dinyatakan bahwa para Tergugat terbukti melawan hukum.

Namun, penanganan krisis kabut asap dan pertanggungjawaban atas dampak yang ditimbulkan gagal menjangkau aktor-aktor bisnis yang seharusnya turut bertanggung jawab atas Kabut Asap pada tahun 2015-2019.

Kondisi ini pun disoroti oleh Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, dalam pertemuan penyerahan petisi ini ia menyatakan “sistem hukum kita (Indonesia) belum mengatur pelaksanaan putusan yang sudah inkracht”. Ini juga yang menjadi penyebab, sekalipun warga negara menang di pengadilan belum tentu putusan pengadilan tersebut berdampak kepada para korban.

Para Pemohon Petisi mendorong agar Komnas HAM dapat menyelidiki korporasi yang turut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dalam krisis kabut asap 2015 dan perubahan iklim; dan melakukan penilaian HAM atas badan usaha yang beroperasi di wilayah Indonesia, meliputi penilaian terhadap kebijakan internal badan usaha, uji tuntas HAM, pemberian pemulihan individu dan laporan berkala untuk diperiksa.

Selengkapnya: Siaran Pers Koalisi Indonesia Bebas Asap (KIBAS) dapat dibaca disini: Siaran Pers KIBAS – Pertanggungjawaban Kasus Asap

Ank, Des 2021

Desember 15, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
AktifitasBerita

Siaran Pers: PT Inti Kebun Lestari Sinilai Melanggar Berbagai Kewajiban

by Admin Pusaka Desember 3, 2021
written by Admin Pusaka

Tanggal 30 november 2021 kembali digelar lanjutan sidang gugatan PT Inti Kebun Lestari melawan Bupati Kabupaten Sorong dengan nomor perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR di pengadilan TUN Jayapura. Kuasa hukum bupati menghadirkan 5 orang saksi fakta dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Sorong dan 2 perwakilan masyarakat hukum adat.

Dian Patria saksi dari KPK menerangkan sejak tahun 2018 seluruh kepala daerah di provinsi Papua Barat berkomitmen melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. KPK bertugas mendampingi tim yang dibentuk provinsi dan kabupaten melakukan tindakan evaluasi. Ada 24 izin perusahaan di evaluasi, hasilnya 16 perusahaan perizinannya ditertibkan dengan luas mencapai 340.000 hektar dengan 70% wilayahnya merupakan kawasan hutan alam. Evalusi yang dilakukan KPK dari kurang lebih 600 ribu hektar luas konsensi di Papua Barat hanya 17 ribu hektar  yang melakukan pembayaran pajak, hingga ada potensi kerugian negara berkisar 20 triliun, sehingga evaluasi izin-izin penting dilakukan termasuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.

Benediktus Heri Wijayanto selaku Ketua tim evaluasi perijinan sawit di provinsi Papua Barat menerangkan dalam proses evaluasi telah memanggil seluruh perusahaan untuk memberikan data dan mendengar hasil rekomendasi Tim, termasuk PT Inti kebun lestari. Dari penelitian dokumen dan lapangan, PT Inti Kebun Lestari sebagian besar tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Izin Usaha Perkebunan, sehingga tim merekomendasikan kepada pemerintah Kabupaten sorong untuk melakukan pencabutan izin kerena banyak pelanggaran.

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong menerangkan  “sejak mendapatkan izin lokasi PT IKL tidak pernah mengajukan proses permohonan hak atas tanah, hanya mengirimkan laporan upaya pendekatan ke masyarakat adat, sehingga didalam rapat evaluasi kabupaten sepakat untuk mencabut izin lokasi PT IKL. Keterangan ini diperkuat kesaksian dua masyarakat adat, Manase Fadan dari Kampung Klasman dan Ruben Malakabu dari Kampung Malaus yang menerangkan tidak mengetahui izin-izin yang dimiliki perusahaan, masyarakat baru mengetahui ada izin diatas tanah ulayat setelah bupati saat ini mencabut izin-izin perusahaan. Saat gugatan berlangsung beberapa orang yang mengaku perwakilan perusahaan mendekati masyarakat namun masyarakat adat telah memutuskan menolak kehadiran perusahaan sawit ditanah ulayat.

Sekretaris Eksekutif JERAT Papua, Septer Manufandu menilai banyak izin perusahaan yang bermasalah, mulai jangka waktu izin yang melewati batas waktu, perusahan yang tidak memenuhi janji kepada masyarakat adat. Tindakan yang dilakukan oleh Bupati Sorong adalah langka yang baik seusai dengan regulasi yang mengakui hak masyarakat adat seperti diatur Perda Nomor 10 tahun 2017tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum  adat. Perbup Nomor 6 tahun 2020 tentang apa implementasi tentang wilayah adat dan Perdasus gubernur Papua barat Nomor 9 tahun 2019 tentang masyarakat hukum adat di provinsi Papua barat.  Tindakan yang diambil Bupati merupakan tindakan penyelematan hutan, Tanah dan manusia Malamoi.

Saat berlangsungnya sidang, Forum mahasiswa peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar unjuk rasa meminta hakim menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan. Mahasiswa menilai kehadiran perkebunan kelapa sawit saat ini tidak memberikan dampak kehidupan bagi masyarakat adat justru menyingkirkan kehidupan masyarakat hukum adat dari tanah leluhur.

Sidang untuk perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR dilanjutkan pada tanggal 07 desember 2021 dengan mendengar keterangan ahli dari tergugat, pada hari  yang sama akan PTUN akan memutus perkara Nomor 31/G/2021/PTUN.JPR dan 32/G/2021/PTUN.JPR yang diajukan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi.

Kontak Person :

  1. Tigor Hutapea – Pusaka : 081287296684
  2. Harun – JERAT PAPUA: 081247562890
  3. Eko – Forum Mahasiwa: 081314891035
Desember 3, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
AktifitasBerita

Siaran Pers: Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua

by Admin Pusaka November 26, 2021
written by Admin Pusaka

Penelitian Yayasan Pusaka yang berjudul ‘Mama Ke Hutan’ menggambarkan bagaimana posisi Perempuan Adat dalam kecamuk kontestasi sumber daya alam di Papua. Mereka mengalami eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya. Hak milik tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan Perempuan Adat kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi tertentu, mereka harus berhadapan dengan mara bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya. Situasi ini juga dilandasi oleh meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan, Kawasan Ekonomi Khusus hingga Mega Proyek Food Estate, dari periode ke periode. Dalam menjalankan kehendak investasinya tersebut, pemerintah dan para pemilik modal tidak merasa perlu mendengarkan suara perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secara serius. Padahal siapa yang sesungguhnya dirugikan di kemudian hari dari aktivitas investasi tersebut?

Meskipun besarnya tantangan kultural dan sosial yang harus dihadapi oleh Perempuan Adat dalam memperjuangkan haknya, mereka terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang hidup dan sumber penghidupan. Dari temuan penelitian Yayasan Pusaka, motif terbesar perempuan adat yang menjadi argumentasi dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka. Hutan adalah  “pasar”  – tempat mereka memenuhi sandang, papan, pangan dan gizi keluarga, adalah pasar tempat mencari semua kebutuhan rumah tangga dan utamanya sumber pangan, adalah apotik hidup – situs obat-obat tradisional, dan perpustakaan – tempat mereka menyimpan pengetahun tentang kehidupan, sejarah dan alam semesta yang suatu hari nanti akan diwariskan kepada keturunannya masing-masing. Mengganti keragaman fungsi hutan tersebut untuk satu komoditas yang asing dan tak terjangkau  adalah kerugian yang tiada banding.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen Pemerintah Indonesia terhadap realisasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan perlindungan Konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua masih jauh dari kata maksimal. Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan(eL-AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi Perempuan Adat untuk kemajuan mereka. Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mengakui hak teritorial kolektif dan pengambilan keputusan masyarakat adat juga menghambat kemampuan Perempuan Adat untuk menikmati hak-hak yang dilindungi di bawah CEDAW.

Menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2021, Yayasan Pusaka telah melakukan rangkaian diskusi dan dialog bersama Perempuan Adat di Sorong Selatan dalam isu HAM dan Lingkungan. Forum tersebut menjadi tempat pertukaran pengalaman, pengetahuan dan pendapat di antara Perempuan Adat dalam melihat sejauh mana proses pemenuhan dan penegakkan HAM telah dilakukan, keadilan lingkungan dan iklim, komitmen negara terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta rekomendasi  yang harus dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan kedepannya.

Perempuan Adat menjelaskan bagaimana berbagai proyek investasi di atas tanah adatnya menyebabkan perubahan lingkungan dan konflik sosial, serta mempengaruhi penghidupan harian masing-masing. Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat misalnya, menggambarkan bagaimana  identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit. “Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak”, ungkapnya. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus di saat yang bersamaan merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.

Pada momen Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2021, Perempuan Adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM Lingkungan (WHRD) mendesak  kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi Perempuan Adat, serta meminta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder terkait) untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan.  Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 HAKTP untuk menyampaikan kembali harapan para Perempuan Adat tersebut untuk segera diwujudkan oleh negara. Selama 16 hari ke depan, media sosial kami akan diwarnai oleh pesan-pesan Para Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan.

Kami juga menyerukan:

  • Pemerintah Indonesia agar segera mempercepat pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memberikan kepastian hak atas tanah adat dan hak atas FPIC ke dalam undang-undang nasional.
  • Hentikan perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), karena hal ini berpotensi mencemari ruang hidup dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.
  • Pemerintah Indonesia harus bekerja dengan komunitas masyarakat adat, khususnya perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis dan memprioritaskan dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.
  • Pemerintah Indonesia harus secara proaktif terlibat dengan perempuan adat dan komunitasnya untuk memastikan mereka diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakatnya.
  • Pemerintah Indonesia harus menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.

Sekian, Terimakasih

Jakarta, 25 November 2021

Contact Person:

Amelia Puhili : +62 822-9897-2694 (Staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

November 26, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

West Papuan Indigenous Rights vs Palm Oil Company Land Grab: Landmark Court Case Enters Decisive Final Week

by Admin Pusaka November 25, 2021
written by Admin Pusaka

Jayapura & Jakarta, 23 Nov. 2021 – NGOs are stepping up calls for Indonesia’s national government to show support for Indigenous rights in West Papua as a landmark court case enters its final week of hearings. The Jayapura Administrative Court is scheduled to conclude hearings on Thursday in the case which involves three palm oil companies in Sorong regency, West Papua Province fighting to overturn the cancellation of permits which had allowed them to convert forest areas into plantations, in the face of opposition by Indigenous landowners.

“Indigenous peoples’ organisations, the Sorong regency government and national NGOs have all taken a stand to rescue these Indigenous forest lands from conversion for palm oil production. These permit revocations are the only concrete outcome so far from President Jokowi’s palm oil moratorium and permit review process,” said Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua. “But when the chips are down, Jakarta is silent on the case, allowing cashed-up companies to take a bullying court case to retain control of Indigenous lands they were never morally entitled to,” said Wirya.

Years of Indigenous peoples’ complaints about plantation industry land-grabbing in West Papua province, and concerns about the vast area of tropical rainforest slated for clearing, lead the provincial government to undertake a review of oil palm plantation permits, recommending in February this year that over a dozen plantation concessions be revoked, and the forest areas be returned for sustainable management by their Indigenous owners.[1] The head of Sorong district, Johny Kamuru went ahead and revoked the recommended permits, but three of the companies affected, PT. Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, and PT Sorong Agro Sawitindo are suing Kamuru and the head of Sorong’s investment agency in Jayapura Administrative Court to reverse the decision.

The palm oil permit review process falls under a mandate provided by Indonesian President Joko Widodo in 2018, administered by the Coordinating Ministry for Economic Affairs and the Ministry of Environment and Forestry.[2] Yet neither ministry has made public comment, formal representations or provided expert evidence to support Sorong district’s permit revocations.

The valuable forested land claimed by the three companies covers 90,031 hectares, an area larger than New York City. Greenpeace Indonesia’s Papua Forests Campaigner Nico Wamafma said “Considering the influence of power and money in the justice system, and the importance of this case for Indigenous rights in West Papua, a coalition of NGOs has requested the national Judicial Commission to monitor proceedings.”[3]

On 18 November a joint public interest amicus curiae (‘friend of the court’) brief was lodged by the Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN), the Papua office of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI), Pusaka Foundation, and Greenpeace Indonesia.[4] Pusaka Foundation’s Tigor Hutapea said “In our submission, we asked the court to appreciate the wider implications of this case. This is not a commercial dispute about permits. It is about the public interest in protecting Indigenous land rights, biodiversity and environmental sustainability in Papua.” AMAN’s Fecky Mobalen added: “In the amicus curiae brief we called on the court to respect publicly stated Indigenous opposition, and provide justice in recognition that permits were issued without their consent.”

Notes:

[1] See Joint Press Release by Papua Barat Province and Corruption Eradication Commission

[2] Presidential Instruction 8/2018 Concerning Postponement And Evaluation Of Oil Palm Plantation Licenses And Increasing Productivity Of Oil Palm Plantations.

[3] Submission (available on request) dated 22 Sep 2021 received by Judicial Commission (Komisi Yudisial) with ref. no. 1092/X/2021/S.

[4] Link to amicus curiae brief

[5] Greenpeace Indonesia in collaboration with Watchdoc will release a movie about deforestation in Papua later this month, watch the teaser here

Photos & map:

  • Location map
  • Indigenous Moi people demonstrate in front of the Sorong district government office in support of the Sorong district head, who is being sued by palm oil companies after his decision to uphold Indigenous land rights (Photo 1 and Photo 2, credit: AMAN Sorong)
  • Indigenous Moi men and women protest on International Indigenous Peoples Day August 9, 2020, in front of the Sorong district government office, calling for the cancellation of palm oil permits over their ancestral lands.  Credit: Natalia Laurensia Carmelia Yewen / Mongabay Indonesia. 

Contacts:

  • Igor O’Neill, Greenpeace Indonesia Forests Campaign. [email protected] +61-414-288-424
  • Tigor Hutapea, Pusaka Foundation: +62-812-8729-6684
  • Fecky Mobalen, Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN): +62 822-4863-6709
  • Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua: +62-812-1858-508
November 25, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Surat Terbuka: Meminta Presiden RI Menarik Pasukan Non Organik dari Papua

by Admin Pusaka November 21, 2021
written by Admin Pusaka

Organisasi ELSHAM Papua mengirimkan Surat Terbuka kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo (15 November 2021). Surat Terbuka tersebut memuat keprihatinan terhadap situasi sosial yang terjadi di Tanah Papua.

Konflik bersenjata antara TPN PB dan TNI POLRI belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, ELSHAM Papua mencatat kehadiran pasukan non organik ke Papua dan Papua Barat telah mengakibatkan begitu banyak korban dipihak masyarakat sipil dan juga anggota TNI – POLRI serta korban dipihak TPN PB. Setiap kali terjadi konflik bersenjata maka yang pertama menjadi korban adalah ibu-ibu dan  anak-anak, serta orang tua lanjut usia. Mereka mengungsi dan menderita.

Apa yang sedang terjadi, lagi-lagi menunjukkan bahwa negara lalai melindungi warganya. Seharusnya hal ini merupakan tanggung jawab Negara untuk melindungi warganya sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu  negara berkewajiban melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

Melalui Surat Terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo, ELSHAM menyampaikan dan meminta kepada pemerintah agar menarik seluruh pasukan non organik, serta meminta pasukan TNI-POLRI dan TPN PB untuk menahan diri,  serta meminta kedua bela pihak agar lebih mengutamakan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Demikian pula atas dugaan keterlibatan aparat dalam bisnis keamanan, disampaikan agar aparat janganlah dijadikan kaki tangan Penguasa dan Pengusaha di Republik ini, hanya karena kepentingan politik dan ekonomi bagi segelintir orang di negara ini, tetapi jadilah pengayom rakyat  dan penegak hukum yang baik.

Surat Terbuka ELSHAM Papua yang didukung 24 Organisasi Masyarakat Sipil yang bekerja untuk HAM, Keadilan dan Lingkungan, menyampaikan bahwa berbagai tuduhan dan pelabelan  yang diberikan oleh Pemerintah dan TNI POLRI serta pihak manapun, tidak akan menyurutkan perjuangan kami untuk terus menyuarakan tentang keadilan, kebenaran dan Hak Asasi Manusia di Papua dan Indonesia.

Selengkapnya baca: Surat Terbuka buat Presiden RI Joko Widodo, 15 Nov 2021

Ank, Nov. 2021

November 21, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Perjuangan Keadilan Masyarakat Adat Marafenfen

by Admin Pusaka November 21, 2021
written by Admin Pusaka

Saat operasi Trikora tahun 1962, Kepulauan Aru menjadi lokasi sasaran tantara Indonesia untuk memobilitasi pasukannya ke wilayah Papua. Sejak saat itu, wilayah di Kepulauan Aru dianggap menjadi area operasi militer untuk pertahanan keamanan negara. Tahun 1991, aparat TNI datang ke Desa Marafenfen, salah satu desa di Kepulauan Aru, untuk membangun fasilitas militer, bandara TNI AL dan fasilitas lainya.

Masalah muncul, pihak TNI AL mengklaim tanah seluas 689 hektar dan memasang patok diatas tanah adat masyarakat setempat. Masyarakat adat tidak memberikan tanah adat warisan leluhur dan menolak klaim TNI AL.

Masyarakat mengkritisi kehadiran aktifitas apparat TNI AL menganggu kehidupan masyarakat, misalnya kegiatan berburu hewan yang menggunakan senjata dan massif. Sedangkan masyarakat berburu dengan cara tradisional berdasarkan tradisi Tordauk, mereka tersisih dan hewan liar semakin langka. Aparat TNI juga diduga terlibat dalam memperlancar kepentingan investasi dan industri keruk di Kepulauan Aru.  Seperti halnya yang terjadi pada rencana perusahaan perkebunan Menara Group pada tahun 2012 dan Jhonlin Group pada tahun 2017.

Sejak 1992 hingga kini, masyarakat aktif berjuang mendapatkan kepastian hak atas tanah, mereka bertemu petinggi TNI AL di Jakarta, bertemu Komnas HAM, Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah dan sebagainya.

Langkah-langkah kooperatif dilalui,  selanjutnya masyarakat adat Marafenfen membawa kasus ini pada proses hukum, menggugat secara perdata perbuatan melawan hukum (karena penyerobotan lahan (objek tanah seluas 689 ha) yang dilakukan oleh pihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo, pada 31 Maret 2021. Adapun pihak tergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Fakta persidangan terungkap proses pelepasan hak dilakukan secara melawan hukum, dilakukan dengan cara memanipulasi hasil musyawarah yang ditandatangani oleh orang-orang fiktif atau orang-orang yang tidak cakap hukum. Selain itu ganti rugi/kompensasi terhadap tanah masyarakat adat dilakukan secara manipulatif.

Majelis Hakim PN Dobo menolak gugatan masyarakat adat yang memperkarakan perampasan tanah adat.  Majelis Hakim PN Dobo mengabaikan fakta persidangan dan memutuskan perkara hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.

Koalisi  masyarakat sipil Save Marafenfen melalui Siaran Pers (19/11/2021) menyesalkan Putusan Hakim. Keadilan yang sejatinya untuk masyarakat adat justeru dibunuh oleh argumentasi Majels Hakim yang hanya mengejar kebenaran formal semata. Hakim tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Marafenfen.

Putusan Hakim  tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukum internasional. Putusan tersebut menambah panjang konflik agraria.

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Save Marafenfen: Kronologis Kasus Masyarakat Adat Marfefen, Kepulauan Aru

Lara dan mengecewakan. Putusan hakim ini menimbulkan reaksi aksi protes di luar pengadilan, massa amuk dan marah. Polres Dobo melepaskan water canon dan tembakan senjata untuk membubarkan ratusan massa aksi. Masyarakat dan Orang Tua Adat melakukan ritual sasi adat atau penyegelan secara adat di Kantor PN Dobo, Bandara Udara, Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Pelabuhan Laut Dobo.

Ank, Nov 2021

November 21, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Integritas Investor: Bangun Bumi Papua Proyek
  • Perusahaan Kelapa Sawit Menggusur Hutan di Kabupaten Sorong
  • Surat Pernyataan Bersama Koalisi
  • Kasus Penganiayaan Warga dalam Bisnis Kayu di Jayapura
  • Pemberian Izin Perusahaan Sawit PT PNM Melanggar Ketentuan Adat

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo