Berita
Menagih Keseriusan Pemerintah Daerah dan Panitia MHA Sorong Selatan
Puluhan Pemuda Adat dan perwakilan masyarakat adat di Taman Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan (30/09/23), mereka menumpahkan rasa kelesah dan mengkritisi keseriusan pemerintah daerah untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Penyebabnya, pasca penetapan dan pelantikan Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Sorong Selatan, pada Juli 2023 lalu dan hingga kini, belum ada tanda-tanda dan gelagat dari pemerintah daerah untuk mendukung program kerja Panitia MHA dalam kerangka penetapan pengakuan, penghormatan dan perlindungan MHA di Sorong Selatan, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan, Penghormatan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Kabupaten Sorong Selatan.
Keputusan Bupati Sorong Selatan Nomor 198.1/115/BSS/III/Tahun 2023 Tentang Panitia Masyarakat Hukum Adat, Diktum Keempat, menetapkan segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya Keputusan Bupati ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Yulian Kareth, perwakilan masyarakat adat Suku Afsya dari Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, mengkritisi keseriusan pemerintah daerah membiaya program kerja Panitia MHA dan hingga proses penetapan keberadaan dan hak masyarakat adat.
“Tong biasa hanya dengar-dengar saja ada dana Otsus (Otonomi Khsusus) buat kepentingan kehidupan Orang Asli Papua, tapi tong tidak tau akan pu muka”, ungkap Yulian Kareth.
Pada 27 Juli 2023, Yulian Kareth, pemimpin Marga dan tokoh masyarakat adat Suku Afsya (perempuan dan laki-laki), telah bertemu menyampaikan dan menyerahkan dokumen permohonan penetapan keberadaan dan hak masyarakat adat Suku Afsya di Distrik Konda, yang diterima langsung oleh Wakil Bupati Sorong Selatan, Drs. Alfons Sesa, MM, yang disaksikan Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Sorong Selatan, Kabag Hukum Bupati Sorong Selatan, dan ratusan peserta pertemuan Sosialisasi Perda Sorong Selatan Nomor 3 Tahun 2022.
“Belum ada tindak lanjut sampai sekarang, Bupati dan Ketua Panitia MHA belum menanggapi untuk memproses dan menetapkan usulan kami Suku Afsya,” geram Yulian Kareth.
Masyarakat adat waswas atas sikap dan komitmen pemerintah daerah untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat. Perkaranya wilayah adat Suku Afsya yang luasnya sangat terbatas sedang menjadi target investor perusahaan perkebunaan kelapa sawit PT Anugerah Sakti Internusa. Perusahaan telah menggugat putusan pencabutan izin usaha perkebunan oleh Bupati Sorong Selatan (2021) dan perusahaan memenangkan perkara pencabutan izin setelah Bupati Sorong Selatan memohon Kasasi ke Mahkamah Agung (2022).
“Pemda Sorong Selatan harus serius dalam bekerja mengimplementasi kerja Panitia MHA dan melindungi hak masyarakat adat. Tong pemuda siap membantu pemerintah bila dibutuhkan baik itu dokumen langkah kerja-kerja hingga proses dilapangan nanti”, kata Olland Abago dari Relawan Pemuda Tolak Sawit Sorong Selatan.
Dalam Siaran Pers dikatakan pemuda dan masyarakat adat menagih dan mendesak pemerintah daerah dan Ketua Panitia MHA secepatnya bekerja, mulai dari proses penguatan internal kepanitiaan, proses identifikasi dan verifikasi suku dan marga, pemetaan wilayah adat masing-masing serta siapkan anggarannya dan memberikan rekomendasi kepada bupati untuk ditetapkan.
“Karena lambat dan tidak ada progres kerja Panitia MHA sampai sejauh ini, maka dalam waktu dekat Pemuda dan masyarakat adat akan datangi Panitia yang diketuai oleh Bapak SETDA Sorsel untuk menanyakan lansung progresnya”, tegas Olland Abago.
Ank, Okt 2023
Saksi Ahli: AMDAL Dokumen Awal yang Tidak Boleh Dilakukan Bersamaan Operasi Perusahaan
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia. Namun negara seringkali abai dan lalai dalam menjamin dan memenuhi hak konstitutional tersebut. Meskipun sudah ada kesepakatan untuk menjalankan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan, namun pemerintah mengembangkan proyek pembangunan dengan label ‘proyek strategis nasional’ dan pemberian izin eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung, dan keberlanjutan lingkungan hidup dan mahluk hidup. Keputusan politik ekonomi dan kepentingan akumulasi kapital seringkali didahulukan dibandingkan mempertimbangkan etika sosial dan lingkungan.
Pemerintah mempunyai mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mencegah dampak dari operasi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam, yang direncanakan dan mempengaruhi kerusakan terhadap lingkungan hidup. AMDAL merupakan penilaian dampak positif atau negatif dari perencanaan proyek pembangunan yang melingkupi aspek lingkungan, geologi, sosial budaya dan ekonomi, bahkan hingga kesehatan.
Saksi ahli, Dr. Anton Silas Sinery, S.Hut., MP, dalam persidangan gugatan iklim yang diajukan perwakilan suku Awyu di PTUN Jayapura (Kamis, 21/09/23), menyampaikan penilaian AMDAL terdiri dari beberapa tahap, yakni uji tahap proyek, uji konsistensi, uji relevansi dan uji kedalaman, menggunakan metode dan data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan dan menggunakan laboratorium yang terakreditas.
“Kajian dampak lingkungan, AMDAL ini merupakan dokumen awal yang tidak boleh dilakukan bersamaan operasi produksi”, jelas Anton Sinery.
Dalam hal uji konsistensi, Anton Sinery menjelaskan dan memberikan contoh misalnya terkait lokasi proyek dan penduduk marga, maka harus disebutkan dalam dokumen kampung dan marga terdampak ini, dengan luas sekian dan dampaknya terhadap 12 marga, semua harus terbuka dan melibatkan masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan diakui sebagai salah satu prinsip utama dalam Deklarasi Rio De Janeiro hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1992. Asas kelima Deklarasi Rio 1992 menyebutkan partisipasi seluruh bangsa dan umat manusia dalam memusnahkan kemiskinan untuk kualitas kehidupan. Tentunya termasuk partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sehat.
Berkaitan dengan AMDAL, keterlibatan masyarakat dilakukan sebelum penyusunan Kerangka Acuan AMDAL. Anton Sinery mengatakan pada tahap konsultasi publik seharunya pelaku usaha bersama pemerintah daerah mengumumkan kepada publik terkait rencana usaha dan mendiskusikan siapa perwakilan masyarakat adat yang akan ikut serta dalam penyusunan AMDAL dan duduk dalam sidang komisi penilai AMDAL. Masyarakat terdampak yang terlibat adalah masyarakat yang berada dalam wilayah studi areal konsesi sesuai Izin Lokasi dan masyarakat diluar izin lokasi, namun secara sosial masih mempunyai hubungan dengan lokasi konsesi.
“Penetapan wakil masyarakat diserahkan kepada masyarakat untuk menentukan siapa wakil yang menjadi Komisi AMDAL, tidak ada ketentuan, Kepala Kampung atau Bamuskam, melainkan melalui proses mufakat, yang hasilnya diserahkan ke secretariat”, jelas Anton Sinery.
Ketika ditanyakan Kuasa Hukum Penggugat, Tigor G Hutapea, S.H., bagaimana jika masyarakat pemilik lahan terdampak tapi tidak dilibatkan dalam proses AMDAL. Anton menjelaskan bahwa secara prosedur hal itu tidak memenuhi aturan dan secara etis seharusnya tidak demikian.
“Karena kita akan menciptakan suatu konflik yang terjadi di masa datang”, ungkap Anton Sinery.
Kebebasan masyarakat dalam menyampaikan usul pendapat dan tanggapan dijunjung tinggi dalam proses AMDAL, sehingga setiap masyarakat yang memiliki kepentingan dan terdampak wajib hukumnya diberikan kesempatan menyampaikan pendapat secara bebas. Saran pendapat dapat dilakukan secara tertulis dan merekam pendapat masyarkat yang tidak bisa menulis. Semua usulan saran harus diberikan secara bebas, tanpa intimidasi, tanpa paksaan atau ada pengaruh dari pihak manapun. Masyarakat terdampak tidak boleh diwakili dan diabaikan dengan dalil memiliki tipikal sama.
“Objek studi adalah masyarakat terdampak, jangan tanya masyarakat di kota terus mereka bilang kami, tidak bisa begitu. Metodenya kita dibatasi wilayah studi, jika ada 12 marga maka tanya 12 marga bukan satu marga mewakili 11 marga lainnya”, jelas Anton Sinery.
Saksi Ahli Anton Sinery menyarakan hal yang perlu diperhatikan dalam AMDAL, membuat penyaringan syarat administrasi penetapan izin, koordinat lokasi dan rekomendasi tata ruang, apabila tidak sesuai dapat ditolak, apakah layak secara keruangan? jika tidak sesuai, wajib hukumnya ditolak.
“Tahun 2021 – 2022, saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Food Estate Papua, lokasinya dekat dengan lokasi (masyarakat), saya dapat sprindik dari kementerian pertahanan, tim saya ada 12 orang. Ketika konsuktasi publik pertama diterima dengan baik dan konsultasi kedua ditolak. Saya menghargai dan berhenti, kita buat berita acara (penolakan). Kemeterian Pertahanan tidak mau dan kita diganti, itu idealism kita, itu fakta. Ketika satu saja menolak maka kita tolak wajib hukumnya”, cerita Anton Sinery, yang mempunyai banyak pengalaman mulai dari konsultan AMDAL hingga penilai AMDAL.
AMDAL merupakan syarat keluar izin lingkungan sehingga bagi pelaku usaha yang tidak memiliki AMDAL, cacat hukum, harus dibatalkan. Menurut Anton Sinery izin lingkungan dan/atau perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila ada dugaan dan bisa dibuktikan pelanggaran terkait informasi data yang digunakan terjadi pemalsuan. Jika mengandung cacat hukum dan pemalsuan, dan sebagainya, maka dihukum pidana paling lama satu tahun dan denda satu miliar sampai tiga miliar.
Ank, Okt 2023
Laksanakan Reforma Agraria Sejati melalui 19 Langkah Perombakan Fundamental
Puncak Peringatan Hari Tani Nasional, berlangsung dengan gerakan aksi massa pada sepuluhan daerah dan kota besar di Jawa dan luar Jawa. Massa menyampaikan tuntutan, orasi, poster dan beragam peralatan aksi, menuntut pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati dan menyelesaikan konflik agraria.
Di Jakarta (26 September 2023), Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), serikat tani dan aktivis dari berbagai elemen organisasi, sebanyak lebih dari 3000 orang melakukan aksi massa di area Patung Kuda, Jakarta.
Kami kembali turun ke jalan untuk mengingatkan para pemegang kekuasaan bahwa Indonesia berada dalam status Darurat Agraria. Situasi ini berlangsung akibat kejahatan Negara demi investasi kelas kakap berbasis agraria, tulis KNPA dalam surat pernyataan.
Selama dua periode Pemerintahan Jokowi (2015-2022), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terjadi 2.701 letusan konflik agraria yang terjadi di seluruh provinsi. Letusan konflik tersebut disertai dengan kasus kekerasan dan kriminalisasi, akibatnya 69 tewas, 38 tertembak, 842 dianiaya dan 1.615 orang dikriminalisasi hingga divonis, karena mempertahankan tanahnya dan sumber kehidupannya. Pada periode yang sama, AMAN mencatat telah terjadi 687 kasus kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat.
Tingginya letusan dan korban konflik serta kekerasan agraria merupakan bukti tidak bekerjanya operasi Reforma Agraria yang dijanjikan di wilayah-wilayah konflik agraria untuk melindungi dan menjamin pemenuhan hak atas tanah dan hak hidup warga berbasis agraria. Itulah sekelumit kecil, letusan konflik agraria yang mencerminkan terjadinya perampasan tanah oleh negara. Sebuah legacy buruk agraria mengingat sejak masa pencalonan pada 2014 hingga kepemimpinannya sekarang, Jokowi telah menjanjikan kepada Rakyat Indonesia akan menjalankan Reforma Agraria seluas 9 (sembilan) juta hektar (ha) kepada petani dan rakyat kecil.
Kondisi serupa juga terjadi pada lingkungan, krisis ekologis semakin parah. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat bahwa operasional bisnis ekstraktif dan ambisi pemerintah dalam pembangunan telah menyebabkan bencana ekologis sebanyak 27.660 kejadian pada tahun 2015-2022. Salah satu bencana ekologis banjir terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat tahun 2021-2022. Bencana tersebut terjadi sebagai hasil akumulasi dari berbagai pembukaan lahan yang dilakukan secara besar-besaran oleh kelompok korporasi dari tahun-tahun sebelumnya.
Dalam Surat Pernyataan KNPA bersama seluruh organisasi petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan dan para aktivis menyatakan Presiden Jokowi telah gagal menjalankan Reforma Agraria secara konsisten, utuh dan sesuai tujuannya; akibat lanjutannya, gagal memuliakan, mengangkat derajat dan mensejahterakan Kaum Tani, begitu pun nasib Masyarakat Adat, Nelayan, Buruh, Perempuan, Masyarakat Miskin dan Para Korban Konflik Agraria di Indonesia.
Selanjutnya, mendesak kepada pemerintahan baru ke depan untuk melaksanakan Reforma Agraria Sejati melalui 19 langkah perombakan fundamental dan struktural agar legacy buruk agraria saat ini dapat segera diatasi, antara lain: Membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria sebagai pengarah pelaksanaan Reforma Agraria Sejati, dan memastikan pelaksanaannya terjadi di lapangan; Mendorong Rancangan UU Reforma Agraria dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat; Mencabut HGU, HGB, HTI, HPL, IUP (ijin tambang), ijin lokasi, penetapan kawasan konservasi, yang terbit dan berdiri di atas tanah-tanah masyarakat, atau berasal dari hasil-hasil menggusur dan merampas tanah masyarakat ; Membebaskan Petani, Nelayan, Masyarakat Adat, Perempuan dan Aktivis Agraria-HAM yang membela dan mempertahankan hak atas tanah dari penjara akibat kriminalisasi oleh aparat keamanan, perusahaan dan pemerintah; Menghentikan perusakan alam yang dilakukan oleh Negara bersama kelompok perusahaan industri ekstraktif di berbagai sektor, yang semakin memperparah bencana alam dan krisis iklim serta menghancurkan daya dukung linkungan.
Selengkapnya baca disini Surat Pernyataan dan 19 langkah perombakan fundamental: Surat Pernyataan KNPA Puncak Peringatan Hari Tani Nasional, Sept 2023
Ank, Sept 2023
Peristiwa Rempang, Batam, yang penuh kekerasan dan berdarah-darah, kembali mempertontonkan pengabaian dan kelalaian negara untuk melindungi hak masyarakat, sebaliknya negara cenderung membela kepentingan pembangunan kawasan industri Rempang Eco City, yang diduga dikendalikan dan dimiliki pemodal besar dari dalam dan luar negeri. Masyarakat adat di Pulau Rempang membela hak-haknya dan menolak proyek investasi yang akan menggunakan tanah adat mereka, karena merampas dan menghilangkan mata pencaharian, dan sebagainya.
Pejabat Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan proyek Rempang sudah mempunyai kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Bahlil menyinggung adanya pihak di luar negeri yang terlibat di balik konflik Rempang. “Setiap Kepri mau maju, ada investasi besar, selalu ada menghalangi,”, kata Bahlil.
Kita sering mendengarkan dan membaca pernyataan pejabat negara dan korporasi, maupun kajian-kajian yang mengabaikan dan mendiskreditkan sikap dan suara kritis masyarakat adat, keberadaan dan hak-hak mereka, pengetahuan dan cara hidup, dengan sebutan miring seperti penghalang, penghambat pembangunan, penghambat kemajuan, dan sebagainya.
Beberapa waktu lalu, Suku Afsya di Distrik Konda, Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, menolak perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala luas beroperasi di wilayah adat mereka. Alasannya, tanah dan hutan yang mereka miliki sangat terbatas, hanya cukup untuk menghidupkan generasi mereka pada masa mendatang. Selain itu, mereka khawatir kehilangan identitas sosial budaya, hutan larangan dan keramat, dusun pangan tempat mata pencaharian dan sumber makanan, dan sebagainya.
Pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat, hukum dan kebiasaan pengelolaan dan perlindungan hutan dan tanah, larangan dan pemali adat tertentu, sering diberikan cap ‘udik’ terbelakang, lalu masyarakat adat dipindahkan paksa, hutan sumber hidup masyarakat digusur dan tradisi adat dilarang dengan berbagai alasan sosial ekonomi, politik dan hukum, yang melibatkan negara, institusi sosial keagamaan dan pihak luar komunitas. Padahal kebiasaan pengetahuan dan sistem sosial yang dijalankan masyarakat adat berhubungan dengan bagaimana menjaga dan menjalankan sistem nilai, norma dan budaya, corak ekonomi, yang diwariskan sejak lama, merupakan keyakinan dan kebanggaan. Berbeda dengan pandangan pengambil kebijakan, teknokratis, oligarki dan penguasa modal, tanah dan hutan adat sebagai komoditi untuk akumulasi keuntungan kapital dan memajukan peradaban sosial.
Kini situasi runyam dengan adanya ketidakadilan meluas, penundukan dan eksploitasi hak-hak masyarakat terus berulang terjadi dalam berbagai bentuk, krisis ekologi dan kejadian darurat iklim yang berdampak serius terhadap keberlanjutan hidup manusia dan lingkungan di bumi. Dalam situasi tersebut, justeru pengetahuan adat dipromosikan sebagai solusi pengurangan resiko bencana iklim. Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim (Intergovermental Panel on Climate Change, IPCC), yang meneliti adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam Laporan Penilaian Keempat (2007) menerima sistem pengetahuan masyarakat adat diakui sebagai komponen penting dalam strategi mitigasi bencana dan pengurangan risiko di abad kedua puluh satu.
Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, dalam Dialog Kebudayaan acara masyarakat adat Papua bercerita tentang tanah, hutan dan kehidupan, yang diselenggarakan Pusaka di Salihara Art Gallery, Jakarta (20/09/2023), menjelaskan dan mengajak kepada publik dan pengambil kebijakan untuk merubah tatanan pola berpikir melihat masyarakat adat, bukan sebagai penghambat kemajuan, masyarakat adat bukan penghambat pembangunan, tetapi melihat dari sisi yang sebaliknya, melihat potensinya.
Selanjutnya, Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, penulis buku Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua (2008) ; The Notion of Collective Dignity Among Hubula in Palim Valley, Papua (2014), menguraikan laporan dari IPBES (Intergovermental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services, 2022), atau platform antara pemeritah yang berisikan para ilmuwan independent, yang melihat kesehatan bumi, bahwa kejadian krisis ekologis yang akut, akar masalahnya karena tidak adanya sustainability aligned value, tidak adanya nilai-nilai yang seimbang.
“Ketidakseimbangan nilai yang dipunyai masyarakat adat, dengan inilai-nilai yang dibawa, yang diusung pembangunan, sama sekali tidak sejalan, tidak seimbang, ini akar krisis ekologis se dunia,” jelas Yulia.
Masalah hutan Papua bukan masalah Papua saja, melainkan masalah masyarakat dunia dan keadilan bagi semua. Sekarang bukan keadilan sosial dan keadilan lingkungan saja, istilahnya planetary justice, keadilan bumi, dan itu sudah dipakai semua orang. Yulia memaparkan bahwa keadilan bumi, ada tiga unsur keadilan, yakni pertama, Keadilan Lintas Batas, melampaui batas administrasi ; kedua, Keadilan Lintas Generasi, menyangkut bagaimana masa depan anak-anak, bukan berbicara masalah apa yang ingin kita dapatkan dalam hidup kita sekarang. Mengenai keadilan generasi, semua masyarakat adat mempunyai pengetahuan ini, keadilan tujuh generasi, bukan satu atau dua generasi. Masalah hutan bukan hanya generasi kita saja, tetapi juga generasi sesudah kita meninggal. 3. Keadilan untuk Non Manusia, karena masyarakat adat kalau kita katakan pembangunan memakai SDG (Sustainable Development Goals), keberlanjutan, padahal yang lebih tinggi dari pada sustainability, keberlanjutan itu adalah budaya regenerative.
“Budaya regenerative adalah radikal empati, empati yang sangat radikal, bahwa yang kita rasakan manusia, itu keadilan non manusia, pohon sakit kita sakit, kalau keadilan restoratif, restorative justice, misalnya restorasi gambut, itu mengenai apa yang bisa kita perbaiki, itu masih terpisah dari alam, tetapi masyarakat adat berbicara masalah budaya regenaratif, radikal empaty, bukan hanya melihat saya bisa menggunakan apa saja lingkungannya, tetapi saya adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan, jadi relasinya lain, kita bicara relasi identitas bukan relasi properti,” jelas Yulia.
Masyarakat adat adalah potensi, bukan penghalang, maka dalam konteks global apa yang disebut etnoekologi dan etnobotani telah dipraktikkan masyarakat adat, seperti larangan pemanfaatan dan penebangan tanaman pohon. Yulia mencontohkan pola hidup dan pengetahuan masyarakat adat di Lembah Baliem, Papua, ada silo, ada pawi, pilibit ekama, merupakan sistem pengetahuan, larangan dan pemetaan secara ekologis, yang dinamakan dengan ecological intelegen merupakan potensi sangat besar mengatasi krisis ekologis.
Berbeda dengan budaya regenerative, kebijakan pembangunan dijalankan dengan logika yang linear, ekstraktif, eksploitasi, yang memanfaatkan sumber daya hanya untuk kepentingan sendiri, berbeda dengan masyarakat adat pemanfaatan sumber daya alam melakukan praktik resiprositas, hubungan timbal balik, bukan hanya apa yang bisa di dapatkan tetapi apa yang bisa saya berikan, semua ada seimbang.
“Kalau kita bicara mengenai sustainability, bicara masalah keseimbangan hidup kita semua, bukan keseimbangan hidup pribadi lagi, saya mengajak untuk melihat kembali bahwa kita melihat ini (kehidupan masyarakat adat) sebagai potensi yang tersia-siakan, mari kita belajar dan hasil belajar ini yang disebut refleksi ekologi, belajar keadilan bumi,” ungkap Yulia.
Ank, Sept 2023
Pemimpin Masyarakat Adat Suku Wambon Kenemopte dan Afsya, Papua, Meminta Menteri Mengukuhkan 10 Hutan Adat
Tahun 2022 lalu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tujuh hutan adat di Papua, terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektar, Yano Akura seluas 2.177,18 hektar, Yano Meyu seluas 411,15 hektar, Yosu Desoyo seluas 3.392,97 hektar, Yano Wai seluas 2.593,74 hektar, dan Takwobleng seluas 404,9 hektar, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektar. SK Hutan Adat di Papua ini yang pertama kali semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (2012) bahwa hutan adat bukan hutan negara.
“Pengakuan hutan adat terjadi hanya pada Kongres AMAN saja, setelah itu tidak ada. Hak kami tidak dihormati dan tidak dilindungi, hutan adat dicuri dan digusur. Kami mengalami kesulitan air bersih, kesulitan pangan dan terjadi konflik antara masyarakat pro dan kontra perusahaan.”, ujar Regina Bay, Perempuan Adat Namblong asal Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura.
Rabu pagi (20/9/2023), Mama Regina bersama perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, berasal dari Suku Afsya, Kabupaten Sorong Selatan, Suku Moi Kelim, Kabupaten Sorong, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, dan Distrik Jair, dan Suku Awyu, Kabupaten Boven Digeol, dan pemimpin organisasi Pemuda Adat, Sorong, dan Perempuan Adat Namblong, Jayapura, bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebanyak 18 orang, bertemu dan berdialog dengan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta.
Irene Thesia, Perempuan Adat Tehit dari Sorong Selatan, menyampaikan “Kami menyambut baik komitmen pemerintah nasional dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Menteri Lingkungan Hidup telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Papua. Namun upaya penertiban perizinan belum diikuti dengan pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat adat”, kata Irene.
Surat Kepada KLHK Percepatan Penetapan Hutan Adat Papua, 2092023
Diperkirakan total kawasan hutan yang telah dialihkan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 2.061.538 hektar. Hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas 120.255 hektar, maka kawasan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa seluas 1.948.283hektar. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.
“Kami meminta tanah dan hutan adat bekas konsesi perusahaan, yang dikuasai perusahaan tanpa persetujuan kesepakatan dengan masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat. Kami akan kelola sendiri hutan adat”, minta Yulian Kareth.
Dalam konteks restitusi Hak Asasi Manusia, idealnya hak masyarakat adat yang hilang, yang dirampas, dan mengakibatkan penderitaan dan kerugian, seharusnya pemerintah mengembalikan dan memulihkan kerugian masyarakat adat. Semua peserta menyambut dan bersuara meminta dan menuntut pemerintah agar hutan adat segera dikembalikan, kuasa, pengelolaan dan pemanfaatannya oleh masyarakat adat.
Dialog dipimpin Sekretaris Ditjen PSKL, Mahfudz MP, dan menghadirkan Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ir. Muhammad Said, MM, dan Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal , Yuli Prasetyo Nugroho, S.Sos, M.Si, berlangsung hangat dan membahas isu permasalahan dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Pada kesempatan dialog ini, perwakilan dan pemimpin marga dan suku menyerahkan surat permohonan penetapan hutan adat dan dilengkapi dokumen persyaratan, yakni sejarah masyarakat adat, pengetahuan penguasaan dan kepemilikan tanah, sejarah silsilah masyarakat adat, gambaran wilayah adat yang diklaim dan peta adat yang memuat batas tanah adat, peta wilayah adat dan/atau hutan adat, pengaturan dan kelembagaan adat, berita acara kesepakatan batas tanah adat, dan dokumen Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Ada 10 usulan hutan adat yang disampaikan perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, sebagai berikut (1) Sub Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, (2) Marga Kinggo Kambenap, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 5.100 hektar, (3) Marga Tenggare, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 3.000 hektar, (4) Marga Aute, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 15.343 ha, (5) Marga Kanduga, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 14.105 ha, (6) Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 61.304 ha, (7) Marga Ekoki di Kampung Subur, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 41.222 ha, (8) Marga Kemi, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 48.901 ha, (9) Marga Eninggugop, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 30.228 ha, (10) Marga Wauk, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 20.149 ha.
“Bapak kami mohon untuk disegerakan penetapan hutan adat di wilayah adat Suku Afsya. Wilayah adat kami sempit karenanya kami menolak perusahaan yang mendapat izin kehutanan (KLHK, red)”, kata Johanis Meres, tokoh masyarakat adat Afsya, kepada Direktur PTKHA yang menerima surat dan dokumen usulan hutan adat.
Direktur PKTHA menjelaskan pemerintah sedang memproses 50 usulan hutan adat dan menjadi prioritas untuk ditetapkan pada 2023, diantaranya ada delapan lokasi hutan adat berada di Papua.
Jakarta, 21 September 2023
Kontak Person
- Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: 0813 1728 6019
- Petrus Kinggo, Suku Wambon Kenemopte, Kab. Boven Digoel: 0812 4766 2089
- Regina Bay, Perempuan Adat Namblong, Kab. Jayapura: 0821 9980 2046
- Irene Thesia, Pemuda Perempuan Adat, Kab. Sorong Selatan: 0812 4872 0809
PTUN Jakarta Tolak Gugatan Perusahaan Sawit, Perjuangan Suku Awyu Menang
Jakarta, 6 September 2023. Pejuang lingkungan hidup sekaligus pemilik tanah adat dari suku Awyu menyambut gembira putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) ini diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 5 September 2023.
Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami. Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu,” kata Gergorius Yame, salah satu dari enam masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.
PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan itu, kedua perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan, yang isinya antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.
Adapun Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.
“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.
Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit–satu pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’. Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura.
Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari. Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini. “Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” kata Hendrikus Woro.
Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Tigor Gemdita Hutapea mengimbuhkan, perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini makin membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat. Pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka. “Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!”
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia
Catatan Editor:
- Gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama masing-masing teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT dan 87/G/2023/PTUN.JKT.
- Foto dan video rekaman saat Gergorius Yame dan Hendrikus Frangky Woro memberi kesaksian pada persidangan PTUN di Jakarta, 11 Juli 2023.
Kontak Media:
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
Tigor Gemdita Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105
Kawal Sampai Menang: Majelis Hakim PTUN Jakarta Menolak Gugatan Perusahaan Sawit di Papua
“Kemenangan adalah tentang perjuangan, usaha, optimisme, dan tidak pernah menyerah.” (Amby Burfoot)
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melalui persidangan secara elektronik (e-court) pada hari ini (05/09/2023) membacakan putusan Perkara Nomor 82/G/2023/PTUN.JKT, dan 87/G/2023/PTUN.JKT, yang didaftarkan pada Maret 2023. Keduanya merupakan perkara gugatan perusahaan kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya (MJR) dan PT Kartika Cipta Pratama (KCP), yang diduga anak perusahaan Hayel Saeed Anam (HAS) Group, perusahaan modal asing asal Yaman, yang beroperasi di daerah Kali Digoel, Distrik Jair, Distrik Mandobo, hingga daerah Kali Mappi, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan (sekarang).
Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan 1. Menolak Gugatan Penggugat (PT MJR dan PT KCP) dan Penggugat II Intervensi (atas nama Koperasi Yefioho Dohona Ahawang) seluruhnya; 2. Menghukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 332.000 (tiga ratus tiga puluh dua ribu rupiah).
Awal perkaranya, perusahaan PT MJR dan PT KCP menggugat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Nomor SK.1150/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022 dan SK.1157/MENLHK.SETJEN/PLA.2/11/2022, tertanggal 14 November 2022, tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan, masing-masing mengatasnamakan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Perusahaan tersebut memperkarakan putusan Menteri LHK terkait antara lain penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Putusan ini dianggap merugikan perusahaan.
Eksepsi jawaban KLHK atas perkara ini antara lain bahwa keputusan yang menjadi objek sengketa merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden RI dan penambahan komitmen sudah sesuai dengan ketentuan untuk mengurangi dan mengendalikan deforestasi. Dalam proses evaluasi ditemukan juga fakta bahwa perusahaan tidak mengusahakan lahan secara maksimal, tidak ada kontrak penjualan, tidak ada suplai untuk pengolahan kelapa sawit, tidak ada laporan produksi dan belum ada kegiatan pemanenan.
Saksi Ahli Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., dosen Fakultas Hukum UGM, yang dihadirkan oleh Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua, dalam persidangan PTUN Jakarta, menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan tidak mencabut pelepasan kawasan hutan hanya merubah jenis usahanya, hal itu tidak akan berkait dengan pelepasan kawasan hutan, karena itu tidak mengubah apa yang sudah dilepas. Penertiban dalam konteks ini boleh jadi dimasukkan ke dalam kerangka menertibkan karena melihat ada ketidakefektifan izin yang sudah diberikan, kemudian negara atau pemerintah memberikan sikap dengan mendorong upaya upaya menjadi jenis usaha yang tadinya diharapkan oleh penerima izin.
Dalam perkara ini, masyarakat adat Awyu asal Boven Digoel, pemilik tanah dan hutan adat, yang menjadi sasaran dan objek sengketa bersikap dengan mengajukan permohonan gugatan sebagai Tergugat Intervensi. Pada Mei 2023, perwakilan masyarakat adat dan pemimpin marga dari Suku Awyu, yang berdiam di beberapa kampung di wilayah Kabupaten Boven Digoel, yakni: Gergorius Yame, Fidelis Misa, Barbara Mukri, Paskalis Mukri, Maximus Nawisi dan Adolfina Sifi, menyampaikan permohonan sebagai intervensi melawan gugatan yang diajukan perusahaan melalui PTUN Jakarta.
Mereka memohon kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta agar diterima menjadi pihak intervensi dengan kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya mereka tidak dirugikan oleh putusan pengadilan.
Gergorius Yame, berpendapat tindakan Menteri LHK menerbitkan putusan pencabutan dan pembatasan izin akan dapat memulihkan hak dan kepentingan masyarakat adat terdampak perusahaan ini, sebaliknya bilamana permohonan perusahaan diterima maka akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan adat. Mereka akan kehilangan wilayah hak ulayat berupa hutan dan tanah, kehilangan ruang kehidupan, menghilangkan keanekaragaman hayati dilokasi dan menghilangkan tempat keramat dan tempat penting berdasarkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat.
Berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi pemuda dan mahasiswa di Tanah Papua dan di luar Pulau Papua, berkomitmen untuk mengawal gugatan masyarakat adat Awyu terhadap perusahaan di PTUN Jakarta dan terhadap pemerintah di PTUN Jayapura, sebagai gugatan masyarakat adat, gugatan lingkungan hidup, untuk keselamatan manusia dan bumi. Pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se Dunia, di Jayapura, 12 Agustus 2023, Pemuda Adat dan pelajar mahasiswa, menyatakan mendukung upaya penyelamatan hutan adat Papua yang saat ini sedang terancam dengan hadirnya investasi berbasis lahan dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada keberlangsungan dan keberlanjutan hutan adat Papua. Kawal sampai menang.
Ank, Sept 2023