Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Category:

Berita

AktifitasBerita

Siaran Pers: Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua

by Admin Pusaka November 26, 2021
written by Admin Pusaka

Penelitian Yayasan Pusaka yang berjudul ‘Mama Ke Hutan’ menggambarkan bagaimana posisi Perempuan Adat dalam kecamuk kontestasi sumber daya alam di Papua. Mereka mengalami eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya. Hak milik tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan Perempuan Adat kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi tertentu, mereka harus berhadapan dengan mara bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya. Situasi ini juga dilandasi oleh meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan, Kawasan Ekonomi Khusus hingga Mega Proyek Food Estate, dari periode ke periode. Dalam menjalankan kehendak investasinya tersebut, pemerintah dan para pemilik modal tidak merasa perlu mendengarkan suara perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secara serius. Padahal siapa yang sesungguhnya dirugikan di kemudian hari dari aktivitas investasi tersebut?

Meskipun besarnya tantangan kultural dan sosial yang harus dihadapi oleh Perempuan Adat dalam memperjuangkan haknya, mereka terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang hidup dan sumber penghidupan. Dari temuan penelitian Yayasan Pusaka, motif terbesar perempuan adat yang menjadi argumentasi dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka. Hutan adalah  “pasar”  – tempat mereka memenuhi sandang, papan, pangan dan gizi keluarga, adalah pasar tempat mencari semua kebutuhan rumah tangga dan utamanya sumber pangan, adalah apotik hidup – situs obat-obat tradisional, dan perpustakaan – tempat mereka menyimpan pengetahun tentang kehidupan, sejarah dan alam semesta yang suatu hari nanti akan diwariskan kepada keturunannya masing-masing. Mengganti keragaman fungsi hutan tersebut untuk satu komoditas yang asing dan tak terjangkau  adalah kerugian yang tiada banding.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen Pemerintah Indonesia terhadap realisasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan perlindungan Konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua masih jauh dari kata maksimal. Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan(eL-AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi Perempuan Adat untuk kemajuan mereka. Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mengakui hak teritorial kolektif dan pengambilan keputusan masyarakat adat juga menghambat kemampuan Perempuan Adat untuk menikmati hak-hak yang dilindungi di bawah CEDAW.

Menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2021, Yayasan Pusaka telah melakukan rangkaian diskusi dan dialog bersama Perempuan Adat di Sorong Selatan dalam isu HAM dan Lingkungan. Forum tersebut menjadi tempat pertukaran pengalaman, pengetahuan dan pendapat di antara Perempuan Adat dalam melihat sejauh mana proses pemenuhan dan penegakkan HAM telah dilakukan, keadilan lingkungan dan iklim, komitmen negara terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta rekomendasi  yang harus dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan kedepannya.

Perempuan Adat menjelaskan bagaimana berbagai proyek investasi di atas tanah adatnya menyebabkan perubahan lingkungan dan konflik sosial, serta mempengaruhi penghidupan harian masing-masing. Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat misalnya, menggambarkan bagaimana  identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit. “Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak”, ungkapnya. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus di saat yang bersamaan merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.

Pada momen Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2021, Perempuan Adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM Lingkungan (WHRD) mendesak  kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi Perempuan Adat, serta meminta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder terkait) untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan.  Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 HAKTP untuk menyampaikan kembali harapan para Perempuan Adat tersebut untuk segera diwujudkan oleh negara. Selama 16 hari ke depan, media sosial kami akan diwarnai oleh pesan-pesan Para Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan.

Kami juga menyerukan:

  • Pemerintah Indonesia agar segera mempercepat pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memberikan kepastian hak atas tanah adat dan hak atas FPIC ke dalam undang-undang nasional.
  • Hentikan perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), karena hal ini berpotensi mencemari ruang hidup dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.
  • Pemerintah Indonesia harus bekerja dengan komunitas masyarakat adat, khususnya perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis dan memprioritaskan dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.
  • Pemerintah Indonesia harus secara proaktif terlibat dengan perempuan adat dan komunitasnya untuk memastikan mereka diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakatnya.
  • Pemerintah Indonesia harus menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.

Sekian, Terimakasih

Jakarta, 25 November 2021

Contact Person:

Amelia Puhili : +62 822-9897-2694 (Staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

November 26, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

West Papuan Indigenous Rights vs Palm Oil Company Land Grab: Landmark Court Case Enters Decisive Final Week

by Admin Pusaka November 25, 2021
written by Admin Pusaka

Jayapura & Jakarta, 23 Nov. 2021 – NGOs are stepping up calls for Indonesia’s national government to show support for Indigenous rights in West Papua as a landmark court case enters its final week of hearings. The Jayapura Administrative Court is scheduled to conclude hearings on Thursday in the case which involves three palm oil companies in Sorong regency, West Papua Province fighting to overturn the cancellation of permits which had allowed them to convert forest areas into plantations, in the face of opposition by Indigenous landowners.

“Indigenous peoples’ organisations, the Sorong regency government and national NGOs have all taken a stand to rescue these Indigenous forest lands from conversion for palm oil production. These permit revocations are the only concrete outcome so far from President Jokowi’s palm oil moratorium and permit review process,” said Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua. “But when the chips are down, Jakarta is silent on the case, allowing cashed-up companies to take a bullying court case to retain control of Indigenous lands they were never morally entitled to,” said Wirya.

Years of Indigenous peoples’ complaints about plantation industry land-grabbing in West Papua province, and concerns about the vast area of tropical rainforest slated for clearing, lead the provincial government to undertake a review of oil palm plantation permits, recommending in February this year that over a dozen plantation concessions be revoked, and the forest areas be returned for sustainable management by their Indigenous owners.[1] The head of Sorong district, Johny Kamuru went ahead and revoked the recommended permits, but three of the companies affected, PT. Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, and PT Sorong Agro Sawitindo are suing Kamuru and the head of Sorong’s investment agency in Jayapura Administrative Court to reverse the decision.

The palm oil permit review process falls under a mandate provided by Indonesian President Joko Widodo in 2018, administered by the Coordinating Ministry for Economic Affairs and the Ministry of Environment and Forestry.[2] Yet neither ministry has made public comment, formal representations or provided expert evidence to support Sorong district’s permit revocations.

The valuable forested land claimed by the three companies covers 90,031 hectares, an area larger than New York City. Greenpeace Indonesia’s Papua Forests Campaigner Nico Wamafma said “Considering the influence of power and money in the justice system, and the importance of this case for Indigenous rights in West Papua, a coalition of NGOs has requested the national Judicial Commission to monitor proceedings.”[3]

On 18 November a joint public interest amicus curiae (‘friend of the court’) brief was lodged by the Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN), the Papua office of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI), Pusaka Foundation, and Greenpeace Indonesia.[4] Pusaka Foundation’s Tigor Hutapea said “In our submission, we asked the court to appreciate the wider implications of this case. This is not a commercial dispute about permits. It is about the public interest in protecting Indigenous land rights, biodiversity and environmental sustainability in Papua.” AMAN’s Fecky Mobalen added: “In the amicus curiae brief we called on the court to respect publicly stated Indigenous opposition, and provide justice in recognition that permits were issued without their consent.”

Notes:

[1] See Joint Press Release by Papua Barat Province and Corruption Eradication Commission

[2] Presidential Instruction 8/2018 Concerning Postponement And Evaluation Of Oil Palm Plantation Licenses And Increasing Productivity Of Oil Palm Plantations.

[3] Submission (available on request) dated 22 Sep 2021 received by Judicial Commission (Komisi Yudisial) with ref. no. 1092/X/2021/S.

[4] Link to amicus curiae brief

[5] Greenpeace Indonesia in collaboration with Watchdoc will release a movie about deforestation in Papua later this month, watch the teaser here

Photos & map:

  • Location map
  • Indigenous Moi people demonstrate in front of the Sorong district government office in support of the Sorong district head, who is being sued by palm oil companies after his decision to uphold Indigenous land rights (Photo 1 and Photo 2, credit: AMAN Sorong)
  • Indigenous Moi men and women protest on International Indigenous Peoples Day August 9, 2020, in front of the Sorong district government office, calling for the cancellation of palm oil permits over their ancestral lands.  Credit: Natalia Laurensia Carmelia Yewen / Mongabay Indonesia. 

Contacts:

  • Igor O’Neill, Greenpeace Indonesia Forests Campaign. [email protected] +61-414-288-424
  • Tigor Hutapea, Pusaka Foundation: +62-812-8729-6684
  • Fecky Mobalen, Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN): +62 822-4863-6709
  • Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua: +62-812-1858-508
November 25, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Surat Terbuka: Meminta Presiden RI Menarik Pasukan Non Organik dari Papua

by Admin Pusaka November 21, 2021
written by Admin Pusaka

Organisasi ELSHAM Papua mengirimkan Surat Terbuka kepada Presiden RI, Ir. Joko Widodo (15 November 2021). Surat Terbuka tersebut memuat keprihatinan terhadap situasi sosial yang terjadi di Tanah Papua.

Konflik bersenjata antara TPN PB dan TNI POLRI belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, ELSHAM Papua mencatat kehadiran pasukan non organik ke Papua dan Papua Barat telah mengakibatkan begitu banyak korban dipihak masyarakat sipil dan juga anggota TNI – POLRI serta korban dipihak TPN PB. Setiap kali terjadi konflik bersenjata maka yang pertama menjadi korban adalah ibu-ibu dan  anak-anak, serta orang tua lanjut usia. Mereka mengungsi dan menderita.

Apa yang sedang terjadi, lagi-lagi menunjukkan bahwa negara lalai melindungi warganya. Seharusnya hal ini merupakan tanggung jawab Negara untuk melindungi warganya sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu  negara berkewajiban melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

Melalui Surat Terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo, ELSHAM menyampaikan dan meminta kepada pemerintah agar menarik seluruh pasukan non organik, serta meminta pasukan TNI-POLRI dan TPN PB untuk menahan diri,  serta meminta kedua bela pihak agar lebih mengutamakan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Demikian pula atas dugaan keterlibatan aparat dalam bisnis keamanan, disampaikan agar aparat janganlah dijadikan kaki tangan Penguasa dan Pengusaha di Republik ini, hanya karena kepentingan politik dan ekonomi bagi segelintir orang di negara ini, tetapi jadilah pengayom rakyat  dan penegak hukum yang baik.

Surat Terbuka ELSHAM Papua yang didukung 24 Organisasi Masyarakat Sipil yang bekerja untuk HAM, Keadilan dan Lingkungan, menyampaikan bahwa berbagai tuduhan dan pelabelan  yang diberikan oleh Pemerintah dan TNI POLRI serta pihak manapun, tidak akan menyurutkan perjuangan kami untuk terus menyuarakan tentang keadilan, kebenaran dan Hak Asasi Manusia di Papua dan Indonesia.

Selengkapnya baca: Surat Terbuka buat Presiden RI Joko Widodo, 15 Nov 2021

Ank, Nov. 2021

November 21, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Perjuangan Keadilan Masyarakat Adat Marafenfen

by Admin Pusaka November 21, 2021
written by Admin Pusaka

Saat operasi Trikora tahun 1962, Kepulauan Aru menjadi lokasi sasaran tantara Indonesia untuk memobilitasi pasukannya ke wilayah Papua. Sejak saat itu, wilayah di Kepulauan Aru dianggap menjadi area operasi militer untuk pertahanan keamanan negara. Tahun 1991, aparat TNI datang ke Desa Marafenfen, salah satu desa di Kepulauan Aru, untuk membangun fasilitas militer, bandara TNI AL dan fasilitas lainya.

Masalah muncul, pihak TNI AL mengklaim tanah seluas 689 hektar dan memasang patok diatas tanah adat masyarakat setempat. Masyarakat adat tidak memberikan tanah adat warisan leluhur dan menolak klaim TNI AL.

Masyarakat mengkritisi kehadiran aktifitas apparat TNI AL menganggu kehidupan masyarakat, misalnya kegiatan berburu hewan yang menggunakan senjata dan massif. Sedangkan masyarakat berburu dengan cara tradisional berdasarkan tradisi Tordauk, mereka tersisih dan hewan liar semakin langka. Aparat TNI juga diduga terlibat dalam memperlancar kepentingan investasi dan industri keruk di Kepulauan Aru.  Seperti halnya yang terjadi pada rencana perusahaan perkebunan Menara Group pada tahun 2012 dan Jhonlin Group pada tahun 2017.

Sejak 1992 hingga kini, masyarakat aktif berjuang mendapatkan kepastian hak atas tanah, mereka bertemu petinggi TNI AL di Jakarta, bertemu Komnas HAM, Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah dan sebagainya.

Langkah-langkah kooperatif dilalui,  selanjutnya masyarakat adat Marafenfen membawa kasus ini pada proses hukum, menggugat secara perdata perbuatan melawan hukum (karena penyerobotan lahan (objek tanah seluas 689 ha) yang dilakukan oleh pihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo, pada 31 Maret 2021. Adapun pihak tergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Fakta persidangan terungkap proses pelepasan hak dilakukan secara melawan hukum, dilakukan dengan cara memanipulasi hasil musyawarah yang ditandatangani oleh orang-orang fiktif atau orang-orang yang tidak cakap hukum. Selain itu ganti rugi/kompensasi terhadap tanah masyarakat adat dilakukan secara manipulatif.

Majelis Hakim PN Dobo menolak gugatan masyarakat adat yang memperkarakan perampasan tanah adat.  Majelis Hakim PN Dobo mengabaikan fakta persidangan dan memutuskan perkara hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.

Koalisi  masyarakat sipil Save Marafenfen melalui Siaran Pers (19/11/2021) menyesalkan Putusan Hakim. Keadilan yang sejatinya untuk masyarakat adat justeru dibunuh oleh argumentasi Majels Hakim yang hanya mengejar kebenaran formal semata. Hakim tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Marafenfen.

Putusan Hakim  tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukum internasional. Putusan tersebut menambah panjang konflik agraria.

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Save Marafenfen: Kronologis Kasus Masyarakat Adat Marfefen, Kepulauan Aru

Lara dan mengecewakan. Putusan hakim ini menimbulkan reaksi aksi protes di luar pengadilan, massa amuk dan marah. Polres Dobo melepaskan water canon dan tembakan senjata untuk membubarkan ratusan massa aksi. Masyarakat dan Orang Tua Adat melakukan ritual sasi adat atau penyegelan secara adat di Kantor PN Dobo, Bandara Udara, Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Pelabuhan Laut Dobo.

Ank, Nov 2021

November 21, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Perempuan Adat Sorong Selatan: Meminta Pemerintah Melindungi dan Menghormati Hak Perempuan Adat Papua

by Admin Pusaka November 21, 2021
written by Admin Pusaka

“Saya pernah dalam satu kesempatan cerita dengan om saya dan dia bilang, perempuan hanya sebatas kasih anak dan kerja bantu orang tua. Ini sudah jadi kebiasaan jadi kalau kita ajak adik-adik perempuan di kampung saya untuk sekolah, pasti tidak betah karena pemahaman yang sudah ditanamkan sejak kecil”

Narasi singkat di atas diungkapkan Iren Thesia, aktivis pemuda, salah satu peserta Lokakarya dan Pelatihan Penguatan Kapasitas Perempuan Adat dalam Permasalahan HAM dan Lingkungan di Sorong Selatan, yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, pada 15 – 17 November 2021.

Perempuan Adat di Papua dan khususnya di Sorong Selatan, tidak memiliki banyak kesempatan dan hakmengembangkan diri, berekspresi dan menentukan dalam kehidupan sosial ekonomi, sosial  budaya dan politik, yang diselenggarakan negara maupun kelembagaan adat. Ada sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan adat di Sorong Selatan. Permasalahan dan beban yang dialami Perempuan Adat semakin bertambah dan beragam dengan kehadiran perusahaan yang melakukan investasi dan eksploitasi di wilayah adat mereka.

Hal ini disuarakan Perempuan Adat puluhan peserta pelatihan yang berasal dari beberapa kampung dari Distrik Konda, Distrik Saifi, Distrik Moswaren, Distrik Kais Darat, Distrik Kais Pantai dan Distrik Teminabuan, KabupatenSorong Selatan. Komunitas di wilayah tersebut telah dan sedang berhadapan dengan korporasi usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahan sagu yang mengancam kerusakan lingkungan dan ruang hidup.

Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat, Kampung Ikana, Distrik Kais Darat, menceritakan danmenggambarkan identitas budaya marga Baho terancam punah. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan bermanfaat untuk makanan dan noken, selain itu  Pohon Ganemo merupakan salah satu pohon penting dalam budaya marga Baho.

“Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon genemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak”, ungkap Matelda Baho.

Budaya dan kekayaan pengetahuan identitas masyarakat adat, seperti tanaman obat, ramuan ritual adat, kesenian tradisi, resep makanan dan minuman asli, yang berasal dari hutan, dirawat, dikelola dan dikembangkan turun temurun oleh Perempuan Adat di kampung. Perusahaan datang menggusur kekayaan pengetahuan dan kehidupan ini.

“Saya kecewa”, geram dalam Matelda Baho

Melalui “Jam Kehidupan”, mereka mengeskpresikan dan menceritakan aktivitas sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat. Mereka menunjukan para perempuan punya pekerjaan yang lebih banyak di kebun maupun di kantor. Perempuan Adat yang mengolah tanah menjadi sumber pangan untuk kehidupan di dalam rumah. Tapi para perempuan adat secara kultural tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah, mereka hanya memiliki hak untuk pengelolaan.

Melalui “Peta Kampung”, mereka menggambarkan dan menunjukkan situasi hutan adat beserta sumber-sumber kehidupan. Perempuan Adat dari Distrik Kais Darat menggambarkan peta kampung, dimulai dari jalan induk, pasar, hingga perkebunan kelapa sawit dan dusun sagu, serta kebun masyarakat. Mereka mendaftarkan berbagai masalah, mulai dari akses jalan dari kampung ke kota yang rusak dan sangat mahal. Keberadaan perkebunan kelapa sawit yang menimbulkan banyak masalah dalam masyarakat.

“Kami mengajak semua untuk tidak kasih tanah ke perusahaan kelapa sawit atau manapun. Mari pertahankan kita pu tanah. Jangan ikut kami yang sudah habis ini”, ungkap Kelompok Perempuan Adat dari Distrik Kais Darat

Peserta berharap pemerintah mengakui, melindungi dan menghormati hak-hak Perempuan Adat. Peserta menyepakati dan meminta pemerintah Sorong Selatan dan DPRD Kabupaten Sorong Selatan, untuk melibatkan perempuan adat dalam RAPERDA Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan Ranperda Miras di Sorong Selatan; meminta pemerintah membangun Pasar Khusus Mama Mama Papua; meminta pemerintah membuat Sekretariat Bersama Perempuan Adat dan Tempat Khusus untuk membicarakan dan menangani persoalan KDRT; mengembangkan kapasitas  Perempuan Adat melalui pelatihan paralegal dan pemberdayaan Perempuan Adat.

Natalia Yewen, Nov 2021

November 21, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPublikasi

Siaran Pers: Majelis Hakim PTUN Jayapura Wajib Memperhatikan Sikap Masyarakat dan Memenuhi Keadilan

by Admin Pusaka November 18, 2021
written by Admin Pusaka

Pada April 2021, Bupati Sorong dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sorong, mencabut izin-izin usaha 4 (empat) perusahaan perkebunan kelapa sawit, mencakup izin lokasi, izin lingkungan dan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Tiga perusahaan diantaranya, yakni PT Inti Kebun Lestari, PT Sorong Agro Sawitindo, dan PT Papua Lestari Abadi, menggugat putusan Bupati dan Kepala DPMPTSP Kabupaten Sorong di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Gugatan tersebut mengundang reaksi publik yang mendukung kebijakan Bupati Kabupaten Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit dan mengecam rencana maupun keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sidang Adat yang dilakukan LMA Malamoi dan Hakim adat atau Nedinbulu (14 Oktober 2021) dengan menghadirkan masyarakat adat Moi, sepakat mendukung Bupati Sorong, menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit dan meminta PTUN Jayapura mempertimbangkan keputusan masyarakat sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat adat.

Organisasi masyarakat sipil, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Greenpeace Indonesia, PD Aman Sorong Raya, WALHI Papua, yang mempunyai kepentingan terhadap persoalan lingkungan hidup, masyarakat adat dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), mengajukan pendapat tertulis dalam bentuk dokumen Amicus Curie (sahabat peradilan) kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura atas perkara gugatan perusahaan tersebut.

Selengkapnya baca: Amicus Curiae Papua Bukan Tanah Kosong – 18 Nov 2021

“Melalui pendapat tertulis, kami meminta Majelis Hakim dapat menilai perkara a quo memiliki dimensi lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan. Perkara a quo juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keanekaragaman hayati di Tanah Papua. Majelis Hakim kiranya menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dalam memutuskan perkara” jelas Tigor Hutapea, aktifis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Tanah Papua Bukanlah Tanah Kosong, tanah yang berada pada izin konsensi merupakan milik masyarakat hukum adat, yang telah diakui melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Tindakan pencabutan izin-izin yang dilakukan Bupati adalah bentuk upaya perlindungan, pemenuhan, penghormatan hak-hak masyarakat adat yang sebelumnya mengalami pelanggaran.

“Perusahaan tidak menghormati hak-hak Masyarakat Adat sebagai pemilik hak ulayat dalam perolehan izin. Perusahaan memperoleh izin tanpa memperoleh kesepakatan dari pemilik ulayat terlebih dahulu.  Karenanya, kami minta Majelis hakim PTUN dalam perkara a quo wajib memperhatikan sikap penolakan masyarakat dan memenuhi keadilan yang disuarakan masyarakat” ungkap tegas Fecky Mobalen, Ketua PD AMAN Sorong Raya.

Kontak Person:

Tigor G. Hutapea: +62 812-8729-6684

Fecky Mobalen: +62 822-4863-6709

Aiesh Rumbekwan: +62 813-4452-4394

Syahrul Fitra: +62 811-6611-340

 

 

 

November 18, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
AktifitasBerita

Perusahaan Tidak Mematuhi Kewajibannya

by Admin Pusaka November 16, 2021
written by Admin Pusaka

Sidang lanjutan gugatan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Lestari  pada perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR,  PT Sorong Agro Sawitindo pada perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, PT Papua Lestari Abadi pada perkara  32/G/2021/PTUN.JPR di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada tanggal  9 dan 11 November 2021 telah memasuki agenda pembuktian.

Koalisi Masyarakat Sipil yang melakukan pemantauan persidangan di PTUN Jayapura melalui siaran pers (15/11/2021) mengungkapkan dalam perkara PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PT. PLA) pihak kuasa hukum Bupati Sorong menghadirkan 7 orang saksi untuk didengar keterangannya.  Sementara pihak PT SAS dan PT PLA belum mampu menghadirkan saksi setelah diberi kesempatan oleh majelis hakim, namun majelis memberikan kesempatan terakhir kepada PT SAS dan PT PLA dipersidangan berikutnya untuk menghadirkan saksi.

Benediktus Heri Wijayanto, Kabid Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat dan Ketua Tim Evaluasi Perijinan Sawit di Provinsi Papua Barat sebagai saksi, memberikan keterangan “Ijin Usaha Perkebunan (IUP) yang kami evaluasi, ada 9 kewajiban yang harusnya dipenuhi perusahaan. Sembilan kewajiban itu ada dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Keputusan Bupati tentang Ijin Usaha Perkebunan.  Sembilan kewajiban ini tidak dipenuhi semuanya oleh PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi,” jelas Benediktus Heri Wijayanto.

Kuasa Hukum Bupati Sorong juga menghadirkan Subur, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong dan Anggota Tim Evaluasi Ijin Sawit di Kabupaten Sorong sebagai saksi, kesaksian Subur menerangkan bahwa setelah mendapat ijin lokasi, pemegang ijin lokasi harus membuat laporan pertiga bulan terkait perkembangan perolehan hak tanah. PT. Sorong Agro Sawitindo dan PT. Papua Lestari Abadi tidak pernah melaporkan perkembangan perolehan tanah di lokasi ijin.

Pada sidang sebelumnya (Selasa, 09/11/2021) di PTUN Jayapura, Kuasa Hukum Bupati Sorong menghadirkan masyarakat adat pemilik ulayat tempat ijin lokasi kedua perusahan itu. Saksi Sem Klafiu, Gideon Kilme, Calvin Sede, dan Seljun Kayaru untuk perkara gugatan  PT. SAS dan saksi Hendrik Malalu untuk perkara gugatan PT. PLA.

Sem Klafiu salah satu saksi dari Kampung Gisim Distrik Segun menyatakan sejak awal tahun 2000-an perusahaan datang ke kampung meminta hak ulayat, marga Klafiu menolak memberikan tanah.

“Kalau untuk kami marga Klafiu sepakat kami tolak. Kami sudah sumpah adat kami tolak. Kami tidak terima kelapa sawit dari tahun 2000 sampai sekarang. Kami tidak pernah terima, sedikit pun kami tidak pernah terima uang dari perusahaan,” tegas Sem Klafiu.

Sementara itu Hendrik Malalu, perwakilan marga Malalu dari Kampug Waimon Distrik Segun mengatakan perwakilan PT. PLA baru datang mengakan kerjasama pada Juni 2021 setelah Bupati mencabut ijin perusahaan itu. “Setelah kami dan perusahaan bekerjasama, setelah itu baru kami tahu bahwa ijinnya sudah dicabut. Bagi kami masyarakat ini adalah tipuan. Ijinnya sudah dicabut, mengapa dia masih mau masuk.” Ucap Hendrik Malalu.

Koalisi Masyarakat Sipil berpendapat keterangan para saksi yang dihadirkan kuasa hukum bupati memperlihatkan PT SAS dan PT PLA tidak memiliki itikad baik melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

“Kedua perusahaan juga tidak menghormati hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pemilik hak ulayat atas tanah dan hutan adat untuk bermusyawarah dan memberikan keputusan, sebagaimana Pasal 43 ayat (4) UU Nomor 2 Tahun 2021 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua”, jelas Harun Rumbrarar, dari Koalisi Masyarakat Sipil dan aktifis JERAT Papua.

Penerbitan izin-izin PT SAS dan PT PLA tidak melalui proses yang diatur oleh pasal  43 ayat (4) UU Otsus, perusahaan juga mengabaikan prinsip FPIC (“Free, Prior and Informed Consent) atau persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan  dari masyarakat adat. Dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan pengabaian atas aturan dan prinsip ini merupakan pelanggaran hak masyarakat adat.

Tindakan bupati Sorong melakukan pencabutan izin-izin perusahaan telah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelematan lingkungan hidup. Sidang berikutnya akan dilakukan tanggal 16 dan 18 November 2021 dengan agenda pemeriksaan saksi atau ahli untuk empat perkara.

Ank, Nov 2021

November 16, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Dialog Bermartabat Menuju Pemecahan Masalah di Tanah Papua secara Beradab

by Admin Pusaka November 15, 2021
written by Admin Pusaka

Tanah Papua dirundung dukacita mendalam, peristiwa kekerasan berulang dan warga sipil menjadi korban hingga kematian. Sepanjang September hingga Oktober 2021, terjadi kekerasan, penangkapan dan pengungsian penduduk di Maybrat, Teluk Bintuni, Intan Jaya, Kiwiriok, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan sebagainya. Konflik berkepanjangan dan kekerasan bersenjata terjadi lebih 58 tahun di Tanah Papua.

Gereja tidak boleh diam ketika berhadapan dengan kenyataan di mana ada penderitaan dan penindasan, di mana terjadi praktik ketidakadilan dan perampasan atas hak-hak dasar masyarakat terutama, kaum yang lemah. Tugas Gereja adalah harus bersuara untuk mereka yang tak bersuara (the voice of the voiceless) danharus menjadi promotor keadilan, kebenaran, dan kedamaian.

Situasi tersebut membuat Pastor Katolik se Papua menyampaikan seruan moral yang menggugah melalui Jumpa Pers (11/11/2021). Para pemimpin Gereja harus lebih proaktif terlibat memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kedamaian; bukan diam membisu dan menghindari persoalan hidup umatnya, mencari kenyamanan diri di balik tembok gedung Keuskupan, Pastoran, dan Biara.

Bahwa Tanah Papua bukanlah tanah kosong. Di tanah ini, telah ada dan sedang hidup manusia berkulit hitam dan berambut keriting, etnis Melanesia dan berbagai etnis serta ras lainnya. Tanah Papua merupakan milik Orang Asli Papua sejak zaman leluhur sebelum digabung/bergabung dengan negara Indonesia.

“Tugas negara mestinya mencerminkan apa yang diajarkan, yakni melindungi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, mensejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan yang merata, menciptakan keadilan dan perdamaian abadi bagi seluruh rakyat Indonesia, dan melindungi unsur-unsur masyarakat Indonesia terhadap gangguan dari dalam maupun dari luar. Namun kenyataan berbicara lain”, ungkap Pastor John Bunai Pr, juru bicara Pastor Katolik se Papua .

Pastor se Tanah Papua melalui keterangan pers meminta antara lain kepada para Duta Besar negara-negara sahabat dan Pemerintah negara Republik Indonesia adalah mendesak semua kubu yang berperang, yaitu TNI/POLRI dan TPN/OPM agar segera mengadakan gencatan senjata/jeda kemanusiaan; mendorong Pemerintah RI agar segera pula membuka ruang dialog dengan orang Papua, dalam hal ini dengan ULMWP (dan JDP/melalui JDP). Mendukung diundangnya Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, supaya dapat melihat dan mendengar sendiri bagaimana kondisi HAM yang sebenarnya di Papua.

Selengkapnya baca: Seruan Para Pastor se-Papua 2021

Pastor John Bunai, Pr, mengatakan dialog adalah langkah dan cara yang sangat bermartabat, menuju pemecahan masalah/konflik di Tanah Papua secara beradab.

Ank, Nov 2021

November 15, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
AktifitasBeritaPublikasi

Siaran Pers: Masyarakat Adat Papua di Kabupaten Sorong Selatan Menekankan Perlunya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses dan Penyusunan Kebijakan Daerah

by Admin Pusaka November 15, 2021
written by Admin Pusaka

(Teminabuan, Sorong Selatan, 15 November 2021). Setelah Bupati Sorong Selatan mencabut izin-izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Distrik Konda, Teminabuan, Moswaren, Saifi dan Seremuk (Mei 2021). Masyarakat adat di dalam dan sekitar daerah eks izin usaha tersebut menuntut pemerintah mengembalikan dan mengakui  hak dan klaim masyarakat adat sebagai pemilik dan penguasa tanah dan hutan adat tersebut. Masyarakat adat berkehendak mengelola dan memanfaatkan lahan dan hasil hutan di wilayah adat berdasarkan inovasi pengetahuan adat setempat, mandiri, adil dan lestari.

Aspirasi tersebut disampaikan peserta kegiatan Dialog Kebijakan yang berlangsung di Gedung Putih Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan, pada 08 – 09 November 2021, diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial di Sorong Selatan.

“Saat ini, kami masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah duduk dan sedang membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting, yang kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat”, ungkap Sopice Sawor, tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, pada pertemuan Dialog Kebijakan bersama pengambil kebijakan (08/11/2021).

Dialog Kebijakan bertema Kebijakan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, diikuti perwakilan masyarakat adat dari Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais, Kais Darat dan Inanwatan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, AMAN Sorong Raya, Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI, GAMKI, GMNI dan relawan pemuda.

Peserta menekankan perlunya keterlibatan masyarakat adat seluas-luasnya dalam proses pembahasan rancangan kebijakan peraturan daerah. Peserta mengusulkan substansi pengaturan mencakup dan memuat hak-hak masyarakat adat, antara lain: hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya ; hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat ; hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan ; hak untuk menentukan pembangunan ; hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat; hak perempuan adat ; hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat ; hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat ; hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat.

Kebijakan pengakuan, perlindungan dan penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat merupakan hak konstitusional masyarakat adat, yang harus dipenuhi negara, jelas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Theodorus H. Thesia, SH., dan Sekretaris DPRD Sorong Selatan, Yoseph Bless, SH., menjelaskan bahwa pemerintah daerah menerima usulan dan mendukung aspirasi masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan. Bapemperda DPRD telah menetapkan ranperda pengakuan dan perlidungan hak masyarakat adat sebagai salah satu program legislasi tahun 2021.

“DPRD Kabupaten Sorong Selatan telah melakukan sidang pleno mendiskusikan rancangan perda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Sorong Selatan, namun masih diperlukan pembobotan dan masukkan materi rancangan perda”, jelas Theodorus H. Thesia.

Dalam diskusi lanjutan dengan Kabag Hukum, Bapemperda dan Sekwan DPRD Sorong Selatan di Kantor Bupati Sorong Selatan, Teminabuan, pada 10 – 11 November 2021. Ketua Bapemperda, Agustinus M. Way, Wakil Ketua Bapemperda, Daud Senanfi, dan Sekretaris Bapemperda, Naomi N. Sagisolo, menjelaskan ranperda tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat merupakan inisiatif DPRD Sorong Selatan. DPRD akan usahakan perda ini segera bisa ditetapkan, disosialisasikan dan diundangkan dalam lembaran daerah di Sorong Selatan.

“Kami usahakan ranperda ini dipastikan Desember 2021 ini, DPRD sedang menyusun tahapan proses pembahasan dan akan dipaketkan dengan APBD induk untuk mempercepat pembahasan,” ungkap Agustinus Way.

Bapemperda siap menerima masukkan dari masyarakat adat, relawan pemuda dan organisasi masyarakat sipil untuk pembobotan dan memperkaya legal drafting, termasuk penyelesaian naskah akademik, agar sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah.

Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyampaikan “Inisiatif DPRD ini sesuatu yang membahagiakan dan menjawab harapan masyarakat. Greenpeace akan selalu bersama mitra pembangunan dan sebagainya, akan siap mem back up, surat yang disampaikan DPRD kepada mitra pembangunan, bagian penting dari diskusi itu, kita akan berdiskusi untuk pembobotan, termasuk juga nasakah akademi dan legal drafting”, ungkap Nicodemus Wamafma.

***

Kontak Person:

  1. Holland Abago : +62 821 9819 2376
  2. Franky Samperante : +62 813 1728 6019
  3. Nicodemus Wamafma : +62 821 9758 5110
November 15, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Food Estate Papua Ancaman Terhadap Hutan Papua

by Admin Pusaka November 7, 2021
written by Admin Pusaka

Tanah Papua menjadi salah satu sasaran program pangan nasional yang disebut Food Estate,  yakni program usaha pangan yang terintegrasi mencakup usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan, maupun usaha industri pada sebuah Kawasan dalam skala luas.

Pemerintah telah merencanakan lahan program Food Estate (FE) di Papua terletak di Kabupaten Merauke, Kabupaten Mappi, Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Yahukimo, dengan total luas 2.684,680,68 hektar.

Konversi kawasan hutan untuk lahan proyek FE Papua dalam skala luas ratusan ribu hingga lebih dari 1 (satu) juta hektar dikhawatirkan akan mengancam kehilangan hutan dan kerusakan hutan dalam skala luas. Disisi lain, proyek FE Papua diduga melindungi kepentingan ekspansi usaha investor. Lihat: FE Papua Mengancam Penggundulan Hutan Skala Masif

Diperkirakan lokasi FE Papua berada di Kawasan Hutan Lindung seluas 243.379,46 hektar, ini mengancam kehilangan dan kerusakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi-fungsi ekologi, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan memelihara kesuburan tanah.

Proyek pengembangan usaha pangan ini akan mengurangi luas kawasan hutan Papua sekitar 9,1 % dan berkurang menjadi sebesar 26.894.141,32 hektar, sehingga luas kawasan hutan menjadi 81,19 %.

Kebijakan dan proyek Food Estate di Papua mengabaikan komitmen dan kebijakan pemerintah daerah dan masyarakat Papua tentang Visi 2100 dan mempertahankan kawasan hutan seluas 90 % dari seluruh wilayah Papua, bertentangan dengan pola ruang dan strategi pembangunan berkelanjutan Papua. Lihat: FE Papua Abai Komitmen Pembangunan Berkelanjutan

Publik mengkritisi dan menolak proyek FE Papua. Pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat adat dan merusak lingkungan.

Ank, Nov 2021

November 7, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Sesat Pikir Hutan“Tidak Produktif”
  • SOS untuk Tanah Papua: Presiden Segera Batalkan Kebijakan DOB Papua
  • Kebijakan DOB Papua Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua
  • Siaran Pers:  Perusahaan di Papua Menggugat Menteri Investasi yang Mencabut Izin Pelepasan Kawasan Hutan
  • (tanpa judul)

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo