Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Category:

Press Release

Press Release

Pernyataan Sikap KNPA: Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

PERNYATAAN SIKAP
Komite Nasional Pembaruan Agraria

Perbaikan Peraturan Presiden Reforma Agraria Harus Kembali Pada Konstitusi dan UUPA 1960:
Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria!

Jakarta, 22 Desember 2022

Dari masa ke masa agenda reforma agraria di Indonesia berujung pada penyempitan dan pembelokan makna sejati Reforma Agraria. Petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya makin dijauhkan dari cita-cita kemerdekaan bangsa untuk berdaulat atas sumber-sumber agrarianya.

Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) sejak 24 September 2019, pada Hari Tani Nasional (HTN) telah menuntut Pemerintah RI untuk melakukan perbaikan atas Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86). Pemerintah RI melalui Presiden dan Kepala KSP, Menteri ATR/BPN RI dan Menteri LHK berjanji akan melakukan perbaikan substansi Perpres 86 sesuai aspirasi dengan menjamin pelibatan KNPA, praktisi dan pakar yang kredibel.

Pada November 2022 lalu, Pemerintah melalui Kemenko Bidang Perekonomian melakukan diskusi publik membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). RanPerpres RA tersebut ditargetkan rampung di akhir tahun 2022, atau paling lambat awal tahun 2023. Padahal substansi RanPerpres RA masih jauh dari aspirasi Gerakan RA dan masyarakat. Bahkan draft versi Kemenko Perekonomian yang terakhir mengandung kontroversi, baik secara proses maupun substansi.

Berikut pokok-pokok masalah dan kontroversi dari RanPerpres Percepatan RA:

Pertama, Revisi dan penguatan Perpres RA disusun sepihak dan tertutup. Proses perumusan RanPerpres RA yang dipimpin kemenko tersebut berlangsung tanpa keterlibatan substansial dan setara dari Gerakan RA. Pemerintah untuk kesekian kalinya mengabaikan proses perumusan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak secara memadai, transparan, dan berhati-hati/seksama sesuai dengan sejarah dan dasar-dasar awal dari urgensi perbaikan. Sepanjang tahun 2019-2022, proses revisi berlangsung tanpa kejelasan proses dan dilakukan sangat tertutup. Tidak ada pelibatan aktif dan bermakna organisasi masyarakat sipil, utamanya Gerakan RA, serikat tani, organisasi masyarakat adat, serikat nelayan, perempuan, kelompok rentan dan pakar agraria yang kompeten serta kredibel.

Kedua, RanPerpres RA melanggar Konstitusi, Putusan MK dan mengkhianati UUPA 1960. RanPerpres RA yang tengah disusun Pemerintah mengingkari Konstitusi dan UUPA 1960, melainkan menggunakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sebagai konsiderannya. Akibatnya prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, bahwa “tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak menjadi basis perumusannya, sehingga tidak berorientasi memudahkan rakyat mendapatkan keadilan sosialnya. Semangat liberal menempatkan tanah hanya semata barang komoditas (aset) masih kuat terkandung dalam rumusannya. RanPerpres RA juga mengikuti logika hukum UUCK yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91).

Inilah pembelokan utama dari proses perumusan revisi Perpres RA, sebab dengan mencantolkan UUCK sebagai dasar pertimbangan, maka pemerintah hendak menyandera kebijakan RA di Indonesia menjadi kontroversial seperti halnya UUCK. Jika disahkan, maka Perpres terkait RA kelak menjadi bagian dari produk hukum turunan langsung UUCK yang cacat secara konstitusional.

Ketiga, RanPerpres RA menghilangkan 7 (tujuh) tujuan fundamental Reforma Agraria. Salah satu kekuatan utama dan mendasar Perpres 86 adalah tujuh tujuan yang ditetapkannya, bahwa RA bertujuan untuk: 1) Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; 2) Menyelesaikan konflik agraria; 3) Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan berbasis agraria; 4) Mengurangi kemiskinan lewat penciptaan lapangan kerja; 5) Memperbaiki akses masyarakat pada sumber ekonomi; 6) Meningkatkan kedaulatan pangan; 7) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Dalam versi terakhir RanPerpres justru tujuan-tujuan penting ini dihilangkan.

Penghilangan tujuan-tujuan tersebut di atas menunjukkan orientasi hukum dan itikad yang tidak baik dari perumus RanPerpres RA. Padahal, tujuan RA dalam Perpres 86 menjadi tuntutan rakyat selama ini kepada Pemerintah. Tujuan-tujuan tersebut yang selama ini dinilai gagal direalisasikan, dan tidak pernah dijadikan indikator keberhasilan RA oleh pemerintah. Dengan menghilangkan tujuan-tujuan sejati dari RA, maka RanPerpres RA hendak disempitkan lagi sekadar bagi-bagi sertifikat tanah di wilayah non-konflik, tanpa bermaksud memulihkan ketidakadilan agraria dan hak konstitusional rakyat.

Keempat, TORA dari Badan Bank Tanah (BBT) adalah penyelewengan RA oleh UU Cipta Kerja, yang hendak diterus-teruskan melalui RanPerpres RA. RanPerpres RA mengikuti logika hukum yang sesat dari UUCK, yaitu memasukan proses RA ke dalam mekanisme pengadaan tanah bagi investor dan badan usaha besar. Padahal RA adalah perombakan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang. Tanah-tanah yang seharusnya dipercepat penyelesaiannya melalui RA, justru harus masuk dahulu ke dalam sistem Bank Tanah, dengan “gula-gula RA”-nya, bahwa setidaknya 30% tanah BBT ditujukan untuk RA. Logikanya, jalan sesat dan berliku ini membuat proses RA menjadi lebih panjang, sulit dan mudah dimanipulasi pelaksanaannya oleh BBT, yang memang sejak awal didesain sebagai mesin pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dan badan usaha besar.

Pada tataran praktik BBT, tanah untuk kepentingan investasi (PSN, IKN, food estate, infrastruktur, KEK, pariwisata premium, investor sawit, bisnis tambang, dll) dengan kepentingan RA untuk rakyat akan saling tarik-menarik dan rentan conflict of interest oleh BBT. Dalam skema BBT, petani, nelayan, buruh tani, masyarakat adat, perempuan, rakyat miskin kota dan kelompok rentan lain ibarat harus bersaing dengan kelompok investor dan perusahaan yang bersifat lapar tanah dan kuat dari sisi modal dan jejaring elitis. TORA dari BBT juga akan memiliki skema yang berbeda, yaitu melalui bentuk Hak Pengelolaan (HPL) yang diciptakan UUCK.

Kelima, Tidak ada perbaikan kelembagaan yang mendasar dalam RanPerpres RA. Salah satu poin revisi yang mendasar dari Perpres 86 adalah mengenai perubahan kelembagaan, sebab inilah salah satu penyebab lebarnya gap antara janji dan implementasi riil RA di lapangan. Mengingat agenda RA berkaitan dengan masalah agraria yang kronis dan bersifat struktural, ego-sektoral kementerian/lembaga yang tak kunjung tuntas, serta otorisasi kepemimpinan lembaga yang menuntut terobosan politik sekaligus hukum, maka kepemimpinan langsung Presiden untuk mengawal dan memimpin RA secara nasional dan otoritatif adalah mutlak.

Sayangnya, dalam RanPerpres RA kepemimpinan lembaga pelaksanaan RA tetap diletakkan pada tingkat kementerian, yakni oleh Menko Perekonomian. Dualisme sistem pertanahan di Indonesia, yaitu antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK sebagai sumber masalah agraria dan konflik agraria akan terus berlangsung. Begitu pun masalah agraria terkait konflik agraria PTPN dan Perhutani, Menko Perekonomian gagal menjalankan amanat RA atas BUMN. Jika demikian, pelaksanaan RA di Indonesia kembali nihil terobosan dan penyelesaian secara konkrit dan cepat.

Keenam, rumusan RanPerpres RA belum serius dalam mendorong terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria dan meredistribusikan tanah terkait klaim (aset) perkebunan negara (PTPN).
Opsi penyelesaian konflik agraria yang disebabkan oleh perusahaan BUMN (PT Perkebunan Negara; Perhutani/Inhutani) dalam RanPerpres RA, masih seputar hak atas tanah yang memiliki jangka waktu (bersifat sementara) dalam bentuk hak pengelolaan (HPL) atau hak pakai (HP), dan/atau diserahkan sesuai kesepakatan para pihak serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya akan dilanggar terus hak konstitusionalnya atas sumber-sumber agraria utamanya tanah.

Alasan Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan terkait kesulitan penghapusbukuan aset negara dalam PTPN, akan terus berlanjut untuk menutupi kebobrokan bisnis negara yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural dan kerugian keuangan negara. Padahal penyelesaian konflik agraria akibat PTPN tidak hanya melalui penghapusbukuan aset negara, melainkan juga dapat melakukan upaya koreksi terhadap kesalahan sejarah perampasan tanah rakyat untuk konsesi perkebunan skala luas.

Ketujuh, rumusan RanPerpres RA minus terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria terkait kehutanan. Dualisme pertanahan antara tanah kawasan hutan (forest land) dan tanah bukan kawasan hutan (non-forest land) masih kuat diadopsi di dalam RanPerpres. KLHK memiliki kewajiban pelaksanaan RA seluas 4,1 juta hektar, sayangnya selama 8 tahun terakhir para petani, buruh tani dan masyarakat adat menemui jalan buntu– terus menerus dipaksa dan diberi opsi perhutanan sosial tanpa melihat historisitas, hak-hak konstitusional dan situasi eksisting di lapangan. Itulah mengapa kita selalu memanen capaian buruk RA terkait konflik agraria kehutanan.

Penggabungan revisi Perpres 86 tentang RA dengan Perpres 88/2017 terkait penyelesaian masalah pertanahan terkait hutan tidak akan mengubah apapun, kecuali ingin melanggengkan terus asas domein verklaring atas nama kawasan hutan. Pelaksanaan RA terhadap praktik Negaraisasi Hutan (hak menguasai dari Negara yang menyimpang) masih sangat jauh dari aspirasi masyarakat selama ini. Monopoli Perhutani/Inhutani di seluruh Jawa dan Lampung, bisnis kehutanan (HTI, konservasi, tukar guling untuk bisnis tambang dan food estate/korporasi lumbung pangan, dll) dan masalah agraria desa-desa/perkampungan yang tumpang-tindih dengan klaim kehutanan harusnya menjadi prioritas RA.

Dalam RanPerpres, tidak ada prioritas RA bagi desa-desa yang berkonflik dan/atau mengalami ketimpangan, daerah kantong-kantong kemiskinan, tanah pertanian dan perkebunan produktif rakyat, dan wilayah adat untuk segera dikeluarkan dari klaim-kalim kawasan hutan. Bagaimana mungkin ladang-ladang yang menjadi lumbung pangan nasional dan desa-desa definitif masih terus diklaim Negara atas nama Kawasan Hutan? Sama halnya dengan konflik agraria PTPN, Negaraisasi hutan di masa lalu yang “terlanjur” memasukan kampung-kampung dan tanah pertanian rakyat, memerlukan terobosan hukum sebagai usaha negara untuk melakukan koreksi mendasar atas kesalahan masa lalunya.

Kedelapan, tidak ada subjek prioritas untuk memastikan pelaksanaan RA betul-betul dinikmati rakyat yang berhak dan bebas dari para penumpang gelap (mafia, calo dan elite captures). Dari sisi subjek, Ranperpres RA sudah mengakomodir tuntutan untuk menghapus TNI, Polri dan PNS sebagai subjek RA. Akan tetapi lagi-lagi tidak ada penekanan prinsip dan tata-cara pelaksanaan pelaksanaan RA agar subjek prioritas seperti petani kecil, buruh tani, nelayan dan landless/penggarap (orang miskin tak bertanah) yang masih bergantung pada tanah dan sumber agraria, yang betul-betul mendapat dampak positif dari RA. Usulan masyarakat adat dan perempuan sebagai bagian dari subjek hukum RA tetap tidak dimasukkan sebagai bagian dari subjek hukum RA.

Subjek RA “orang-perseorangan” pada RanPerpres RA tidak menekankan kriteria yang adil secara sosial, ekonomi dan gender, termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan itikad baik, historitas penguasaan tanahnya dan dilakukan dengan cara-cara yang transparan. Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek RA, merupakan celah konflik kepentingan dan dapat menjadi celah masuknya kembali para penumpang gelap (free riders), mafia tanah, koperasi abal-abal, keluarga pejabat, elit bisnis-politik yang tidak berhak justru mendapatkan tanah – kasus-kasus penumpang gelap RA marak terjadi di lapangan selama 8 tahun terkahir, bahkan difasilitasi sendiri oleh Pemerintah dan Pemda. Belum terlihat kseriusan pemerintah mengantisipasi ini dalam draft yang disusun.

Kesembilan, RanPerpres melanjutkan sesat fikir bahwa sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN. Reforma agraria yang disempitkan menjadi kegiatan pensertifikatan tanah adalah kritik terbesar Gerakan RA dan pakar hukum agraria selama ini. Inilah porsi terbesar klaim capaian pemerintah atas nama RA. Sayangnya justru RanPerpres melanjutkan kesalahan lama selama 8 (delapan) tahun ini. Capaian 9 juta hektar RA tetap dirancang dan dicampur-adukan dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa (sebanyak-banyaknya jumlah bidang/sertifikat).

Selain itu, pendekatan asset reform dan access reform yang ultraliberal kembali menjadi formula RanPerpres. Jika dulu di pemerintahan SBY formulanya; “RA = asset reform plus access reform”, di masa Jokowi mundur selangkah lagi menjadi “RA = asset reform dan access reform”. Hal ini menimbulkan konsekuensi praktik buruk di lapangan. Seolah sertifikat saja, atau bagi-bagi tanah saja cukup, guremisasi tidak dikoreksi, HGU dihidupkan lagi di tengah guremisasi petani, lalu RA diklaim telah dijalankan. Sementara penguatan dan penataan ulang model produksi dan ekonominya pasca landreform tidak dijalankan. Seharusnya RA adalah landreform yang diperkuat, sebab di dalam RA transformasi sosial berbasis agraria yang hendak dicapai, bukan liberalisasi pasar tanah.

Jadi sertifikasi tanah bukan upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah). Bukan pula upaya Negara memulihkan hak korban perampasan tanah yang menjadi tujuan RA. Legalisasi aset yang disebut sebagai pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) tidak bisa serta-merta disebut RA. Penguatan hak (pensertifikatan) secara individual atau kolektif di dalam paket utuh RA hanya lah tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (landreform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.

Negara Indonesia masih harus belajar dari pengalaman negara lain yang sukses menjalankan RA dan sungguh-sungguh mengevaluasi diri untuk memahami pemahaman basic tentang RA, yaitu dapat membedakan program pensertifikatan tanah biasa (dulu Prona, sekarang PTSL) dengan Reforma Agraria sebagai agenda politik bangsa.

Atas dasar pandangan-pandangan masalah di atas, maka kami dari KNPA mendesak:
Pertama: Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional.

Kedua: Perbaikan Perpres 86/2018 tentang RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK RI.

Ketiga: Rumusan perbaikan Perpres RA harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres 86 yang selama ini dituntut, dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif dan substantial. Sebab, rakyat dan gerakan masyarakat sipil bukan sekedar penerima manfaat dari hasil perumusan kebijakan, tetapi elemen penting bangsa yang harus terwakili secara setara dan bermakna.

Keempat: Menjamin transparansi proses yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK dan K/L lainnya;

Kelima: Sambil mendorong revisi Perpres RA yang konstitusional, pemerintah harus mengoptimalkan dan mempercepat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah bagi rakyat kecil dan jaminan perlindungan atas wilayah hidup masyarakat dalam kerangka reforma agraria sesuai UUPA dan Perpres RA.

Keenam: Menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak-hak atas tanahnya, termasuk cara-cara penanganan konflik agraria dan pengadaan tanah yang bersifat represif di lapangan.

Ketujuh: Membatalkan UUCK yang liberal dan kapitalistik mengingat pelaksanaannya, termasuk produk hukum turunannya yang terkait Badan Bank Tanah, pengadaan tanah, PSN, KEK, ekspansi sawit, food estate, impor pangan, pengadaan tanah untuk IKN dll telah memperparah krisis agraria dan membahayakan agenda RA. UUCK menempatkan petani, masyarakat adat, buruh tani, nelayan, perempuan dan masyarakat miskin di ujung tanduk krisis agraria yang berlapis.

Demikian pandangan dan pernyataan sikap kami untuk menjadi perhatian para pihak. Terima kasih.

Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria:
– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
– Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
– Solidaritas Perempuan (SP)
– Bina Desa
– Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
– Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
– Serikat Petani Indonesia (SPI)
– Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
– Aliansi petani Indonesia (API)
– Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
– Sajogyo Institute (Sains)
– Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
– Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
– Lokataru Foundation
– Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
– Sawit Watch (SW)
– Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
– Perkumpulan HuMa Indonesia
– Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-Indonesia)

Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers : Bupati Kabupaten Jayapura Tidak Memenuhi Janji untuk Mencabut Izin Usaha Perusahaan

by Admin Pusaka Desember 9, 2022
written by Admin Pusaka

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa
Hingga saat ini, perusahaan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih terus melakukan aktifitas pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Daerah Lembah Grime Nawa, Distrik Nimbokran dan Unurumguay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Padahal, Bupati Jayapura telah menerbitkan surat keputusan agar perusahaan PT PNM menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan (Februari 2022), surat peringatan dan meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembangunan perkebunan (September 2022 dan November 2022).
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, telah berkali-kali berdialog dengan pemerintah Kabupaten Jayapura di Kantor Bupati Jayapura. Pada dialog hari ini Jumat, 09 Desember 2022, yang dihadiri oleh Asisten I, Elphyna Situmorang ; Asisten II, Delila Giay ; Kabag Hukum, Timotius Taime. Kami meminta pemerintah konsisten dengan janji untuk memenuhi tuntutan mencabut izin usaha perusahaan PT PNM.
Faktanya, pemerintah Kabupaten Jayapura belum mempunyai sikap keputusan untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan, izin lokasi, izin lingkungan, izin usaha perkebunan dan Hak Guna Usaha, meskipun perusahaan disebutkan tidak dapat memenuhi syarat ketentuan dan perusahaan telah melakukan kelalaian atas surat peringatan dan pemberitahuan penghentian aktifitas.
Kami memandang pemerintah Kabupaten Jayapura tidak sungguh-sungguh mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
“Bupati tidak memenuhi janji-janjinya untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri yang melanggar hukum, merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat, dan penggundulan hutan. Pemerintah terkesan sengaja membiarkan permasalahan yang ada, di satu sisi perusahaan menjadi arogan dan sewenang-wenang, disisi lain masyarakat adat resah karena tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah”, kata Yustus Yekusamun, perwakilan masyarakat adat dan juru bicara Koalisi Lembah Grime Nawa.
Aktivis Perempuan Adat, Rosita Tecuari, menyoroti dan menyampaikan misi dan putusan Bupati Jayapura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan program yang seolah-olah dapat melindungi hak masyarakat adat dan wilayah adat, namun tidak sepenuhnya mutlak memberikan kepastian hak untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Lembah Grima Nawa.
“Kampung adat diakui, tapi masyarakat adat tidak punya hak kuasa dan kelola atas tanah dan hutan adat, karena dikuasai dan dikelola oleh perusahaan. Bagaimana mungkin keputusan yang dihasilkan dapat dijalankan tanpa ada kuasa dan kewenangan masyarakat adat dalam mengatur dan mengelola tanah dan hutan adat”, ungkap Rosita Tecuari.
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, menduga belum adanya sikap dan putusan untuk pencabutan izin usaha perusahaan dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi, yang melibatkan kekuatan pihak-pihak tertentu dan berpotensi terjadinya pelanggaran hukum, dan tindakan koruptif. Karenanya, Koalisi meminta pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengawasi pejabat dan aktor yang berkepentingan dalam jejaring bisnis, serta aliran transaksi keuangan.

Jayapura, 09 Desember 2022

Kontak Person:
Yustus Yekusamun : +62 822-3441-5750
Rosita Tecuari : +62 823-1150-8559
Franky Samperante: +62 813 1728 6019
Asep Komarudin: +62 813-1072-8770

Desember 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Surat Pernyataan: Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO): 19 Tahun Sudah Cukup!

by Admin Pusaka Desember 1, 2022
written by Admin Pusaka

Pertemuan umum Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 1 December 2022 di Malaysia ini menandakan tahun ke-19 terbentuknya RSPO. Selama hampir dua dekade, RSPO telah gagal memenuhi misinya menjadikan sektor industri sawit ‘berkelanjutan’. Sebaliknya, RSPO telah digunakan oleh industri sawit sebagai alat ‘tipu muslihat’ untuk menutupi penghancuran lingkungan, pelecehan hak asasi manusia dan buruh, serta perampasan lahan.

Kami, dan berbagai organisasi yang bekerja dengan masyarakat yang terdampak oleh perkebunan sawit, telah berulang kali mengecam RSPO atas kegagalannya dalam mengangkat permasalahan masyarakat yang lahannya dirampas oleh perusahaan sawit.

Masalah utama dari kelembagaan beserta sistem sertifikasi RSPO telah diuraikan dengan detail dalam pernyataan internasional yang ditandatangani oleh berbagai organisasi di seluruh dunia pada 2008 dan 2018, termasuk laporan terbaru pada 2021 tentang kegagalan RSPO dalam mencegah penggundulan hutan, mengabaikan masyarakat terdampak dan mengangkat persoalannya (laporan bisa dibaca di sini dan di sini).

Sejak 2020, RSPO telah mengeluarkan sertifikat konsesi sawit di Kamerun, Sierra Leone, Nigeria, Sao Tome, Ghana, DRC, Nigeria dan Pantai Gading untuk Socfin, perusahaan yang berbasis di Luksemburg. Sertifikat ini dikeluarkan dengan mengabaikan komplain masyarakat terkait konflik lahan, deforestasi, polusi, pelanggaran hak buruh, serta praktik kekerasan.

Masyarakat Sierra Leone, Kamerun dan Pantai Gading telah menuntut penangguhan sertifikat Socfin tersebut. Setelah terbitnya suatu laporan media tentang perkebunan sawit Socfin di Kameron, sekretariat RSPO mengirimkan tim verifikasi untuk memeriksa tuntutan masyarakat. Meski tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa tim dari RSPO menghindari bertemu dengan pihak-pihak yang kritis terhadap perusahaan dan mengabaikan bukti-bukti yang diberikan olehnya, hasil verifikasi RSPO tetap menunjukkan adanya pelanggaran standar-standar RSPO yang dilakukan oleh kebun milik Socfin di Kamerun. Namun, meski adanya bukti-bukti tersebut, RSPO tetap mengeluarkan sertifikat untuk perkebunan sawit lainnya milik grup Socfin.

Di Sierra Leone pada Januari 2022, sebanyak 1.475 masyarakat setempat yang terdampak oleh perkebunan milik Socfin mengeluarkan petisi kecaman terhadap keputusan RSPO mengeluarkan sertifikat kepada Socfin. Petisi tersebut menyatakan bahwa proses audit RSPO terbukti cacat dan mengabaikan masalah terkait perampasan lahan, pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan. Seperti yang diuraikan dalam siaran pers internasional yang ditandatangani oleh berbagai organisasi, “Proses konsultasi RSPO berjalan dengan penuh kesalahan. Para pihak yang terdampak, termasuk para pemilik lahan, tidak dimintai pendapatnya. Salah satu buktinya adalah penolakan atas laporan pemerintah setempat yang telah mengeluarkan perintah pencabutan izin dan menuntut adanya proses partisipatif untuk menyelesaikan konflik lahan. Proses audit tidak independen dari perusahaan, tidak ada ruang konsultasi yang aman bagi masyarakat, meski dampak besar akan dihadapi oleh para masyarakat.”

Sertifikasi untuk Socfin yang belum lama berjalan di Afrika ini menunjukkan bagaimana RSPO tidak hanya gagal dalam membantu masyarakat, namun justru ikut mengurangi hak masyarakat atas kehidupan. Para masyarakat dan kelompok sipil pendukung telah menyia-nyiakan waktu dan sumber daya berharga untuk mengikuti alur proses RSPO yang rumit dan berlapis-lapis. Para tokoh masyarakat yang vokal dalam proses RSPO menjadi rentan terhadap intimidasi dan kekerasan.

Pada satu kasus baru lainnya, anggota masyarakat Barranquilla de San Javier di Ekuador mengadakan aksi protes damai pada 2019 untuk menuntut perusahaan Energy & Palma, anggota RSPO untuk angkat kaki dari tanah milik masyarakat. Masyarakat juga menuntut penghentian pencemaran air dan deforestasi. Namun, aksi tersebut direspon oleh aparat keamanan dengan kekerasan, dan kemudian, sebagai tindakan intimidasi terang-terangan, perusahaan membawa tujuh pemimpin masyarakat ke pengadilan, dan menuntut ganti rugi sebesar US$320.000. Pengadilan telah mengeluarkan satu dari dua putusan dan menghukum anggota masyarakat untuk membayar US$151.000, yang kemudian diajukan banding oleh para pembela. Perusahaan kemudian turut mengajukan banding dan bersikeras untuk pembayaran sebesar US$320.000. Putusan kedua masih tertunda. Sampai hari ini, RSPO belum mengambil tindakan untuk memberikan sanksi kepada Energy & Palma.

Di saat yang sama, masyarakat di Liberia masih menantikan solusi atas komplain yang diajukan kepada RSPO sejak 10 tahun yang lalu terhadap Golden Agri-Resources (Sinar Mas). Pengalaman-pengalaman masyarakat ini menunjukkan bagaimana sistem komplain RSPO tidak pernah betul-betul berjalan efektif.

Saat ini kita telah menyaksikan bagaimana selama 19 tahun terakhir RSPO sebetulnya adalah instrumen yang tidak becus dalam menuntut tanggung jawab perusahaan atas pengrusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat dan buruh. RSPO telah terbukti sebagai sarana yang dapat dipercaya bagi komunitas untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi terhadap perusahaan sawit. Namun sebaliknya, RSPO justru melemahkan upaya masyarakat dan memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk terus merampas lahan.

Pada saat lahan-lahan yang telah mendapat sertifikat RSPO terus merambah, dan ketika RSPO dipromosikansebagai standar rujukan bagi aturan dan kebijakan nasional, regional, internasional, kami hendak menyatakan kembali kecaman kami terhadap RSPO. Kami juga bermaksud menyatakan komitmen kami untuk terus berupaya melayani kepentingan masyarakat serta menghentikan model kolonial industri perkebunan sawit.

Pernyataan ini ditandatangani oleh:

(1) Greenpeace Africa, (2) Down to Earth Consult, (3) Forum Ökologie & Papier, (4) Rettet den Regenwald e.V. (Allemagne), (5) Red Latinoamericana contra los monocultivos de árboles (RECOMA), (6) Labour Resource Center (LRC), (7) Entraide et Fraternité, (8) Fern, (9) FIAN Belgium, (10) MIJARC Europe, (11) Solsoc, (12) RADD, (13) Struggle to Economize Future Environment (SEFE), (14) SYNAPARCAM, (15) JVE Côte d’Ivoire, (16) REFEB ci, (17) NOAH – Friends of the Earth Denmark, (18) Fundación pro Defensa de la Naturaleza y sus Derechos, (19) Red Ecuatoriana de Alternativas a la Palma Aceitera, (20)  Salva la Selva, (21) A Growing Culture, (22) Friends of the Earth United States, (23) The Oakland Institute, (24)  European Coordination Via Campesina (ECVC), (25) Association Française d’Amitié et de Solidarité avec les Peuples d’Afrique, (26) ReAct Transnational, (27) Sherpa, (28) Confédération paysanne, (29)  Muyissi Environnement, (30) Red Mesoamericana contra la Palma de Aceite, (31) Indigenous Perspectives, (32) Mahila Kisan Adhikaar Manch (MAKAAM), (33) Palm Oil Concerns, (34) REACH-M, (35) Sustainable Development Forum Nagaland, (36) Aceh Wetland Foundation, (37) Betang Bagawi, (38) FBTPI, (39) FNPF, (40) Forum Penjaga Hutan dan Sungai Harimau Pining, (41) Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP. GSBI), (42) Greenpeace Indonesia, (43) Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah, (44) JASOIL TANAH PAPUA, (45) Kaoem Telapak, (46) KRuHA (People’s Coalition for the Right to Water), (47) Lingkungan hidup URAI UNI, (48) LITORAL, (49) Pantau Gambut, (50) Save Our Borneo, (51) SBPI, (52) Selamatkan Hutan Hujan Indonesia, (53) Transnational Palm Oil Labour Solidarity Network, (54) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/Friends of the Earth Indonesia, (55) WALHI East Nusa Tenggara, Indonesian, (56) WALHI Kalimantan Barat, (57) WALHI Sulawesi Selatan, (58) Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, (69) CADTM, (60) Friends of the Earth International, (61) GRAIN, (62) World Rainforest Movement, (63) Alliance for Rural Democracy (ARD), (64) Green Advocates International, (65) Natural Resource Women Platform (NRWP), (66) Malaysian Food Sovereignty Forum (FKMM), (67) Tenaganita’, (68) Otros Mundos Chiapas, (69) Reentramados para la vida, Defendiendo Territorios, (70) Environmental Rights Action/Friends of the Earth Nigeria, (71) Pakistan Kissan Rabita Committee – PKRC, (72) Milieudefensie – Friends of the Earth Netherlands, (73) Women Engage for a Common Future (WECF), (74) Unyon ng mga Manggagawa sa Agrikultura (UMA), (75) asa-cadecvim coops, (76)  Association Paysannes des Jeunes Entrepreneurs Agricoles, (77) Confédération Paysanne du Congo -Principal Regroupement Paysan COPACO -PRP/ASBL, (78), Coopérative des Paysans de Lonzo, COPACLO en sigle, (79) Alliance Paysanne pour la Souveraineté Alimentaire, ASA/OP, (80) Consortium Asa-CADECVIM, (81) COPACO-PRP, (82) Réseau d’information et d’appui aux ONG en République Démocratique du Congo, (83) Réseau National des Organisations des femmes Paysanne, (84)  Réseau d’Information et d’Appui aux ONG en République Démocratique du Congo, (85) Earthsight, (86) Environmental Investigation Agency (EIA), (87) Friends of the Earth England, Wales & Northern Ireland, (88) Biofuelwatch, (89)  GREEN SCENERY, (90)  Women’s Network Against Rural Plantations Injustice (WoNARPI), (91) agrarinfo.ch, (92)  Bruno Manser Fonds, (93)  Agroecological Transitions Research Group, (94)  GREEN BOOTS, (95)  HEKS Swiss Church Aid, (96)  Pro Natura / Friends of the Earth Switzerland, (97) Public Eye, (98)   Solidar Suisse, (99)  SOLIFONDS, (100) Uniterre.

Desember 1, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Majelis Hukum Mahkamah Agung Harus Membuat Keputusan yang Adil Berpihak pada Masyarakat Adat dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup

by Admin Pusaka November 18, 2022
written by Admin Pusaka

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar mengabulkan permohonan banding perusahaan kelapa sawit PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agro Mulia (PT PUA) pada Agustus 2022, dan menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan, yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan dua perusahaan ini. Demikian pula, Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA)  menolak permohonan Kasasi Bupati Sorong atas perkara gugatan perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PLA), pada Agustus 2022.

Pada putusan lain, Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan kasasi Bupati Sorong dalam perkara gugatan perusahaan PT Inti Kebun Lestari (IKL). Dalam putusan Hakim MA, hakim menyatakan bahwa PT TUN Makassar telah keliru dan salah dalam menerapkan hukum. Hakim MA membatalkan Putusan PT TUN Makassar.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memfasilitasi diskusi akademis-kritis untuk mengkaji dan memeriksa putusan PT TUN dan Kasasi antara Bupati Sorong dan Sorong Selatan melawan perusahaan perkebunan sawit, yang dilakukan di Jakarta pada 15 – 16 November 2022. Pertemuan ini mengundang peserta masyarakat adat terdampak dari Sorong dan Sorong Selatan, perwakilan LMA Malamoi Sorong, AMAN Sorong Raya, Relawan Tolak Sawit Sorong Selatan, perwakilan pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Pendamping Hukum Bupati Sorong dan Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.

Kabag Hukum Kabupaten Sorong, Demianus Aru, menyampaikan putusan pencabutan izin perusahaan perkebunan sawit berkaitan dengan pelanggaran administrasi pemerintah secara substansi dan prosedural,namun dalil dan Putusan PTTUN dan MA tidak memperhatikan dasar alasan putusan yang menjadi fokus pemerintah dalam pencabutan izin, yang mana dinilai perusahaan telah melanggar dan belum memenuhisyarat ketentuan substansi dan prosedural.

Terkait putusan banding PT PLA di Sorong, menurut ahli Dr. Aan Eko Widiarto, bahwa argumen hukum hakim nampak condong hanya mempertimbangkan aspek formal-administratif semata tanpa melihat fakta dan signifikansi ancaman dampak sosial dan lingkungan, yang cukup baik jadi pertimbangkan hakim dalam Putusan TUN Jayapura.

“Terkait Putusan Kasasi tentang pelanggaran asas pemberian kesempatan yang layak, asas ini belum ditemukan dalam literatur hukum. Seharusnya hakim menerapkan asas kepentingan umum, mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, dalam pertimbangan putusan”, jelas Aan Eko Widiarto.

Proses persidangan di PT TUN dan Kasasi di Mahkamah Agung juga dilakukan secara tertutup, sehingga ada keterbatasan dalam memantau dan mengetahui proses musyawarah hakim. Hal ini mempengaruhi opini masyarakat yang mempertanyakan situasi persidangan dan putusan pertimbangan yang digunakan hakim

“Harus ada perubahan dalam sistem peradilan untuk dapat dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau masyarakat”, jelas Nur Amalia, selaku penasehat hukum Pemerintah Kabupaten Sorong.

Dalam Surat Pernyataan Bersama Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat, yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa perlu kebijakan pemerintahan yang adil dan bersih, transparan dan bertanggung jawab, dan dengan memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Koalisi juga menghimbau kepada media massa dan semua pihak untuk melakukan pemantauan atas proses pengadilan yang sedang berlangsung.

“Kami meminta Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam persidangan perkara gugatan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan untuk dilakukan secara terbuka, membuat putusan yang adil dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, serta mempertimbangkan fakta lapangan terkait keberadaan dan hak-hak hidup masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan hidup”, kata Sopice Sawor, tokoh Perempuan Adat dari Suku Tehit Afsya, Kabupaten Sorong Selatan..

Perwakilan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil dalam Surat Pernyataan meminta dan mendukung Bupati Sorong dan Bupati Sorong Selatan dalam melakukan upaya hukum atas gugatan perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan di Kabupaten Sorong Selatan.

Kami tetap mendukung Bupati Sorong dan Sorong Selatan untuk melakukan perlawasan hukum  demi keadilan, perubahan dan pemajuan tata kelola yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Dukungan dan sikap ini disampaikan Yustinus Konjol, perwakilan Suku Tehit dari Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, dan Seljun Kayuri, perwakilan Suku Moi dari Kampung Gisim, Distrik Segun, Kabupaten Sorong.

Dalam pertemuan Koalisi dengan Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan dan Uli Parulin Sihombing, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 16 November 2022, pertemuan dengan Ketua Satgas Supervisi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Wilayah Maluku Papua, Dian Patra, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 17 November 2022, pihak Komnas HAM dan KPK, mendukung dalam melakukan pemantauan proses pemantauan agar majelis hakim dapat memberikan putusan yang adil dan tidak didasarkan kepentingan tertentu.

“Kami akan mempelajari putusan dan memberikan pendapat hukum dan membuat amicus curiae (sahabat peradilan) terhadap perkara dimaksud”, ungkap Uli Parulin Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menyampaikan Amicus Curiae terhadap Perkara Nomor 576.K/TUN/2022 antara PT ASI melawan Bupati Sorong Selatan, dan Perkara Nomor 577.K/TUN/2022 antara PT PUA melawan Bupati Sorong Selatan.

Terima kasih

Jakarta, 17 November 2022

Kontak Person:

Natalia Yewen: +62 813-1753-7503

Hollan Abago: +62 821-9819-2376

Silas Kalami: +62 821-9813-3740

November 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Press Release: Masyarakat Menuntut FSC Memastikan Implementasi Pemulihan Secara Penuh atas Kerusakan Sosial dan Lingkungan

by Admin Pusaka Oktober 20, 2022
written by Admin Pusaka
Oktober 20, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Siaran Pers Pusaka: Mengecam Tindakan Aparat Brimob dan Perusahaan yang Melakukan Pengrusakan Palang Adat

by Admin Pusaka Oktober 11, 2022
written by Admin Pusaka
Oktober 11, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Komitmen Setengah Hati Tidak Mampu Melindungi Masyarakat Adat di Lembah Grime Nawa

by Admin Pusaka September 17, 2022
written by Admin Pusaka
September 17, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

CABUT IZIN DAN HENTIKAN AKIVITAS PERUSAHAAN KELAPA SAWIT PT PNM

by Admin Pusaka September 9, 2022
written by Admin Pusaka
September 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Pastikan Keadilan untuk Korban Mutilasi di Mimika

by Admin Pusaka September 8, 2022
written by Admin Pusaka
September 8, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Kebijakan DOB Papua Berpotensi Menciptakan Konflik Sosial di Papua

by Admin Pusaka Juni 28, 2022
written by Admin Pusaka

 

Juni 28, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Musyawarah Adat Suku Amungme
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2021 Tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 121 Tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua
  • Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2021 – 2022

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo