Press Release
PTUN Jakarta Tolak Gugatan Perusahaan Sawit, Perjuangan Suku Awyu Menang
Jakarta, 6 September 2023. Pejuang lingkungan hidup sekaligus pemilik tanah adat dari suku Awyu menyambut gembira putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Putusan yang memenangkan Menteri LHK (tergugat) dan masyarakat adat suku Awyu (tergugat intervensi) ini diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 5 September 2023.
Putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area tersebut dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami. Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu,” kata Gergorius Yame, salah satu dari enam masyarakat Awyu yang menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.
PT MJR dan PT KCP mendaftarkan gugatan mereka ke PTUN Jakarta pada 10 Maret dan 15 Maret lalu. Lewat gugatan itu, kedua perusahaan mempersoalkan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang penertiban dan penataan izin pelepasan kawasan hutan, yang isinya antara lain mensyaratkan agar tidak melakukan pembukaan lahan berhutan untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit.
Adapun Gergorius Yame dan lima orang masyarakat adat Awyu lainnya mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada 9 Mei 2023. Dalam persidangan yang bergulir, masyarakat Awyu dan kuasa hukumnya berjuang menghadirkan bukti-bukti, saksi, hingga ahli, untuk mendukung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghadapi gugatan PT MJR dan PT KCP.
“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu.
Permohonan intervensi tersebut merupakan bagian dari perjuangan masyarakat suku Awyu untuk mempertahankan hutan adat mereka dari perampasan oleh perusahaan kelapa sawit–satu pola yang banyak terjadi di Tanah Papua, merujuk laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’. Selain di PTUN Jakarta, upaya litigasi untuk mempertahankan hutan adat juga ditempuh masyarakat Awyu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura.
Pada 13 Maret lalu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, pejuang lingkungan hidup dan pemimpin marga Woro–bagian dari suku Awyu, menggugat izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan pemerintah Provinsi Papua untuk perusahaan sawit lainnya, PT Indo Asiana Lestari. Persidangan gugatan tersebut masih berjalan hingga kini. “Jarang sekali kami dapat berita baik, jadi kami berharap masih bisa dapat kabar baik dari gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim di Jayapura. Semoga di PTUN Jayapura menang lagi,” kata Hendrikus Woro.
Anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Tigor Gemdita Hutapea mengimbuhkan, perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini makin membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat. Pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka. “Dari persidangan ini, KLHK mestinya belajar bahwa Papua bukan tanah kosong. Tidak ada alasan menunda lagi, segera akui hutan adat!”
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia
Catatan Editor:
- Gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama masing-masing teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT dan 87/G/2023/PTUN.JKT.
- Foto dan video rekaman saat Gergorius Yame dan Hendrikus Frangky Woro memberi kesaksian pada persidangan PTUN di Jakarta, 11 Juli 2023.
Kontak Media:
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
Tigor Gemdita Hutapea, Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105
Organisasi Masyarakat Sipil Mendesak Pemerintah Mengambil Tindakan Menyelamatkan Masyarakat Adat Terdampak Krisis Iklim dan Pangan
Siaran Pers Organisasi Masyarakat Sipil:
“Pemerintah segera mengambil langkah efektif dan tindakan darurat untuk menyelamatkan dan memenuhi hak masyarakat adat terdampak krisis iklim dan pangan”
Papua dan Jakarta, 12 Agustus 2023. Dampak perubahan iklim kini dirasakan oleh masyarakat dunia. Cuaca dingin dan curah hujan yang ekstrim, cuaca panas dan kekeringan, disertai bencana ekologi, banjir, tanah longsor, serangan hama dan sebagainya, silih berganti melanda kehidupan manusia. Krisis iklim juga menimbulkan permasalahan ekonomi, gagal panen, kebakaran hutan dan lahan, permasalahan kesehatan bertambah, kelaparan dan gizi buruk, kerusakan ekosistem, penderitaan dan kematian.
Pada Juli 2023, media nasional memberitakan warga di Distrik Agandungume, Lembewi dan Oneri, Kabupaten Puncak, Provinsi Papua Tengah, yang mengalami kesulitan mendapatkan dan memperoleh pangan. Lahan, dusun dan tanaman pangan di kampung mengalami kekeringan dan gagal panen, tanpa hujan dan temperatur suhu rendah. Mereka terpaksa pergi mengungsi dan berjalan kaki dalam keadaan payah untuk mendapatkan bantuan makanan.
Kami organisasi masyarakat sipil Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, FIAN Indonesia, Greenpeace Indonesia dan Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua, Perkumpulan Harmoni Alam Papuana, LBH PAPUA Pos Merauke, SKP Keuskupuan Agats-Asmat, telah bertemu dan mendengarkan keluhan terkait situasi buruk, kesulitan dan rawan pangan dan air bersih, yang terjadi dan dialami masyarakat adat didaerah Distrik Malind, Kaptel dan Eligobel, Kabupaten Merauke ; masyarakat adat di wilayah Kepi, Obaa dan Manjemur, Kabupaten Mappi ; dan Distrik Fayit di Kabupaten Asmat, seluruhnya berada di Provinsi Papua Selatan.
Warga kesulitan memperoleh air bersih dan mahal, lahan dan tanaman pangan mengalami kekeringan, hasil panen diluar target dan tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Aktifitas menokok sagu di dusun berhenti karena kekeringan dan hewan buruan semakin jauh ke dalam hutan. Masyarakat kesulitan mengusahakan pemenuhan pangan dan air dari dusun dan hutan yang jauh dari kampung. Air sungai kering dan tidak bisa dilalui. Rawa dan sungai juga kondisi buruk, tidak sehat dan diduga tercemar, sehingga masyarakat menghindari dan tidak dapat mengkonsumsi air sungai.
Kami juga memantau dan menemukan adanya titik panas yang berpotensi dan/atau telah menimbulkan kebakaran hutan dan lahan di wilayah Papua. Berdasarkan pemantauan citra satelit Modis dan Viirs pada website https://map.nusantara-atlas.org disepanjang 14 hari terakhir (23 Juli – 11 Agustus 2023), ditemukan titik panas sebanyak 2.270 titik panas diseluruh Tanah Papua dan terbanyak di Provinsi Papua Selatan sebanyak 1.910 titik panas. Jumlah hotspot per kabupaten terbanyak berada di Kabupaten Merauke sebanyak 1.576 titik panas dan Mappi sebanyak 302 titik panas. Daerah tingkat distrik dengan titik panas tertinggi diatas 100 hotspot berada di Distrik Okaba, Sota, Naukenjerai, Kimaam, Tabonji, Waan, Tanah Miring, Kabupaten Merauke, dan di Distrik Obaa, Kabupaten Mappi.
Terdapat juga hotspot berada di areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agriprima Cipta Persada, PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Hardaya Sawit Plantation, di Kabupaten Merauke, dan konsesi perusahan Hutan Tanaman Industri PT Selaras Inti Semesta dan PT Plasma Nutfah Marind Papua di Kabupaten Merauke.
Kejadian kekeringan, rawan pangan dan kebakaran hutan, akan mendatangkan kesulitan hidup, konflik, kerusakan lingkungan dan bencana ekologi, bahkan kematian, yang dapat berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia. Ketentuan peraturan mengatur bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan aman, hal ini merupakan prasyarat utama pemenuhan hak atas hidup, hak atas pangan, dan sejumlah hak dasar di dalam hak asasi manusia sebagimana ditegaskan dalam Pasal 9 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara memikul kewajiban memastikan setiap warga negara dan semua organisasi dan lembaga di Indonesia melindungi lingkungan hidup.
Negara juga berkewajiban mendorong penanggulangan kerusakan dan ancaman terhadap lingkungan hidup sebagai bagian dari kewajiban negara melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia warga negaranya. Wujud dari pemenuhan kewajiban negara adalah tanggung jawab negara berperan aktif untuk menangani, merehabilitasi dan memulihkan korban terdampak kerusakan hutan, lahan, perairan dan udara serta melakukan penegakan hukum terhadap aktor perusak lingkungan hidup.
Kami pimpinan organisasi masyarakat sipil mendesak dan meminta pemerintah nasional, pemerintah Papua Selatan dan pemerintah kabupaten di wilayah Papua Selatan, segera mengambil langkah efektif, cepat tanggap dan tindakan darurat untuk menyelamatkan dan memenuhi hak masyarakat adat yang terdampak krisis iklim dan kesulitan pangan, dengan penyediaan program bantuan pangan layak dan mudah diakses, serta pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berdasarkan inovasi pengetahuan pangan masyarakat adat, secara teratur dan berkelanjutan.
Kami mendesak pemerintah daerah kabupaten di wilayah Provinsi Papua Selatan, pemerintah distrik dan pemerintah kampung, bekerjasama dengan pemimpin organisasi keagamaan tingkat distrik, Paroki, Stasi dan Dewan Gereja, untuk melindungi hutan yang kaya dan menyimpan beranekaragam pangan, dan segera mengantisipasi darurat pangan dan kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayah terdampak, dengan membuka pos pelayanan dan tanggap darurat pangan, sebagai saluran berbagi informasi dan pemberian bantuan pangan yang layak dan sehat.
Kami mendesak pemerintah nasional dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten di Tanah Papua, untuk menghormati, melindungi dan memajukan pengetahuan dan sistem pangan masyarakat adat, mengamankan lahan dan hutan sumber pangan masyarakat, melakukan perlindungan dan pemberdayaan usaha pangan masyarakat adat, organisasi usaha, inovasi teknologi, pemberian modal dan pasar, secara berkelanjutan.
Kami mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di Kabupaten Merauke, serta mengupayakan penertiban dan penegakan hukum.
Kontak Person:
Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: 0813 1728 6019
Betty Nababan, FIAN Indonesia: 0816 103 461
Harry Woersok, Perkumpulan Petrus Vertenten MSC: 0812 4080 8786
Iqbal Damanik, Greenpeace Indonesia: 0811 444 5026
Dewanto Talubun, Perkumpulan Harmoni Alam Papuana: 0852 5474 9321
Teddy Wakum, LBH PAPUA Pos Merauke: 0822 4245 0431
Hutan Sumber Hidup hingga Persaudaraan: Kesaksian Suku Awyu di Sidang Melawan Perusahaan Sawit
Jayapura, 10 Agustus 2023. Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, memasuki babak kedua pemeriksaan saksi fakta. Tiga orang anggota masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Kamis, 10 Agustus 2023.
Mereka yakni Tadius Woro, Antonia Noyagi, dan Yustinus Bung. Sebelumnya pada 27 Juli lalu, dua orang juga bersaksi untuk menguatkan gugatan Hendrikus Woro melawan Pemerintah Provinsi Papua dan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).
Dalam kesaksiannya, Tadius Woro menjelaskan bahwa penggugat, Hendrikus Woro, benar merupakan ketua marga yang ditetapkan melalui musyawarah adat. Hendrikus Woro, menurut Tadius, juga bertugas mewakili marga Woro dalam perjuangan mereka memperjuangkan tanah adat lewat gugatan ke pengadilan ini.
“Semua anggota marga Woro dari moyang pertama, kedua, dan ketiga duduk berkumpul secara adat untuk mengangkat Hendrikus ‘Franky’ Woro sebagai pemimpin marga. Tujuannya mempertahankan tanah adat supaya hutan dan isinya, termasuk tempat keramat, tidak dibongkar perusahaan,” ujar Tadius, yang juga membawa hasil penting dari hutan seperti gaharu, pucuk sagu, sagu segar, pucuk dan daun nibung, serta sejumlah tanaman obat lain ke ruang sidang.
Kesaksian tentang pentingnya hutan adat juga disampaikan Antonia Noyagi, perempuan Awyu yang berasal dari Kampung Yare–sama dengan Hendrikus Woro. Antonia, yang selama ini mengelola wilayah adat milik marga Mukri dan Woro, khawatir keberadaan perkebunan sawit akan merugikan para perempuan Awyu.
Perempuan Awyu sangat bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan mendasar sehari-hari. Hampir saban hari mereka pergi ke hutan dan sungai guna mengambil sagu, mencari bahan obat-obatan, berburu dan memancing, mencari kayu bakar hingga kayu gaharu. Bahkan, ada kebiasaan perempuan-perempuan Yare pergi bersama ke hutan demi mempererat persaudaraan.
“Saya menghidupi sembilan anak sendirian sejak suami saya meninggal tahun 2004. Hingga sekarang anak-anak sudah ada yang menjadi prajurit TNI, ada yang berkuliah di Jawa, ada yang sekarang masih bersekolah. Itu karena hasil hutan. Kami hanya berharap dari alam. Kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa alam yang lestari,” tutur Antonia.
Saksi ketiga, Yustinus Bung, adalah warga Kampung Yare dari marga Mukragi atau Mukri. Tanah adat marga Mukri berbatasan langsung dengan marga Woro ditandai dengan batas alam berupa kali. Seperti masyarakat Awyu lainnya, mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber hidup dan berharap hutan tersebut dapat diwariskan ke generasi berikutnya.
Dalam kesaksiannya, Yustinus menjelaskan bahwa ia tidak pernah melihat pengumuman atau sosialisasi ihwal rencana beroperasinya perkebunan sawit di wilayah mereka. “Saya hanya dengar ada pertemuan di Kampung Ampera soal perusahaan dan tidak pernah tahu ada pembahasan soal amdal,” jelas Yustinus.
PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017, merujuk laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh grup perusahaan asal Malaysia Whole Asia Group. PT IAL memperoleh lahan yang sebelumnya dikuasai PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.
“Ketiga saksi menjelaskan mereka hanya mendengar ada perusahaan yang masuk, tapi tidak pernah ikut dalam sosialisasi perusahaan atau pemerintah daerah. Jadi, bisa dipastikan bahwa amdal dibuat tanpa pelibatan dan persetujuan masyarakat. Ketiga saksi juga menggambarkan kehidupan rata-rata masyarakat suku Awyu yang tidak punya akses terhadap koran atau internet, sehingga pengumuman yang diklaim sudah dilakukan oleh perusahaan tidak menjangkau mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang terdampak,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu.
Kontak Media:
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105
Saksi Ahli: KLHK Berwenang Melakukan Penertiban Konsesi Perusahaan
Jakarta, 1 Agustus 2023. Persidangan lanjutan perkara gugatan perusahaan sawit terhadap KLHK yang menyangkut nasib hutan adat suku Awyu hampir sampai di babak terakhir. Setelah Suku Awyu diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kini kuasa hukum masyarakat suku Awyu menghadirkan pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, sebagai saksi ahli di pengadilan.
Merujuk situs informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Gugatan PT Megakarya Jaya Raya teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel. Gugatan PT Kartika Cipta Pratama teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT. Obyek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
“KLHK berwenangan melakukan penyelenggaran kehutanan dalam beberapa bentuk, salah satunya penetapan kawasan, pelepasan dan evaluasi kehutanan, termasuk melakukan penertiban dan penataan pemegang pelepasan kawasan hutan. Kewenangan tersebut dilakukan dengan asas tanggung jawab negara,” terang Totok Dwi Diantoro.
Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh PT MJR dan PT KCP tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan. Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan. Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan, diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed. [1]
“Proses dan mekanisme pelepasan kawasan hutan yang selama ini dilakukan KLHK ini merupakan hal yang paling penting untuk ditegaskan dan diselesaikan. Kasus ini membuktikan bahwa mekanisme penetapan dan pelepasan kawasan hutan menjadi landasan dalam kepastian hukum bagi banyak pihak. Selain itu, Ahli menegaskan bahwa mekanisme yang dilakukan oleh KLHK ini bukan merupakan bagian Pencabutan, melainkan evaluasi sehingga perlu tindaklanjut yang jelas dan konkret.” ucap Bimantara Adjie, perwakilan Perkumpulan HuMa.
“Penertiban yang dilakukan KLHK ini penting untuk memproteksi hutan dari pemegang izin yang tidak punya itikad baik dalam mengelola hutan, yang harusnya hak atas hutan tersebut dikembalikan ke masyarakat adat khususnya suku Awyu sebagai pemilik wilayah adat yang merupakan ruang hidup dan warisan secara turun temurun dari leluhur mereka. Sudah rahasia umum bahwasannya hutan papua adalah benteng terakhir yang menjadi penopang dari terjadinya krisis iklim bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga krisis iklim Dunia yang semakin hari semakin parah, maka hutan tersebut harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya” terang Fatiatulo Lazira, S.H. Koordinator PPMAN Region Jawa sekaligus kuasa hukum Suku Awyu.
Persidangan selanjutnya diadakan pada 8 Agustus 2023 dengan agenda mendengar saksi ahli dari Tergugat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia
Kontak Media:
Hero Aprilia, PPMAN, +62 852-6336-5091
Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Bimantara Adjie, Perkumpulan HuMa , +62821-3638-6740
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
[1] Lihat rincian lebih lanjut termasuk tautan ke pernyataan HSA tentang isu ini pada halaman 82-85 dari laporan Hitung Mundur Terakhir yang diterbitkan Greenpeace International.
Saksi dari Perusahaan Menyebutkan Suku Awyu Tidak Boleh Menjual Tanah Adat
Jakarta, 19 Juli 2023. Perjalanan Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu di PTUN Jakarta kini telah sampai dalam sesi pembuktian lanjutan dengan agenda mendengarkan saksi fakta dan saksi ahli dari pihak Penggugat (PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama) dan Penggugat Intervensi ( Koperasi Yefioho Dohona Ahawang). Setelah mereka diterima Hakim sebagai tergugat intervensi dalam gugatan korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Dalam Adat Suku Awyu tidak boleh menjual tanah,” ungkap Bernadus Tagio Yame, saksi fakta yang dihadirkan oleh Penggugat Intervensi. Lebih lanjut dalam keterangannya Bernadus juga menyampaikan bahwa selama ini perusahaan hanya membayar kompensasi kayu atas pohon yang telah mereka tebang. Sementara dirinya tidak tahu berapa luasan sawit yang sudah ditanamnya dan hingga sekarang masyarakat belum mendapatkan bagi hasil atas plasma yang dijanjikan oleh Perusahaan lewat Koperasi Produsen Yefioho Dohona Ahawang.
Selain itu, Pihak Penggugat juga menghadirkan saksi ahli yakni Achmad Faisal Siregar, selaku ahli High Carbon Value (HCV). Saksi Ahli tersebut menyebutkan bahwa penilaian HCV harus dilaksanakan di seluruh cakupan wilayah konsesi Perusahaan kecuali wilayah tersebut tidak bisa diakses. Sehingga tidak diperbolehkan hanya dilakukan di sepan-sepadan sungai saja. Selanjutnya hasil dari penilaian HCV ini seharusnya digunakan perusahaan untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai karbon tinggi di wilayah konsesinya bukan malah menghancurkan area tersebut.
Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh PT MJR dan PT KCP tersebut, tapi ada 65.415 hektare hutan hujan yang masih bisa diselamatkan. Greenpeace International menggunakan metodologi shining light on the shadows untuk menelusuri PT MJR dan PT KCP. Ini adalah sebuah metodologi untuk mengungkap struktur dan hubungan korporasi dengan grup-grup perusahaan. Lewat metodologi itu, ditemukan cukup bukti bahwa PT MJR dan PT KCP, yang konsesinya berdampingan, diduga pernah terkait dan mungkin masih terkait ke Hayel Saeed Anam Group dan para penerima manfaatnya–anggota keluarga Hayel Saeed. 1
“Jika dalam hukum adat masyarakat tidak boleh menjual tanah, lantas bagaimana perusahaan bisa mendapatkan tanah tersebut? Seharusnya ada proses persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan untuk melindungi Hak masyarakat adat, pertanyaannya apakah ini sudah dilakukan? ” terang Tigor Hutapea, kuasa hukum Suku Awyu.
Kontak Media:
Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880
Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684
Hero Aprilia, PPMAN, +62 852-6336-5091
Organisasi Lingkungan Menjadi Pengungat Intervensi Atas Gugatan Lingkungan yang Dilakukan Masyarakat Adat Papua
Jakarta, 17 Mei 2023. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hari ini mengajukan gugatan intervensi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura dalam perkara Hendrikus Woro melawan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, atas terbitnya Surat Keputusan Kepala DPMPTSP Nomor 82 Tahun 2021 Tanggal 2 November 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan Kapasitas 98 Ton TBS/Jam seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
Kedua organisasi ini memiliki kepentingan di pengadilan untuk membela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup di Papua. Pemberiaan izin-izin kepada perusahaan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan mengkonversi kawasan hutan Papua dalam skala luas telah melanggar hak masyarakat adat dan tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.
Penerbitan objek gugatan menunjukkan belum adanya rasa keadilan, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi.
Wilayah yang ditetapkan menjadi konsesi PT Indo Asiana Lestari, merupakan Ekosistem Hutan Adat Awyu Woro memiliki peran penting terhadap peradaban masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan. Keberadaan hutan ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal di dua belas kampung, yaitu kampung Bangun (Yare), Kampung Kowo, Kampung Kowo Dua, Kampung Afu, Kampung Hello, Kampung Kaime, Kampung Memes, Kampung Piyes, Kampung Watemu, Kampung Obinangge, Kampung Uji Kia, Kampung Metto. Hutan dan aliran sungai juga menjadi ruang produksi untuk berburu / memancing ikan, menangkap buaya, dan meramu sumber pangan.
Hal yang paling mendasar adalah secara filosofi dan pandangan masyarakat adat Papua, konsep tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya memiliki kedudukan dan posisi yang penting yang mempengaruhi gerak hidup komunitas masyarakat adat. Tanah diyakini sebagai harapan bersama, dan tanah sebagai relasi iman. Konsep ini amatlah penting dan merupakan sebuah landasan kehidupan bagi masyarakat adat Papua. Tanah sebagai harapan bersama. Artinya, tanah bagi masyarakat adat Papua adalah sebuah harta yang abadi dan terakhir. Tanah mengandung nilai-nilai yang transendental yang absolut. Di dalamnya juga terkandung kemuliaan dan keagungan yang memberi arti, makna, manfaat, ataupun tujuan hidup yang baik dan benar bagi masyarakat adat Papua.
Sementara mengenai konsep tanah sebagai harapan hidup berkaitan erat dengan harapan hidup masyarakat asli Papua. Masyarakat adat tidak bisa hidup tanpa tanah. Masyarakat adat hidup, bekerja dan tinggal di atas tanah. Tanah menciptakan dan melahirkan orang asli Papua sebagai manusia sejati. Oleh karenanya, tanah juga dianggap sebagai Mama sejati, karena masyarakat adat hidup dan dibesarkan oleh tanah milik mereka.
Pengambilan wilayah adat secara sepihak sama artinya dengan mengambil seluruh kehidupan mereka. Sehingga sudah seharusnya Majelis Hakim dapat membuat keputusan yang memihak kepada masyarakat adat Papua dengan mengabulkan secara keseluruhan apa yang menjadi tuntutan masyarakat.
Dalam persidangan E-Court yang telah berlangsung majelis hakim telah menerima gugatan intervensi kedua organisasi, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda jawaban dari Pihak Tergugat Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan pihak Tergugat Intervensi PT Indo Asiana Lestari.
Narahubung :
Uli Arta Siagian (Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional): +62 821-8261-9212
Tigor Hutapea ( Staff Advokasi Yayasan PUSAKA): +62 812-8729-6684