Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengumumkan dan menaikkan status operasi TNI di Papua dari pendekatan lunak (soft approach) dan pendekatan hukum menjadi siaga tempur. (18 April 2023). Peningkatan status ini disampaikan menyusul peristiwa serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terhadap prajurit TNI yang menggelar operasi di Mugi, Nduga, yang menewaskan satu orang prajurit TNI. Situasi keamanan dan konflik bersenjata di Papua memanas dan mengkhawatirkan.
Sejak Maret 2023, gabungan aparat TNI Polri dalam Satgas Damai Cartenz diketahui melakukan operasi pencarian dan pembebasan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mark Marthens, yang disandera kelompok pro kemerdekaan pimpinan Egianus Kogoya pada Februari 2023. Operasi meluas dari wilayah Nduga ke daerah Lanny Jaya, Yahukimo dan Puncak. Negosiasi damai belum dapat diwujudkan.
Terjadi peningkatan operasi militer dan kontak senjata khususnya didaerah konflik bersenjata, seperti Nduga, Intan Jaya, dan sekitarnya. Pengiriman pasukan TNI ke Papua turut meningkat. Pada akhir Maret 2023, Panglima TNI mengirimkan 950 prajurit TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Indonesia – Papua Nugini.[1] Pada awal April 2023, Pangdam XVII Kasuari Papua Barat Mayjen TNI Gabriel Lema memimpin upacara penerimaan 1.200 personil anggota TNI yang dikirim dari Yonif 133/YS dan Yonif 623/BWU, di lapangan upacara Yonif 762/VYS Sorong Papua Barat Daya. Para prajurit ini kemudian di ditempatkan ke sejumlah kampung di Maybrat, Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten lainnya di Papua Barat Daya.
Berdasarkan dokumentasi Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) memperkirakan ada 9.205 personel TNI dan Polri yang dikirimkan ke Provinsi Papua dan Papua Barat sepanjang Januari – Desember 2022.[2]
Menurut KontraS Papua dalam siaran pers (14 April 2023), konflik bersenjata antara TPNPB dengan TNI Polri menimbulkan ketidakamanan dan berdampak pada kehidupan warga sipil di Intan Jaya, seperti informasi pembakaran rumah warga dan ada warga yang diduga hilang, satu korban jiwa.
Pendekatan keamanan berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua. Pandangan ini disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melalui siaran pers (17 April 2023).
“Kami memandang evaluasi pendekatan keamanan militeristik harus dimulai segera dengan upaya penataan ulang terhadap gelar kekuatan pasukan TNI. Ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang semakin tidak proporsional seiring dengan terus dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua”, jelas Michael Himan, anggota koalisi dari #PapuaItuKita.
Dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua juga memiliki banyak persoalan dan dipandang tidak sejalan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk dalam hal ini penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau dalam hal ini keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI. Berdasarkan penelusuran Imparsial, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal.
Di Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya, Aliansi Masyarakat Maybrat Peduli Kenyamanan melakukan aksi demonstrasi damai melakukan protes penempatan dan penambahan pasukan TNI di kampung yang berada di Distrik Aifat Utara dan Distrik Aifat, Maybrat (17 April 2023). Aksi protes warga Maybrat ini dilakukan di Kantor Bupati Maybrat, Kota Kumurkek.
Para demonstran menyatakan bahwa kampung mereka bukan wilayah perang, juga bukan merupakan wilayah konflik bersenjata. Selama ini kampung mereka aman saja. Namun penempatan anggota TNI di kampung membuat warga cemas, trauma, tidak nyaman dan ketakutan, mereka takut dengan kehadiran TNI ini akan menciptakan kekerasan terhadap warga kampung dan berpotensi mendatangkan konflik baru. Mereka berkeberatan atas kehadiran militer.
Kapolda Papua, Irjen Mathius D. Fakhiri, berdalil pihak kepolisian tetap menjalankan penegakan hukum bersama pemda setempat, akibat makin maraknya gangguan keamanan. Sebelum melakukan penegakan akan meminta masyarakat warga di wilayah KKB Papua untuk sementara waktu diminta mengungsi ke ibu kota provinsi (28 April).[3]
Situasi kemanusiaan yang ditimbulkan dari operasi militer dan konflik bersenjata, kekerasan, penangkapan dan penyiksaan, jumlah pengungsi yang semakin meningkat di Papua, mendapat sorotan pemimpin agama di Tanah Papua.
Sudah tentu situasi (konflik, red) dewasa ini adalah ‘buatan manusia’, bukan suatu musibah alami. Orang menciptakannya! Sudah tentu kami mengutuk segala bentuk kekerasan serta pembunuhan oleh pihak mana saja, entah TPNPB-OPM, entah TNI, entah Polri, entah siapa. Bagaimana mungkin segala macam hak-hak dasar para warga Papua begitu saja dibatasi sampai ditiadakan, sampai dapat dibunuh? Apalagi makin banyak orang yang tak berdosa, warga sipil, menjadi korban dalam situasi yang diciptakan. Tulis para pemimpin gereja dalam Surat Pernyataan (24 April 2023).
Kebenaran sangat penting untuk ditetapkan bersama, karena menjadi kunci menuju perdamaian. Kebenaran Harga Damai. Karena itu juga kami berpendapat bahwa situasi di Papua hanya dapat diatasi kalau kita semua bersedia duduk bersama dan secara jujur menganalisa akar-akar konflik yang sebenarnya. Singkirkan segala retorika dan ideologi politik, dan terbukalah untuk melihat situasi serta latarbelakangnya secara jernih dan jujur.
Pernyataan Sikap Pemimpin Gereja di Tanah Papua dari Gereja Katolik, Gereja Kristen Injili, Gereja Baptis, Gereja Kingmi dan Gereja GIDI, ditujukan kepada Presiden RI dan Pejabat Pemerintah RI, meminta untuk dilakukan evaluasi keamanan dan upaya penghentian kekerasan di Papua melalui Dialog Damai Bermartabat.
Para pemimpin gereja meminta Presiden dan Pejabat yang berkehendak baik untuk mengubah pendekatan penyelesaian konflik dan meminta adanya pemulihan kembali segala hak dasar konstitusional. Pemulihan ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan medan yang lebih sesuai untuk memasuki suatu dialog yang lebih terarah dan jujur mengenai akar-akar konflik di Papua dan cara penyelesaiannya. Memohon kesediaan Presiden untuk memberikan mandat resmi kepada suatu kelompok kerja untuk memprakarsai ‘dialog perdamaian’ dengan Papua; melakukan ‘Jeda Kemanusiaan’, atau pemberhentian segala bentuk kekerasan dari pihak TPNPB-OPM maupun TNI-Polri ; secara khusus berhubungan dengan soal penyanderaan, kami menyarankan supaya proses negosiasi dijalankan oleh pihak gereja-gereja, dan segala pasukan di sekitar lokasi penahanan pilot ditarik masuk markas.
Selengkapnya Surat Pernyataan baca disini: Pernyataan Sikap Pemimpin Gereja Tanah Papua – 24 April 2023
Ank, Mei 2023
[1] https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/03/24/850-prajurit-diberangkatkan-ke-papua
[2] https://jubi.id/tanah-papua/2023/aldp-sepanjang-2022-sedikitnya-ada-9-205-personel-tni-polri-dikirim-ke-papua-dan-papua-barat/
[3] https://news.republika.co.id/berita/rttvrh377/operasi-penegakkan-hukum-digelar-warga-di-wilayah-kkb-papua-diminta-mengungsi