Perempuan Adat Sorong Selatan: Meminta Pemerintah Melindungi dan Menghormati Hak Perempuan Adat Papua

Saya pernah dalam satu kesempatan cerita dengan om saya dan dia bilang, perempuan hanya sebatas kasih anak dan kerja bantu orang tua. Ini sudah jadi kebiasaan jadi kalau kita ajak adik-adik perempuan di kampung saya untuk sekolah, pasti tidak betah karena pemahaman yang sudah ditanamkan sejak kecil”

Narasi singkat di atas diungkapkan Iren Thesia, aktivis pemuda, salah satu peserta Lokakarya dan Pelatihan Penguatan Kapasitas Perempuan Adat dalam Permasalahan HAM dan Lingkungan di Sorong Selatan, yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, pada 15 – 17 November 2021.

Perempuan Adat di Papua dan khususnya di Sorong Selatan, tidak memiliki banyak kesempatan dan hakmengembangkan diri, berekspresi dan menentukan dalam kehidupan sosial ekonomi, sosial  budaya dan politik, yang diselenggarakan negara maupun kelembagaan adat. Ada sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan adat di Sorong Selatan. Permasalahan dan beban yang dialami Perempuan Adat semakin bertambah dan beragam dengan kehadiran perusahaan yang melakukan investasi dan eksploitasi di wilayah adat mereka.

Hal ini disuarakan Perempuan Adat puluhan peserta pelatihan yang berasal dari beberapa kampung dari Distrik Konda, Distrik Saifi, Distrik Moswaren, Distrik Kais Darat, Distrik Kais Pantai dan Distrik Teminabuan, KabupatenSorong Selatan. Komunitas di wilayah tersebut telah dan sedang berhadapan dengan korporasi usaha perkebunan kelapa sawit dan pengolahan sagu yang mengancam kerusakan lingkungan dan ruang hidup.

Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat, Kampung Ikana, Distrik Kais Darat, menceritakan danmenggambarkan identitas budaya marga Baho terancam punah. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan bermanfaat untuk makanan dan noken, selain itu  Pohon Ganemo merupakan salah satu pohon penting dalam budaya marga Baho.

“Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon genemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak”, ungkap Matelda Baho.

Budaya dan kekayaan pengetahuan identitas masyarakat adat, seperti tanaman obat, ramuan ritual adat, kesenian tradisi, resep makanan dan minuman asli, yang berasal dari hutan, dirawat, dikelola dan dikembangkan turun temurun oleh Perempuan Adat di kampung. Perusahaan datang menggusur kekayaan pengetahuan dan kehidupan ini.

“Saya kecewa”, geram dalam Matelda Baho

Melalui “Jam Kehidupan”, mereka mengeskpresikan dan menceritakan aktivitas sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat. Mereka menunjukan para perempuan punya pekerjaan yang lebih banyak di kebun maupun di kantor. Perempuan Adat yang mengolah tanah menjadi sumber pangan untuk kehidupan di dalam rumah. Tapi para perempuan adat secara kultural tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah, mereka hanya memiliki hak untuk pengelolaan.

Melalui “Peta Kampung”, mereka menggambarkan dan menunjukkan situasi hutan adat beserta sumber-sumber kehidupan. Perempuan Adat dari Distrik Kais Darat menggambarkan peta kampung, dimulai dari jalan induk, pasar, hingga perkebunan kelapa sawit dan dusun sagu, serta kebun masyarakat. Mereka mendaftarkan berbagai masalah, mulai dari akses jalan dari kampung ke kota yang rusak dan sangat mahal. Keberadaan perkebunan kelapa sawit yang menimbulkan banyak masalah dalam masyarakat.

“Kami mengajak semua untuk tidak kasih tanah ke perusahaan kelapa sawit atau manapun. Mari pertahankan kita pu tanah. Jangan ikut kami yang sudah habis ini”, ungkap Kelompok Perempuan Adat dari Distrik Kais Darat

Peserta berharap pemerintah mengakui, melindungi dan menghormati hak-hak Perempuan Adat. Peserta menyepakati dan meminta pemerintah Sorong Selatan dan DPRD Kabupaten Sorong Selatan, untuk melibatkan perempuan adat dalam RAPERDA Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat dan Ranperda Miras di Sorong Selatan; meminta pemerintah membangun Pasar Khusus Mama Mama Papua; meminta pemerintah membuat Sekretariat Bersama Perempuan Adat dan Tempat Khusus untuk membicarakan dan menangani persoalan KDRT; mengembangkan kapasitas  Perempuan Adat melalui pelatihan paralegal dan pemberdayaan Perempuan Adat.

Natalia Yewen, Nov 2021

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy