Saat operasi Trikora tahun 1962, Kepulauan Aru menjadi lokasi sasaran tantara Indonesia untuk memobilitasi pasukannya ke wilayah Papua. Sejak saat itu, wilayah di Kepulauan Aru dianggap menjadi area operasi militer untuk pertahanan keamanan negara. Tahun 1991, aparat TNI datang ke Desa Marafenfen, salah satu desa di Kepulauan Aru, untuk membangun fasilitas militer, bandara TNI AL dan fasilitas lainya.
Masalah muncul, pihak TNI AL mengklaim tanah seluas 689 hektar dan memasang patok diatas tanah adat masyarakat setempat. Masyarakat adat tidak memberikan tanah adat warisan leluhur dan menolak klaim TNI AL.
Masyarakat mengkritisi kehadiran aktifitas apparat TNI AL menganggu kehidupan masyarakat, misalnya kegiatan berburu hewan yang menggunakan senjata dan massif. Sedangkan masyarakat berburu dengan cara tradisional berdasarkan tradisi Tordauk, mereka tersisih dan hewan liar semakin langka. Aparat TNI juga diduga terlibat dalam memperlancar kepentingan investasi dan industri keruk di Kepulauan Aru. Seperti halnya yang terjadi pada rencana perusahaan perkebunan Menara Group pada tahun 2012 dan Jhonlin Group pada tahun 2017.
Sejak 1992 hingga kini, masyarakat aktif berjuang mendapatkan kepastian hak atas tanah, mereka bertemu petinggi TNI AL di Jakarta, bertemu Komnas HAM, Badan Pertanahan Nasional, pemerintah daerah dan sebagainya.
Langkah-langkah kooperatif dilalui, selanjutnya masyarakat adat Marafenfen membawa kasus ini pada proses hukum, menggugat secara perdata perbuatan melawan hukum (karena penyerobotan lahan (objek tanah seluas 689 ha) yang dilakukan oleh pihak TNI AL di Pengadilan Negeri Dobo, pada 31 Maret 2021. Adapun pihak tergugat antara lain Gubernur Maluku, TNI AL dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Fakta persidangan terungkap proses pelepasan hak dilakukan secara melawan hukum, dilakukan dengan cara memanipulasi hasil musyawarah yang ditandatangani oleh orang-orang fiktif atau orang-orang yang tidak cakap hukum. Selain itu ganti rugi/kompensasi terhadap tanah masyarakat adat dilakukan secara manipulatif.
Majelis Hakim PN Dobo menolak gugatan masyarakat adat yang memperkarakan perampasan tanah adat. Majelis Hakim PN Dobo mengabaikan fakta persidangan dan memutuskan perkara hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.
Koalisi masyarakat sipil Save Marafenfen melalui Siaran Pers (19/11/2021) menyesalkan Putusan Hakim. Keadilan yang sejatinya untuk masyarakat adat justeru dibunuh oleh argumentasi Majels Hakim yang hanya mengejar kebenaran formal semata. Hakim tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat Marafenfen.
Putusan Hakim tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945, Putusan MK 35 dan instrument hukum internasional. Putusan tersebut menambah panjang konflik agraria.
Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil Save Marafenfen: Kronologis Kasus Masyarakat Adat Marfefen, Kepulauan Aru
Lara dan mengecewakan. Putusan hakim ini menimbulkan reaksi aksi protes di luar pengadilan, massa amuk dan marah. Polres Dobo melepaskan water canon dan tembakan senjata untuk membubarkan ratusan massa aksi. Masyarakat dan Orang Tua Adat melakukan ritual sasi adat atau penyegelan secara adat di Kantor PN Dobo, Bandara Udara, Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Pelabuhan Laut Dobo.
Ank, Nov 2021