Pertemuan Masyarakat Adat di Boven Digoel

Meminta Pemerintah Wajib Menghormati dan Memenuhi Hak Masyarakat Adat

Perwakilan masyarakat adat korban kebijakan pembangunan dan Pembela HAM Lingkungan di Kabupaten Boven Digoel, mengadakan pertemuan dan berdiskusi saling bertukar informasi mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah dan hak-hak masyarakat adat di Tanah Merah, pada 30 – 31 Agustus 2022. Peserta dari Distrik Jair, Subur, Ki, Mandobo dan Fofi, menyoroti kebijakan pembangunan pemerintah yang merampas pangan, tanah dan hutan adat masyarakat, merefleksikan upaya advokasi yang telah dilakukan.

Peserta menilai pemerintah belum ada tindakan perubahan untuk menghentikan rencana dan ekspansi usaha perkebunan kelapa sawit. Hendrikus Woro,  masyarakat adat suku Awyu menyampaikan kekecewaannya atas putusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, yang telah menerbitkan Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pengolahan Kelapa Sawit PT Indoasiana Lestari seluas 36.096,4 HA, tanpa melibatkan masyarakat adat setempat.

“kami merasa tidak diakui sebagai pemilik tanah adat, sejak awal saya telah menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit. Pemerintah secara sewenang-wenang terbitkan izin, saya berencana akan menggugat “ Ujar Hendrikus Woro

Masalah lain dihadapi masyarakat adat Suku Muyu yang terancam pembangunan Bendungan Digul dan PLTA di areal Kali Muyu, Distrik Ninati. Tahun 2018 masyarakat telah berhasil menolak pembangunan bendungan Kao di Kali Kao. Pemerintah pusat memindahkan proyek Bendungan Kali Kao ini ke aliran sungai Muyu, yang akan menggenangi ribuan hektar hutan adat. Ada banyak lokasi sakral dan situs budaya masyarakat adat terancam hilang yang mempengaruhi kehidupan sosial budaya dan kehilangan jati diri suku Muyu. Proyek ini sangat mendapat pendanaan dari Asian Development Bank (ADB). Masyarakat menilai proyek energi ini diduga hanya akan dinikmati perusahaan perkebunan kelapa sawit, karena lokasi berdekatan dengan wilayah perkebunan.

Apa yang dialami Hendrikus Woro dan masyarakat adat suku Muyu adalah gambaran kondisi umum investasi yang mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat.  Ini juga tergambar  kebijakan pemerintah daerah melalui perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Boven Digoel yang masih mengakomodir pembangunan perkebunan kelapa sawit dan agroforestry dalam skala luas. Peserta menilai pemerintah memilih mengambil jalan pintas untuk pendapatan daerah dengan memfasilitasi investasi usaha lahan dan hutan skala luas, dibandingkan mengakui dan menghormati hak masyarakat adat, melindungi wilayah adat dan mendorong pembangunan ekonomi rakyat di kampung-kampung.

Lukas Kemon masyarakat adat suku Awyu dari Kampung Meto, Distrik Ki, mengeluhkan kehidupan masyarakat  adat di Kampung Meto. yang diabaikan pemerintah. Seperti kegiatan pendidikan sudah tidak berjalan sejak tahun 2018, sekolah kosong, guru baru datang bila ada jadwal ujian sekolah. Pemanfaatan dana kampung dikeluhkan karena hanya digunakan untuk program sekali pakai, seharusnya ada alokasi dana untuk membantu perkembangan ekonomi rakyat seperti gaharu, daging olahan, minyak kelapa, karet, tanaman pangan, sehingga perputaran ekonomi terjadi.

“Sekolah dikampung tutup maka kami sekolahkan anak jauh, jadi kami pikir biaya pendidikan  sangat besar. Biaya besar tapi pemerintah tidak pikir dan bagaimana ekonomi rakyat berjalan, akhirnya warga jual tanah” Lukas Kemon

Seluruh peserta bersepakat bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit, bendungan PLTA, dan rencana food estate akan menghancurkan kedaulatan pangan, ekonomi rakyat, budaya dan ruang kehidupan masyarakat adat. Perkebunan kelapa sawit yang telah ada, tidak memberikan dampak apapun bagi masyarakat dan justru membuat masyarakat adat semakin miskin.

Dalam pertemuan ini peserta menyampaikan rekomendasi untuk pemerintah daerah  :

  1. Pemerintah wajib menghormati keputusan masyarakat adat sebagai pemilik tanah adat yang menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit, pembangunan bendungan Muyu, pembangunan proyek food estate dan pembangunan lainnya yang menghilangkan tanah, hutan dan sumber kehidupan masyarakat adat ;
  2. Pemerintah memprioritasikan perlindungan dan mengembangkan perekonomian rakyat yang telah tumbuh berkembang di kampung-kampung berdasarkan pengetahuan masyarakat adat ;
  3. Pemerintah berhenti memfasilitasi kehadiran perusahaan-perusahan yang menghilangkan tanah, hutan adat dan pangan lokal masyarakat adat ;
  4. Pemerintah wajib memprioritaskan kebijakan-kebijakan terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat diseluruh wilayah kabupaten Boven Digoel ;
  5. Pemerintah wajib memberikan seluruh infomasi setiap proses pembangunan sejak awal, setiap pembangunan harus menghormati keputusan masyarakat adat dan tidak menghilangkan hak-hak masyarakat adat ;
  6. Pemerintah memberikan sanksi dan pencabutan izin seluruh perusahaan yang melanggar hak masyarakat adat dan melanggar hukum :
  7. Pemerintah mengkaji ulang rencana RTRW Kabupaten Boven Digoel yang memberikan ruang untuk perkebunan kelapa sawit skala besar dengan merubah kebijakan tersebut menjadi hutan lindung adat.
  8. Pemerintah daerah melakukan penataan pemamfaatan dana kampung yang wajib dialokasikan untuk Pendidikan, khususnya honor guru tutor, Kesehatan, BUMDes dan pemetaan wilayah adat agar terwujud kemandirian kampung.
  9. Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap keberadaan guru-guru PNS tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung dan memberikansanksi atas pelanggaran.
  10. Pemerintah daerah memasukan kurikulum Pendidikan adat kedalam Pendidikan sekolah.

#JagaTanah #JagaHutan

Tanah merah, 30 -31 Agustus 2022

TGH, Sept 2022

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy