Praktik Monopoli dan Deforestasi di Kabupaten Teluk Bintuni

Reinvestasi laba merupakan salah satu strategi dan praktik pemilik modal untuk meraup laba besar dengan cara menggandakan labanya kembali melalui usaha memperbesar dan memperluas investasi proyek-proyek baru. Di Tanah Papua, praktik reinvestasi laba dilakukan perusahaan-perusahaan ekstraktif dalam usaha pembalakan kayu, perkebunan dan pertambangan. Perluasan dan pembesaran laba dilakukan dengan membeli saham dan mengambilalih (akuisisi), dan mengkonsolidasikan perusahaan dalam perusahaan payung atau group perusahaan, dengan berbagai nama lokal dan branding berkelanjutan.

Perusahaan kelapa sawit PT Subur Karunia Raya (SKR) yang berlokasi di Distrik Moskona dan Meyado, Kab. Teluk Bintuni, merupakan salah satu bagian dari perusahaan Indo Gunta Group, yang diduga berhubungan dan atau nama lain dari Salim / Indofood Group, yang dikendalikan dan dimiliki keluarga Anthoni Salim, salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Perusahaan Indo Gunta Group mempraktikkan reinvestasi laba dengan mengakuisisi saham perusahaan.

Berdasarkan data Ditjen AHU (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, teridentifikasi pada tahun 2012 pemilik saham dan pengurus PT SKR berubah dan beralih sahamnya kepada perusahaan PT Mulia Abadi Lestari, pemilik saham dominan. Pemilik saham PT Mulia Abadi Lestari masih berhubungan dengan pemilik saham dan pengurus perusahaan-perusahaan lain yang terkait  juga dengan Indo Gunta Group.

Pemilik saham dan pengurus perusahaan Indo Gunta ini juga mengakuisisi dan menguasai sekitar 6 (enam) perusahaan perkebunan di Tanah Papua dengan menggunakan nama-nama baru  dengan branding lokal dan populis, yakni PT Bintuni Agro Prima Perkasa yang berlokasi di Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, dengan luas lahan 19.369 hektar, diakuisisi pada tahun 2014 ; PT Menara Wasior yang berlokasi di Distrik Naikere, Kabupaten Teluk Wondama, dengan luas lahan 32.173 hektar, diakuisisi pada tahun  2014 ; PT Rimbun Sawit Papua yang berlokasi di Distrik Bomberai, Kabupaten Fakfak, dengan luas lahan 24.455 hektar, diakuisisi pada tahun 2015 ; PT Tunas Agung Sejahtera yang berlokasi di Distrik Mimika, Kabupaten Mimika, dengan luas lahan 40.000 hektar, diakuisisi pada tahun 2017 ; PT Adijaya Mulia yang berlokasi di Distrik Baruway, Kabupaten Kaimana, dengan luas lahan 8.000 hektar, diakuisisi pada tahun 2017 ; PT Permata Nusa Mandiri yang berlokasi di Distrik Unurum Guay, Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, dengan luas lahan 32.000 hektar,diakuisisi pada tahun 2017. Total luas lahan dan kawasan hutan yang dikuasai 7 (tujuh) perusahaan ini di Tanah Papua seluas 164.417 hektar.

Praktik penguasaan pemilikan saham dan rangkap jabatan pengurus, serta penguasaan tanah skala luas pada sejumlah perusahaan tersebut diatas patut diduga telah melakukan praktik monopoli. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pengertian Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Keberadaan kepemilikan saham dan pengurus, serta aktifitas PT SKR dan perusahaan lain yang saling berkaitan satu sama lain dengan enam perusahaan lainnya, berpotensial melanggar  ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 17 yang melarang praktik monopoli, dan Pasal 26 yang melarang jabatan rangkap seseorang sebagai direksi atau komisaris untuk suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan merangkap direksi atau komisaris perusahaan lain, terhadap perusahaan yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama, mempunyai keterkaitan erat dalam bidang atau jenis usaha, atau secara bersama dapat menguasai pasar barang dan jasa tertentu. Demikian pula Pasal 27 terkait pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis untuk melakukan kegiatan dalam bidang yang sama.

Lembaga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang diberikan kewenangan untuk pengawasan dan penegakan hukum seharusnya segera bertindak atas dugaan pelanggaran PT SKR dan enam perusahaan lainnya.

Ancaman Deforestasi Meluas
Tahun 2018, perusahaan PT SKR bersama perusahaan pemilik izin pemanfaatan kayu PT Agro Papua Inti Utama (APIU) melakukan pembabatan hutan di daerah Distrik Meyado dan Moskona Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni. Daerah yang dibabat disebut oleh perusahaan sebagai Barma Estate.  Sekitar 616 hektar kawasan hutan berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan informasi Perkumpulan Panah Papua (2018), kawasan hutan yang dibabat habis sebagian besar merupakan tempat penting, yakni kawasan resapan air seluas 399 hektar dan kawasan bergambut seluas 96 hektar. Perusahaan terindikasi melanggar kebijakan Perda Nomor 4 Tahun 2012 tentang  RTRW Kabupaten Teluk Bintuni terkait perlindungan kawasan lindung. Namun belum ada informasi dan tanggapan otoritas setempat terkait dengan permasalahan hukum dan penegakan hukum.
Dalam Siaran Pers Perkumpulan Panah Papua (18/12/2021) dilaporkan bahwa pada November 2021, perusahaan PT APIU kembali melakukan pembabatan kawasan hutan untuk perluasan usaha perkebunan. Kayu-kayu produksi hasil pembabatan hutan ditumpuk untuk dipasarkan, meskipun belum ada kejelasan dokumen legalitas kayu.

Warga Kampung Jagiro, Distrik Moskona Selatan, yang berada disekitar areal perusahaan dan pemilik tanah adat, mereka mengeluhkan Surat Keputusan Kepala BPN Provinsi Papua Barat Nomor 1/SKHGU/BPN-92/IX/2021 Tanggal 17 September 2021 tentang pemberian Hak Guna Usaha  (HGU) dan status HGU atas tanah adat yang dimiliki masyarakat adat.

Masyarakat merasa perusahaan dan pemerintah belum pernah bermusyawarah dan bersepakat tentang pengukuran tanah dan pemberian HGU diatas tanah adat milik masyarakat. Pemberian HGU dalam waktu 95 tahun dan tanpa ada kejelasan kesepakatan manfaat dan penanganan resiko, akan berdampak merugikan masyarakat adat setempat dan lingkungan.

“Perolehan HGU perusahaan sawit tersebut tidak dapat terima karena dianggap menipu masyarakat. Perusahaan PT SKR dan BPN Cabang Bintuni pernah datang di kampung dan menyampaikan bahwa akan melakukan pengukuran tanah masyarakat dan berjanji akan memberikan sertifikat kepada masyarakat dalam rangka pembangunan Kebun Plasma. Sejauh pengetahuan saya bahwa sertifikat ini untuk masyarakat, tapi sampai saat ini masyarakat belum melihat dan pegang sertifikat yang dijanjikan itu. Namun dengar kabar ternyata seritifikat HGU perusahaan malah sudah terbit”, kata Arnoldus Yerkohok, Pemuda Adat dari Kampung Jagiro.

Ketua Perkumpulan Panah Papua, Sulfianto Alias, mengatakan “Saya menduga penerbitan SK HGU ini tanpa melalui proses PADIATAPA secara baik dan berpotensi menimbulkan konflik”, jelas Sulfianto.

Semestinya pemegang izin dan pemerintah harus membuka secara luas tujuan dan proses perolehan lahan menurut aturan yang berlaku sehingga masyarakat harus benar-benar paham tentang tujuan pengurusan HGU perusahaan, dan perusahaan wajib menyampaikan keuntungan maupun kerugian dari surat keputusan tentang HGU.

“Kami juga meminta pemerintah daerah Teluk Bintuni untuk melakukan peninjauan kembali terhadap izin perkebunan sawit yang saat ini sedang beroperasi karena menimbulkan banyak masalah” tuntut Sulfianto.

Ank, Des 2021

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy