Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam Kehutanan penting untuk diperhatikan, terutama konteks Papua yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan memastikan DBH Kehutanan berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat adat Papua.
Anggota DPD RI, Dr. Filep Wamafma, S.H., M.Hum., mengatakan regulasi baik dalam sekala nasional maupun lokal telah menegaskan perihal pengelolaan DBH Kehutanan bagi daerah penghasil dan peruntukannya secara terperinci.
“Kita lihat regulasi nasionalnya, ada dalam Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lalu regulasi itu juga didukung dalam skala lokal yakni dengan adanya Otsus,” ujar Filep Wamafma, Sabtu (1/4/2023).
Filep menerangkan, Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa DBH SDA kehutanan bersumber dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi. Kemudian, DBH kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan ditetapkan sebesar 80 persen untuk bagian daerah dan dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 32 persen dan kabupaten/kota penghasil sebesar 48 persen.
Sedangkan, DBH kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80 persen dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 32 persen, kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16 persen, dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen. DBH kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi ditetapkan sebesar 40 persen untuk provinsi penghasil.
“Ketentuan dalam Otsus Papua Barat, Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2021 mengatakan bahwa dana perimbangan dan penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus dari bagi hasil SDA Kehutanan sebesar 80 persen. Sekarang mari kita lihat bagaimana fluktuasi dan dinamika DBH Kehutanan ini, khususnya di Papua Barat,” kata Filep.
Dana Bagi Hasil Kehutanan Papua Barat sejak tahun 2018 silam tercatat sebesar Rp 47,241 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 73,139 miliar, tahun 2021 sebesar Rp 45,736 miliar dan di tahun 2022 sebesar Rp 75,274 miliar. Dana-dana per tahun ini merupakan jumlah keseluruhan dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi.
“Sedangkan, komposisi DBH SDA kehutanan Papua Barat cukup besar bersumber dari DBH dana reboisasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kewenangan kehutanan di kabupaten menjadi kewenangan provinsi. Misalnya pada tahun 2018, DBH dana reboisasi sebesar Rp 34,736 Miliar dan di tahun 2019 sebesar Rp 63,958 Miliar. Jadi ada kenaikan sekitar 84 persen”, kata Filep, yang mempertanyakan alokasi dana tersebut bagi pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan Permenkeu Nomor 216/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi, menyebutkan bahwa DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi provinsi digunakan untuk membiayai kegiatan dengan urutan prioritas sebagai berikut: rehabilitasi di luar kawasan sesuai kewenangan provinsi; rehabilitasi hutan dan lahan sesuai kewenangan provinsi; pembangunan dan pengelolaan Hasil Hutan Kayu, HHBK dan/atau jasa lingkungan dalam kawasan; Pemberdayaan Masyarakat dan Perhutanan Sosial; operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan; pengendalian kebakaran hutan dan lahan; perlindungan dan pengamanan hutan; pengembangan perbenihan tanaman hutan; penyuluhan kehutanan; dan/atau strategis lainnya.
Pelaksanaan kegiatan itu dilakukan dengan mengutamakan pelibatan masyarakat untuk mendukung pemulihan perekonomian di daerah termasuk namun tidak terbatas melalui mekanisme padat karya, bantuan sarana produksi, dan/atau bantuan bibit. Provinsi atau kabupaten/kota dapat menggunakan paling tinggi 10 persen dari DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi atau sisa DBH dana reboisasi Kabupaten/Kota, untuk mendanai kegiatan penunjang yang berhubungan langsung dengan pencapaian keluaran kegiatan.
“Dalam penyusunan rancangan teknis, Pemda dapat berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis KLHK yang membidangi pengelolaan DAS dan rehabilitasi hutan atau lahan setempat untuk menentukan lokasi kegiatan berdasarkan peta lahan kritis, peta kebakaran hutan dan lahan, dan peta penutupan lahan. Gubernur kemudian menyusun laporan realisasi penggunaan DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi untuk kegiatan tersebut tiap semester,” papar Filep.
Filep menambahkan, aturan ini pun sejalan dengan PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang dalam Lampirannya memberikan kewenangan kepada Provinsi dalam hal pengelolaan hasil hutan, rehabilitasi hutan, dan pengelolaan hutan adat.
“Salah satu kewenangannya yang konkret terkait pengelolaan hutan adat yaitu menetapkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat setelah ditetapkannya hutan adat sesuai fungsi kawasan hutan. Ini berarti seharusnya ada sinergi antara pemerintah pusat dan provinsi dalam mengatur pengelolaan DBH Kehutanan bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Oleh sebab itu saya harus bertanya, bagaimana realisasi DBH Hutan ini?” tanya Filep lebih lanjut.
Doktor Hukum Universitas Hasanuddin ini pun berharap agar realisasi DBH Kehutanan ini benar-benar tepat sasaran dan menunjukkan hasil di tengah masyarakat Papua Barat, khususnya untuk pemberdayaan masyarakat adat.
“Hal ini sangat urgent untuk diperhatikan. Selama ini kita hanya fokus pada migas, sementara hutan Papua Barat ini semakin tergerus. Apakah kita hanya diam saja menyaksikan semuanya? Sebagai wakil rakyat, saya juga membawa amanat untuk melestarikan hutan Papua Barat sekaligus mengawal supaya DBH Kehutanan bisa dirasakan oleh masyarakat Papua Barat,” tegas Filep.
Ank, April 2023