Sesat Pikir Hutan“Tidak Produktif”

Hutan Tidak Produktif, kata ini dituliskan dan dimuat dalam beberapa dokumen hukum resmi pemerintah untuk menunjukkan kondisi vegetasi dan tegakan hutan berdasarkan kriteria teknis dan pengetahuan rimbawan, seperti tegakan pohon yang jarang dan kurang, dan ukuran pohon tertentu.

Pengetahuan rimbawan negara ini digunakan pejabat penerbit izin, para konsultan dan operator perusahaan, dengan menuding dan mendikte keberadaan hutan adat sebagai hutan tidak produktif, karenanya harus diubah menjadi produktif melalui usaha komersial, usaha hutan tanaman industri, perkebunan dan budidaya pertanian, untuk meraup cuan.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, sudah turun temurun berdiam di dalam dan sekitar hutan. Mereka menolak pengetahuan rimbawan negara dan perusahaan, yakni dalil hutan tidak produktif dan tanah kosong dijadikan dasar untuk memberikan izin usaha hutan tanaman industri kepada perusahaan PT Merauke Rayon Jaya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pengabaian negara dan korporasi yang  tidak mengakui dan menghormati hak dan pengetahuan masyarakat adat.

Tahun 2021, PUSAKA bersama masyarakat adat Wambon Tekamerop di Kampung Aiwat, Distrik Subur, melakukan penilaian kondisi kawasan hutan berbasiskan pengetahuan adat setempat. Sesat pikir terhadap hutan adat dan pengetahuan masyarakat adat dapat dibantah dengan fakta bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan inovatif dalam mengatur dan memanfaatkan hutan secara berkelanjutan. Kondisi hutan setempat masih tergolong sehat dan masih mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Hutan milik suku Wambon Tekamerop dihuni oleh tetumbuhan sederhana (lumut dan paku-pakuan) hingga tumbuhan berkayu dan menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Hutan tersebut masih dipenuhi dengan berbagai jenis pohon kayu (diameter lebih dari 40 cm) dan non kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, bahan aksesoris budaya dan sebagai bahan bangunan.

Nama tanaman yang sering digunakan masyarakat untuk bangunan rumah, bahan pangan, obat-obatan dan upacara adat, dan makanan hewan liar, yakni: doruk (Damar resak – Vatica rassak), tenot (Genemon – Gnetum gnemon), keydan, mbu, oromun, moron, terah (Rotan – Calamus sp.), jon (Nibung – Oncosperma tigillarium) dan ndu (sagu – Metroxylon sagoo). Masyarakat masih memiliki pengetahuan akan hutannya karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan pengetahuan tersebut tertuang dalam norma adat pengelolaan dan pengamanan hutan adatnya.

Industrialisasi Hutan Alam Skala Luas

Tahun 1998, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/KPTS-II/1998 tanggal 05 Januari 1998 tentang pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp kepada PT Maharani Rayon Jaya (MRJ), yang kemudian berganti nama PT Merauke Rayon Jaya, dengan luas 206.800 hektar, yang secara administratif berada di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.

Izin usaha industri hutan tanaman PT MRJ pernah dicabut oleh Bupati Merauke tahun 2007, Gubernur Papua tahun 2013, dan Menteri Kehutanan tahun 2014. Namun perusahaan menggugat putusan Menteri Kehutanan dan majelis hakim di Mahkamah Agung dalam sidang perkara peninjauan kembali menerima gugatan perusahaan dan membatalkan putusan Menteri Kehutanan tahun 2017. Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan SK Nomor 238/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2018 tanggal 17 Mei 2018 yang membatalkan dan memberikan kembali izin usaha PT MRJ.

Perusahaan PT MRJ merencanakan akan mengkonversi hutan alam yang disebutkan sebagai hutan tidak produktif dan tanah kosong, menjadi industri hutan tanaman untuk komoditi pulp.

Berdasarkan Rencana Kerja Usaha HTI untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun 2020 – 2029, perusahaan PT MRJ akan menggusur hutan alam dan menanam tanaman jenis jati salomon dan jati sengon salomon pada lahan seluas 152.974 hektar, atau sekitar 74 persen dari izin konsesi 206.800 hektar.

Tanaman baru jati salomon dan sengon, bukan tanaman endemic, didatangkan dari luar yang akan menggantikan dan menghilangkan keanekaragaman jenis tanaman pohon pada hutan adat.

Ancaman Deforestasi

Berdasarkan peta moratorium (PIPIB, 2019) dan peta tutupan lahan diketahui pada areal konsesi PT. MRJ tersebut di dominasi hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar. Karenanya, kawasan hutan alam disini pernah menjadi objek moratorium. Tahun 2022, Peta PIPIB (2022) direvisi, tidak lagi ditemukan keterangan hutan alam dan lahan gambut dalam areal PT MRJ.

Hasil kajian PUSAKA, kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ di dominasi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih eskosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah. Selain NKT 2 dan 3, kawasan hutan suku Wambon juga tergolong dalam kategori NKT 6 – Area yang memiliki peranan penting bagi masyarakat yakni hutan keramat douval, area kuburan keramat, area kampung tua dan kampung lama.

Diperkirakan jika terjadi konversi pada konsesi hutan alam oleh PT MRJ seluas 2.068 Km2, maka diperkirakan hutan alam yang hilang (deforestasi) sebesar 11 kali luas kota Stockholm di Eropa, kota tempat berlangsungnya Konferensi Majelis Umum PBB (1972), yang menetapkan Hari Lingkungan Internasional,  diperingati setiap tanggal 5 Juni. Potensi emisi karbon (CO2) dari penggundulan hutan tersebut sebesar 146,624,737 ton CO2.

Proyek industri hutan tanaman yang akan menggundulkan hutan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi dan mencegah perubahan iklim. Idealnya, pemerintah  melindungi dan memberdayakan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Investor Baru 

Perusahaan PT. Merauke Rayon Jaya didirikan tahun 1995 dan berkedudukan di Jl. Proklamasi Nomor 36, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat[1]. Awalnya, PT MRJ bagian dari Texmaco Group, yang dominan sahamnya dimiliki Marimutu Sanivasan. Setelah dilanda masalah keuangan dan hukum, dijerat skandal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah lalu menyita asset Texmaco Group yang dikendalikan Marimutu Sinivasan. Penyitaan tersebut akan melanjutkan dengan penjualan secara terbuka atau lelang dan atau penyelesaian lainnya, kata Menteri Polhukam Mahfud, MD (20/01/2022).

Berdasarkan data perseroan yang diterbitkan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM yang diakses Juni 2022, diketahui tahun 2021 terjadi perubahan Anggaran Dasar dan Data Perseroan dari PT Merauke Rayon Jaya, yakni jenis perseroan dari PMDN (Perusahaan Modal Dalam Negeri) menjadi PMA (Perusahaan Modal Asing).PT Merauke Rayon Jaya dimiliki investor baru asal dari Singapore, Energy Timber Bamboo Plantation, PTE, LTD, holding company yang dimiliki Tankappan Pillai Harirahan, yang menguasai saham PT MRJ sebesar 55 %, PT Star Timber Perkasa, yang dimiliki AR. Parmananthen (masih terkait dengan Texmaco Group) sebesar 44 %, dan Marimutu Sinivasan 1 %. Direktur Utama PT MRJ adalah Martin H Hutabarat, yang dikenal sebagai politikus asal dari Partai Gerindra.

Masyarakat adat Wambon Tekamerop, pemilik tanah, tidak mendapatkan informasi perubahan dan kehadiran investor baru PT MRJ. Pemerintah seharusnya menjadikan PT MRJ sebagai salah satu perusahaan yang izinnya perlu di evaluasi dan diberikan sanksi. Sebagaimana pidato Presiden Joko Widodo, “Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan, kita cabut”. (Januari 2022).

Resistensi Masyarakat

Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Kampung Aiwat tidak pernah mengetahui apapun proses perizinan hingga perusahaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) mendapatkan izin usaha. Pemerintah dan perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi secara terbuka dan luas. Masyarakat mengeluhkan rencana bisnis perusahaan PT. MRJ yang akan menggusur hutan adat tersisa dan menghilangkan wilayah sakral suku Wambon Tekamerop, salah satunya berhubungan dengan sejarah kehadiran dan perjalanan Misi Katolik di Papua Selatan.

Terhadap rencana PT. Merauke Rayon Jaya masyarakat adat suku Wambon Tekamerop sebagai pemilik tanah adat telah melakukan resistensi penolakan dengan mengirimkan surat pernyataan menolak rencana dan mediasi dengan PT. MRJ (2019) ; bertemu perusahaan dan menyampaikan penolakan (2020); Masyarakat Adat Wambon Tekamerop melakukan ritual adat, menanam Salib Merah dan Pemalangan di wilayah adat Wambon Tekamerop untuk menjaga hutan dan wilayah adat (2020), menemui pejabat perwakilan Gubernur Papua, Dinas Kehutanan, MRP Papua (2021).

Masyarakat adat Wambon Tekamerop meminta (1) pemerintah daerah dan nasional tidak memberikan surat rekomendasi apapun dan mencabut izinperusahaan PT Merauke Rayon Jaya; (2) pemerintah daerah dan nasional harus menghormati keputusan masyarakat adat Wambon Tekamerop menolak seluruh rencana dan aktifitas industri PT MRJ di Kampung Subur dan Kampung Aiwat Kab Boven Digoel ; (3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memberikan pengakuan hutan adat yang dikuasai dan dikelola Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua.

Ank, Juni 2022

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy