Siaran Pers: Lindungi Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan di Papua

Penelitian Yayasan Pusaka yang berjudul ‘Mama Ke Hutan’ menggambarkan bagaimana posisi Perempuan Adat dalam kecamuk kontestasi sumber daya alam di Papua. Mereka mengalami eksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adat, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya, dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya. Hak milik tanah yang umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki, menyebabkan Perempuan Adat kerap disingkirkan dari arena pengambilan keputusan terkait sumber daya alam, dan pada kondisi tertentu, mereka harus berhadapan dengan mara bahaya berupa stigmatisasi, labelisasi, tekanan dan kekerasan saat memperjuangkan dan menyuarakan haknya. Situasi ini juga dilandasi oleh meluasnya komodifikasi tanah bagi proyek-proyek swasta dan negeri skala besar, seperti Perkebunan Kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri, Pertambangan, Kawasan Ekonomi Khusus hingga Mega Proyek Food Estate, dari periode ke periode. Dalam menjalankan kehendak investasinya tersebut, pemerintah dan para pemilik modal tidak merasa perlu mendengarkan suara perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secara serius. Padahal siapa yang sesungguhnya dirugikan di kemudian hari dari aktivitas investasi tersebut?

Meskipun besarnya tantangan kultural dan sosial yang harus dihadapi oleh Perempuan Adat dalam memperjuangkan haknya, mereka terus menjadi garda terdepan perjuangan hak atas tanah, ruang hidup dan sumber penghidupan. Dari temuan penelitian Yayasan Pusaka, motif terbesar perempuan adat yang menjadi argumentasi dari sikap resistensinya terhadap investasi berbasis tanah tersebut adalah kesadaran bahwa hutan, tanah, sungai dan udara merupakan bagian penting dan tak terpisahkan bagi kehidupan mereka. Hutan adalah  “pasar”  – tempat mereka memenuhi sandang, papan, pangan dan gizi keluarga, adalah pasar tempat mencari semua kebutuhan rumah tangga dan utamanya sumber pangan, adalah apotik hidup – situs obat-obat tradisional, dan perpustakaan – tempat mereka menyimpan pengetahun tentang kehidupan, sejarah dan alam semesta yang suatu hari nanti akan diwariskan kepada keturunannya masing-masing. Mengganti keragaman fungsi hutan tersebut untuk satu komoditas yang asing dan tak terjangkau  adalah kerugian yang tiada banding.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai komitmen Pemerintah Indonesia terhadap realisasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan perlindungan Konstitusi atas hak non-diskriminasi perempuan asli Papua masih jauh dari kata maksimal. Dalam dokumen Joint-Submission kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan Sidang ke-80, yang dilakukan bersama Lembaga Advokasi Peduli Perempuan(eL-AdPPer) Merauke, Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mengadopsi kerangka kerja lintas sektoral untuk mengatasi diskriminasi dan hambatan yang dihadapi Perempuan Adat untuk kemajuan mereka. Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak-hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak-hak perempuan. Selain itu, Kegagalan Pemerintah Indonesia dalam mengakui hak teritorial kolektif dan pengambilan keputusan masyarakat adat juga menghambat kemampuan Perempuan Adat untuk menikmati hak-hak yang dilindungi di bawah CEDAW.

Menyambut 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2021, Yayasan Pusaka telah melakukan rangkaian diskusi dan dialog bersama Perempuan Adat di Sorong Selatan dalam isu HAM dan Lingkungan. Forum tersebut menjadi tempat pertukaran pengalaman, pengetahuan dan pendapat di antara Perempuan Adat dalam melihat sejauh mana proses pemenuhan dan penegakkan HAM telah dilakukan, keadilan lingkungan dan iklim, komitmen negara terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat serta rekomendasi  yang harus dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan kedepannya.

Perempuan Adat menjelaskan bagaimana berbagai proyek investasi di atas tanah adatnya menyebabkan perubahan lingkungan dan konflik sosial, serta mempengaruhi penghidupan harian masing-masing. Matelda Baho, Perempuan Adat dari Suku Maybrat misalnya, menggambarkan bagaimana  identitas budaya marga Baho terancam punah akibat investasi perkebunan kelapa sawit. “Kalau ada orang Baho yang lewat di hutan, mereka pakai pohon gnemon untuk kasih tanda. Kami orang Baho saja yang mengerti tanda itu. Perusahaan kelapa sawit datang, membongkar dan menggusur hutan. Pohon yang saya kasih tanda untuk keluarga lewat, perusahaan sudah kasih rusak”, ungkapnya. Pohon Ganemo (gnetum gnemon linn) yang tumbuh di hutan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pangan dan bahan baku noken, sekaligus di saat yang bersamaan merupakan pohon sakral bagi Marga Baho.

Pada momen Perayaan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2021, Perempuan Adat yang juga sebagai Perempuan Pembela HAM Lingkungan (WHRD) mendesak  kehadiran negara untuk mengakui, menghormati dan melindungi Perempuan Adat, serta meminta seluruh pemangku kepentingan (stakeholder terkait) untuk menjaga lingkungan dan hutan, menghentikan berbagai bentuk kekerasan dalam bentuk apapun dan melibatkan perempuan adat dalam setiap pengambilan keputusan.  Yayasan Pusaka mengambil momentum 16 HAKTP untuk menyampaikan kembali harapan para Perempuan Adat tersebut untuk segera diwujudkan oleh negara. Selama 16 hari ke depan, media sosial kami akan diwarnai oleh pesan-pesan Para Perempuan Adat Pembela HAM dan Lingkungan.

Kami juga menyerukan:

  • Pemerintah Indonesia agar segera mempercepat pengesahan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat untuk memberikan kepastian hak atas tanah adat dan hak atas FPIC ke dalam undang-undang nasional.
  • Hentikan perluasan konsesi kelapa sawit, penebangan dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), karena hal ini berpotensi mencemari ruang hidup dan merusak kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar.
  • Pemerintah Indonesia harus bekerja dengan komunitas masyarakat adat, khususnya perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis dan memprioritaskan dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.
  • Pemerintah Indonesia harus secara proaktif terlibat dengan perempuan adat dan komunitasnya untuk memastikan mereka diberdayakan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan saat merumuskan kebijakan yang berdampak pada masyarakatnya.
  • Pemerintah Indonesia harus menghormati dan melindungi hak-hak perempuan adat dan menawarkan pengembangan kapasitas, pelatihan, layanan sosial, dan sumber daya, dengan cara yang sesuai secara budaya melalui lembaga perwakilan mereka.

Sekian, Terimakasih

Jakarta, 25 November 2021

Contact Person:

Amelia Puhili : +62 822-9897-2694 (Staf Divisi Kampanye Yayasan Pusaka Bentala Rakyat)

You may also like

Leave a Comment

* By using this form you agree with the storage and handling of your data by this website.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Accept Read More

Privacy & Cookies Policy