Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tentang Gugatan Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021, tertanggal 02 November 2021, tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, mendapat perhatian Pusat Kajian Hukum Adat (Puskaha) Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Akademisi dan peneliti hukum adat dan hukum lingkungan tersebut menyampaikan pendapat hukum para sahabat pengadilan (Amici Curiae brief) atas perkara tersebut pada Oktober 2023. Tujuannya untuk membantu Majelis Hakim yang menangani perkara dalam memperkuat pertimbangan hukum terkait tanggung jawab negara untuk memastikan tercapainya persetujuan dan partisipasi publik yang bermakna dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek-proyek pembangunan dalam Tanah Ulayat/Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Awyu.
Puskaha Djojodigoeno FH UGM berpendapat pelibatan masyarakat yang bermakna guna mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) terhadap proyek-proyek berisiko tinggi bagi ruang hidup MHA yang oleh hukum diberikan hak mengontrol pembangunan yang berdampak pada tanah dan sumber daya mereka. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan peraturan pelaksananya yang relevan mensyaratkan pelibatan masyarakat yang bermakna.
Pada tataran praktik, skema persetujuan dari masyarakat hukum adat terkait pemanfaatan tanah adat oleh pihak luar dikenal dengan FPIC (Free and Prior Informed Consent). Skema tersebut merupakan proses yang memungkinkan masyarakat adat atau masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya dalam menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan memiliki potensi adanya dampak pada kehidupan sosial masyarakat setempat, tanah, kawasan, dan sumber daya yang ada.
Pembiaran terhadap keberadaan izin yang dimiliki PT IAL yang bertampalan dengan sebagian wilayah adat MHA Suku Awyu justru hanya akan menunjukkan langkah kontraproduktif Negara c.q. pemerintah setempat dalam melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat hukum adat. Tentunya perlu mendukung agar MHA Suku Awyu dapat memperoleh hak-haknya secara penuh dari Negara.
Dalam Amici curiae brief menyampaikan rangkuman mengenai teori dan praktik pelibatan MHA dalam pembangunan dan penilaian terhadap perubahan iklim. Berdasarkan kajian tersebut, Amici dengan hormat memohon kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan untuk pembangunan proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT IAL.
Dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak prosedural atas lingkungan dan pertimbangan hukum yang bersifat substantif, pengadilan harus mempertimbangkan apakah prosedur yang diikuti dalam penerbitan izin lingkungan proyek tersebut telah memenuhi standar partisipasi publik yang bermakna. Jika tidak, pengadilan dapat membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan. Penting untuk mencatat bahwa hak prosedural atas lingkungan adalah komponen kunci dalam memastikan perlindungan lingkungan yang efektif dan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Melalui hak ini, masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga dan melindungi lingkungan mereka dan memastikan bahwa kebijakan dan proyek-proyek yang berdampak pada lingkungan dijalankan secara transparan dan berkelanjutan.
Proyek tersebut memiliki harga yang mahal sebab harus menukar kelestarian hutan adat Papua demi ketergantungan terhadap pertumbuhan ekonomi dari sektor perkebunan yang menyumbang 47,8% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional akibat deforestasi. Jumlah ini menjadikan deforestasi sebagai sumber utama penghasil emisi GRK yang mendudukkan Indonesia sebagai 10 besar negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia.
Perihal angka emisi, Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT IAL berpotensi menghilangkan cadangan karbon sebesar ± 6.3 juta ton C (baca: Carbon) dengan mekanisme penebangan hutan. Selain itu, pembongkaran hutan besar-besaran berpotensi melepaskan 10.8 juta ton C atau 23.08 juta ton CO2 (baca: Karbondioksida). Guna menciptakan lahan sawit terbesar di Asia-Pasifik dengan 4 (empat) kali luas wilayah Jakarta, proyek PT IAL akan menghilangkan hamparan hutan Papua sebagai benteng terakhir yang mampu menyelamatkan tidak hanya manusia Indonesia, tetapi dunia, dari proyeksi kepunahan massal akibat kerusakan lingkungan. Alih fungsi kawasan sumber daya alam yang heterogen menjadi homogen dapat dipastikan memberikan konsekuensi buruk bagi lingkungan.
Selain itu, untuk memenuhi komitmen iklim internasionalnya, Indonesia perlu menghitung secara akurat dampak iklim dari proyek alih fungsi lahan terhadap tanah adat/tanah ulayat seperti Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) serta menentukan apakah proyek ini dapat dilaksanakan tanpa melanggar komitmen tersebut.
Amici menarik benang merah bahwa terdapat inkonsistensi antara komitmen iklim dengan implementasi kebijakan pengurangan emisi GRK yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Inkonsistensi ini perlu dikoreksi, salah satunya melalui gugatan yang diajukan oleh MHA Suku Awyu dalam perkara ini. Gugatan ini adalah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan hutan hujan Papua agar tidak berakhir seperti hutan hujan Sumatera dalam penelitian Guillaume (2018).
Amici berpendapat, berdasarkan tinjauan teori, putusan pengadilan, serta praktik terbaik internasional dan nasional dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup, jelas bahwa pertimbangan terhadap izin sosial (social licence) dan penilaian terhadap dampak perubahan iklim adalah suatu keharusan. Keduanya terkait erat dan tidak dapat saling meniadakan. Lebih lanjut lagi, objek gugatan perlu memuat kajian dan mempertimbangan hak atas tanah MHA, hutan adat dan komitmen perubahan iklim Indonesia sekaligus tidak menegasikan pemenuhan hak atas informasi dan hak berpartispasi yang dijamin oleh hukum nasional dan hukum internasional yang Indonesia ikuti.
Selengkapnya dapat disini: Amici Curiae Brief PUSKAHA DJOJODIEGONO
Ank, Okt 2023