Perdagangan senjata api dan amunisi illegal ‘tanpa izin’ di Tanah Papua semakin meningkat diikuti dengan peningkatan jumlah konflik bersenjata melibatkan aparat TNI dan Polri, berhadap-hadapan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), utamanya di daerah yang kaya akan sumberdaya alam.
Meskipun perdagangan tanpa izin ini mempunyai sanksi pidana dan ancaman hukuman berat, namun bisnis gelap tersebut masih gemerlap. Salah satu motif pendorongnya adalah keinginan meraup cuan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Penjual tidak perlu memproduksi senjata api dan amunisi, cukup dengan memiliki jaringan penyedia, makin pendek mata rantai transaksi, maka makin aman dan makin besar keuntungan yang diperolah.
Hal ini terungkap dalam laporan penelitian Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) yang disampaikan pada 01 Juli 2022. Ditemukan harga amunisi rata-rata dijual dengan harga Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per butir atau Rp. 5 juta – Rp. 7,5 juta per magasin yang berisi 50 butir. Sebagai perbandingan harga amunisi di lapangan Latihan tembak Perbakin sebesar Rp. 10.000 per butir. Margin atau selisih harga yang tinggi antara harga normal dan harga jual di pasar ilegal ini juga berlaku dalam penjualan jenis senjata api laras panjang dan laras pendek.
Direktur AlDP, Latifah Anum Siregar, menjelaskan beberapa motif lain dari perdagangan senjata illegal adalah motif karir dan kredit, yakni adanya insentif yang didapat dari transaksi dan menaikan karir dalam mengungkap kasus, rendahnya kesejahteraan prajurit mendorong anggota mendapatkan uang banyak dan disaat bersamaan ada pasar senjata api dan amunisi.
Adapun jenis senjata api yang beredar di Papua, antara lain jenis AK-47 dan AK-74, yang diproduksi Mikhael Khalasnikov ; Senapan mesin PKM Rusia, diduga senjata ini diperoleh dari pemasok secara illegal ; Steyr AUG buatan Austria, diduga senjata ini dirampas dari anggota Brimob (Polri) ; M16 dan M4, didapat dalam transaksi illegal ke Papua sejak tahun 2017; SS1 V1 dan SS2 V2 – produksi PT PINDAD Indonesia; diduga diperoleh dari hasil perampasan.
Berdasarkan wawancara dengan pihak yang terlibat dalam proses hukum hingga putusan di pengadilan umum dan peradilan militer, laporan ini mengungkap jejaring perdagangan senjata api dan amunisi illegal ini melalui empat jaringan, yakni jaringan diantara oknum TNI/Polri sebagai penyedia dan perantara dengan masyarakat sipil ; jaringan diantara masyarakat sipil dengan membeli senjata dari luar Indonesia, bekas wilayah konflik seperti di Philipina ; jaringan langsung diantara TPNPB dan pendukungnya didaerah Papua New Guinea; atau jaringan langsung TNI/POLRI dan TPNPB. Sedangkan jalur perdagangan melalui sungai, laut, bandara udara, dan darat.
Baca disini Laporan AlDP tentang Perdagangan Senjata Api dan Amunisi Ilegal di Tanah Papua
Kepemilikan senjata api dan amunisi secara illegal “tanpa izin” disebutkan sebagai tindak pidana khusus dengan hukuman berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951, pada Pasal 1 ayat (1) bahwa “barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam milikmya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun”.
Latifah Anum Siregar dalam peluncuran laporan ini menjelaskan, “seperti fenomena gunung es, kasus-kasus semakin bertambah dan melebihi kasus yang diungkap aparat penegak hukum. Namun proses hukum hanya memproses pelaku di lapangan, proses hukum belum sampai pada mengungkap jaringan perdagangan illegal, terutama yang memiliki dan menguasai senjata api dan pemberi dana yang terlibat melawan hukum”.
Idealnya proses hukum menjangkau semua dan dapat mencegah kejadian berulang, dan impunitas bagi pelaku.
Ank, Juli 2022