Tema global hari bumi kali ini adalah Invest In Our Planet. Dilansir dari laman resmi earthday.org tagar ini adalah manifestasi desakan kepada sektor-sektor bisnis, pemerintah, maupun individu untuk lebih ‘berinvestasi’ pada planet bumi agar dapat mencapai net-zero emisi gas rumah kaca pada pertengahan abad, serta menjaga suhu global tetap berada di bawah 1,5°C. Namun, bagaimana suara akar rumput memaknai tema ‘investasi pada planet’ di hari bumi kali ini? Kami ingin mengajak anda mendengar suara perempuan adat dari lembah Grime-Nawa dalam menjaga bumi dan lingkungan.
Suara Dari Lembah Grime-Nawa
‘Lebih baik pemerintah atau perusahaan datang ke kampung kami ini, tanam Naning .ka, Daripada tanam sawit, tong tra tahu makan itu barang’. Mama Dina berkata dengan berapi-api sembari mengguncang-guncang Naning di tangannya. Ia lalu mulai bercerita bagaimana kelezatan naning yang dimasak bersamaan dengan sayur lilin, sagu dan daun Gedi, ‘Itu de nama swamening, tong pu hidangan lokal . Keesokan harinya, swamening yang legendaris itu disajikan di meja makan bersama. Tidak berlebihan memang, menu ini selain enak bukan main, juga mengandung nutrisi yang baik, karena disajikan dengan cara dikukus – metode yang cukup dianjurkan oleh ahli-ahli gizi.
Mama Dina adalah salah satu anggota Organisasi Perempuan Adat Namblong, atau lebih dikenal dengan sebutan ORPA Namblong, yang dibentuk sejak 2015 sebagai wadah organisasi bagi perempuan adat Namblong. Pada mulanya, ORPA berangkat dari keresahan perempuan-perempuan adat akan terkikisnya penuturan dan pewarisan Bahasa Lokal di masyarakat Namblong. Kemudian seiring berjalannya waktu, selain mengintervensi sekolah-sekolah setempat untuk melestarikan Bahasa Lokal, mereka juga menyebarkan kesadaran anti kekerasan terhadap perempuan dan anak di kampung-kampung. ORPA juga mengembangkan inisiatif ekonomi, yakni pengembangan kebun-kebun rumah tangga anggota. Mereka mendorong anggota menanam tanaman pangan dan tanaman bahan baku noken, yakni melinjo dan mahkota dewa.
Di tahun ini ORPA memasuki babak baru. ORPA sedang terlibat dalam perjuangan hak atas tanah melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit PT. Permata Nusa Mandiri (PNM). Perusahaan ini berencana mengekpansi wilayah lembah Grime-Nawa seluas kurang lebih 30 ribu hektar.
Selain diduga melakukan pelanggaran-pelanggaran berkenaan dengan perizinan usaha, kehadiran perkebunan kelapa sawit PT. PNM di Lembah Grime-Nawa juga menjadi ancaman bagi ekosistem lembah itu sendiri dan juga masyarakat yang telah lama mendiaminya selama turun temurun. Wilayah tersebut telah menjadi sumber pengidupan bagi manusia, tempat di mana aktivitas pemenuhan kehidupan sehari-hari, seperti berburu, meramu dan berkebun dilakukan, serta rumah tinggal bagi makluk hidup lainnya.
ORPA dalam konteks perjuangan ini, tidak hanya menjadi ‘sekadar tempelan’ afirmasi bagi perempuan. Mereka betul- betul terlibat secara substantif dan memahami betul, apa dan mengapa mereka tidak menghendaki perkebunan kelapa sawit tumbuh di atas tanahnya.
‘Kita ini tidak sedang membela manusia saja, melainkan mereka yang juga tidak dapat bersuara dan juga tidak terlihat’, tutur Debora Demonggreng, salah seorang anggota ORPA dalam sebuah putara diskusi kecil. Menurutnya, manusia jika merasa tidak sesuai dengan satu hal, mereka mampu untuk berkata ‘tidak suka, tidak setuju’, namun bagaimana makluk non-manusia lainnya ; hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau bahkan makhluk tak kasat mata lainnya. Mereka tidak punya kemampuan itu.
Lembah Grime-Nawa sendiri adalah rumah bagi banyak pihak, tempat di mana semua berbagi kehidupan di dalamnya ; ada air bersih untuk manusia, ada pohon-pohon, tumbuhan obat, burung cendrawasih, babi hutan, dll. Perkebunan Kelapa Sawit yang bersifat monokultur, rakus air, dan anti biodiversitas, tentu akan menyingkirkan makhluk hidup yang sebagain besarnya tidak dapat berkata ‘tidak, saya tidak setuju’. Oleh karena itu lah, Mama Debora merasa perlu mewakili suara-suara tersebut. Ini adalah cara terbaik merawat bumi agar semua kehidupan yang ada di dalamnya tetap berlanjut hingga bergenerasi.
Selain itu, menurut Rosita Tecuari, pimpinan ORPA, suara perempuan adat adalah suara yang seharusnya paling didengar dan dipertimbangkan. ‘Kami ini, Perempuan memang tidak punya hak, tapi kami juga harus bicara untuk masa depan anak-anak kami ke depan’.
Sebab, meskipun secara adat, hak penguasaan dan pemilikan tanah tidak melekat pada dirinya, perempuan telah berkontribusi bagi keberlangsungan hidup manusia ; melahirkan, merawat anak, memenuhi pangan rumah tangga, dll. Kerja-kerja ini di konteks Papua, sangat berkaitan erat dengan kondisi alam, hutan dan lingkungan sekitar.
Bagaimana mungkin seorang perempuan dapat ‘mengebulkan dapurnya’ jika Ia tidak mampu mendapatkan sumber nutrisi yang baik dan tentu terjangkau, yang umumnya mereka peroleh dari hutan dan kebun-kebun. Dan sebaliknya, bagaimana mungkin alam dan hutan yang rusak dapat memenuhi pangan dapur mereka.
Kita dapat melihat, bahwa peran dan kerja-kerja perempuan dalam masyarakat membentuk sebuah relasi mutualisme dengan lingkungan dan alam sekitar. Relasi tersebut bersifat saling merawat dan menjaga, sebab yang satu bergantung dengan yang lain. Maka aksi perempuan melawan penghancuran bumi, adalah aksi sadar memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Dan ini adalah bentuk investasi terbaik untuk bumi.
Ela, April 2022