Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#GugatanLingkunganHidup

BeritaPress Release

Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28 Dubai

by Admin Pusaka Desember 2, 2023
written by Admin Pusaka
Desember 2, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado

by Admin Pusaka November 23, 2023
written by Admin Pusaka

Pada awal November 2023, Majelis Hakim PTUN Jayapura membuat putusan menolak gugatan Penggugat dari pemimpin Suku Awyu, Hendrikus Woro, dalam gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap pemerintah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua dan perusahaan PT Indo Asiana Lestari, sebagai Tergugat Intervensi.

“Kami menilai Majelis Hakim PTUN Jayapura salah dalam menerapkan pertimbangan-pertimbangan putusan. Dibandingkan putusan-putusan lingkungan lainnya, putusan PTUN Jayapura tidak menggambarkan perlindungan terhadap lingkungan dan keberadaan masyarakat adat”, ungkap Tigor Hutapea, kuasa hukum Masyarakat Suku Awyu.

Pejuang lingkungan hidup, Hendrikus Woro bersama Pembanding Intervensi telah melayangkan banding atas perkara ini ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Manado pada 22 November 2023, sebagaimana disampaikan dalam Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, 23 November 2023.

“Upaya banding ini dilakukan agar hakim memperbaiki putusan hakim PTUN Jayapura. Kami yakin Hakim Pengadilan Tinggi PTUN Manado akan lebih bijaksana memutus permohonan banding ini’ dengan berpedoman pada peraturan yang benar”, tegas Tigor Hutapea.

Upaya banding ini berdasarkan keyakinan bahwa PTUN Jayapura sebagai judex facti tingkat pertama telah salah menerapkan hukum, antara lain tentang: batas waktu gugatan, aspek prosedur dan substansi perkara pasca Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup (Perma 1/2023), tidak mempertimbangkan fakta hukum bahwa Prosedur Pengumuman Objek Sengketa Bertentangan dengan Pasal 50 Ayat 3 PP Nomor 22 Tahun 2021 dan kesalahan dalam memberi pertimbangan terkait partisipasi publik.

Lebih jauh sesuai kerangka asas umum pemerintahan yang baik, Hakim PTUN Jayapura luput menganalisis fakta bahwa objek sengketa juga bertentangan asas kearifan lokal, asas kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, kehati-hatian, ekoregion, keanekaragaman hayati, asas tertib penyelenggara negara, asas Kehati-hatian, asas keadilan, serta asas kemanfaatan.

“Putusan ini yang jelas-jelas melanggar hak masyarakat adat yang dijamin pada UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang dilakukan dengan cara menggunakan Surat LMA dan mengabaikan Fakta Hukum Penolakan yang dilakukan oleh Pimpinan Marga Woro. Atas dasar itu, harapannya melalui Upaya Banding ini Majelis Hakim Pemeriksa di PT TUN Manado nantinya dapat menegakkan Hak Masyarakat Adat Papua melalui putusan yang berprinsip pada dasar perlindungan hak masyarakat adat demi memberikan kepastian hukum bagi penerus Marga Woro yang akan mewarisi Hak Atas Tanah dan Hutan diatas Wilayah Adat Marga Woro,” tegas Emanuel Gobay, Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua

Aktivis Greenpeace Indonesia dan anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Asep Komarudin, menyampaikan bahwa pentingnya bagi publik untuk mengawal perkara ini bersama – sama dan Mahkamah Agung, karena perkara ini bukan hanya permasalahan administratif belaka, melainkan permasalahan Hak Masyarakat Adat yang dirampas dan bahkan tidak diakui keberadaannya.

“Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim dikarenakan potensi dampak terjadinya perubahan iklim jika perusahaan melakukan pembukaan lahan yang akan melepaskan setidaknya 23 Juta Ton CO2, hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis iklim”, jelas Asep Komarudin.

Bersamaan dengan pengajuan banding dari Hendrikus ‘Franky’ Woro, dua penggugat intervensi yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Walhi Eksekutif Nasional juga mengajukan banding atas keputusan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR yang telah mengabaikan prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya’–demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.

Baca Siaran Pers Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua disini: 01. Siaran Pers – Pejuang Lingkungan Hidup Suku Awyu Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke PT TUN Manado

Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Pusaka Bentala Rakyat Papua, Greenpeace Indonesia, Satya Bumi, LBH Papua, Walhi Papua, Eknas Walhi, PILNet Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Perkumpulan HuMa Indonesia

Ank, Nov 2023

November 23, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan

by Admin Pusaka November 3, 2023
written by Admin Pusaka

Dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.

Pendapat ini disampaikan akademisi Universitas Gadjah Mada dan ahli hukum lingkungan hidup,  I Gusti Agung Made (Igam) Wardana, S.H., LL.M., Ph.D. Igam dalam pendapat hukum atas Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu, Hendrikus Woro, berpendapat dalam perkara lingkungan, hakim juga dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sesuai doktrin in dubio pro natura.

Prinsip Substansi Hukum Lingkungan  belum menjadi pertimbangan majelis hakim PTUN Jayapura dałam Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin Suku Awyu, Hendrikus Woro.

Kamis (02/11/2023), sidang Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, yang  dipimpin Merna Cinthia, S.H., M.H., telah membuat putusan yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Putusan hakim tersebut menjadi kabar buruk dan kemunduran bagi perlindungan lingkungan hidup dan masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman penggundulan hutan oleh perusahaan kelapa sawit.

Hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dalam siaran pers.

Baca disini Salinan_putusan_6_G_LH_2023_PTUN_JPR, Gugatan Lingkungan Suku Awyu, 021123

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.

Pejuang Lingkungan Hidup dari suku Awyu,  Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura merasa kecewa dan sedih atas putusan majelis hakim yang tidak adil. Namun begitu Hendrikus bertekad tidak akan mundur memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup.

“Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini. Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” tegas Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.

Ank, Nov 23

November 3, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaLaporan

Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

by Admin Pusaka November 1, 2023
written by Admin Pusaka
November 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Majelis Hakim Pegang Teguh Prinsip In Dubio Pro-Natura dalam Membuat Putusan Perkara Demi Kelanjutan Hutan Papua

by Admin Pusaka November 1, 2023
written by Admin Pusaka
November 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua: Perlu Ditinjau Kembali Perizinan PT Indo Asiana Lestari

by Admin Pusaka Oktober 30, 2023
written by Admin Pusaka

Ragam arti dan nilai hutan bagi masyarakat adat baik Wambon maupun Awyu menunjukkan bagaimana keterikatannya dengan hutan bukanlah persoalan pemenuhan kebutuhan praktis seperti makan semata. Hutan dan segala isinya adalah masa sekarang dan masa depan dari perempuan, masyarakat adat Wambon dan Awyu dan generasinya.

Pandangan  ini disampaikan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua melalui pendapat amicus curiae yang ditujukan kepada Majels Hakim PTUN Jayapura yang tengah memeriksa perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Gugatan yang dilayangkan oleh Hendrikus Woro sebagai penggugat. Organisasi akademisi ini berdalil penyampaian pendapat sebagai dukungan terhadap Majelis Hakim dan mempunyai kepentingan dalam mengadvokasi hak masyarakat adat di Tanah Papua.

Bagi perempuan adat, hutan arti yang lebih spesifik yakni sebagai tempat memenuhi kepentingan emosional, spiritual dan juga reproduksi sosial. Bagi perempuan adat, hutan, juga kali, adalah tempat mereka berefleksi, berdiam diri, menghibur dirinya di tengah berbagai tantangan hidup yang dialami. Untuk hidup dalam situasi ketertindasan karena ketersingkiran di pasar, struktur sosial hingga ketimpangan dalam rumah tangga yang membawa beban psikis bagi mereka. Bentang alam tersebut menjadi tempat untuk menyembuhkan dirinya secara emosional.

Kehadiran rezim investasi telah merampas ruang-ruang hidup masyarakat adat. Pada saat bersamaan, secara meyakinkan introduksi investasi dan kemajuan tersebut menyingkirkan orientasi-orientasi komunitas adat yang berkaitan dengan relasinya dengan tanah, ingatan, berbagi cerita, perjalanan, agama, keterlibatan dengan entitas non-manusia, dan pertemuan dengan negara dan marginalisasi.

Koalisi berkesimpulan agar Majelis Hakim melihat kembali bagaimana relasi kuat antara masyarakat adat dan hutan serta dampak-dampak utama yang muncul ketika ada pengalihan lahan. Berdasarkan alasan dan fenomena sebagaimana telah dikemukakan, maka terhadap izin yang diberikan kepada PT IAL untuk proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit yang bersinggungan langsung dengan keberlangsungan hidup MHA Suku Awyu pada Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, perlu ditinjau lebih lanjut.

Pada bagian lain, Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua mengkritisi pendekatan pembangunan dan karakter utamanya yaitu top down, migrant capture paternalistic, dan eksploitatif yang secara sistematis mengesampingkan narasi dan partisipasi masyarakat adat Papua.

Pengaturan eksploitatif ini telah mengakibatkan terkikisnya pengetahuan adat, institusi tradisional, praktik dan nilai-nilai yang ada. Masyarakat adat Papua dipaksa untuk mengubah “sistem kehidupan” mereka yang berbeda dengan ‘proyek pembangunan’ yang dirancang semata-mata untuk kepentingan kapitalis maupun oligarki. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk mendamaikan budayanya dengan elemen-elemen pembangunan yang akan mempengaruhi penghidupannya.

Berdasarkan data Badan Pembangunan Nasional (BPS) tahun 2019, Provinsi Papua dan Papua Barat memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia: masing- masing 60,84 persen dan 64,70 persen. Realitas lainnya adalah tergerusnya ruang-ruang penghidupan masyarakat adat. Atas nama pembangunan, konversi besar-besaran hutan menjadi perkebunan pun dilakukan dan menyebabkan hilangnya hutan di Tanah Papua. Menurut analisis Center for International Forestry Research (CIFOR), terdapat total 168.471 hektar hutan di provinsi Papua yang telah dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 2000 dan 2019 (Koalisi Indonesia Memantau, 2001). Bahkan CIFOR mencatat 87 persen deforestasi di Tanah Papua (2001-2009) terjadi di 20 kabupaten atau hampir separuh dari total kabupaten di Papua.

Koalisi Kampus untuk Demokrasi yang terdiri dari para akademisi yang berasal dari 6 perguruan tinggi di Kota Jayapura yaitu Universitas Cenderawasih, STIH Umel Mandiri, STISIPOL, USTJ, IAIN, Universitas Muhammadiyah Jayapura, menjelaskan aktivitas eksploitasi ternyata tidak serta merta meningkatkan penghidupan masyarakat di Papua, khususnya masyarakat adat sebagai kelompok yang paling terdampak.

Pembangunan seharusnya melindungi dan memenuhi hak masyarakat adat, bukannya mengancam keberlanjutan penghidupannya, tegas pandangan Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua sebagai sahabat dalam pengadilan.

Baca disini: Amicus Curiae Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua atas Gugatan Suku Awyu

Ank, Okt 2023

Oktober 30, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Akademisi Hukum Lingkungan IGAM Wardana: Hakim Harus Berani Menerapkan Prinsip Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

by Admin Pusaka Oktober 28, 2023
written by Admin Pusaka

Perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Perkara lingkungan hidup merupakan suatu perkara atas hak yang dijamin di dalam konstitusi dalam hal ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perkara lingkungan hidup juga dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas.

Pendapat ini disampaikan oleh akademisi hukum lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M., Ph.D., yang sering disapa IGAM Wardana, dalam Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae Brief) Dalam Perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR terkait  Gugatan Tata Usaha Negara mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 Hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021.

Karenanya, dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini adalah Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, yakni: Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); serta Prinsip meliputi: prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem, dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat karena perkara ini menyangkut hak Masyarakat Adat Awyu di Boven Digoel, Papua. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.

Igam Wardana berpendapat bahwa dalam perkara lingkungan, Majelis Hakim dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat dalam putusannya sesuai doktrin in dubio pro natura.

Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu di PTUN Jayapura merupakan litigasi perubahan iklim anti-regulatory yang menolak kebijakan negara karena dianggap bertentangan dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim dalam perkara in casu akan menjadi pertaruhan sejauh mana pengadilan di Indonesia menjadi benteng terakhir dalam upaya mengatasi permasalahan krisis iklim yang sedang dihadapi oleh umat manusia.

AMDAL Menutup Mata dari Perkara Perubahan Iklim

Igam Wardana merupakan akademisi hukum lingkungan yang memiliki kepedulian atas perlindungan lingkungan hidup, menjelaskan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) memainkan peran instrumental dalam mengatasi perubahan iklim. Apabila rezim AMDAL didesain dengan baik, maka ia dapat difungsikan mengantisipasi dampak suatu kegiatan bagi perubahan iklim serta mengantisipasi kerentanan proyek dari dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi yang terintegrasi dalam rencana pemantauan dan pengelolaan dampak. Melalui AMDAL pemrakarsa proyek melakukan identifikasi tidak saja dampak penting bagi kondisi biofisik-kimia serta dampak sosial-budaya dari proyek yang diusulkan, tapi juga memperkirakan besaran emisi GRK yang akan dihasilkan dan sebaliknya bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi proyek yang direncanakan.

Akan tetapi dalam perkara in casu, yang terjadi justru kesenjangan antara ketentuan normatif di atas dengan kenyataan di lapangan. Pertama, secara prosedural, mekanisme FPIC tidak dijalankan bagi Masyarakat Adat Awyu yang terkena dampak proyek. Kedua, secara material, dalam analisis tentang sifat dampak penting dari pembukaan lahan, AMDAL hanya menilai dua dampak penting yakni penurunan keanekaragaman vegetasi dan penurunan kualitas jenis satwa liar. Apabila mengacu pada pedoman penyusunan dokumen lingkungan, salah satu kriteria untuk memperkirakan sifat dari dampak penting adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, AMDAL menyatakan bahwa “tidak ada“ dampak berdasarkan kriteria perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan kriteria penyusun AMDAL seharusnya melihat ilmu pengetahuan dan teknologi terkait perubahan iklim yang telah mengalami perkembangan secara pesat sehingga memungkinkan penyusun AMDAL untuk melakukan penghitungan berapa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembukaan lahan tersebut yang akan berkontribusi pada perubahan iklim.

Igam Wardana menilai upaya untuk menutup mata dari perubahan iklim oleh penyusun AMDAL juga dapat ditemukan dalam analisis sifat dampak penting dari tahap operasional sarana prasarana. Di sini, dampak besar proyek bagi lingkungan hanya dibatasi pada penurunan kualitas air permukaan, peningkatan limbah padat, peningkatan limbah cair, penurunan biota perairan. Hal yang sama juga terjadi dalam analisis dalam Tahap Operasional Pabrik, di mana penyusun AMDAL hanya menyebutkan dua dampak negatif terhadap lingkungan, yakni penurunan kualitas air permukaan dan peningkatan limbah padat.

Singkatnya, AMDAL yang sama sekali tidak menyebutkan dampaknya bagi perubahan iklim melalui pelepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer menunjukkan proses penyusunannya yang tidak cermat, reduksionis, dan tidak berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah terkait perubahan iklim peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang dilegitimasi oleh SK No. 82 Tahun 2021 yang menjadi objek sengketa ini berpotensi untuk melepaskan 23,08 juta ton CO2e yang mana pada gilirannya akan meningkatkan emisi karbon Indonesia sebanyak 5% pada tahun 2030. Konsekuensinya, proyek ini akan menyebabkan kegagalan Indonesia untuk menjalankan kewajibannya dalam upaya penurunan emisi GRK secara nasional sebagaimana dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Igam Wardana mengungkapkan dalam perkara ini  yang terpenting adalah fakta bahwa pemrakarsa proyek, penyusun AMDAL, penilai AMDAL, tidak memasukkan dampak perubahan iklim, salah satunya besaran emisi GRK yang akan dilepaskan ke atmosfir oleh proyek yang diberikan izin lingkungan oleh Tergugat. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian Tergugat dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Padahal, dalam konteks hukum lingkungan, keputusan tata usaha negara seharusnya memiliki fungsi penting dalam melakukan pencegahan atas terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan

AMDAL Cacat secara Prosedural dan Material

AMDAL sebagai dokumen teknis dan ilmiah harus mengandung kajian yang benar, cermat, dan akurat karena berdasarkan kajian inilah kelayakan atau ketidaklayakan sebagai usaha dan/atau kegiatan akan dinilai. Apabila terdapat kajian yang tidak benar atau direduksi dalam dokumen AMDAL, akan berisiko bagi upaya pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

Igam Wardana menjelaskan apabila AMDAL tidak mengkaji dampak perubahan iklim dari sebuah proyek yang diusulkan, maka proyek tersebut akan memperparah krisis iklim sehingga permasalahan tersebut semakin sulit untuk diatasi. Karena perizinan lingkungan tersusun secara berlapis mulai dari kelayakan ruang (izin lokasi), kelayakan lingkungan (izin lingkungan) dan kelayakan operasional (izin PPLH), maka AMDAL yang cacat secara prosedural dan material akan memiliki konsekuensi hukum terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan.

Apabila izin lingkungan yang dikeluarkan berdasarkan AMDAL yang tidak mempertimbangkan dampak negatif proyek bagi perubahan iklim, maka dapat melahirkan konsekuensi hukum dibatalkannya izin lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan normatif Pasal 37 ayat (2) UU PPLH dan sebagaimana telah menjadi praktik pengadilan yang dituangkan dalam bentuk preseden oleh Majelis Hakim dalam Kasus PLTU Tanjung Jati melalui Putusan No. No. 52/G7LH/2022/PTUN.Bdg.

Dalam perkara in casu, Amicus berkesimpulan bahwa SK Kepala DPMPTSP Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 harus dinyatakan batal. Hal ini karena objek sengketa tersebut dikeluarkan atas dasar AMDAL yang melanggar Asas Tanggung Jawab Negara dan Asas Kehati-hatian, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) khususnya Asas kecermatan dan Asas Manfaat. Namun apabila Majelis Hakim dalam perkara in casu mengalami keragu-raguan, Amicus memohon Majelis Hakim untuk mengambil putusan yang terbaik bagi kelestarian lingkungan hidup (in dubio pro natura).

Selengkapnya baca: Amicus Curiae_IGAM Wardana atas Gugatan Lingkungan Hidup Suku Awyu

Ank, Okt 2023

Oktober 28, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Pertimbangan Izin Sosial dan Penilaian Dampak Perubahan Iklim Suatu Keharusan

by Admin Pusaka Oktober 27, 2023
written by Admin Pusaka

Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tentang Gugatan Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021, tertanggal 02 November 2021, tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua, mendapat perhatian Pusat Kajian Hukum Adat (Puskaha) Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Akademisi dan peneliti hukum adat dan hukum lingkungan tersebut menyampaikan pendapat hukum para sahabat pengadilan (Amici Curiae brief) atas perkara tersebut pada Oktober 2023. Tujuannya untuk membantu Majelis Hakim yang menangani perkara dalam memperkuat pertimbangan hukum terkait tanggung jawab negara untuk memastikan tercapainya persetujuan dan partisipasi publik yang bermakna dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) proyek-proyek pembangunan dalam Tanah Ulayat/Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Awyu.

Puskaha Djojodigoeno FH UGM berpendapat pelibatan masyarakat yang bermakna guna mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) terhadap proyek-proyek berisiko tinggi bagi ruang hidup MHA yang oleh hukum diberikan hak mengontrol pembangunan yang berdampak pada tanah dan sumber daya mereka. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan peraturan pelaksananya yang relevan mensyaratkan pelibatan masyarakat yang bermakna.

Pada tataran praktik, skema persetujuan dari masyarakat hukum adat terkait pemanfaatan tanah adat oleh pihak luar dikenal dengan FPIC (Free and Prior Informed Consent). Skema tersebut merupakan proses yang memungkinkan masyarakat adat atau masyarakat lokal untuk menjalankan hak-hak fundamentalnya dalam menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat yang bersangkutan dan memiliki potensi adanya dampak pada kehidupan sosial masyarakat setempat, tanah, kawasan, dan sumber daya yang ada.

Pembiaran terhadap keberadaan izin yang dimiliki PT IAL yang bertampalan dengan sebagian wilayah adat MHA Suku Awyu justru hanya akan menunjukkan langkah kontraproduktif Negara c.q. pemerintah setempat dalam melindungi dan memajukan hak-hak masyarakat hukum adat. Tentunya perlu mendukung agar MHA Suku Awyu dapat memperoleh hak-haknya secara penuh dari Negara.

Dalam Amici curiae brief menyampaikan rangkuman mengenai teori dan praktik pelibatan MHA dalam pembangunan dan penilaian terhadap perubahan iklim. Berdasarkan kajian tersebut, Amici dengan hormat memohon kepada Majelis Hakim untuk membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan untuk pembangunan proyek Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT IAL.

Dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak prosedural atas lingkungan dan pertimbangan hukum yang bersifat substantif, pengadilan harus mempertimbangkan apakah prosedur yang diikuti dalam penerbitan izin lingkungan proyek tersebut telah memenuhi standar partisipasi publik yang bermakna. Jika tidak, pengadilan dapat membatalkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua yang memberikan izin lingkungan. Penting untuk mencatat bahwa hak prosedural atas lingkungan adalah komponen kunci dalam memastikan perlindungan lingkungan yang efektif dan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Melalui hak ini, masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga dan melindungi lingkungan mereka dan memastikan bahwa kebijakan dan proyek-proyek yang berdampak pada lingkungan dijalankan secara transparan dan berkelanjutan.

Proyek tersebut memiliki harga yang mahal sebab harus menukar kelestarian hutan adat Papua demi ketergantungan terhadap pertumbuhan ekonomi dari sektor perkebunan yang menyumbang 47,8% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional akibat deforestasi. Jumlah ini menjadikan deforestasi sebagai sumber utama penghasil emisi GRK yang mendudukkan Indonesia sebagai 10 besar negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia.

Perihal angka emisi, Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT IAL berpotensi menghilangkan cadangan karbon sebesar ± 6.3 juta ton C (baca: Carbon) dengan mekanisme penebangan hutan. Selain itu, pembongkaran hutan besar-besaran berpotensi melepaskan 10.8 juta ton C atau 23.08 juta ton CO2 (baca: Karbondioksida). Guna menciptakan lahan sawit terbesar di Asia-Pasifik dengan 4 (empat) kali luas wilayah Jakarta, proyek PT IAL akan menghilangkan hamparan hutan Papua sebagai benteng terakhir yang mampu menyelamatkan tidak hanya manusia Indonesia, tetapi dunia, dari proyeksi kepunahan massal akibat kerusakan lingkungan. Alih fungsi kawasan sumber daya alam yang heterogen menjadi homogen dapat dipastikan memberikan konsekuensi buruk bagi lingkungan.

Selain itu, untuk memenuhi komitmen iklim internasionalnya, Indonesia perlu menghitung secara akurat dampak iklim dari proyek alih fungsi lahan terhadap tanah adat/tanah ulayat seperti Perkebunan dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) serta menentukan apakah proyek ini dapat dilaksanakan tanpa melanggar komitmen tersebut.

Amici menarik benang merah bahwa terdapat inkonsistensi antara komitmen iklim dengan implementasi kebijakan pengurangan emisi GRK yang ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Inkonsistensi ini perlu dikoreksi, salah satunya melalui gugatan yang diajukan oleh MHA Suku Awyu dalam perkara ini. Gugatan ini adalah benteng terakhir yang bisa menyelamatkan hutan hujan Papua agar tidak berakhir seperti hutan hujan Sumatera dalam penelitian Guillaume (2018).

Amici berpendapat, berdasarkan tinjauan teori, putusan pengadilan, serta praktik terbaik internasional dan nasional dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup, jelas bahwa pertimbangan terhadap izin sosial (social licence) dan penilaian terhadap dampak perubahan iklim adalah suatu keharusan. Keduanya terkait erat dan tidak dapat saling meniadakan. Lebih lanjut lagi, objek gugatan perlu memuat kajian dan mempertimbangan hak atas tanah MHA, hutan adat dan komitmen perubahan iklim Indonesia sekaligus tidak menegasikan pemenuhan hak atas informasi dan hak berpartispasi yang dijamin oleh hukum nasional dan hukum internasional yang Indonesia ikuti.

Selengkapnya dapat disini: Amici Curiae Brief PUSKAHA DJOJODIEGONO

Ank, Okt 2023

Oktober 27, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Majelis Hakim PTUN Jayapura akan Memutuskan Gugatan Lingkungan Hidup Suku Awyu

by Admin Pusaka Oktober 27, 2023
written by Admin Pusaka

Setelah menjalani proses sidang selama tujuh bulan lebih (Mei – November) 2023, Majelis Hakim PTUN Jayapura akan memutuskan gugatan lingkungan hidup salah satu pimpinan Suku Awyu pada tanggal 02 November 2023.

Latar belakang Gugatan ini adanya Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 Tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.096,4 Hektar ke PT Indo Asiana Lestari. PT Indo Asiana Lestari merupakan Perusahaan Modal Asing (PMA) yang dikendalikan perusahaan asal Malaysia, All Asian Group.

Putusan pemerintah memberikan izin dalam usaha perkebunan kelapa sawit ini diperkarakan masyarakat adat Awyu terdampak. Mereka khawatir kehilangan hak dan akses atas tanah dan hutan adat, yang telah dijaga dan dikelola turun temurun sebagai sumber kehidupan. Ancaman penggundulan hutan (deforestasi) akan menghilangkan sumber penghidupan, tempat ritual dan budaya adat, mata pencaharian dan pangan.

Dalam Siaran Pers Tim Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua disampaikan bahwa gugatan lingkungan hidup oleh pemimpin Suku Awyu, telah mendapatkan solidaritas dan dukungan luas dari masyarakat dan aktivis dari berbagai daerah di Papua dan luar Papua. Petisi yang disusun Gerakan Solidaritas Untuk Selamatkan Hutan Adat Papua ditandatangani 73 lembaga dan 94 individu. Dukungan awal telah diserahkan ke Majelis Hakim, dukungan petisi akan bertambah hingga menjelang putusan.

Kuasa Hukum Penggugat, Tigor G. Hutapea, menyampaikan seluruh para pihak penggugat dan tergugat telah mengajukan kesimpulan pada tanggal 20 Oktober 2023 lalu.

“Kuasa Hukum Penggugat telah mengajukan kesimpulan kepada majelis hakim, kesimpulan ini berisi seluruh berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan. Fakta-fakta didukung dengan banyak alat bukti surat, keterangan para saksi dan para ahli. Ada 102 bukti surat yang kami ajukan, enam (6) orang saksi fakta, tiga (3) ahli yang memiliki latar belakang penyusun Amdal, ahli pertanian masyarakat dan hukum lingkungan, semua bukti ini mendukung argumentasi kami” Ujar Tigor Hutapea, salah satu kuasa hukum.

Tindakan sewenang pemerintah yang tetap memaksa penerbitan izin  dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.

Kami menyimpulkan bahwa proses penerbitan keputusan pemerintah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyusunan dokumen analisa dampak lingkungan (Amdal) melanggar prinsip validitas data. Terungkap dipersidangan banyak data amdal yang tidak valid, penyusun Amdal juga tidak menganalisa nilai kenekaragamanhayati yang tinggi dilokasi, tidak melakukan analisa dampak deforestasi terhadap perubahan iklim, penyusun Amdal juga dengan sengaja tidak memasukan pendapat masyarakat yang melakukan  penolakan. Seharusnya pemerintah tidak mengeluarkan keputusan tersebut. Ungkap Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua

Terapkan Pertimbangan Lingkungan Hidup

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengirimkan pendapat hukum (Amicus Curiae) atas perkara gugatan Suku Awyu. Disampaikan antara lain bahwa Perkara yang diajukan Penggugat memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan kelayakan lingkungan untuk menilai apakah produser penerbitan objek sengketa telah sesuai peraturan perundang-undangan, atau menilai kewenangan Para Tergugat dalam mengeluarkan keputusan. Bahwa Perkara tersebut juga menyangkut kepentingan publik atas pemenuhan HAM dan keberlanjutan lingkungan di tanah Papua.

Lihat: Pendapat Komnas HAM dalam Perkara Gugatan Lingkungan Hidup Suku Awyu

Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia dan pemangku kewajiban utama (duty bearer) dalam pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM. Penerbitan Objek Sengketa juga memperparah perubahan iklim, yang akan berimplikasi pada pengurangan penikmatan hak-hak dasar dan berpeluang menimbulkan pelanggaran HAM. Khususnya mereka yang paling terancam oleh dampak negatif perubahan iklim, termasuk masyarakat adat seperti suku Awyu yang bergantung terhadap lingkungan untuk kelangsungan hidup.

Komnas HAM RI meminta kepada Majelis Hakim untuk menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dengan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup dalam memutus perkara, dan mempertimbangkan keberatan-keberatan yang disampaikan Penggugat utamanya terkait dengan persoalan dampak proyek perkebunan bagi Penggugat dan tidak adanya partisipasi aktif dari Penggugat selaku bagian dari Masyarakat Adat Suku Awyu.

Ank, Okt 2023

Oktober 27, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Ahli Hukum Lingkungan: Kebijakan Mengatasi Krisis Iklim Seharusnya jadi Instrumen Penyusunan AMDAL

by Admin Pusaka Oktober 5, 2023
written by Admin Pusaka
Oktober 5, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28 Dubai
  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo