Perkara lingkungan hidup mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya. Perkara lingkungan hidup merupakan suatu perkara atas hak yang dijamin di dalam konstitusi dalam hal ini adalah hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perkara lingkungan hidup juga dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas.
Pendapat ini disampaikan oleh akademisi hukum lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, I Gusti Agung Made Wardana, S.H., LL.M., Ph.D., yang sering disapa IGAM Wardana, dalam Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae Brief) Dalam Perkara No. 6/G/LH/2023/PTUN.JPR terkait Gugatan Tata Usaha Negara mengenai Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dengan Kapasitas 90 Ton TBS/Jam Seluas 36.094,4 Hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua tertanggal 2 November 2021.
Karenanya, dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam hal ini adalah Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, yakni: Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); serta Prinsip meliputi: prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem, dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat karena perkara ini menyangkut hak Masyarakat Adat Awyu di Boven Digoel, Papua. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.
Igam Wardana berpendapat bahwa dalam perkara lingkungan, Majelis Hakim dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat dalam putusannya sesuai doktrin in dubio pro natura.
Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu di PTUN Jayapura merupakan litigasi perubahan iklim anti-regulatory yang menolak kebijakan negara karena dianggap bertentangan dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian, putusan yang dihasilkan oleh Majelis Hakim dalam perkara in casu akan menjadi pertaruhan sejauh mana pengadilan di Indonesia menjadi benteng terakhir dalam upaya mengatasi permasalahan krisis iklim yang sedang dihadapi oleh umat manusia.
AMDAL Menutup Mata dari Perkara Perubahan Iklim
Igam Wardana merupakan akademisi hukum lingkungan yang memiliki kepedulian atas perlindungan lingkungan hidup, menjelaskan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) memainkan peran instrumental dalam mengatasi perubahan iklim. Apabila rezim AMDAL didesain dengan baik, maka ia dapat difungsikan mengantisipasi dampak suatu kegiatan bagi perubahan iklim serta mengantisipasi kerentanan proyek dari dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi yang terintegrasi dalam rencana pemantauan dan pengelolaan dampak. Melalui AMDAL pemrakarsa proyek melakukan identifikasi tidak saja dampak penting bagi kondisi biofisik-kimia serta dampak sosial-budaya dari proyek yang diusulkan, tapi juga memperkirakan besaran emisi GRK yang akan dihasilkan dan sebaliknya bagaimana dampak perubahan iklim mempengaruhi proyek yang direncanakan.
Akan tetapi dalam perkara in casu, yang terjadi justru kesenjangan antara ketentuan normatif di atas dengan kenyataan di lapangan. Pertama, secara prosedural, mekanisme FPIC tidak dijalankan bagi Masyarakat Adat Awyu yang terkena dampak proyek. Kedua, secara material, dalam analisis tentang sifat dampak penting dari pembukaan lahan, AMDAL hanya menilai dua dampak penting yakni penurunan keanekaragaman vegetasi dan penurunan kualitas jenis satwa liar. Apabila mengacu pada pedoman penyusunan dokumen lingkungan, salah satu kriteria untuk memperkirakan sifat dari dampak penting adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, AMDAL menyatakan bahwa “tidak ada“ dampak berdasarkan kriteria perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan kriteria penyusun AMDAL seharusnya melihat ilmu pengetahuan dan teknologi terkait perubahan iklim yang telah mengalami perkembangan secara pesat sehingga memungkinkan penyusun AMDAL untuk melakukan penghitungan berapa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembukaan lahan tersebut yang akan berkontribusi pada perubahan iklim.
Igam Wardana menilai upaya untuk menutup mata dari perubahan iklim oleh penyusun AMDAL juga dapat ditemukan dalam analisis sifat dampak penting dari tahap operasional sarana prasarana. Di sini, dampak besar proyek bagi lingkungan hanya dibatasi pada penurunan kualitas air permukaan, peningkatan limbah padat, peningkatan limbah cair, penurunan biota perairan. Hal yang sama juga terjadi dalam analisis dalam Tahap Operasional Pabrik, di mana penyusun AMDAL hanya menyebutkan dua dampak negatif terhadap lingkungan, yakni penurunan kualitas air permukaan dan peningkatan limbah padat.
Singkatnya, AMDAL yang sama sekali tidak menyebutkan dampaknya bagi perubahan iklim melalui pelepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer menunjukkan proses penyusunannya yang tidak cermat, reduksionis, dan tidak berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini bertentangan dengan komitmen pemerintah terkait perubahan iklim peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perubahan iklim. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang dilegitimasi oleh SK No. 82 Tahun 2021 yang menjadi objek sengketa ini berpotensi untuk melepaskan 23,08 juta ton CO2e yang mana pada gilirannya akan meningkatkan emisi karbon Indonesia sebanyak 5% pada tahun 2030. Konsekuensinya, proyek ini akan menyebabkan kegagalan Indonesia untuk menjalankan kewajibannya dalam upaya penurunan emisi GRK secara nasional sebagaimana dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
Igam Wardana mengungkapkan dalam perkara ini yang terpenting adalah fakta bahwa pemrakarsa proyek, penyusun AMDAL, penilai AMDAL, tidak memasukkan dampak perubahan iklim, salah satunya besaran emisi GRK yang akan dilepaskan ke atmosfir oleh proyek yang diberikan izin lingkungan oleh Tergugat. Hal ini menunjukkan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian Tergugat dalam mengeluarkan keputusan tata usaha negara. Padahal, dalam konteks hukum lingkungan, keputusan tata usaha negara seharusnya memiliki fungsi penting dalam melakukan pencegahan atas terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan
AMDAL Cacat secara Prosedural dan Material
AMDAL sebagai dokumen teknis dan ilmiah harus mengandung kajian yang benar, cermat, dan akurat karena berdasarkan kajian inilah kelayakan atau ketidaklayakan sebagai usaha dan/atau kegiatan akan dinilai. Apabila terdapat kajian yang tidak benar atau direduksi dalam dokumen AMDAL, akan berisiko bagi upaya pencegahan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.
Igam Wardana menjelaskan apabila AMDAL tidak mengkaji dampak perubahan iklim dari sebuah proyek yang diusulkan, maka proyek tersebut akan memperparah krisis iklim sehingga permasalahan tersebut semakin sulit untuk diatasi. Karena perizinan lingkungan tersusun secara berlapis mulai dari kelayakan ruang (izin lokasi), kelayakan lingkungan (izin lingkungan) dan kelayakan operasional (izin PPLH), maka AMDAL yang cacat secara prosedural dan material akan memiliki konsekuensi hukum terhadap izin lingkungan yang dikeluarkan.
Apabila izin lingkungan yang dikeluarkan berdasarkan AMDAL yang tidak mempertimbangkan dampak negatif proyek bagi perubahan iklim, maka dapat melahirkan konsekuensi hukum dibatalkannya izin lingkungan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan normatif Pasal 37 ayat (2) UU PPLH dan sebagaimana telah menjadi praktik pengadilan yang dituangkan dalam bentuk preseden oleh Majelis Hakim dalam Kasus PLTU Tanjung Jati melalui Putusan No. No. 52/G7LH/2022/PTUN.Bdg.
Dalam perkara in casu, Amicus berkesimpulan bahwa SK Kepala DPMPTSP Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 harus dinyatakan batal. Hal ini karena objek sengketa tersebut dikeluarkan atas dasar AMDAL yang melanggar Asas Tanggung Jawab Negara dan Asas Kehati-hatian, serta melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) khususnya Asas kecermatan dan Asas Manfaat. Namun apabila Majelis Hakim dalam perkara in casu mengalami keragu-raguan, Amicus memohon Majelis Hakim untuk mengambil putusan yang terbaik bagi kelestarian lingkungan hidup (in dubio pro natura).
Selengkapnya baca: Amicus Curiae_IGAM Wardana atas Gugatan Lingkungan Hidup Suku Awyu
Ank, Okt 2023