#HutanPapua
Sungai lebih dari sekadar air yang mengalir. Sungai merupakan sumber kehidupan manusia dan tempat tumbuh keanekaragaman hayati yang ada pada daerah aliran sungai. Air minum, makanan, obat-obatan, sumber energi, transportasi dan banyak layanan sosial diperoleh dari sungai. Juga fungsi ekologi, menyaring polutan, mengurangi banjir dan kekeringan, mengisi ulang persediaan air bawah tanah, membawa sedimen yang kaya nutrisi dan mineral terlarut yang mengisi kembali tanah. dan mempertahankan perikanan.
Muara sungai, tempat air tawar bercampur dengan garam laut, adalah salah satu bagian sungai yang paling produktif secara biologis. Sebagian besar tangkapan ikan dunia berasal dari spesies yang setidaknya sebagian dari siklus hidupnya bergantung pada habitat muara.
Kini sungai dan aliran sungai di modifikasi menjadi komoditi komersial untuk kepentingan akumulasi kapital. Sungai-sungai diubah dan dibendung, airnya dialirkan untuk menghasilkan pembangkit energi listrik, usaha agroindustri, air minum dan sebagainya. Energi listrik bukan hanya untuk penerangan rumah tangga, melainkan menjadi penggerak mesin-mesin keruk dan eksploitasi sumberdaya alam, energi pembangkit industri guna menghasilkan barang dagangan pada daerah pusat ekonomi baru, lalu dipasarkan kepada rakyat.
Komoditi energi dari bendungan menjadi salah satu bagian proyek strategis nasional, pemerintah merencanakan pembangunan bendungan dan irigasi sebanyak 57 proyek,[1] Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat jumlah bendungan di Indonesia saat ini mencapai 205 unit yang tersebar di 16 Provinsi.[2] Di Papua, rencana proyek bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air disebutkan antara lain PLTA Mamberamo di Mamberamo, Bendungan Sungai Kao di Boven Digoel, PLTA Urumuka di Paniai, PLTA Orya Genyem di Jayapura, PLTA Baliem di Wamena, Bendungan Digoel di Ninati, Boven Digoel, dan PLTA Warsamson di Sorong.
Keberadaan proyek PLTA Warsamson di Sorong dapat ditelusuri dari tahun 1996, lembaga pembangunan pemerintah Jepang JICA (Japan International Cooperation Agency) memberikan pinjaman dana dan bantuan teknis studi kelayakan pengembangan proyek pembangkit listrik di Sungai Warsamson , yang kini terletak di wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Study ini merekomendasikan pembangunan pembangkit listrik di Sungai Warsamson dengan membangun bendungan berukuran tinggi 48 m hingga 100 m di puncaknya, untuk pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas 46,5 MW.
Siapa yang Berkepentingan dari Proyek Bendungan
Proyek ini menunjukkan jejak dan kepentingan lembaga kuangan global sejak awal untuk memfasilitasi proses pembangunan infrastruktur yang pada gilirannya dapat mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Negara berperan mengatur, mengendalikan dan mengelola proyek, termasuk mereformasi hukum untuk memperlancar investasi dan proyek. Dalam kasus Bendungan Bener di Wadas dan Waduk Lambo di Nagekeo, NTT, negara berperan sekaligus menjadi alat kekerasan dan mengendalikan warga untuk menerima proyek pembangunan.
Tahun 2014, lembaga keuangan multilateral Asian Development Bank (ADB) memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia untuk peningkatan proyek PLTA Warsamson. JICA dan ADB merupakan agen keuangan yang memberikan investasi modal, pinjaman dan bantuan teknik dalam kerangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mempromosikan investasi sektor publik dan swasta.
Investasi dan dukungan ini masih terkait dengan komitmen dan ajakan berinvestasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya dihadapan forum ekonomi Konferensi Tingkat Tinggi The Asia Pacific Economic Cooperation (APEC, Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik) di Bali 2013, yang dihadiri pemimpin negara dan CEO perusahaan. “Sebagai kepala penjualan Indonesia Inc, sebagai sebuah perusahaan berupa negara, saya mengundang anda semua untuk meningkatkan peluang bisnis dan investasi di Indonesia”, kata Presiden SBY. Para pemimpin anggota APEC sepakat untuk membangunan konektivitas kawasan ekonomi dan investasi infrastruktur.
Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diundangkan pada November 2020, Undang-Undang yang mereformasi hukum untuk kepentingan investasi ini, ADB memperpanjang pemberian hutang kepada pemerintah Indonesia melalui Sekretariat Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Desember 2020, untuk proyek percepatan penyediaan infrastruktur pada beberapa daerah di Indonesia, salah satunya persiapan pembangunan Bendungan Warsamson di Kabupaten Sorong, Papua, dengan nomor proyek 49141-001 dan nilai proyek sebesar 2.747.361,29 USD.
Balai Wilayah Sungai Papua Barat (BWSPB), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian PUPR, sebagai penanggung jawab proyek. Pada pertemuan persiapan pembangunan bendungan Warsamason (Desember 2021)[3], BWSPB bersama OPD Papua Barat, Bappeda Provinsi, Bappeda Kabupaten Sorong, Bappeda Kabupaten Tambrauw, Dinas Lingkungan Hidup Papua Barat, Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang dan Dinas Pertanahan, menyampaikan proyek pembangkit energi ini di latar belakangi kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, KSPN (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) Raja Ampat, dan Kota Baru Sorong.
Sejak tahun 2017, pemerintah Kota Sorong mereklamasi pantai untuk menjadi Waterfront City modern dalam pergerakan dan pertumbuhan ekonomi. Tembok Berlin pantai Dofior dan sekitarnya dihilangkan, digusur, dirubah dan dimodifikasi, agar sistem produksi bercorak kapitalistik dapat mendapatkan tempat dan meluas, dibangun super blok bisnis dan pusat belanja, sebagai wujud episentrum bisnis dan perdagangan terintegrasi.
Energi listrik akan memasok industri pengolahan di kawasan ekonomi (KEK) Sorong, yakni industri pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan nikel, hasil hutan kayu dan non kayu. Hingga tahun 2018, tercatat ada 18 investor pertambangan, pengolahan minyak kelapa sawit, pengilahan kayu dan semen, dan sebagainya, yang berada dalam kawasan KEK Sorong, antara lain: PT GAG Nikel, PT Henrison Inti Persada, dan PT Semen Gresik.
Mitos Pembangunan Bendungan
Seringkali kita mendengarkan pejabat, teknokrat, operator proyek, manager perusahaan, lembaga keuangan, membicarakan dan menjanjikan aspek positif manfaat pembangunan bendungan besar untuk masyarakat sekitar proyek, seperti meningkatkan mata pencaharian, lapangan pekerjaan, pemenuhan listrik dan air yang mudah dan murah, dan sebagainya. Tulisan berikut diolah dari laporan International River Network yang membuat laporan dan kasus pembangunan bendungan di dunia.
Mitos bendungan merupakan energi bersih. Bendungan bukan sumber listrik yang “bersih” karena dampak sosial dan lingkungan yang serius. Faktanya, bendungan menjebak sedimen dan nutrisi, mengubah suhu dan kimia sungai, dan mengganggu proses geologis erosi dan pengendapan yang membentuk tanah di sekitarnya. Perubahan seperti itu membuat seluruh daerah aliran sungai keluar dari keseimbangan ekologis. Diperkirakan pula, 40 hingga 80 juta orang telah mengungsi karena bendungan.
Mitos janji pemberian energi listrik, air bersih dan fasilitas sosial lainnya. Faktanya, janji seperti itu sering dilanggar. Kebanyakan kasus masyarakat sekitar proyek bendungan besar, digusur dan di relokasi ke daerah baru yang jauh dari proyek, karena kampung mereka ditenggelamkan. Dalam beberapa kasus, orang tidak menerima kompensasi atas kerugian mereka secara layak, pembayaran tunai jarang cukup untuk mengkompensasi hilangnya tanah, rumah, pekerjaan dan mata pencaharian. Biaya pembangunan bendungan dan transmisi distribusi listrik yang besar dan waktu lama membangun, akibatnya biaya dibebankan kepada rakyat konsumen listrik dan air yang tidak murah.
Mitos proyek bendungan membuka lapangan kerja. Faktanya, sebagian besar pekerjaan untuk merancang dan membangun bendungan diberikan kepada insinyur dan kontraktor yang sangat terlatih yang didatangkan untuk membangun proyek, bukan penduduk lokal atau bahkan warga negara tersebut. Mayoritas orang tergusur oleh bendungan akhirnya semakin miskin dan jarang mendapa
tkan manfaat proyek. Sedikitnya 500 juta lebih orang juga menderita dampak hilir bendungan, mencakup hilangnya perikanan, penurunan kualitas dan kuantitas air, penurunan kesuburan lahan pertanian dan hutan karena hilangnya pupuk alami dan banjir musiman yang menyehatkan sungai. Mereka yang menderita biasanya adalah mereka yang paling terpinggirkan dalam masyarakat, petani miskin dan masyarakat adat.
Bendungan menjaga kelestarian air dan lingkungan alam setempat. Faktanya rekayasa bendungan mengakibarkan penumpukan sedimen yang kemudian membentuk tepian sungai baru, delta sungai, dan pesisir pantai. Perubahan sedimentasi ini menyebabkan perubahan dramatis dalam kehidupan tumbuhan dan hewan, menyebabkan peningkatan erosi hilir dan dasar sungai semakin dalam dan menyempit dari waktu ke waktu. Bendungan menghalang migrasi ikan untuk berkembang biak di hilir dan atau hulu di sepanjang sungai, hal ini berdampak pada populasi ikan lokal terancam punah, mempengaruhi mata rantai makanan dan habitat setempat, dan mata pencaharian masyarakat dari hasil sungai. Sedimentasi, genangan air dan banjir sekitar bendungan telah membunuh pohon dan kematian kehidupan tanaman lain karena kekurangan oksigen, yang kemudian terurai dan melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer. Karena sungai tidak lagi mengalir deras, air menjadi tergenang dan dasar waduk menjadi kehabisan oksigen. Kekurangan oksigen ini menciptakan situasi di mana metana (gas rumah kaca yang sangat kuat) dihasilkan dari dekomposisi bahan tanaman di dasar reservoir yang akhirnya dilepaskan ke atmosfer, berkontribusi pada perubahan iklim global. Dekomposisi bahan organik dari tanaman yang membusuk dapat mengubah merkuri anorganik menjadi meti-merkuri dan menyebabkan efek toksik pada manusia dan satwa liar yang memakan ikan.
Orang utan Tapanuli, jenis kera paling langka di dunia, hanya 500 individu yang tersisa, terancam proyek bendungan Batang Toru, Sumatera Utara, terancam dan terdesak ke jurang oleh proyek pembangkit listrik tenaga air.
Melawan Kematian
“Apabila pembangunan Bendungan Warsamson tetap dilanjutkan dipastikan akan ada korban jiwa dan pertumpahan darah untuk mempertahankan tanah adat”, kutipan ini disampaikan perwakilan pemimpin masyarakat adat dan pemilik tanah adat dari daerah sasaran proyek bendungan Warsamson, (02 Maret 2022). Ekspresi masyarakat ini pasti ada alasannya dan perlu mendapatkan perhatian dan tanggapan dari pejabat dan pemegang otoritas.
Proyek bendungan Warsamson akan menenggelamkan kawasan hutan dan tanah adat seluas 6.855 hektar, yang didalamnya terdapat sumber kehidupan masyarakat, tempat keramat, tanaman dan kehidupan hewan penting bagi masyarakat dan lingkungan. Masyarakat adat Moi yang berdiam dan memiliki wilayah adat sasaran proyek khawatir akan kehilangan kehidupannya, ekonomi, budaya, lingkungan dan sebagainya.
Ada dasar dan alasan kekhawatiran. Berita horor kematian kehidupan ikan dan tanaman pada daerah sungai dan proyek bendungan setiap tahun ditemui. Masyarakat di kampung dan kita semua khawatir atas kehilangan dan merasa tidak aman atas horor kematian lingkungan yang tidak wajar, maupun dampaknya kekeringan dan banjir menjebol bendungan, yang berpengaruh pada keberlangsungan hidup rakyat setempat dan perubahan iklim berdampak terhadap masyarakat dunia.
Kematian datang dengan berbagai cara, tak ada yang bisa menghalangi, karena semua yang hidup pasti mati, hanya seoal waktu dan cara yang berbeda. Tapi untuk kematian lingkungan dan sosial yang disebabkan pembangunan dan kepentingan ekonomi kelompok tertentu, semestinya dapat dicegah dan dihentikan sebelum kematian sebenarnya, kehilangan sumber kehidupan dan bahkan nyawa. Setiap kita pasti memiliki insting untuk melawan datangnya kematian lingkungan dan sosial yang tidak adil, dengan berbagai gagasan dan aksi damai.
Sejak awal tahun 2022, eskalasi pergerakan masyarakat adat Moi dan tuntutan menentang pembangunan bendungan Warsamon terus meluas. Mereka berdiskusi di kampung dan datang ke kota, bertemu dengan pejabat dan pengelola proyek, untuk membela kehidupan masyarakat dan lingkungan, dan kehidupan generasi mendatang.
“Tanah adat akan kami pertahankan dalam bentuk apapun demi generasi penerus kami sebagai pewaris tanah adat kami Suku Moi”, tegas masyarakat adat Moi yang dituangkan dalam Surat Pernyataan (02 Maret 2022), ditandatangani puluhan tokoh masyarakat adat Moi dan pemilik tanah adat.
Pemegang otoritas, pengelola proyek dan investor bendungan ini, seharusnya dapat bijaksana bertindak dan memenuhi hak konstitusional masyarakat adat Moi, dengan menghormati dan melindungi suara dan hak masyarakat adat untuk dapat melangsungkan kehidupan.
Ank, Juli 2022
Hutan Tidak Produktif, kata ini dituliskan dan dimuat dalam beberapa dokumen hukum resmi pemerintah untuk menunjukkan kondisi vegetasi dan tegakan hutan berdasarkan kriteria teknis dan pengetahuan rimbawan, seperti tegakan pohon yang jarang dan kurang, dan ukuran pohon tertentu.
Pengetahuan rimbawan negara ini digunakan pejabat penerbit izin, para konsultan dan operator perusahaan, dengan menuding dan mendikte keberadaan hutan adat sebagai hutan tidak produktif, karenanya harus diubah menjadi produktif melalui usaha komersial, usaha hutan tanaman industri, perkebunan dan budidaya pertanian, untuk meraup cuan.
Masyarakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, sudah turun temurun berdiam di dalam dan sekitar hutan. Mereka menolak pengetahuan rimbawan negara dan perusahaan, yakni dalil hutan tidak produktif dan tanah kosong dijadikan dasar untuk memberikan izin usaha hutan tanaman industri kepada perusahaan PT Merauke Rayon Jaya. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk pengabaian negara dan korporasi yang tidak mengakui dan menghormati hak dan pengetahuan masyarakat adat.
Tahun 2021, PUSAKA bersama masyarakat adat Wambon Tekamerop di Kampung Aiwat, Distrik Subur, melakukan penilaian kondisi kawasan hutan berbasiskan pengetahuan adat setempat. Sesat pikir terhadap hutan adat dan pengetahuan masyarakat adat dapat dibantah dengan fakta bahwa masyarakat adat memiliki pengetahuan inovatif dalam mengatur dan memanfaatkan hutan secara berkelanjutan. Kondisi hutan setempat masih tergolong sehat dan masih mampu menyediakan segala kebutuhan masyarakat. Hutan milik suku Wambon Tekamerop dihuni oleh tetumbuhan sederhana (lumut dan paku-pakuan) hingga tumbuhan berkayu dan menjadi rumah bagi hewan-hewan liar. Hutan tersebut masih dipenuhi dengan berbagai jenis pohon kayu (diameter lebih dari 40 cm) dan non kayu yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, bahan aksesoris budaya dan sebagai bahan bangunan.
Nama tanaman yang sering digunakan masyarakat untuk bangunan rumah, bahan pangan, obat-obatan dan upacara adat, dan makanan hewan liar, yakni: doruk (Damar resak – Vatica rassak), tenot (Genemon – Gnetum gnemon), keydan, mbu, oromun, moron, terah (Rotan – Calamus sp.), jon (Nibung – Oncosperma tigillarium) dan ndu (sagu – Metroxylon sagoo). Masyarakat masih memiliki pengetahuan akan hutannya karena masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan pengetahuan tersebut tertuang dalam norma adat pengelolaan dan pengamanan hutan adatnya.
Industrialisasi Hutan Alam Skala Luas
Tahun 1998, Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/KPTS-II/1998 tanggal 05 Januari 1998 tentang pemberian hak pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp kepada PT Maharani Rayon Jaya (MRJ), yang kemudian berganti nama PT Merauke Rayon Jaya, dengan luas 206.800 hektar, yang secara administratif berada di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel dan Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua.
Izin usaha industri hutan tanaman PT MRJ pernah dicabut oleh Bupati Merauke tahun 2007, Gubernur Papua tahun 2013, dan Menteri Kehutanan tahun 2014. Namun perusahaan menggugat putusan Menteri Kehutanan dan majelis hakim di Mahkamah Agung dalam sidang perkara peninjauan kembali menerima gugatan perusahaan dan membatalkan putusan Menteri Kehutanan tahun 2017. Selanjutnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan SK Nomor 238/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2018 tanggal 17 Mei 2018 yang membatalkan dan memberikan kembali izin usaha PT MRJ.
Perusahaan PT MRJ merencanakan akan mengkonversi hutan alam yang disebutkan sebagai hutan tidak produktif dan tanah kosong, menjadi industri hutan tanaman untuk komoditi pulp.
Berdasarkan Rencana Kerja Usaha HTI untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun 2020 – 2029, perusahaan PT MRJ akan menggusur hutan alam dan menanam tanaman jenis jati salomon dan jati sengon salomon pada lahan seluas 152.974 hektar, atau sekitar 74 persen dari izin konsesi 206.800 hektar.
Tanaman baru jati salomon dan sengon, bukan tanaman endemic, didatangkan dari luar yang akan menggantikan dan menghilangkan keanekaragaman jenis tanaman pohon pada hutan adat.
Ancaman Deforestasi
Berdasarkan peta moratorium (PIPIB, 2019) dan peta tutupan lahan diketahui pada areal konsesi PT. MRJ tersebut di dominasi hutan alam primer dengan luas mencapai 131.314 hektar dan terdapat lahan gambut seluas 2.020 hektar. Karenanya, kawasan hutan alam disini pernah menjadi objek moratorium. Tahun 2022, Peta PIPIB (2022) direvisi, tidak lagi ditemukan keterangan hutan alam dan lahan gambut dalam areal PT MRJ.
Hasil kajian PUSAKA, kawasan hutan adat yang menjadi areal konsesi perusahaan PT MRJ di dominasi kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (NKT) kategori 2.2. yakni kawasan alam yang berisi dua atau lebih eskosistem. Kawasan bentang alam yang luas ini memiliki kapasitas untuk menjaga proses dan dinamika ekologi. Terdapat pula kawasan NKT kategori 3, yang mempunyai ekosistem langka dan terancam punah. Selain NKT 2 dan 3, kawasan hutan suku Wambon juga tergolong dalam kategori NKT 6 – Area yang memiliki peranan penting bagi masyarakat yakni hutan keramat douval, area kuburan keramat, area kampung tua dan kampung lama.
Diperkirakan jika terjadi konversi pada konsesi hutan alam oleh PT MRJ seluas 2.068 Km2, maka diperkirakan hutan alam yang hilang (deforestasi) sebesar 11 kali luas kota Stockholm di Eropa, kota tempat berlangsungnya Konferensi Majelis Umum PBB (1972), yang menetapkan Hari Lingkungan Internasional, diperingati setiap tanggal 5 Juni. Potensi emisi karbon (CO2) dari penggundulan hutan tersebut sebesar 146,624,737 ton CO2.
Proyek industri hutan tanaman yang akan menggundulkan hutan ini bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi dan mencegah perubahan iklim. Idealnya, pemerintah melindungi dan memberdayakan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Investor Baru
Perusahaan PT. Merauke Rayon Jaya didirikan tahun 1995 dan berkedudukan di Jl. Proklamasi Nomor 36, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat[1]. Awalnya, PT MRJ bagian dari Texmaco Group, yang dominan sahamnya dimiliki Marimutu Sanivasan. Setelah dilanda masalah keuangan dan hukum, dijerat skandal kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pemerintah lalu menyita asset Texmaco Group yang dikendalikan Marimutu Sinivasan. Penyitaan tersebut akan melanjutkan dengan penjualan secara terbuka atau lelang dan atau penyelesaian lainnya, kata Menteri Polhukam Mahfud, MD (20/01/2022).
Berdasarkan data perseroan yang diterbitkan Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM yang diakses Juni 2022, diketahui tahun 2021 terjadi perubahan Anggaran Dasar dan Data Perseroan dari PT Merauke Rayon Jaya, yakni jenis perseroan dari PMDN (Perusahaan Modal Dalam Negeri) menjadi PMA (Perusahaan Modal Asing).PT Merauke Rayon Jaya dimiliki investor baru asal dari Singapore, Energy Timber Bamboo Plantation, PTE, LTD, holding company yang dimiliki Tankappan Pillai Harirahan, yang menguasai saham PT MRJ sebesar 55 %, PT Star Timber Perkasa, yang dimiliki AR. Parmananthen (masih terkait dengan Texmaco Group) sebesar 44 %, dan Marimutu Sinivasan 1 %. Direktur Utama PT MRJ adalah Martin H Hutabarat, yang dikenal sebagai politikus asal dari Partai Gerindra.
Masyarakat adat Wambon Tekamerop, pemilik tanah, tidak mendapatkan informasi perubahan dan kehadiran investor baru PT MRJ. Pemerintah seharusnya menjadikan PT MRJ sebagai salah satu perusahaan yang izinnya perlu di evaluasi dan diberikan sanksi. Sebagaimana pidato Presiden Joko Widodo, “Izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukkan dan peraturan, kita cabut”. (Januari 2022).
Resistensi Masyarakat
Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Kampung Aiwat tidak pernah mengetahui apapun proses perizinan hingga perusahaan PT Merauke Rayon Jaya (MRJ) mendapatkan izin usaha. Pemerintah dan perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi secara terbuka dan luas. Masyarakat mengeluhkan rencana bisnis perusahaan PT. MRJ yang akan menggusur hutan adat tersisa dan menghilangkan wilayah sakral suku Wambon Tekamerop, salah satunya berhubungan dengan sejarah kehadiran dan perjalanan Misi Katolik di Papua Selatan.
Terhadap rencana PT. Merauke Rayon Jaya masyarakat adat suku Wambon Tekamerop sebagai pemilik tanah adat telah melakukan resistensi penolakan dengan mengirimkan surat pernyataan menolak rencana dan mediasi dengan PT. MRJ (2019) ; bertemu perusahaan dan menyampaikan penolakan (2020); Masyarakat Adat Wambon Tekamerop melakukan ritual adat, menanam Salib Merah dan Pemalangan di wilayah adat Wambon Tekamerop untuk menjaga hutan dan wilayah adat (2020), menemui pejabat perwakilan Gubernur Papua, Dinas Kehutanan, MRP Papua (2021).
Masyarakat adat Wambon Tekamerop meminta (1) pemerintah daerah dan nasional tidak memberikan surat rekomendasi apapun dan mencabut izinperusahaan PT Merauke Rayon Jaya; (2) pemerintah daerah dan nasional harus menghormati keputusan masyarakat adat Wambon Tekamerop menolak seluruh rencana dan aktifitas industri PT MRJ di Kampung Subur dan Kampung Aiwat Kab Boven Digoel ; (3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memberikan pengakuan hutan adat yang dikuasai dan dikelola Masyarakat Adat Suku Wambon Tekamerop di Kampung Subur dan Aiwat, Distrik Subur Kabupaten Boven Digoel Provinsi Papua.
Ank, Juni 2022
Siaran Pers: Perusahaan di Papua Menggugat Menteri Investasi yang Mencabut Izin Pelepasan Kawasan Hutan
Jakarta, 22 Juni 2022 — Masyarakat adat dari Lembah Grime Nawa, Jayapura, Provinsi Papua, telah lama dihantui kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri, yang datang ke kampung mereka. Perusahaan ini, telah menggunduli ratusan hektar hutan tanpa ada persetujuan masyarakat luas.
Pada awal tahun 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan No. 01/2022 yang mencabut izin konsesi puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Papua, termasuk PT Permata Nusa Mandiri (PNM). Putusan ini seperti memberi harapan baru bagi masyarakat adat di Papua.
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut, diikuti oleh pembentukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi oleh Presiden Joko Widodo. Pembentukan tim ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 1 Tahun 2022 yang dipimpin oleh Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, dibantu Wakil Ketua Menteri ESDM, Menteri LHK dan Menteri ATR/ Kepala BPN. Satgas bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Satgas ini bertugas menindaklanjuti pencabutan izin usaha pertambangan, izin pinjam pakai kawasan hutan, hak guna usaha, dan hak guna bangunan, yang didasarkan proses verifikasi perizinan dan klarifikasi dari perusahaan.
Hasil kerja satgas tersebut, berlanjut dengan pencabutan izin konsesi kawasan hutan kepada 15 perusahan oleh Kepala BKPM pada 29 Maret 2022. Tiga perusahaan diantaranya yang dicabut izinnya adalah perusahaan yang memiliki izin pelepasan kawasan hutan yang berada di Papua, yakni PT Permata Nusa Mandiri (PNM) di Kabupaten Jayapura seluas 16.182,48 ha, PT Menara Wasior (MW) di Kabupaten Teluk Wondama seluas 28.838,82 ha, dan PT Tunas Agung Sejahtera (TAS) di Kabupaten Mimika seluas 39.500,42 ha, dengan total luas 84.521,72 hektar. Pemerintah tidak main-main untuk mencabut perizinan perusahaan yang tidak sesuai peruntukkannya dan tidak melaksanakan kewajibannya, tegas Bahlil dalam keterangan tertulis (30/032022)
Perusahaan PT Tunas Agung Sejahtera dan PT Permata Nusa Mandiri merupakan dua perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan semasa Menteri Zulkifli Hasan. Pelepasan tersebut ia berikan menjelang akhir masa jabatan sebagai Menteri Kehutanan, yang pernah diperiksa terkait kasus dugaan korupsi. Presiden Joko Widodo, kembali angkat Zulkifli Hasan yang juga politisi Ketua Partai Amanat Nasional, sebagai Menteri Perdagangan pada 15 Juni 2022.
Ketiga perusahaan PT PNM, PT TAS, dan PT MW, yang izinnya dicabut, merupakan anak perusahaan Indo Gunta Group, yang diduga saham dan bisnisnya dimiliki dan dikuasai Anthoni Salim, Direktur Indofood Sukses Makmur TBK, dan pemilik saham mayoritas Salim/Indofood Group, salah satu taipan penguasa lahan dan bisnis minyak kelapa sawit di Indonesia. Indogunta dan IndoAgri memiliki desain logo yang sama. Logo ini menjadi merek dagang Indofood. Beberapa anak perusahaan Indogunta dan Indofood di bawah IndoAgri juga berbagi kantor yang sama.
Perusahaan melawan dan menggugat putusan pemerintah yang mencabut izin perusahaan. Pada 14 Juni 2022 lalu, tiga perusahaan PT PNM, PT TAS, dan PT MW, menggugat keputusan Menteri Investasi / Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kasus tersebut tercatat dengan nomor perkara 166/G/2022/PTUN.JKT, 167/G/2022/PTUN.JKT, dan 168/G/2022/PTUN.JKT.
Situasi hukum ini menjadi perhatian masyarakat adat disekitar areal konsesi perusahaan penggugat tersebut dan organisasi masyarakat sipil untuk pembelaan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan.
“Gugatan ini, akan memperpanjang jalan perjuangan masyarakat merebut kembali wilayah adat mereka” ujar Tigor Hutapea, staf Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Tigor menekankan pentingnya wilayah adat bagi masyarakat adat untuk tetap dipertahankan sebagai hutan, yang bermanfraat sebagai salah satu sumber pangan masyarakat adat.
“Hutan di Gime Nawa, dan daerah sekitarnya memiliki bergam potensi. Bahkan masyarakat telah mengelolanya sebagai wilayah konservasi berbasis masyarakat adat” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia. Menurut Sekar, jika kehadiran perusahaan kebun sawit tetap dipertahankan, justru keragaman hayati ini akan semakin terancam dan bahkan punah.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi serangan balik perusahaan ini, pemerintah harus menghadapinya dengan transparan, pemerintah harus membuka ke publik semua pertimbangan dan hasil evaluasi yang dilakukan Satgas Penataan Penggunaan Lahan. Publik terutama masyarakat adat tentunya akan mendukung langkah pemerintah mempertahankan upaya pencabutan tersebut. Selain itu, untuk mempertahankan hutan tersisa, pemerintah harus mempercepat pengakuan masyarakat adat serta penetapan wilayah adat mereka.
Nara Hubung:
- Tigor Hutapea Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: +62 812-8729-6684
- Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia: +62 812-8776-9880
Press Release: Amicus Curiae ‘Sahabat peradilan’ untuk Hakim Mahkamah Agung RI
Perkara ini berawal dari Keputusan Bupati Kabupaten Sorong mencabut perizinan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari. Tiga perusahaan tersebut kemudian menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Majelis hakim PTUN Jayapura memutus para penggugat perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR tidak memiliki kepentingan yang dirugikan untuk menggugat, menyatakan tidak menerima dan menolak gugatan untuk seluruhnya, atas perkara 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, majelis menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Dalam upaya hukum banding, majelis hakim pengadilan tinggi Tata Usaha Negara Makassar mengabulkan gugatan perusahaan para penggugat 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR untuk seluruhnya. Majelis menilai tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi pencabutan secara langsung, maka seharusnya Bupati tidak memberikan sanksi terberat berupa pencabutan ijin namun terlebih dahulu memberikan teguran tertulis.
Atas putusan banding, Bupati Sorong mengajukan upaya kasasi. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia atas putusan Perkara Tingkat Banding PT TUN Makassar Nomor 12/B/2022/PT.TUN.MKS, 13/B/2022/PT.TUN.MKS, 41/B/2022/PTTUN.MKS dan 42/B/2022/PTTUN.MKS.
Di dalam Amicus Curiae kami menilai keputusan Bupati Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit didasarkan evaluasi mendalam atas perbuatan pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban didalam IUP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan, kejanggalan penerbitan izin-izin dan perilaku ketidakseriusan para penggugat untuk melakukan usaha sejak menerima izin-izin[1]. Pelanggaran yang dilakukan berlapis sehingga harus dinilai bukan pelanggaran biasa, sanksi yang diberikan harus bersifat regresif berupa pencabutan keputusan yang menguntungkan. Pasal 55 Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman perizinan usaha perkebunan memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mencabut izin usaha.
Rekomendasi lain meminta Majelis hakim melihat keempat perkara memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan. Keempat perkara juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi Masyarakat Adat. Hakim Agung wajib menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dengan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dan Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutus.
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi telah mengakui hak-hak masyarakat adat. Tanah Papua Bukanlah Tanah Kosong, setiap tempat ada pemiliknya. Penolakan pemilik hak ulayat atas perusahaan wajib di pertimbangkan sebagai partisipasi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas hak-haknya dari lembaga peradilan. Hakim Agung wajib memperhatikan sikap penolakan dan memenuhi nilai keadilan yang disuarakan masyarakat adat.
Jakarta, 31 Mei 2022
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua
Narahubung: 081287296687 (Tigor Hutapea)
Unduh Amicus Curiae di sini: Amicus Curiae untuk Hakim Mahkamah Agung
(1) Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, Februari 2021