Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), 09 Agustus 2022, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Asia Justice and Rights (AJAR), melakukan diskusi bersama media dan organisasi masyarakat sipil dengan tema Peran Perempuan Adat Memperjuangkan Keberlanjutan Kehidupan dan Lingkungan Hidup, menghadirkan narasumber Perempuan Adat dari komunitas Organisasi Perempuan Adat Namblong (ORPA), Kabupaten Jayapura, Rosita Tecuari ; Perempuan Adat Mpur dari Kebar, Kabupaten Tambrauw, Veronika Manimbu ; KPKC GKI Tanah Papua, Magdalena Kafiar, dan AJAR, Sornica Ester Lily.
Masyarakat adat hidup bersumber dari tanah dan hutan adat, yang dikelola menggunakan pengetahuan asli, norma peraturan dan kebiasaan adat, yang diwariskan turun temurun secara kolektif dalam berbagai bentuk dan praktik inovatif, dengan berbasiskan pada nilai keadilan, keharmonisan, keberlanjutan hidup dan keberlangsungan daya dukung lingkungan hidup.
Di Tanah Papua, praktik pengetahuan asli dapat terlihat dari sistem sosial dan corak usaha produksi dengan pemanfaatan berkelanjutan, meramu hasil hutan, berburu, berkebun, bertani, budidaya tanaman dan hewan, pemanfaatan tanaman obat-obatan, yang terintegrasi dan dirawat dengan ritual budaya, dan pengamanan oleh institusi sosial adat. Pengetahuan asli diwariskan melalui pendidikan adat, cerita rakyat, syair dan nyanyian, budaya tarian, seni rias, seni ukir dan lukis, benda seni dan dipertunjukkan sejak bertahun-tahun yang lampau.
Namun keberadaan dan hak-hak masyarakat adat belum sepenuhnya diakui, dihormati dan dilindungi oleh negara maupun kelompok dominan yang mengendalikan sistem ekonomi dan kekuasaan.
“Saat ini, kekayaan alam Papua sedang menjadi incaran banyak orang”, ungkap Magda Kafiar. Banyak investasi dan program pembangunan yang masuk ke tanah dan wilayah adat, menggusur dan mencerabut kehidupan masyarakat adat, dan berdampak pada kehidupan khususnya Perampuan Adat Papua.
“Saya merasakan sendiri apa yang terjadi di Kebar dengan perusahaan, dampaknya luar biasa bagi kami perempuan adat di Kebar. Dahulu, kami berkebun sangat dekat, sekarang sudah jauh, susah berjalan, karena hutan sudah digusur. Kami berkelahi dengan perusahaan dan diancam aparat polisi Brimob. Kami bicara hak tapi berhadapan dengan aparat. Kami terus berjuang dan perusahaan belum berhenti beraktivitas”, jelas Veronika Manimbu.
Perempuan Mpur punya hak pengelolaan tanah dan berjuang untuk mendapatkan tanah untuk generasi anak cucu, sebagai sumber kehidupan masyarakat.
Aktivis perempuan dan komunitas yang berada di akar rumput dan garis depan menunjukkan peran dan perjuangannya dalam mengamankan dan merawat hutan, membela tanah, untuk keberlanjutan kehidupan dan lingkungan.
Rosita Tecuari dari perempuan adat Namblong mengatakan perempuan sangat penting, perempuan yang utama, perempuan ujung tombak negara dan ujung tombak adat. Perempuan bekerja, berbicara dan berdiri dengan apa yang sudah ada sejak leluhur, pendidik, pengajar dan pengasuh anak-anak, pewaris budaya dan ekonomi pada perempuan.
“Perempuan berperan menjaga tanah dan hutan adat. Saya mempunyai hak melindungi tanah dan hutan adat, karena tanah itu berharga bagi saya sebagai perempuan yang melahirkan generasi yang akan memiliki dan mengelola tanah tersebut”, kata Rosita Tecuari.
Kami (perempuan) akan berdiri di depan untuk meminta kepada pihak yang berwajib yang memberikan izin investasi kepada perusahaan untuk mengembalikan hak tanah kepada masyarakat. Rosita juga menyampaikan dukungan pencabutan izin yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, karena perusahaan PT Permata Nusa Mandiri mendapatkan izin secara tidak sah, tanpa musyawarah dan persetujuan dengan masyarakat adat, tanpa melibatkan perempuan dan laki-laki, melalui ‘sabuah para-para adat’. Izin ini tidak sah.
“Perusahaan PT Permata Nusa Mandiri jika mendapatkan izin yang sah, datangi kami di lembah Grime Nawa, izin ini tidak sah”, tegas dan kecam Rosita. Perempuan Adat Namblong terlibat membela dan menjaga tanah dan hutan adat yang terancam dan digusur perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri.
Riset AJAR di Papua, menemukan pola-pola pembangunan dan perluasan industri ekstraktif yang bersifat manipulative dan tidak melibatkan masyarakat adat secara bermakna. Perusahaan hanya berbicara pada orang tertentu dan pemberian uang yang di klaim sebagai jual beli tanah, dan upaya penyingkiran perempuan adat dalam konsultasi penggunaan tanah. Papua dianggap sebagai tanah kosong yang bisa dicaplok seenaknya.
“Peran masyarakat adat dalam upaya meraih hak atas kebenaran, diperlukan pengakuan masyarakat adat menjadi penting, jika ada penolakan atas pengakuan eksistensi masyarakat adat, hak untuk hidup, maka akan jadi factor sebagai rangkaian pelanggaran hak-hak lainnya, karenanya pengakuan hak itu penting”, ungkap Sornica dari AJAR.
Pada momentum HIMAS 2022, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Asia Justice and Rights dan aktivis Perempuan Adat Pembela HAM Lingkungan dari Tanah Papua, menyampaikan rekomendasi dan permintaan tuntutan untuk keberlanjutan kehidupan dan lingkungan hidup, antara lain: mendesak pemerintah nasional dan daerah menghasilkan putusan hukum dan tindakan efektif untuk mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat (perempuan dan laki-laki), didalamnya termasuk hak hidup, hak atas tanah dan hutan adat.
Menuntut pemerintah nasional dan daerah, dan korporasi, untuk menghormati hak masyarakat adat dalam mengontrol, merawat dan mengembangkan pengetahuan asli, budaya dan teknologi inovatif, termasuk sumber daya manusia, flora dan fauna, benih-benih, tradisi lisan, karya seni, dan ekspresi kebudayaan lainnya.
Selengkapnya rekomendasi dan permintaan tuntutan, dapat dibaca disini: Media Briefing – Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia 09082022- Pusaka AJAR
Ank, Agust 2022