Tanah Papua menjadi new frontier sasaran baru dari ekspansi kapital dan proyek pembangunan ekonomi untuk mewujudkan ambisi pertumbuhan ekonomi negara yang dikendalikan dan dinikmati segelintir pemodal. Parsch (2022) memperlihatkan peta rancangan ambisi negara untuk menguras kekayaan alam Tanah Papua melalui pemberian izin konsesi industri ekstraktif, penebangan hutan, perkebunan, pertambangan, pembangunan infrastruktur dan sebagainya, yang mana luasnya lebih besar dibandingkan hutan lindung.
Gambaran ini sekaligus potret rencana penghancuran dan penggundulan hutan hujan terluas di dunia. Proyek-proyek komodifikasi hutan dapat merontokkan spritualitas, manfaat dan fungsi hutan sebagai sumber kehidupan sosial budaya, ekonomi dan ekologi, menjadi properti dan komoditi perdagangan yang memperuntungkan dan memperkaya pemodal.
Sejak awal tahun 2000 an, kampung di pedalaman daerah Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni, Fakfak, Nabire, Timika, Keerom, Jayapura, Sarmi, Merauke dan Boven Digoel, dilintasi kendaraan tractor, bulldozer, dump truk, hingga ke dalam hutan. Suara mesin chainsaw dan excavator menderu-deru, menebangi pohon, menggusur dan menghancurkan hutan alam. Air sungai kabur dan berlumpur.
Hutan alam yang menjadi penopang dan sumber hidup masyarakat adat setempat dan rumah dari berbagai keanekaragaman hayati endemik, lalu digantikan lahan perkebunan tanaman monokultur kelapa sawit guna menghasilkan minyak kelapa sawit, bisnis baru untuk campuran bahan makanan dan sumber energi pengerak mesin industri dan transportasi.
Perubahan tutupan lahan dan hutan berdampak pada sistem daerah aliran sungai melalui perubahan aliran air dan penurunan kualitas air, yang pada gilirannya mengancam keberlangsungan ekosistem dan kehidupan manusia.
Periset dari University of Massachusetts, Briantama Asmara dan Timothy O. Randhir, yang meneliti dampak hidrologis perluasan perkebunan kelapa sawit di daerah aliran sungai Kais , Sorong Selatan (2023), diukur dengan menggunakan model SWAT (Soil and Water Assessment Tool), menemukan adanya peningkatan sedimentasi sebesar 16,9 persen di daerah aliran sungai, total nitrogen dan fosfor, yang berdampak pada ekosositem perairan dan masyarakat adat di hilir sungai, lokasinya tidak jauh dari ladang dan pabrik minyak nabati. Kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati dalam jangka pajang dapat menimbulkan prahara ekologi menjadi Dead Zone.
Prahara ekologi dan dampak hidrologi, erosi tanah, pendangkalan, pencemaran kualitas air, kelangkaan air bersih, dan bencana alam (banjir dan kekeringan), hingga buruknya krisis iklim, sedang mengusik dan menggelisahkan kehidupan masyarakat adat setempat dan masyarakat dunia.
Puluhan ribu hutan alam di hulu sungai Kais, Metamani, Kamundan, Sorong Selatan, meranggas oleh mesin penguasa kayu komersial dan ladang minyak sawit, lalu prahara banjir datang menenggelamkan kampungdan ladang mata pencaharian. Demikian pula, puluhan ribu hektar hutan di kepala kali Maro, Kumb, Mbian, Merauke, secara membabi buta merobohkan tegakan hutan, lokos. Tegakan dan rawa yang menjamin makanan bagi burung kuning , rusa dan babi, hilang. Hutan mati dan tidak dapat lagi mengatur dan mengendalikan limpahan air hujan, lalu amuk banjir merusak harta benda masyarakat kampung di Bupul dan asset publik, hingga menenggelamkan perumahan warga di pesisir Merauke dan ribuan warga mengungsi.
Fenomena Alam menjadi sasaran kesalahan. Lebih aman mencari kambing hitam untuk dikorbankan dan penanggung kesalahan, dibandingkan mengakui perbuatan sendiri dan kekeliruan kebijakan pembangunan penyebab amuk dan prahara ekologi.
F.S. June 2024