Pada 22 September 2021, Luhut Binsar Panjaitan melaporkan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar ke Polda Metro Jaya atas tudingan fitnah dan pencemaran nama baik. Pelaporan ini bermula dari acara berdiskusi dalam podcast Haris Azhar, berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada!”. Acara ini merupakan diseminasi hasil riset tentang bisnis militer di pertambangan emas Blok Wabu, Intan Jaya, Papua, yang dilakukan sembilan lembaga, yakni YLBHI, Walhi, Pusaka, Walhi Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia dan #BersihkanIndonesia.
Riset tersebut mengekspos keterhubungan elit politik nasional di dalam rencana eksploitasi tambang di Blok Wabu yang diduga sarat akan konflik kepentingan (conflict of interest), diantaranya adalah Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam Kabinet Presiden Jokowi.
Perkara kriminalisasi Fatia – Haris dengan Nomor Register Perkara No 203/Pid.Sus/2023/PN Jkt Tim atas nama Fatia Maulidiyanti dan Nomor Register Perkara 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt Tim atas nama Haris Azhar, Jaksa mendakwa Fatia Haris melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menuliskan Amicus Curiae berpendapat tindakan Fatia dan Haris adalah dalam peran sebagai Pembela Hak Asasi Manusia untuk menyuarakan, mendorong dan memajukan hak asasi manusia. Dalam perkara ini, Fatia dan Haris mendiskusikan dan mengkritisi tata kelola dalam bisnis pertambangan di Blok Wabu, Intan jaya, Papua, yang melibatkan perusahaan swasta dan berafiliasi dengan pejabat publik, Menteri LBP, dan juga pemilik perusahaan.
Narasi TV mengungkap ada dokumen minutes of meeting tanggal 5 Oktober 2016 yang menjelaskan pertemuan antara PT. Tobacom Del Mandiri (anak usaha PT. Toba Sejahtera) yang diwakili oleh Paulus dengan perwakilan perusahaan West Wits Mining. Dalam pertemuan itu PT. Tobacom akan mendapatkan 30% saham dengan syarat membantu pengurusan izin tambang dan akses jalan di Papua. Padahal secara sosial keberadaan proyek Blok Wabu ini telah mendapatkan mendapatkan penolakan dari masyarakat adat setempat, pemilik wilayah adat. Blok Wabu adalah Arena Konflik Bersenjata dan Pelanggaran HAM dengan angka tertinggi dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia selama tahun 2020 dan 2021.
PUSAKA berpendapat tindakan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti harus dibaca sebagai Pembela HAM untuk mendorong pengelolaan sumber daya alam sesuai Pasal 33 UUD NRI 1945 yang adil dan demokratis. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Pusaka mengharapkan majelis hakim dalam perkara a quo agar memeriksa dan memutus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang berpijak pada prinsip hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat dan kepentingan pembela HAM.
Majelis hakim harus mempertimbangkan fakta-fakta sosial keberadaan masyarakat hukum adat sebagai penguasa wilayah adat berdasarkan hukum adat yang kini masuk ke dalam rencana proyek Blok Wabu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40-44 UU Otsus bagi Papua. Mempertimbangkan fakta bahwa wilayah pertambangan yang disebut Blok Wabu menjadi arena konflik bersenjata antara TNI-Polri melawan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang mana membuat masyarakat Orang Asli Papua mengalami dampak negatif baik kekerasan maupun terusir dari tempat tinggalnya, sehingga kehilangan hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selengkapnya pendapat hukum Pusaka dapat dibaca disini: Amicus Curiae Pusaka – Kriminalisasi Pembela HAM Haris-Fatia, 2023