Tahun 1988, pemerintah merencanakan program transmigrasi di wilayah masyarakat adat Knasaimos, namun masyarakat tidak menerima, lalu pemerintah menerbitkan lagi izin usaha pembalakan kayu kepada perusahaan PT Rimbunan Hijau Jaya dan izin usaha perkebunan kelapa sawit PT Internusa Jaya Sejahtera, juga masyarakat tolak. Pada Mei 2021, Bupati Sorong Selatan mencabut izin usaha perkebunan perkebunan PT Internusa Jaya Sejahtera. Salah satu pengalaman penting dari aksi reaksi penolakan tersebut yakni kolektifitas dan persatuan kelompok masyarakat adat setempat yang terbangun dari praktik relasi sosial budaya dan ekonomi, keterlibatan dalam perjuangan penolakan perusahaan bertahun-tahun lamanya.
Persatuan sosial masyarakat adat setempat ditunjukkan Suku Knasaimos, dengan mempersatukan suku-suku setempat, lima suku besar, yakni Kna, Saifi, Imian, Ogit dan Srer, yang disingkat dan dijadikan nama persatuan sosial, Knasaimos. Suku-suku Knasaimos ini secara administrasi berada di wilayah administrasi pemerintahan Distrik Seremuk dan Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua. Kini Suku Knasaimos menjadi nama dan alat perjuangan kolektif masyarakat adat setempat.
Saat pemerintah nasional menerbitkan peraturan baru tentang perhutanan sosial untuk memberikan hak pemanfaatan hutan kepada masyarakat, pemimpin marga dan suku Knasaimos, dan masyarakat adat dari Kampung Mangroholo dan Sira, mengusulkan kawasan hutan di daerah tersebut ditetapkan sebagai Hutan Desa. Dimulai tahun 2007, masyarakat suku Knasaimos bersama Greenpeace dan Bentara Papua melakukan berbagai kegiatan yang mendukung masyarakat untuk dapat mengelola hutan dan memenuhi persyaratan hutan desa. Kegiatan tersebut antara lain adalah penguatan kelembagaan desa dan adat, pemetaan partisipatif, survey potensi hutan, pelatihan pemanfaatan hasil hutan seperti damar, gaharu dan lain-lain serta pembuatan rencana hutan desa.
Rencana pembentukan Hutan Desa pun akhirnya membuahkan hasil. Pada tahun 2014, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 767 dan 768 tentang penetapan areal kerja Hutan Desa Manggroholo dan Sira, dengan keseluruhan luasnya sebesar 3.545 hektar dan luasan ini hanyalah 5% dari luasan seluruh lanskap Knasaimos yakni sebesar 81.646 ha.
Pengurus Dewan Adat Knasaimos dan aktivis masyarakat adat, Arkilaus Kladit, mengungkapkan kebijakan hutan desa memberikan pengakuan kepada masyarakat untuk melindungi, mempertahankan dan mengelola tanah dan hutan.
Arkilaus dan masyarakat adat setempat juga menginginkan negara mengakui dan menetapkan hak masyarakat atas hutan adat yang dikuasai, dimiliki dan dikelola Suku Knasasimos. Hingga hari ini, masyarakat bersama dengan lembaga adat yang mereka miliki berusaha menyelesaikan pemetaan wilayah adat (marga) hingga selesai dan masyarakat berencana mengajukan Hutan Adat.
“Langkah untuk menuju pengakuan hutan adat sedang dipersiapkan masyarakat dengan memenuhipersyaratan untuk mendapatkan putusan penetapan Hutan Adat. Kami harus beraktifitas dulu, kami bekerja dulu”, kata Arkilaus Kladit.
Upaya dan keterlibatan masyarakat adat Knasasimos dalam mengorganisasikan anggota masyarakat dan perjuangan menghadapi pemerintah dan perusahaan yang mengeksploitasi hasil hutan, menginspirasi banyak masyarakat adat di Sorong Selatan dan daerah lain di Papua.
Pada Jumat (12 Agustus 2022), sebanyak 13 perwakilan marga, pemerintah kampung, pemuda dan perempuan adat Suku Afsya dari Kampung Mbariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, berkunjung, berdiskusi dan berbagi pengalaman dengan masyarakat adat dan kelompok usaha ekonomi di Kampung Sira, Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan.
Wilayah adat sub suku Afsya di Distrik Konda telah menerima ancaman dari masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2020 dan keputusan masyarakat adat sepakat menolak rencana perusahaan tersebut. Sejak saat itu, masyarakat terus berusaha untuk mempertahankan tanah dan hutan adatnya dengan berbagai cara. Pemetaan Wilayah Adat telah dilakukan masyarakat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat sejak tahun 2021. Yayasan Pusaka juga melakukan survey potensi dan mendokumentasikan terkait relasi sosial masyarakat berbasis gender (GESI).
Kedua kelompok komunitas masyarakat adat Suku Afsya dan Knasaimos berbagi cerita masalah yang dihadapi dengan kehadiran investasi dan proyek ekonomi baru yang dikendalikan perusahaan dan pemodal dari luar kampung. Mereka berbagi strategi dan upaya yang dilakukan, juga mengkritisi persoalan yang dihadapi antara masyarakat.
Arkilaus Kladit, Yanuarius Anouw dari Perkumpulan Bentara Papua dan Sadir Wet Yifi, menceritakanpengalaman mereka mendampingi dan memfasilitasi masyarakat mulalui dari pembentukan Dewan Adat Knasaimos pada tahun 2007 dan pelaksanaan sidang adat pertama. Hasil sidang tersebut disepakati untuk dilakukan pemetaan wilayah adat Suku Knasaimos dan pemetaan wilayah adat marga.
“Batas-batas wilayah adat sering menjadi sumber perdebatan dalam proses pemetaan tanah adat, namun dapat dibahas dan dirampungkan dengan mempertemukan pihak-pihak yang terkait penguasaan dan pemilikan tanah pada saat sidang adat”, jelas Arkilaus Kladit.
Dewan adat dan tokoh adat terlibat dalam memfasilitasi proses pemetaan dan pembicaraan batas tanah adat, maupun pengawasan dan penggunaan tanah. Peran ini menginspirasi dan menjadi pelajaran penting bagi masyarakat sub suku Afsya.
Kepala Kampung Bariat, Adrian Kemeray, terinspirasi dari pengalaman Suku Knasaimos untuk menghidupkan dan membentuk kelembagaan adat yang diakui dan dipercaya masyarakat adat.
“Kami semua timba pengalaman dengan bapa Kladit dan suku besar Saifi, Lembaga adat Knasaimos, mereka sudah kuat, dong bikin apa saja jadi, kalau kita belum kuat. Cepat atau lambat, kita harus berusaha untuk sama dengan Knasaimos”, ungkap Kepala Kampung Bariat
Kelembagaan adat merupakan sarana bagi masyarakat mewariskan pengetahuan sejarah, menangani hukum dan peradian adat, menjembatani dan menyelesiakan permasalahan adat di kampung, mengamankan tanah dan hutan adat. Suku Afsya mempunyai potensi dan kekuatan mendudukkan orang tua adat secara bersama untuk mempercepat proses revitalisasi hak-hak adat, pemetaan dan pengakuan masyarakat adat atas tanah adat di Kampung Bariat.
“Kami dan generasi muda di Kampung Bariat sudah pernah belajar bersama mengenai pemetaan dan pendokumentasian data sosial masyarakat. Kami akan mengamankan wilayah adat ini bagi keberlangsungan anak cucu. Kami mewakili tiap marga bersedia untuk kembali kepada marga-marga dan membicarakannya secara internal terkait pemetaan wilayah dan percepatan pengakuan masyarakat adat”, ungkap Adrianus Kemeray, Kepala Kampung Mbariat, yang memiliki program kampung untuk penguatan kelembagaan adat.
Pertemuan di Knasaimos juga diperkenalkan usaha ekonomi alternatif masyarakat di Knasaimos. Pertemuan berlangsung di Koperasi Serba Usaha (KSU) “Kna Mandiri” dengan memperlihatkan produk-produk usaha Koperasi, seperti tepung sagu label Mangsir, dan usaha budidaya kolam ikan milik komunitas pemuda Sadir Wet Yifi.
Mama Paulina Konjol dan peserta dari Kampung Mbariat terinspirasi dengan cerita dan usaha ekonomimasyarakat setempat dari hasil hutan bukan kayu, sagu dan penganan dari sagu. Dalam diskusi refleksi,mereka berkeinginan mengembangkan usaha ekonomi alternatif dari hasil hutan dan lahan yang dimiliki, seperti buah nenas, cempedak, rambutan, durian, langsat, kepiting, ikan, udang dan sagu. Kampung Bariat sejak dulu terkenal akan hasil buah-buahan yang dimilikinya dan sering dilirik oleh pengepul dari kota Teminabuan. Kepiting dan udang juga berpotensi untuk dikembangkan hanya saja masyarakat menilai mereka terkendala dengan modal, alat, transportasi dan harga di Pasar.
Masyarakat pernah menjual sagu kering bahkan olahan sagu di Pasar Kajase, Teminabuan. Namun, menurut kepala Kampung Bariat, jumlah dusun sagu di Kampung Bariat sudah semakin sedikit sehingga beliau menyarankan untuk dilakukan penanaman bibit sagu dan membuat dusun-dusun sagu baru di Kampung Bariat.
Pada akhir pertemuan ini masyarakat menyadari dan mengakui bahwa pengetahuan itu ada ditengah-tengah masyarakat dan ketika saudara mereka mampu melakukan sesuatu, yang lain akan terpacu untuk mengejar ketertinggalan mereka. Masyarakat adat saling terbuka untuk saling membantu agar perjuangan ini segera terwujud. Yayasan Pusaka memfasilitasi pertemuan ini dan menilai pentingnya kedua kelompok masyarakat adat ini bertemu, berbagi pengetahuan dan saling membantu, guna mendukung upaya bersama mendapatkan hak mereka, hak atas hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Amelia, Agust 2022