#masyarakatadat
Pemimpin Masyarakat Adat Suku Wambon Kenemopte dan Afsya, Papua, Meminta Menteri Mengukuhkan 10 Hutan Adat
Tahun 2022 lalu, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan tujuh hutan adat di Papua, terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektar, Yano Akura seluas 2.177,18 hektar, Yano Meyu seluas 411,15 hektar, Yosu Desoyo seluas 3.392,97 hektar, Yano Wai seluas 2.593,74 hektar, dan Takwobleng seluas 404,9 hektar, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektar. SK Hutan Adat di Papua ini yang pertama kali semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (2012) bahwa hutan adat bukan hutan negara.
“Pengakuan hutan adat terjadi hanya pada Kongres AMAN saja, setelah itu tidak ada. Hak kami tidak dihormati dan tidak dilindungi, hutan adat dicuri dan digusur. Kami mengalami kesulitan air bersih, kesulitan pangan dan terjadi konflik antara masyarakat pro dan kontra perusahaan.”, ujar Regina Bay, Perempuan Adat Namblong asal Lembah Grime Nawa, Kabupaten Jayapura.
Rabu pagi (20/9/2023), Mama Regina bersama perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, berasal dari Suku Afsya, Kabupaten Sorong Selatan, Suku Moi Kelim, Kabupaten Sorong, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, dan Distrik Jair, dan Suku Awyu, Kabupaten Boven Digeol, dan pemimpin organisasi Pemuda Adat, Sorong, dan Perempuan Adat Namblong, Jayapura, bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, sebanyak 18 orang, bertemu dan berdialog dengan Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL) di ruang pertemuan PSKL KLHK, Manggala Wanabakti, Jakarta.
Irene Thesia, Perempuan Adat Tehit dari Sorong Selatan, menyampaikan “Kami menyambut baik komitmen pemerintah nasional dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Menteri Lingkungan Hidup telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Papua. Namun upaya penertiban perizinan belum diikuti dengan pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa dan diambil tanpa persetujuan bebas masyarakat adat”, kata Irene.
Surat Kepada KLHK Percepatan Penetapan Hutan Adat Papua, 2092023
Diperkirakan total kawasan hutan yang telah dialihkan kepada 59 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 2.061.538 hektar. Hutan yang hilang dan telah dibuka untuk untuk bisnis perkebunan dan HTI seluas 120.255 hektar, maka kawasan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa seluas 1.948.283hektar. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.
“Kami meminta tanah dan hutan adat bekas konsesi perusahaan, yang dikuasai perusahaan tanpa persetujuan kesepakatan dengan masyarakat untuk dikembalikan kepada masyarakat. Kami akan kelola sendiri hutan adat”, minta Yulian Kareth.
Dalam konteks restitusi Hak Asasi Manusia, idealnya hak masyarakat adat yang hilang, yang dirampas, dan mengakibatkan penderitaan dan kerugian, seharusnya pemerintah mengembalikan dan memulihkan kerugian masyarakat adat. Semua peserta menyambut dan bersuara meminta dan menuntut pemerintah agar hutan adat segera dikembalikan, kuasa, pengelolaan dan pemanfaatannya oleh masyarakat adat.
Dialog dipimpin Sekretaris Ditjen PSKL, Mahfudz MP, dan menghadirkan Direktur Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA), Ir. Muhammad Said, MM, dan Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal , Yuli Prasetyo Nugroho, S.Sos, M.Si, berlangsung hangat dan membahas isu permasalahan dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat adat dan lingkungan.
Pada kesempatan dialog ini, perwakilan dan pemimpin marga dan suku menyerahkan surat permohonan penetapan hutan adat dan dilengkapi dokumen persyaratan, yakni sejarah masyarakat adat, pengetahuan penguasaan dan kepemilikan tanah, sejarah silsilah masyarakat adat, gambaran wilayah adat yang diklaim dan peta adat yang memuat batas tanah adat, peta wilayah adat dan/atau hutan adat, pengaturan dan kelembagaan adat, berita acara kesepakatan batas tanah adat, dan dokumen Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Ada 10 usulan hutan adat yang disampaikan perwakilan dan pemimpin masyarakat adat, sebagai berikut (1) Sub Suku Afsya di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, (2) Marga Kinggo Kambenap, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 5.100 hektar, (3) Marga Tenggare, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Jair, seluas 3.000 hektar, (4) Marga Aute, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 15.343 ha, (5) Marga Kanduga, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 14.105 ha, (6) Marga Ekoki di Kampung Aiwat, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 61.304 ha, (7) Marga Ekoki di Kampung Subur, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 41.222 ha, (8) Marga Kemi, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 48.901 ha, (9) Marga Eninggugop, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 30.228 ha, (10) Marga Wauk, Suku Wambon Kenemopte, Distrik Subur, seluas 20.149 ha.
“Bapak kami mohon untuk disegerakan penetapan hutan adat di wilayah adat Suku Afsya. Wilayah adat kami sempit karenanya kami menolak perusahaan yang mendapat izin kehutanan (KLHK, red)”, kata Johanis Meres, tokoh masyarakat adat Afsya, kepada Direktur PTKHA yang menerima surat dan dokumen usulan hutan adat.
Direktur PKTHA menjelaskan pemerintah sedang memproses 50 usulan hutan adat dan menjadi prioritas untuk ditetapkan pada 2023, diantaranya ada delapan lokasi hutan adat berada di Papua.
Jakarta, 21 September 2023
Kontak Person
- Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat: 0813 1728 6019
- Petrus Kinggo, Suku Wambon Kenemopte, Kab. Boven Digoel: 0812 4766 2089
- Regina Bay, Perempuan Adat Namblong, Kab. Jayapura: 0821 9980 2046
- Irene Thesia, Pemuda Perempuan Adat, Kab. Sorong Selatan: 0812 4872 0809
Senator Filep: Sudahkah DBH SDA Kehutanan Bermanfaat Bagi Masyarakat Adat Papua
Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam Kehutanan penting untuk diperhatikan, terutama konteks Papua yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan dan memastikan DBH Kehutanan berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat adat Papua.
Anggota DPD RI, Dr. Filep Wamafma, S.H., M.Hum., mengatakan regulasi baik dalam sekala nasional maupun lokal telah menegaskan perihal pengelolaan DBH Kehutanan bagi daerah penghasil dan peruntukannya secara terperinci.
“Kita lihat regulasi nasionalnya, ada dalam Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Lalu regulasi itu juga didukung dalam skala lokal yakni dengan adanya Otsus,” ujar Filep Wamafma, Sabtu (1/4/2023).
Filep menerangkan, Pasal 115 UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa DBH SDA kehutanan bersumber dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi. Kemudian, DBH kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan ditetapkan sebesar 80 persen untuk bagian daerah dan dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 32 persen dan kabupaten/kota penghasil sebesar 48 persen.
Sedangkan, DBH kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80 persen dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen, kabupaten/kota penghasil sebesar 32 persen, kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16 persen, dan kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 16 persen. DBH kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi ditetapkan sebesar 40 persen untuk provinsi penghasil.
“Ketentuan dalam Otsus Papua Barat, Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2021 mengatakan bahwa dana perimbangan dan penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus dari bagi hasil SDA Kehutanan sebesar 80 persen. Sekarang mari kita lihat bagaimana fluktuasi dan dinamika DBH Kehutanan ini, khususnya di Papua Barat,” kata Filep.
Dana Bagi Hasil Kehutanan Papua Barat sejak tahun 2018 silam tercatat sebesar Rp 47,241 miliar, tahun 2019 sebesar Rp 73,139 miliar, tahun 2021 sebesar Rp 45,736 miliar dan di tahun 2022 sebesar Rp 75,274 miliar. Dana-dana per tahun ini merupakan jumlah keseluruhan dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan, provisi sumber daya hutan, dan dana reboisasi.
“Sedangkan, komposisi DBH SDA kehutanan Papua Barat cukup besar bersumber dari DBH dana reboisasi. Hal ini dikarenakan adanya perubahan kewenangan kehutanan di kabupaten menjadi kewenangan provinsi. Misalnya pada tahun 2018, DBH dana reboisasi sebesar Rp 34,736 Miliar dan di tahun 2019 sebesar Rp 63,958 Miliar. Jadi ada kenaikan sekitar 84 persen”, kata Filep, yang mempertanyakan alokasi dana tersebut bagi pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan Permenkeu Nomor 216/PMK.07/2021 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi, menyebutkan bahwa DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi provinsi digunakan untuk membiayai kegiatan dengan urutan prioritas sebagai berikut: rehabilitasi di luar kawasan sesuai kewenangan provinsi; rehabilitasi hutan dan lahan sesuai kewenangan provinsi; pembangunan dan pengelolaan Hasil Hutan Kayu, HHBK dan/atau jasa lingkungan dalam kawasan; Pemberdayaan Masyarakat dan Perhutanan Sosial; operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan; pengendalian kebakaran hutan dan lahan; perlindungan dan pengamanan hutan; pengembangan perbenihan tanaman hutan; penyuluhan kehutanan; dan/atau strategis lainnya.
Pelaksanaan kegiatan itu dilakukan dengan mengutamakan pelibatan masyarakat untuk mendukung pemulihan perekonomian di daerah termasuk namun tidak terbatas melalui mekanisme padat karya, bantuan sarana produksi, dan/atau bantuan bibit. Provinsi atau kabupaten/kota dapat menggunakan paling tinggi 10 persen dari DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi atau sisa DBH dana reboisasi Kabupaten/Kota, untuk mendanai kegiatan penunjang yang berhubungan langsung dengan pencapaian keluaran kegiatan.
“Dalam penyusunan rancangan teknis, Pemda dapat berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis KLHK yang membidangi pengelolaan DAS dan rehabilitasi hutan atau lahan setempat untuk menentukan lokasi kegiatan berdasarkan peta lahan kritis, peta kebakaran hutan dan lahan, dan peta penutupan lahan. Gubernur kemudian menyusun laporan realisasi penggunaan DBH dana reboisasi dan sisa DBH dana reboisasi Provinsi untuk kegiatan tersebut tiap semester,” papar Filep.
Filep menambahkan, aturan ini pun sejalan dengan PP Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua yang dalam Lampirannya memberikan kewenangan kepada Provinsi dalam hal pengelolaan hasil hutan, rehabilitasi hutan, dan pengelolaan hutan adat.
“Salah satu kewenangannya yang konkret terkait pengelolaan hutan adat yaitu menetapkan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat setelah ditetapkannya hutan adat sesuai fungsi kawasan hutan. Ini berarti seharusnya ada sinergi antara pemerintah pusat dan provinsi dalam mengatur pengelolaan DBH Kehutanan bagi pemberdayaan masyarakat, khususnya masyarakat adat. Oleh sebab itu saya harus bertanya, bagaimana realisasi DBH Hutan ini?” tanya Filep lebih lanjut.
Doktor Hukum Universitas Hasanuddin ini pun berharap agar realisasi DBH Kehutanan ini benar-benar tepat sasaran dan menunjukkan hasil di tengah masyarakat Papua Barat, khususnya untuk pemberdayaan masyarakat adat.
“Hal ini sangat urgent untuk diperhatikan. Selama ini kita hanya fokus pada migas, sementara hutan Papua Barat ini semakin tergerus. Apakah kita hanya diam saja menyaksikan semuanya? Sebagai wakil rakyat, saya juga membawa amanat untuk melestarikan hutan Papua Barat sekaligus mengawal supaya DBH Kehutanan bisa dirasakan oleh masyarakat Papua Barat,” tegas Filep.
Ank, April 2023
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.8305/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2022 Tentang Penetapan Wilayah Indikatif Hutan Adat Ku Defeng Takwobleng dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Yano Takwobleng seluas 405 hektar di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura
Press Release: Amicus Curiae ‘Sahabat peradilan’ untuk Hakim Mahkamah Agung RI
Perkara ini berawal dari Keputusan Bupati Kabupaten Sorong mencabut perizinan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo, PT Papua Lestari Abadi, dan PT Inti Kebun Lestari. Tiga perusahaan tersebut kemudian menggugat Bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Majelis hakim PTUN Jayapura memutus para penggugat perkara 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR tidak memiliki kepentingan yang dirugikan untuk menggugat, menyatakan tidak menerima dan menolak gugatan untuk seluruhnya, atas perkara 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, majelis menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.
Dalam upaya hukum banding, majelis hakim pengadilan tinggi Tata Usaha Negara Makassar mengabulkan gugatan perusahaan para penggugat 29/G/2021/PTUN.JPR, 30/G/2021/PTUN.JPR, 31/G/2021/PTUN.JPR, 32/G/2021/PTUN.JPR untuk seluruhnya. Majelis menilai tidak terdapat aturan yang mengatur sanksi pencabutan secara langsung, maka seharusnya Bupati tidak memberikan sanksi terberat berupa pencabutan ijin namun terlebih dahulu memberikan teguran tertulis.
Atas putusan banding, Bupati Sorong mengajukan upaya kasasi. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia atas putusan Perkara Tingkat Banding PT TUN Makassar Nomor 12/B/2022/PT.TUN.MKS, 13/B/2022/PT.TUN.MKS, 41/B/2022/PTTUN.MKS dan 42/B/2022/PTTUN.MKS.
Di dalam Amicus Curiae kami menilai keputusan Bupati Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit didasarkan evaluasi mendalam atas perbuatan pemegang izin yang tidak melaksanakan kewajiban didalam IUP, tidak menjalankan peraturan perundang-undangan, kejanggalan penerbitan izin-izin dan perilaku ketidakseriusan para penggugat untuk melakukan usaha sejak menerima izin-izin[1]. Pelanggaran yang dilakukan berlapis sehingga harus dinilai bukan pelanggaran biasa, sanksi yang diberikan harus bersifat regresif berupa pencabutan keputusan yang menguntungkan. Pasal 55 Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman perizinan usaha perkebunan memberi kewenangan kepada kepala daerah untuk mencabut izin usaha.
Rekomendasi lain meminta Majelis hakim melihat keempat perkara memiliki dimensi yang lebih luas dari sekedar sengketa perijinan perusahaan. Keempat perkara juga menyangkut kepentingan publik atas keberlanjutan lingkungan dan keadilan bagi Masyarakat Adat. Hakim Agung wajib menerapkan pertimbangan-pertimbangan penyelamatan lingkungan hidup dengan merujuk kepada Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 dan Keputusan Nomor 37 / KMA / SK / III / 2015 dalam memutus.
Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi telah mengakui hak-hak masyarakat adat. Tanah Papua Bukanlah Tanah Kosong, setiap tempat ada pemiliknya. Penolakan pemilik hak ulayat atas perusahaan wajib di pertimbangkan sebagai partisipasi masyarakat untuk memperoleh keadilan atas hak-haknya dari lembaga peradilan. Hakim Agung wajib memperhatikan sikap penolakan dan memenuhi nilai keadilan yang disuarakan masyarakat adat.
Jakarta, 31 Mei 2022
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, AMAN Sorong Raya, Greenpeace Indonesia, WALHI Papua
Narahubung: 081287296687 (Tigor Hutapea)
Unduh Amicus Curiae di sini: Amicus Curiae untuk Hakim Mahkamah Agung
(1) Laporan Hasil Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Papua Barat, Februari 2021