Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#PalmOilPapua

Cerita dari Kampung

Tegakkan Hukum Adat : Marga Kinggo Kambenap Menjatuhkan Sanksi Denda Adat Kepada Perusahaan PT Tunas Sawa Erma

by Admin Pusaka Juli 1, 2023
written by Admin Pusaka

Tanah Adat Kinggo Kambenap di Dusun Kali Kao, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, menjadi sasaran perluasan industri perkebunan kelapa sawit. Perusahaan PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP E, mengklaim tanah dan hutan adat Kinggo Kambenap merupakan areal perkebunan PT TSE, anak perusahaan Korindo grup, yang kini berganti nama baru PT Tunas Sawa Erma Grup.

Pada Rabu, 21 Juni 2023, Petrus Kinggo, Kepala Marga Kinggo Kembenap, menemukan adanya plang papan pengumuman dari perusahaan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma POP A, persis di bawah jembatan Kali Kao, ditempat bernama Garegembian, bertuliskan “air permukaan sungai Uwim Merah Hilir, dan angka koordinat lokasi.

Perusahaan PT TSE tidak pernah memberitahukan dan meminta izin dari warga dan tuan dusun Kali Kao.  Petrus gerah dan menduga patok ini pertanda kurang baik, “Artinya Korindo masih mempunyai klaim dan rencana mengambil tanah adat saya”, ungkap Petrus penuh syak wasangka.

Petrus bersikap sigap atas peristiwa ini dengan mendatangi kantor managemen PT TSE POP A yang terletak di Camp 19, sekitar satu jam dari Dusun Kali Kao. Petrus bertemu dengan pihak perusahaan dan menyampaikan keluhan tuntutan.

Pada Rabu, 28 Juni 2023, pihak perusahaan bertemu dengan Kepala Marga, Petrus Kinggo Kambenap di Dusun Kali Kao, mereka sepakat penyelesaian adat atas permasalahan pemasangan patok pemantauan air di wilayah adat Kinggo Kambenap, yang dilakukan tanpa ada persetujuan tuan dusun.

Perusahaan menyetujui dan menandatangani berita acara sanksi Denda Adat berupa 5 (lima) ekor babi kepada Petrus Kinggo Kambenap. Berita Acara ditandatangani oleh Stanislaus Wasi, Manager Umum PT TSE POP A, diketahui oleh pihak keamanan Pamobvit Aipda Luther Belo.

“Kami minta negara, perusahaan dan siapapun pihak yang berkepentingan di wilayah adat kami, harus mengakui dan menghormati hukum adat kami masyarakat adat”, ungkap Petrus Kinggo.

Perusahaan kelapa sawit PT TSE sudah beroperasi di Papua tahun 1998, kini  TSE Group memiliki delapan anak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke, Papua Selatan, sebanyak tujuh perusahaan, yakni PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP A, POP B, POP D dan POP E, PT Dongin Prabhawa (DP), PT Berkat Cipta Abadi (BCA), PT Papua Agro Lestari (PAL)., dan sisanya PT Gelora Mandiri Membangun berada di Kabupaten Halmahera, Maluku utara. Pemilik dan penguasa lahan kebun sawit terluas di Papua selatan.

TSE Group mempromosikan dirinya sebagai perusahaan yang berkomitmen dalam penerapan tata kelola sawit berkelanjutan. Kami telah mendedikasikan diri selama 30 tahun terhadap konservasi alam, penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta pengembangan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.

Juli 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Permohonan Intervensi ke PTUN Jakarta

by Admin Pusaka Mei 10, 2023
written by Admin Pusaka
Mei 10, 2023 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers: Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Gugatan Perubahan Iklim ke PTUN Jayapura

by Admin Pusaka Maret 13, 2023
written by Admin Pusaka
Maret 13, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Kisah Orang Awyu Mencari Informasi

by Admin Pusaka Maret 1, 2023
written by Admin Pusaka

Suara Hendrikus Woro meninggi. Sudah tiga kali beliau mendatangi kantor dinas yang mengurusi Lingkungan Hidup di Kabupaten Boven Digoel untuk menanyakan permohonan informasi yang dikirimkan pada Mei 2022. Seorang petugas honorer yang menemuinya mengatakan belum ada disposisi dari pimpinan. Bagaimana tidak mutung, Hendrikus berjalan sejauh empat kilometer untuk bertemu dengan pejabat dinas di daerah ini. Hari ini (28 Juni 2022), ketiga kalinya Dia datang, diminta menunggu dan tanpa hasil.

Beberapa hari kemudian  staf dinas menemuinya dan menyatakan tidak bisa memberi informasi tanpa alasan apapun. Hendrikus mengatakan “kami pemilik tanah adat kenapa tidak bisa mendapatkan informasi, hak kami dilanggar”.

Sejak tahun 2017, Komunitas Paralegal Cinta Adat Suku Awyu menolak rencana perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah adat Suku Awyu. Komunitas ini dibentuk Hendrikus Woro bersama tokoh-tokoh adat Awyu, tujuannya menjaga hutan dan tanah adat Awyu.

Tanpa berbicara dengan masyarakat adat, Pemerintah Kabupatan Boven Digoel menerbitkan izin kepada perusahaan kelapa sawit di wilayah adat Suku Awyu, lokasinya diantara Kali Mappi dan Kali Digoel, luasnya mencapai 260.000 hektar, luasnya serupa empat setengah kali luas wilayah DKI Jakarta, terluas untuk satu jenis tanaman monokultur. Ada peran salah satu menteri Joko Widodo saat ini yaitu Zulkifli Hasan,  saat menjabat menteri KLHK dengan melepas areal kawasan hutan di wilayah Suku Awyu, untuk dapat ditebangi diganti tanaman lain.

Pertengahan 2021, alat berat perusahaan membongkar hutan yang terletak dipinggir Kali Digoel, beredar isu akan dibangun pelabuhan alat-alat berat untuk pengembangan perkebunan sawit. Donatus Ana, salah satu anggota komunitas paralegal, menolak hutan adatnya digusur. Ia kemudian melakukan ritual penancapan salib merah sebagai tanda larangan membuka hutan, bila dilakukan sanksi adat berlaku. Sejumlah pihak melaporkan Donatus Ana ke Polsek Mandobo. Ia bersikeras untuk menolak perusahaan bukan kejahatan.

Menyadari ancaman semakin dekat, komunitas paralegal memutuskan harus mencari informasi yang jelas terkait legalitas perizinan perusahaan. Sejak Mei 2022, Hendrikus Woro bersama komunitas paralegal mengirimkan permohonan informasi ke dinas-dinas yang ada di Boven Digoel, mencari tahu apakah pemerintah telah mengeluarkan izin-izin perkebunan kelapa sawit di wilayah adatnya.

Upaya mencari informasi tidak mudah. Selama sebulan komunitas paralegal harus bolak balik dari satu dinas ke dinas lain, menunggu hingga harus berdebat. Sebuah informasi awal diperoleh, Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu Kabupaten Boven Digoel membalas surat menyatakan informasi yang dicari menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Provinsi Papua.

Penelusuran melalui website resmi pemerintah provinsi pun nihil, artinya mereka harus ke Jayapura. Mereka sempat hilang harapan, mencari informasi ke Jayapura butuh biaya yang besar, informasi juga tidak akan langsung didapat mereka mengingat-ingat pengalaman buruk bolak-balik dinas. Mereka berpikir pemerintah tidak adil, seharusnya pemerintah mempermudah masyarakat mencari informasi.

Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat meminta bantuan hukum ke Yayasan Pusaka  dan LBH Papua dengan memberikan kuasa.

Ada dua permohonan ketersediaan infomasi yang diajukan, informasi izin lingkungan ke Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Papua, informasi izin usaha perkebunan ke DPMPTSP Provinsi Papua. Hendrikus Woro terkejut saat memperoleh analisa dampak lingkungan hidup dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan. Hal ini langsung disampaikan ke komunitas paralegal, semua terkejut dan menahan amarah karena pemerintah dinilai diam-diam mengeluarkan izin lingkungan tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

DPMPTSP Provinsi Papua tidak memberikan izin yang dimintakan justru meminta Hendrikus Woro melengkapi nama seluruh para pemilik ulayat secara kolektif, dilampirkan KTP dari masing-masing pemilik ulayat, yang diketahui kepala suku, kepala kampung, kepala distrik, pemerintah daerah kabupaten dan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) setempat

Edo Gobay, Direktur LBH Papua mengatakan “syarat itu membatasi dan melanggar hak konstitusional Hendrikus Woro sebagai masyarakat adat untuk memperoleh informasi publik”

Karena hak-haknya telah dilanggar, Hendrikus menggugat DPMPTSP Provinsi Papua hingga ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN Jayapura). Tuntutannya meminta hakim PTUN Jayapura untuk menghukum DPMPTSP Provinsi Papua memberikan informasi ketersedian izin usaha perkebunan sawit diwilayah adatnya.

Informasi adalah hak dasar bagi masyarakat adat yang terdampak dari proyek pembangunan, konstitusi telah menjamin hal itu. Melalui informasi yang terbuka dan mudah dipahami masyarakat adat dapat memberikan pendapat dan menentukan menerima atau menolak. Pendapat dan keputusan ini harus dipertimbangkan untuk diputuskan. Ini adalah bagian dari partisipasi bermakna. Pembangunan saat ini kerap mengabaikan keterbukaan informasi, bila hak ini tidak dipenuhi sama dengan pengabaian terhadap masyarakat adat, ini merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Pengalaman Yayasan Pusaka mencari informasi senada dengan pengalaman Hendrikus Woro, sulit memperoleh akses informasi yang tersedia bahkan tertutup. Untuk menghindari kecurigaan dari masyarakat adat, keterbukaan informasi perlu diperbaiki pemerintah papua untuk mewujudkan pemerintah yang bersih.

Saat ini Hendrikus Woro bersama Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat Suku Awyu berharap keadilan pada putusan hakim yang akan dibacakan pada tanggal 8 Maret 2023. Hendrikus Woro menyatakan perjuangan yang dilakukan tidak akan berhenti mengamankan wilayah adatnya.

TGH, Feb 2023

Maret 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Amicus Curiae Terhadap Putusan PT TUN Gugatan PT Persada Utama Agromulia

by Admin Pusaka Februari 10, 2023
written by Admin Pusaka
Februari 10, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Amicus Curiae Terhadap Putusan PT TUN Gugatan PT Anugerah Sakti Internusa

by Admin Pusaka Februari 10, 2023
written by Admin Pusaka
Februari 10, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Cerita dari Kampung

Perlindungan Tempat Penting Suku Kamoro

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka

Sagu, sungai, sampan, tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Suku Kamoro, salah satu suku di Papua bagian selatan, yang berdiam di pesisir pantai, rawa, sungai, hingga hutan dataran rendah daerah di Teluk Etna hingga sungai Otakwa, Kabupaten Mimika. Sagu dan sungai tempat mencari dan menyediakan  sumber pangan, sedangkan sampan merupakan alat transportasi untuk mencapai kampung dan dusun pangan.

Suku Kamoro masih memiliki kepercayaan dan ritual adat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka memiliki norma dan adat untuk melindungi dan mentaga tempat ritual dan bersejarah. Namun, perusahaan-perusahaan dari luar masuk untuk memanfaatkan kekayaan alam, seperti kayu dan tambang mineral, dan pengembangan usaha perkebunan, yang menggusur dan merusak tempat kramat dan tempot ritual, yang disucikan Suku Kamoro.

Beberapa waktu silam, perusahaan PT Pusaka Agro Lestari (PAL) mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Suku Kamoro di Kampung Kiyura dań Iwaka, perusahaan menebang dan menggunduli hutan adat milik masyarakat hingga puluhan ribu hektar. Perusahaan juga menggusur dan menghilangkan tempat penting masyarakat adat Kamoro, seperti dusun pangan, tempat ritual adat, tempat keramat, dan sebagainya.

Pada September 2021, PT PAL secara sengaja telah melakukan perbuatan yang diduga sebagai langkah untuk menghindari semua tanggung jawab terhadap buruh dan masyarakat adat. PT PAL mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam permohonannya, PT PAL meminta agar Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan bahwa PT Pusaka Agro Lestari dalam keadaan pailit.

Masyarakat adat terdampak PT PAL menuntut hak-haknya dan meminta putusan penyelesaian kepailitan PT PAL, putusan pemberian dan pengalihan saham kepada perusahaan baru,  harus melibatkan masyarakat adat Kamoro. Pemerintah dań perusahaan juga harus menghormati dan melindungi hutan dan tempat penting bagi Masyarakat adat.

Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Kajian Hukum Implikasi Putusan Pailit PT Pusaka Agro Lestari di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua

by Admin Pusaka Desember 24, 2022
written by Admin Pusaka
Desember 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers : Bupati Kabupaten Jayapura Tidak Memenuhi Janji untuk Mencabut Izin Usaha Perusahaan

by Admin Pusaka Desember 9, 2022
written by Admin Pusaka

Siaran Pers Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa
Hingga saat ini, perusahaan PT Permata Nusa Mandiri (PNM) masih terus melakukan aktifitas pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit di Daerah Lembah Grime Nawa, Distrik Nimbokran dan Unurumguay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Padahal, Bupati Jayapura telah menerbitkan surat keputusan agar perusahaan PT PNM menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan (Februari 2022), surat peringatan dan meminta perusahaan untuk menghentikan aktivitas pembangunan perkebunan (September 2022 dan November 2022).
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, telah berkali-kali berdialog dengan pemerintah Kabupaten Jayapura di Kantor Bupati Jayapura. Pada dialog hari ini Jumat, 09 Desember 2022, yang dihadiri oleh Asisten I, Elphyna Situmorang ; Asisten II, Delila Giay ; Kabag Hukum, Timotius Taime. Kami meminta pemerintah konsisten dengan janji untuk memenuhi tuntutan mencabut izin usaha perusahaan PT PNM.
Faktanya, pemerintah Kabupaten Jayapura belum mempunyai sikap keputusan untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan, izin lokasi, izin lingkungan, izin usaha perkebunan dan Hak Guna Usaha, meskipun perusahaan disebutkan tidak dapat memenuhi syarat ketentuan dan perusahaan telah melakukan kelalaian atas surat peringatan dan pemberitahuan penghentian aktifitas.
Kami memandang pemerintah Kabupaten Jayapura tidak sungguh-sungguh mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.
“Bupati tidak memenuhi janji-janjinya untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT Permata Nusa Mandiri yang melanggar hukum, merugikan dan menghilangkan hak-hak masyarakat adat, dan penggundulan hutan. Pemerintah terkesan sengaja membiarkan permasalahan yang ada, di satu sisi perusahaan menjadi arogan dan sewenang-wenang, disisi lain masyarakat adat resah karena tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah”, kata Yustus Yekusamun, perwakilan masyarakat adat dan juru bicara Koalisi Lembah Grime Nawa.
Aktivis Perempuan Adat, Rosita Tecuari, menyoroti dan menyampaikan misi dan putusan Bupati Jayapura dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan program yang seolah-olah dapat melindungi hak masyarakat adat dan wilayah adat, namun tidak sepenuhnya mutlak memberikan kepastian hak untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Lembah Grima Nawa.
“Kampung adat diakui, tapi masyarakat adat tidak punya hak kuasa dan kelola atas tanah dan hutan adat, karena dikuasai dan dikelola oleh perusahaan. Bagaimana mungkin keputusan yang dihasilkan dapat dijalankan tanpa ada kuasa dan kewenangan masyarakat adat dalam mengatur dan mengelola tanah dan hutan adat”, ungkap Rosita Tecuari.
Kami Koalisi Selamatkan Lembah Grime Nawa, menduga belum adanya sikap dan putusan untuk pencabutan izin usaha perusahaan dikarenakan adanya kepentingan politik dan ekonomi, yang melibatkan kekuatan pihak-pihak tertentu dan berpotensi terjadinya pelanggaran hukum, dan tindakan koruptif. Karenanya, Koalisi meminta pihak KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk mengawasi pejabat dan aktor yang berkepentingan dalam jejaring bisnis, serta aliran transaksi keuangan.

Jayapura, 09 Desember 2022

Kontak Person:
Yustus Yekusamun : +62 822-3441-5750
Rosita Tecuari : +62 823-1150-8559
Franky Samperante: +62 813 1728 6019
Asep Komarudin: +62 813-1072-8770

Desember 9, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Politik Perizinan yang Merampas Hak Masyarakat Adat

by Admin Pusaka November 21, 2022
written by Admin Pusaka

“Dorang punya hukum-hukum segala macam, dorang atur supaya torang punya tanah itu dorang pancuri dengan aturan”

Ungkapan ini disampaikan oleh salah satu peserta aksi dalam orasi solidaritas di depan Kantor Bupati Jayapura. Aksi massa ini bertujuan menuntut pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perjuangan menyelamatkan Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua. Namun, ini bukan sekadar pernyataan melainkan pesan yang mengungkapkan situasi hukum (negara) saat ini. Hukum diproduksi tidak bertujuan untuk merubah, menata dan menertibkan kesemrawutan sosial agar tercapai kehidupan sosial yang adil, bermartabat, damai dan kesejahteraan rakyat banyak. Justru sebaliknya, digunakan penguasa untuk memperlancar kepentingan ekonomi, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan kelompok orang atau kelembagaan sosial ekonomi dan politik.

Menurut Alan Hunt (Wijaya, 2008) terdapat beberapa tema mengenai hakikat hukum. Pertama, hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya dari politik. Kedua, hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan (mewujudkan) monopoli negara atas beragam instrumen represif. Ketiga, isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas dominan. Keempat, hukum itu bersifat ideologis, dengan demikian hukum menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang melekat pada kelas yang berkuasa.

Kita juga mengalami dan menyaksikan, bagaimana hukum digunakan secara menyimpang “mengsubversi keadilan” untuk jadi alat memanipulasi, menggusur dan merampas hak-hak rakyat, hak atas tanah dan hutan, dan penghancuran lingkungan hidup. Menjadi alat represi untuk melakukan kekerasan dan pembenaran melakukan pembatasan. Situasi yang tidak ubahnya sejak masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda seperti peraturan tanam paksa yang mewajibkan warga tunduk pada kepentingan kolonial untuk menghasilkan komoditi komersial dan merubah pranata sosial. Pemerintah kolonial memberlakukan peraturan Agrarische Wet (1870) untuk melanggengkan akumulasi primitif dan investasi perkebunan skala luas dengan menancapkan hak legal atas tanah agar bisa dijadikan komoditas. Prinsip Domein Verklaring dalam peraturan ini menjadi alat perampasan tanah-tanah yang tidak digarap langsung, termasuk tanah adat, yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis disebut “tanah tidak bertuan”, diubah statusnya menjadi tanah milik negara.

Peraturan Agrarische Wet (1870) dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan mengakhiri hukum agraria penjajahan yang kelam dan tidak menjamin kepastian hukum. Namun perampasan tanah untuk kepentingan akumulasi kapital terus terjadi. UUPA 1960 diabaikan dan kebijakan baru pertanahan untuk kepentingan pasar bergonta-ganti.

Di Tanah Papua, perampasan tanah dan proses pemisahan hubungan masyarakat adat dari alat produksi dan subsistensi mereka (tanah dan hutan adat) sedang berlangsung. Proses ini mau tidak mau memaksa mereka menjual tenaga kerja ke pemilik sarana produksi untuk mendapatkan upah. Ekspansi kapital dengan cara primitif dan pengerukan hutan alam untuk menghasilkan surplus telah mengakibatkan kerusakan hutan (deforestasi), konsentrasi dan monopoli kekuasaan, serta eksploitasi sarana produksi, tanah, hutan dan kekayaan tambang mineral yang tak berkesudahan.

Daerah perbatasan teritorialisasi (negara) dan pedalaman yang minim akses infrastruktur konektivitas menjadi sasaran ekspansi kapital. Topografi dan sumber daya di daerah ini dibingkai sebagai ‘tanah kosong’, tidak produktif, hidup miskin, tertinggal, sehingga menjadi dalih untuk alasan perluasan proyek pembangunan dan usaha komersial. Hal ini diperkuat dengan klaim hutan negara dan rencana pemanfaatan geografi negara (RTRW). Klaim tanah dan hutan adat diakui dengan syarat harus dapat dibuktikan melalui peraturan daerah dan syarat ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang relatif tidak mudah dan mahal.

Berbeda dengan korporasi yang mendapat kemudahan dan kelancaran untuk mengantongi surat izin dari negara, pemerintah dan aparatus keamanan negara juga memperlancar urusan korporasi untuk mendatangi daerah ini dan bertemu penduduk asli dan tuan tanah. Perusahaan memohon tanah, hutan dan kekayaan alam, yang ditukarkan dengan uang kompensasi, janji lapangan kerja dan kesejahteraan.

Idealnya, kebijakan pembangunan dan pemberian izin usaha bisnis ekstraktif mengutamakan asas kepentingan umum bagi rakyat banyak dan daya dukung lingkungan. Asas kepentingan umum merupakan bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Pasal 10 ayat (1) huruf g, UU Nomor 30 Tahun 2014), dengan penjelasan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Pemberian izin dan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), masih jauh dari asas kepentingan umum. Dalam konflik antara masyarakat adat Namblong dengan perusahaan kelapa sawit, PT PNM, pemerintah mengabaikan asas kepentingan umum. Pemerintah memberikan kumpulan izin, mulai dari lokasi, lingkungan, konversi kawasan hutan, usaha perkebunan dan hak guna usaha (HGU). Dalam proses ini, pengetahuan dan nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat sama sekali tidak dipertimbangkan. Akhirnya, masyarakat adat pemilik tanah dan warga negara semakin terpinggirkan.

Namun sejatinya, masyarakat adat di Lembah Grime Nawa mempunyai komitmen sosial dan moral pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan tanah dan hutan secara berkelanjutan. Hal ini tersirat dalam ekspresi dan keluhan peserta aksi dari masyarakat akar rumput yang menjadi korban konflik dan merasakan dampak akuisisi tanah.

“Tanah kami diambil, hutan sudah dirusak dan illegal logging masih berjalan…, kami tidak mau pembangunan yang merusak hutan, kami mau pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuhkan”, tegas Mama Regina Bay.

Namun visi, pengetahuan dan praktik hidup mereka, belum menjadi prioritas pertimbangan pembangunan. Perkebunan cokelat, kopi, sagu, matoa, yang diusahakan secara mandiri dan menjadi sumber pendapatan keluarga, dan berkontribusi pada pendapatan negara, terancam digusur industri perkebunan kelapa sawit yang merusak dan menggundulkan hutan alam Lembah Grime Nawa.

Pemerintah daerah Jayapura telah mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adat di daerah Lembah Grime Nawa, namun perusahaan tetap menggusur dan mengembangkan usaha secara ilegal. Bupati Jayapura mengeluarkan surat peringatan ketiga, perusahaan PT PNM belum bergeming.

Ank, Nov 2022

November 21, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28 Dubai
  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo