Ekspansi atau perluasan maupun pembesaran merupakan watak dari sistem ekonomi kapitalisme yang dilakukan melalui reproduksi modal dan alat produksi dalam skala yang diperluas dan diperbesar, seperti reinvestasi laba pada berbagai usaha, sentralisasi modal, konsolidasi dan pemusatan modal, penggabungan (merger) usaha, pengambilalihan dan pencaplokan (akuisisi) dengan membeli dan menyatukan perusahaan, perdagangan barang dan jasa, termasuk menyingkirkan pemodal lain, yang diorganisasikan dan dikendalikan terpusat oleh satu atau lebih pemilik modal. Pada gilirannya pemilik modal akan menimba keuntungan cuan dari sistem ekonomi ini.
Tahun 2020 ditengah pandemic Covid 19 yang mempengaruhi rantai pasok perdagangan dan ekonomi dunia, namun bagi pengusaha kaya Fangiono menjadikan krisis ini sebagai peluang ekonomi dengan melakukan akuisisi dan pengambilalihan tiga perusahaan minyak kelapa sawit di Kabupaten Sorong, Tanah Papua, yakni (1) PT Inti Kebun Sejahtera dengan Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas 38.300 hektar ; (2) PT Inti Kebun Sawit dengan IUP seluas 37.000 ha ; dan (3) PT Inti Kebun Lestari seluas 34.400 ha. Ketiganya berhubungan dengan Ciliandry Anky Abadi Group, salah satu unit bisnis keluarga Fangiono dan dilaporkan memiliki berbagai permasalahan ketidakpatuhan pada prinsip NDPE dan berkonflik dengan masyarakat adat pemilik lahan.
Pemerintah Provinsi Papua Barat telah melakukan evaluasi perizinan terhadap 24 perusahaan kelapa sawit di Papua Barat dengan luas wilayah perizinan sebesar 576.090,84 hektar (2021). Pemerintah menemukan adanya pelanggaran legalitas dan/atau administrasi perizinan, seperti pelanggaran kewajiban ketidakpatuhan dalam Izin Usaha Perkebunan, beroperasi tanpa Hak Guna Usaha, melakukan penanaman di lahan gambut yang dilarang, dan sebagainya. Tahun 2021, Bupati Sorong mencabut 4 (empat) perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni PT Cipta Papua Plantation ; PT Sorong Agro Sawitindo ; PT Papua Lestari Abadi ; PT Inti Kebun Lestari.
Taipan minyak sawit Fangiono tetap melawan dengan menggugat putusan Bupati Sorong hingga Kasasi Mahkamah Agung guna mendapatkan properti lahan dan hutan untuk bisnis minyak kelapa sawit. Hasilnya MA mengabulkan gugatan kasasi Bupati Sorong melawan perusahaan PT Inti Kebun Lestari, disisi lain MA juga mengabulkan gugatan perusahaan kelapa sawit yang menggugat Bupati Sorong Selatan.
Tahun 2023, PUSAKA menemukan adanya perusahaan baru PT Sorong Global Lestari (SGL) di Kabupaten Sorong, yang sedang melakukan konsultasi AMDAL dan mendapatkan penolakan masyarakat adat setempat. Area of interest dari PT SGL adalah areal eks PT Inti Kebun Lestari. Diketahui pula, pemilik saham perusahaan PT SGL dimiliki salah satu anak perusahaan keluarga Fangiono yakni PT FNG Boga Nusantara. Perusahaan mengganti dan menggunakan nama lain untuk menguasai kembali lahan dan kawasan hutan bagi bisnis minyak kelapa sawit.
Modus berganti nama baru dan akuisisi eks lahan perkebunan kelapa sawit yang bermasalah dilakukan juga oleh taipan minyak sawit ini dengan nama baru PT Papua Agro Mandiri yang mengakuisisi lahan eks perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi, seluas 26.914 hektar. Perusahaan melakukan ini dengan fasilitasi kebijakan perizinan negara melalui persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KPPR) yang sebelumnya bernama Izin Lokasi sebagai persyaratan untuk mendapatkan Perizinan Berusaha. Teridentifikasi arahan lokasi KPPR yang diterbitkan pemerintah kepada dua perusahaan PT PAM dan PT SGL berada di wilayah masyarakat adat Moi Sigin di Distrik Segun, Distrik Malabotom dan Moi Kelim di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya (sekarang).
Kini, juragan sawit Fangiono sedang mempersiapkan perluasan ladang bisnis minyak kelapa sawit ke daerah Sorong Selatan melalui anak perusahaan PT Lestari Papua Perkasa (LPP), berlokasi di Distrik Moswaren dan Distrik Wayer, Kabupaten Sorong Selatan, dengan luas 19.239 hektar. Lahan ini eks perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Varia Mitra Andalan, yang pernah dimiliki taipan Peter Sondakh.
Pemerintah mengumumkan pelaksanaan studi Amdal PT LPP dan meminta saran tanggapan masyarakat secara tertulis dengan paling lambat 10 hari kerja sejak diterbitkannya pengumuman ini. Pembatasan waktu dan masukan tertulis ini berpotensi mengeksklusi hak masyarakat adat luas dalam berpartisipasi secara bermakna menentukan penggunaan tanah dan hutan adat oleh perusahaan. Prosedur untuk kepentingan akumulasi kekayaan pemodal ini rawan terjadinya perampasan tanah dan memicu ketegangan horizonal.
Sistem hukum Indonesia mengenal pembatasan penguasaan lahan maksimum, misalnya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, Pasal 3 ayat (1) dan (2) bahwa batasan luasan maksimum perusahaan kelapa sawit sebesar 100.000 hektar untuk satu perusahaan perkebunan secara nasional.
Penguasa minyak kelapa sawit Fangiono menguasai lahan perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua melalui anak perusahaan lebih dari 100.000 hektar dan belum termasuk lahan di luar Papua. Ini fakta pelanggaran hukum dan tidak adil. Tidak kalah pentingnya potensi kejahatan lingkungan melakukan deforestasi lebih dari 80.000 hektar pada dua kabupaten.
Kontradiksi dari ekspansi dan akumulasi kapital menghasilkan konsentrasi penguasaan alat produksi dan asset ekonomi pada segelintir penguasa, menghasilkan kesenjangan kekayaan dan kesenjangan sosial yang sangat besar. Tata kelola yang dikendalikan penguasa ekonomi dan kekuatan oligarki menyuburkan praktik korupsi dan kolusi untuk mengejar cuan. Selain itu, menimbulkan permasalahan lingkungan hidup yang serius dan mengancam kelangsungan hidup mahluk bumi. Demikian pula, masyarakat adat menjadi buruh secara paksa dan korban eksploitasi, lalu berdiri dipinggiran kebun dan menjadi penonton pada zona ekstraktif.
F.S., Juni 2024