#PapuaBukanTanah
Pernyataan Sikap KNPA: Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria
PERNYATAAN SIKAP
Komite Nasional Pembaruan Agraria
Perbaikan Peraturan Presiden Reforma Agraria Harus Kembali Pada Konstitusi dan UUPA 1960:
Batalkan Rancangan Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria!
Jakarta, 22 Desember 2022
Dari masa ke masa agenda reforma agraria di Indonesia berujung pada penyempitan dan pembelokan makna sejati Reforma Agraria. Petani, nelayan, masyarakat adat, buruh, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya makin dijauhkan dari cita-cita kemerdekaan bangsa untuk berdaulat atas sumber-sumber agrarianya.
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) sejak 24 September 2019, pada Hari Tani Nasional (HTN) telah menuntut Pemerintah RI untuk melakukan perbaikan atas Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86). Pemerintah RI melalui Presiden dan Kepala KSP, Menteri ATR/BPN RI dan Menteri LHK berjanji akan melakukan perbaikan substansi Perpres 86 sesuai aspirasi dengan menjamin pelibatan KNPA, praktisi dan pakar yang kredibel.
Pada November 2022 lalu, Pemerintah melalui Kemenko Bidang Perekonomian melakukan diskusi publik membahas Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (RanPerpres RA). RanPerpres RA tersebut ditargetkan rampung di akhir tahun 2022, atau paling lambat awal tahun 2023. Padahal substansi RanPerpres RA masih jauh dari aspirasi Gerakan RA dan masyarakat. Bahkan draft versi Kemenko Perekonomian yang terakhir mengandung kontroversi, baik secara proses maupun substansi.
Berikut pokok-pokok masalah dan kontroversi dari RanPerpres Percepatan RA:
Pertama, Revisi dan penguatan Perpres RA disusun sepihak dan tertutup. Proses perumusan RanPerpres RA yang dipimpin kemenko tersebut berlangsung tanpa keterlibatan substansial dan setara dari Gerakan RA. Pemerintah untuk kesekian kalinya mengabaikan proses perumusan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak secara memadai, transparan, dan berhati-hati/seksama sesuai dengan sejarah dan dasar-dasar awal dari urgensi perbaikan. Sepanjang tahun 2019-2022, proses revisi berlangsung tanpa kejelasan proses dan dilakukan sangat tertutup. Tidak ada pelibatan aktif dan bermakna organisasi masyarakat sipil, utamanya Gerakan RA, serikat tani, organisasi masyarakat adat, serikat nelayan, perempuan, kelompok rentan dan pakar agraria yang kompeten serta kredibel.
Kedua, RanPerpres RA melanggar Konstitusi, Putusan MK dan mengkhianati UUPA 1960. RanPerpres RA yang tengah disusun Pemerintah mengingkari Konstitusi dan UUPA 1960, melainkan menggunakan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) sebagai konsiderannya. Akibatnya prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA, bahwa “tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak menjadi basis perumusannya, sehingga tidak berorientasi memudahkan rakyat mendapatkan keadilan sosialnya. Semangat liberal menempatkan tanah hanya semata barang komoditas (aset) masih kuat terkandung dalam rumusannya. RanPerpres RA juga mengikuti logika hukum UUCK yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91).
Inilah pembelokan utama dari proses perumusan revisi Perpres RA, sebab dengan mencantolkan UUCK sebagai dasar pertimbangan, maka pemerintah hendak menyandera kebijakan RA di Indonesia menjadi kontroversial seperti halnya UUCK. Jika disahkan, maka Perpres terkait RA kelak menjadi bagian dari produk hukum turunan langsung UUCK yang cacat secara konstitusional.
Ketiga, RanPerpres RA menghilangkan 7 (tujuh) tujuan fundamental Reforma Agraria. Salah satu kekuatan utama dan mendasar Perpres 86 adalah tujuh tujuan yang ditetapkannya, bahwa RA bertujuan untuk: 1) Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah; 2) Menyelesaikan konflik agraria; 3) Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan berbasis agraria; 4) Mengurangi kemiskinan lewat penciptaan lapangan kerja; 5) Memperbaiki akses masyarakat pada sumber ekonomi; 6) Meningkatkan kedaulatan pangan; 7) Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup. Dalam versi terakhir RanPerpres justru tujuan-tujuan penting ini dihilangkan.
Penghilangan tujuan-tujuan tersebut di atas menunjukkan orientasi hukum dan itikad yang tidak baik dari perumus RanPerpres RA. Padahal, tujuan RA dalam Perpres 86 menjadi tuntutan rakyat selama ini kepada Pemerintah. Tujuan-tujuan tersebut yang selama ini dinilai gagal direalisasikan, dan tidak pernah dijadikan indikator keberhasilan RA oleh pemerintah. Dengan menghilangkan tujuan-tujuan sejati dari RA, maka RanPerpres RA hendak disempitkan lagi sekadar bagi-bagi sertifikat tanah di wilayah non-konflik, tanpa bermaksud memulihkan ketidakadilan agraria dan hak konstitusional rakyat.
Keempat, TORA dari Badan Bank Tanah (BBT) adalah penyelewengan RA oleh UU Cipta Kerja, yang hendak diterus-teruskan melalui RanPerpres RA. RanPerpres RA mengikuti logika hukum yang sesat dari UUCK, yaitu memasukan proses RA ke dalam mekanisme pengadaan tanah bagi investor dan badan usaha besar. Padahal RA adalah perombakan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang. Tanah-tanah yang seharusnya dipercepat penyelesaiannya melalui RA, justru harus masuk dahulu ke dalam sistem Bank Tanah, dengan “gula-gula RA”-nya, bahwa setidaknya 30% tanah BBT ditujukan untuk RA. Logikanya, jalan sesat dan berliku ini membuat proses RA menjadi lebih panjang, sulit dan mudah dimanipulasi pelaksanaannya oleh BBT, yang memang sejak awal didesain sebagai mesin pengadaan tanah untuk kepentingan investasi dan badan usaha besar.
Pada tataran praktik BBT, tanah untuk kepentingan investasi (PSN, IKN, food estate, infrastruktur, KEK, pariwisata premium, investor sawit, bisnis tambang, dll) dengan kepentingan RA untuk rakyat akan saling tarik-menarik dan rentan conflict of interest oleh BBT. Dalam skema BBT, petani, nelayan, buruh tani, masyarakat adat, perempuan, rakyat miskin kota dan kelompok rentan lain ibarat harus bersaing dengan kelompok investor dan perusahaan yang bersifat lapar tanah dan kuat dari sisi modal dan jejaring elitis. TORA dari BBT juga akan memiliki skema yang berbeda, yaitu melalui bentuk Hak Pengelolaan (HPL) yang diciptakan UUCK.
Kelima, Tidak ada perbaikan kelembagaan yang mendasar dalam RanPerpres RA. Salah satu poin revisi yang mendasar dari Perpres 86 adalah mengenai perubahan kelembagaan, sebab inilah salah satu penyebab lebarnya gap antara janji dan implementasi riil RA di lapangan. Mengingat agenda RA berkaitan dengan masalah agraria yang kronis dan bersifat struktural, ego-sektoral kementerian/lembaga yang tak kunjung tuntas, serta otorisasi kepemimpinan lembaga yang menuntut terobosan politik sekaligus hukum, maka kepemimpinan langsung Presiden untuk mengawal dan memimpin RA secara nasional dan otoritatif adalah mutlak.
Sayangnya, dalam RanPerpres RA kepemimpinan lembaga pelaksanaan RA tetap diletakkan pada tingkat kementerian, yakni oleh Menko Perekonomian. Dualisme sistem pertanahan di Indonesia, yaitu antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK sebagai sumber masalah agraria dan konflik agraria akan terus berlangsung. Begitu pun masalah agraria terkait konflik agraria PTPN dan Perhutani, Menko Perekonomian gagal menjalankan amanat RA atas BUMN. Jika demikian, pelaksanaan RA di Indonesia kembali nihil terobosan dan penyelesaian secara konkrit dan cepat.
Keenam, rumusan RanPerpres RA belum serius dalam mendorong terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria dan meredistribusikan tanah terkait klaim (aset) perkebunan negara (PTPN).
Opsi penyelesaian konflik agraria yang disebabkan oleh perusahaan BUMN (PT Perkebunan Negara; Perhutani/Inhutani) dalam RanPerpres RA, masih seputar hak atas tanah yang memiliki jangka waktu (bersifat sementara) dalam bentuk hak pengelolaan (HPL) atau hak pakai (HP), dan/atau diserahkan sesuai kesepakatan para pihak serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, perempuan, masyarakat miskin kota dan kelompok rentan lainnya akan dilanggar terus hak konstitusionalnya atas sumber-sumber agraria utamanya tanah.
Alasan Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan terkait kesulitan penghapusbukuan aset negara dalam PTPN, akan terus berlanjut untuk menutupi kebobrokan bisnis negara yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural dan kerugian keuangan negara. Padahal penyelesaian konflik agraria akibat PTPN tidak hanya melalui penghapusbukuan aset negara, melainkan juga dapat melakukan upaya koreksi terhadap kesalahan sejarah perampasan tanah rakyat untuk konsesi perkebunan skala luas.
Ketujuh, rumusan RanPerpres RA minus terobosan hukum untuk menuntaskan konflik agraria terkait kehutanan. Dualisme pertanahan antara tanah kawasan hutan (forest land) dan tanah bukan kawasan hutan (non-forest land) masih kuat diadopsi di dalam RanPerpres. KLHK memiliki kewajiban pelaksanaan RA seluas 4,1 juta hektar, sayangnya selama 8 tahun terakhir para petani, buruh tani dan masyarakat adat menemui jalan buntu– terus menerus dipaksa dan diberi opsi perhutanan sosial tanpa melihat historisitas, hak-hak konstitusional dan situasi eksisting di lapangan. Itulah mengapa kita selalu memanen capaian buruk RA terkait konflik agraria kehutanan.
Penggabungan revisi Perpres 86 tentang RA dengan Perpres 88/2017 terkait penyelesaian masalah pertanahan terkait hutan tidak akan mengubah apapun, kecuali ingin melanggengkan terus asas domein verklaring atas nama kawasan hutan. Pelaksanaan RA terhadap praktik Negaraisasi Hutan (hak menguasai dari Negara yang menyimpang) masih sangat jauh dari aspirasi masyarakat selama ini. Monopoli Perhutani/Inhutani di seluruh Jawa dan Lampung, bisnis kehutanan (HTI, konservasi, tukar guling untuk bisnis tambang dan food estate/korporasi lumbung pangan, dll) dan masalah agraria desa-desa/perkampungan yang tumpang-tindih dengan klaim kehutanan harusnya menjadi prioritas RA.
Dalam RanPerpres, tidak ada prioritas RA bagi desa-desa yang berkonflik dan/atau mengalami ketimpangan, daerah kantong-kantong kemiskinan, tanah pertanian dan perkebunan produktif rakyat, dan wilayah adat untuk segera dikeluarkan dari klaim-kalim kawasan hutan. Bagaimana mungkin ladang-ladang yang menjadi lumbung pangan nasional dan desa-desa definitif masih terus diklaim Negara atas nama Kawasan Hutan? Sama halnya dengan konflik agraria PTPN, Negaraisasi hutan di masa lalu yang “terlanjur” memasukan kampung-kampung dan tanah pertanian rakyat, memerlukan terobosan hukum sebagai usaha negara untuk melakukan koreksi mendasar atas kesalahan masa lalunya.
Kedelapan, tidak ada subjek prioritas untuk memastikan pelaksanaan RA betul-betul dinikmati rakyat yang berhak dan bebas dari para penumpang gelap (mafia, calo dan elite captures). Dari sisi subjek, Ranperpres RA sudah mengakomodir tuntutan untuk menghapus TNI, Polri dan PNS sebagai subjek RA. Akan tetapi lagi-lagi tidak ada penekanan prinsip dan tata-cara pelaksanaan pelaksanaan RA agar subjek prioritas seperti petani kecil, buruh tani, nelayan dan landless/penggarap (orang miskin tak bertanah) yang masih bergantung pada tanah dan sumber agraria, yang betul-betul mendapat dampak positif dari RA. Usulan masyarakat adat dan perempuan sebagai bagian dari subjek hukum RA tetap tidak dimasukkan sebagai bagian dari subjek hukum RA.
Subjek RA “orang-perseorangan” pada RanPerpres RA tidak menekankan kriteria yang adil secara sosial, ekonomi dan gender, termasuk penekanan aspek masyarakat yang sudah menguasai dan menggarap tanah dengan itikad baik, historitas penguasaan tanahnya dan dilakukan dengan cara-cara yang transparan. Kewenangan Menko Perekonomian menentukan jenis pekerjaan lain yang dapat menjadi subjek RA, merupakan celah konflik kepentingan dan dapat menjadi celah masuknya kembali para penumpang gelap (free riders), mafia tanah, koperasi abal-abal, keluarga pejabat, elit bisnis-politik yang tidak berhak justru mendapatkan tanah – kasus-kasus penumpang gelap RA marak terjadi di lapangan selama 8 tahun terkahir, bahkan difasilitasi sendiri oleh Pemerintah dan Pemda. Belum terlihat kseriusan pemerintah mengantisipasi ini dalam draft yang disusun.
Kesembilan, RanPerpres melanjutkan sesat fikir bahwa sertifikasi tanah sebagai RA. Sertifikasi tanah biasa (non-reform) adalah kegiatan administrasi pertanahan bagi masyarakat yang bertanah dan belum diadministrasikan hak atas tanahnya oleh BPN. Reforma agraria yang disempitkan menjadi kegiatan pensertifikatan tanah adalah kritik terbesar Gerakan RA dan pakar hukum agraria selama ini. Inilah porsi terbesar klaim capaian pemerintah atas nama RA. Sayangnya justru RanPerpres melanjutkan kesalahan lama selama 8 (delapan) tahun ini. Capaian 9 juta hektar RA tetap dirancang dan dicampur-adukan dengan kegiatan administrasi pertanahan biasa (sebanyak-banyaknya jumlah bidang/sertifikat).
Selain itu, pendekatan asset reform dan access reform yang ultraliberal kembali menjadi formula RanPerpres. Jika dulu di pemerintahan SBY formulanya; “RA = asset reform plus access reform”, di masa Jokowi mundur selangkah lagi menjadi “RA = asset reform dan access reform”. Hal ini menimbulkan konsekuensi praktik buruk di lapangan. Seolah sertifikat saja, atau bagi-bagi tanah saja cukup, guremisasi tidak dikoreksi, HGU dihidupkan lagi di tengah guremisasi petani, lalu RA diklaim telah dijalankan. Sementara penguatan dan penataan ulang model produksi dan ekonominya pasca landreform tidak dijalankan. Seharusnya RA adalah landreform yang diperkuat, sebab di dalam RA transformasi sosial berbasis agraria yang hendak dicapai, bukan liberalisasi pasar tanah.
Jadi sertifikasi tanah bukan upaya koreksi atas struktur agraria yang timpang bagi orang tak bertanah dan berkonflik (petani gurem, buruh tani, rakyat miskin tak bertanah). Bukan pula upaya Negara memulihkan hak korban perampasan tanah yang menjadi tujuan RA. Legalisasi aset yang disebut sebagai pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) tidak bisa serta-merta disebut RA. Penguatan hak (pensertifikatan) secara individual atau kolektif di dalam paket utuh RA hanya lah tahap akhir atau pelengkap pasca penataan-ulang (landreform), redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.
Negara Indonesia masih harus belajar dari pengalaman negara lain yang sukses menjalankan RA dan sungguh-sungguh mengevaluasi diri untuk memahami pemahaman basic tentang RA, yaitu dapat membedakan program pensertifikatan tanah biasa (dulu Prona, sekarang PTSL) dengan Reforma Agraria sebagai agenda politik bangsa.
Atas dasar pandangan-pandangan masalah di atas, maka kami dari KNPA mendesak:
Pertama: Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan RanPerpres Percepatan RA yang inkonstitusional.
Kedua: Perbaikan Perpres 86/2018 tentang RA harus kembali berpedoman pada UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai hukum agraria nasional tertinggi, bukan pada UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK RI.
Ketiga: Rumusan perbaikan Perpres RA harus taat pada sejarah dan pokok-pokok mendasar dari urgensi perbaikan Perpres 86 yang selama ini dituntut, dengan memastikan pelibatan Gerakan Reforma Agraria secara aktif dan substantial. Sebab, rakyat dan gerakan masyarakat sipil bukan sekedar penerima manfaat dari hasil perumusan kebijakan, tetapi elemen penting bangsa yang harus terwakili secara setara dan bermakna.
Keempat: Menjamin transparansi proses yang diselenggarakan oleh Kemenko Perekonomian, KSP, Kementerian ATR/BPN, KLHK dan K/L lainnya;
Kelima: Sambil mendorong revisi Perpres RA yang konstitusional, pemerintah harus mengoptimalkan dan mempercepat penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah bagi rakyat kecil dan jaminan perlindungan atas wilayah hidup masyarakat dalam kerangka reforma agraria sesuai UUPA dan Perpres RA.
Keenam: Menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak-hak atas tanahnya, termasuk cara-cara penanganan konflik agraria dan pengadaan tanah yang bersifat represif di lapangan.
Ketujuh: Membatalkan UUCK yang liberal dan kapitalistik mengingat pelaksanaannya, termasuk produk hukum turunannya yang terkait Badan Bank Tanah, pengadaan tanah, PSN, KEK, ekspansi sawit, food estate, impor pangan, pengadaan tanah untuk IKN dll telah memperparah krisis agraria dan membahayakan agenda RA. UUCK menempatkan petani, masyarakat adat, buruh tani, nelayan, perempuan dan masyarakat miskin di ujung tanduk krisis agraria yang berlapis.
Demikian pandangan dan pernyataan sikap kami untuk menjadi perhatian para pihak. Terima kasih.
Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria:
– Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
– Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
– Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
– Solidaritas Perempuan (SP)
– Bina Desa
– Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
– Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
– Serikat Petani Indonesia (SPI)
– Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
– Aliansi petani Indonesia (API)
– Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA)
– Sajogyo Institute (Sains)
– Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
– Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
– Lokataru Foundation
– Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
– Sawit Watch (SW)
– Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)
– Perkumpulan HuMa Indonesia
– Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-Indonesia)