Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#PapuaBukanTanahKosong

BeritaPress Release

Hutan Sumber Hidup hingga Persaudaraan: Kesaksian Suku Awyu di Sidang Melawan Perusahaan Sawit

by Admin Pusaka Agustus 11, 2023
written by Admin Pusaka

Jayapura, 10 Agustus 2023. Gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro, memasuki babak kedua pemeriksaan saksi fakta. Tiga orang anggota masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada Kamis, 10 Agustus 2023.

Mereka yakni Tadius Woro, Antonia Noyagi, dan Yustinus Bung. Sebelumnya pada 27 Juli lalu, dua orang juga bersaksi untuk menguatkan gugatan Hendrikus Woro melawan Pemerintah Provinsi Papua dan perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL).

Dalam kesaksiannya, Tadius Woro menjelaskan bahwa penggugat, Hendrikus Woro, benar merupakan ketua marga yang ditetapkan melalui musyawarah adat. Hendrikus Woro, menurut Tadius, juga bertugas mewakili marga Woro dalam perjuangan mereka memperjuangkan tanah adat lewat gugatan ke pengadilan ini.

“Semua anggota marga Woro dari moyang pertama, kedua, dan ketiga duduk berkumpul secara adat untuk mengangkat Hendrikus ‘Franky’ Woro sebagai pemimpin marga. Tujuannya mempertahankan tanah adat supaya hutan dan isinya, termasuk tempat keramat, tidak dibongkar perusahaan,” ujar Tadius, yang juga membawa hasil penting dari hutan seperti gaharu, pucuk sagu, sagu segar, pucuk dan daun nibung, serta sejumlah tanaman obat lain ke ruang sidang.

Kesaksian tentang pentingnya hutan adat juga disampaikan Antonia Noyagi, perempuan Awyu yang berasal dari Kampung Yare–sama dengan Hendrikus Woro. Antonia, yang selama ini mengelola wilayah adat milik marga Mukri dan Woro, khawatir keberadaan perkebunan sawit akan merugikan para perempuan Awyu.

Perempuan Awyu sangat bergantung pada hutan dan sungai untuk memenuhi kebutuhan mendasar sehari-hari. Hampir saban hari mereka pergi ke hutan dan sungai guna mengambil sagu, mencari bahan obat-obatan, berburu dan memancing, mencari kayu bakar hingga kayu gaharu. Bahkan, ada kebiasaan perempuan-perempuan Yare pergi bersama ke hutan demi mempererat persaudaraan.

“Saya menghidupi sembilan anak sendirian sejak suami saya meninggal tahun 2004. Hingga sekarang anak-anak sudah ada yang menjadi prajurit TNI, ada yang berkuliah di Jawa, ada yang sekarang masih bersekolah. Itu karena hasil hutan. Kami hanya berharap dari alam. Kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa alam yang lestari,” tutur Antonia.

Saksi ketiga, Yustinus Bung, adalah warga Kampung Yare dari marga Mukragi atau Mukri. Tanah adat marga Mukri berbatasan langsung dengan marga Woro ditandai dengan batas alam berupa kali. Seperti masyarakat Awyu lainnya, mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber hidup dan berharap hutan tersebut dapat diwariskan ke generasi berikutnya.

Dalam kesaksiannya, Yustinus menjelaskan bahwa ia tidak pernah melihat pengumuman atau sosialisasi ihwal rencana beroperasinya perkebunan sawit di wilayah mereka. “Saya hanya dengar ada pertemuan di Kampung Ampera soal perusahaan dan tidak pernah tahu ada pembahasan soal amdal,” jelas Yustinus.

PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017, merujuk laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh grup perusahaan asal Malaysia Whole Asia Group. PT IAL memperoleh lahan yang sebelumnya dikuasai PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.

“Ketiga saksi menjelaskan mereka hanya mendengar ada perusahaan yang masuk, tapi tidak pernah ikut dalam sosialisasi perusahaan atau pemerintah daerah. Jadi, bisa dipastikan bahwa amdal dibuat tanpa pelibatan dan persetujuan masyarakat. Ketiga saksi juga menggambarkan kehidupan rata-rata masyarakat suku Awyu yang tidak punya akses terhadap koran atau internet, sehingga pengumuman yang diklaim sudah dilakukan oleh perusahaan tidak menjangkau mereka. Ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan keberadaan masyarakat yang terdampak,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota kuasa hukum masyarakat adat suku Awyu.

Kontak Media:

Sekar Banjaran Aji, Greenpeace Indonesia, +62 812-8776-9880

Tigor Hutapea, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, +62 812-8729-6684

Budiarti Putri, Greenpeace Indonesia, +62 811-1463-105

Agustus 11, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Solidaritas Mahasiswa, Pemuda dan Pelajar Mendukung Perjuangan Masyarakat Adat Awyu  

by Admin Pusaka Juli 17, 2023
written by Admin Pusaka

Gerakan mahasiswa identik dan berperan penting dalam mengoreksi disorientasi sosial politik. Gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial dan merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan perubahan sosial (Sukma, dkk, 2022).

Di Papua, gerakan dan aksi mahasiswa dan pelajar untuk membela hak masyarakat adat dan lingkungan hidup semakin meluas dan melibatkan perempuan adat, pemuda dan masyarakat terdampak. Di Selatan Papua, mahasiswa dari berbagai elemen organisasi, seperti badan eksekutif mahasiswa, ikatan mahasiswa dan pelajar, mengorganisir diri dalam gerakan yang disebut Ampera, kependekan dari Aliansi Mahasiswa, Pemuda Dan Rakyat Peduli Tanah Adat Papua Selatan.

Kebijakan pembangunan ekonomi, kasus-kasus ketidakadilan sosial dan pelanggaran HAM, perampasan tanah dan eksploitasi sumber daya alam, yang dialami masyarakat adat Papua dan kerusakan lingkungan, menjadi perhatian dan isu penting dalam gerakan mahasiswa dan pemuda Papua, seperti investasi perusahaan tambang PT Freeport, kebijakan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan Food Estate, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong, pertambangan Blok Wabu dan LNG Tangguh di Bintuni, Bendungan Kali-Muyu, dan pertambangan illegal yang marak terjadi di Papua.

Pada Kamis, 13 Juli 2023, Ampera Papua Selatan, melakukan aksi solidaritas mendukung perjuangan masyarakat adat Suku Awyu yang melakukan Gugatan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, dikarenakan putusan pejabat menerbitkan Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu  (DPMPTSP) Provinsi Papua Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas 90 Ton TBS/Jam seluas 36.096,4 hektar oleh PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua selatan, pada tanggal 2 November 2021.

Keputusan ini mengeksklusi hak dan akses masyarakat adat atas tanah dan hutan adat, mengancam kerusakan dan hilangnya hutan dan lahan basah dalam skala luas, berpotensi menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca.

Dalam kebanyakan kasus, pemerintah terkesan tidak memahami etika lingkungan, hak moral ekologis, mengabaikan hak masyarakat berpartisipasi menentukan pembangunan dan mengabaikan hak mendapatkan informasi, mengabaikan keberadaan dan hak-hak konstitusional  masyarakat adat yang dijamin dalam UUD 1945 pasal 18b ayat (2) bahwa negara mengakui kesatuan hak-hak masyarakat hukum adat itu sendiri.

Mama Elisabeth Ndiwaen mewakili tokoh perempuan Marind yang turut hadir dalan konferensi pers (13/7/2023) mengatakan, “Setiap perusahaan yang ada di Papua menimbulkan banyak sekali masalah, kehilangan tempat tinggal, tempat cari makan, tempat cari obat-obat, tempat-tempat keramat yang digusur, rawa-rawa sagu yang digusur, sehingga membuat hidup kami menderita, sengsara, diatas tanah kami sendiri yang diwariskan oleh leluhur kami. Karena itu kami mendukung penuh suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan tanah adatnya di PTUN Jayapura”, Kata Mama Elisabeth.

Norbertus Abagaimu, Kordinator aksi AMPERA, menyoroti kebijakan pemerintah dan proyek pembangunan yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Menurut Noberthus, “Hutan yang masyarakat adat pertahankan penting untuk keberlangsungan hidup kita. Mereka melindungi hutan dari ancaman deforestasi yang disebabkan oleh proyek-proyek ekstraktif negara dan pelaku ekonomi lainnya”, jelas Nobertus dalam Siaran Pers (13/07/2023).

Titin Betaubun, Presiden Mahasiwa Universitas Musamus, yang tergabung dalam Ampera Papua Selatan,mengatakan bahwa “Kami mendukung perjuangan Frengky Woro dan Masyarakat Adat Suku Awyu. Mereka menyelamatkan tanah dan hutan demi keberlangsungan hidup masyarakat dan generasi yang akan datang”, jelas Betaubun dalam Siaran Pers.

Mahasiswa dan Pelajar dari Wilayah Animha Kota Studi Yogyakarta menyampaikan dalam siaran pers (15/7/2023) bahwa peran dan tindakan masyarakat adat untuk membela hak lingkungan hidup sejalan dengan Perda Nomor 6 Tahun 2008, tentang Lingkungan Hidup, Pasal 7 ayat 1,  bahwa setiap orang berperan serta dalam menjaga, mengelola, memanfaatkan lingkungan berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan hidup. Ayat 2, Setiap orang dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan atas kebijakan pelestarian lingkungan hidup.

Wilhelmus Kerok, Koordinator Pelajar Mahasiswa Wilayah Adat Animha Kota Studi Yogyakarta mengatakan, “Tindakan Frengky Woro dan masyarakat adat Awyu sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada”, kata Wilhelmus Kerok, turut mendukung perjuangan Masyarakat adat Awyu.

Aliansi Mahasiswa, Pemuda Dan Rakyat Peduli Tanah Adat Papua Selatan dan Pelajar Mahasiswa Wilayah Adat Animha Kota Studi Yogyakarta, sepakat mendukung masyarakat adat Awyu menolak perusahaan PT Indo Asiana Lestari dan gugatan hukum terhadap pemerintah dan perusahaan melalui PTUN Jayapura.

“Kami mendesak PTUN Jayapura untuk segera cabut ijin usaha PT. Indo Asiana Lestari di Kabupaten Boven Digoel Distrik Mandobo dan Distrik Fofi”, desak Titin Betaubun.

Organisasi mahasiswa, pelajar dan pemuda, mendesak hakim untuk melihat secara jeli alat-alat bukti yang di hadirkan oleh masyarakat adat Awyu sebagai bukti valid dari masyarakat adat,  meminta dan melarang keras Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Selatan mengeluarkan ijin-ijin secara sepihak diatas seluruh tanah adat masyarakat Papua.

Pernyataan dan suara perempuan atas gugatan masyarakat adat Awyu dapat di akses pada kanal Instagram ini: https://www.instagram.com/reel/CuqcASCgzcn/?igshid=M2MyMzgzODVlNw%3D%3D

Selengkapnya baca disini Siaran Pers AMPERA, Papua, Juli 2013

Ank, Jul 2023

Juli 17, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Peraturan

Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 5 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2021 – 2022

by Admin Pusaka Januari 3, 2023
written by Admin Pusaka
Januari 3, 2023 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Majelis Hukum Mahkamah Agung Harus Membuat Keputusan yang Adil Berpihak pada Masyarakat Adat dan Keberlanjutan Lingkungan Hidup

by Admin Pusaka November 18, 2022
written by Admin Pusaka

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Makassar mengabulkan permohonan banding perusahaan kelapa sawit PT Anugerah Sakti Internusa (ASI) dan PT Persada Utama Agro Mulia (PT PUA) pada Agustus 2022, dan menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan, yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan dua perusahaan ini. Demikian pula, Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA)  menolak permohonan Kasasi Bupati Sorong atas perkara gugatan perusahaan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Papua Lestari Abadi (PLA), pada Agustus 2022.

Pada putusan lain, Majelis Hakim MA mengabulkan permohonan kasasi Bupati Sorong dalam perkara gugatan perusahaan PT Inti Kebun Lestari (IKL). Dalam putusan Hakim MA, hakim menyatakan bahwa PT TUN Makassar telah keliru dan salah dalam menerapkan hukum. Hakim MA membatalkan Putusan PT TUN Makassar.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memfasilitasi diskusi akademis-kritis untuk mengkaji dan memeriksa putusan PT TUN dan Kasasi antara Bupati Sorong dan Sorong Selatan melawan perusahaan perkebunan sawit, yang dilakukan di Jakarta pada 15 – 16 November 2022. Pertemuan ini mengundang peserta masyarakat adat terdampak dari Sorong dan Sorong Selatan, perwakilan LMA Malamoi Sorong, AMAN Sorong Raya, Relawan Tolak Sawit Sorong Selatan, perwakilan pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil, Pendamping Hukum Bupati Sorong dan Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum.

Kabag Hukum Kabupaten Sorong, Demianus Aru, menyampaikan putusan pencabutan izin perusahaan perkebunan sawit berkaitan dengan pelanggaran administrasi pemerintah secara substansi dan prosedural,namun dalil dan Putusan PTTUN dan MA tidak memperhatikan dasar alasan putusan yang menjadi fokus pemerintah dalam pencabutan izin, yang mana dinilai perusahaan telah melanggar dan belum memenuhisyarat ketentuan substansi dan prosedural.

Terkait putusan banding PT PLA di Sorong, menurut ahli Dr. Aan Eko Widiarto, bahwa argumen hukum hakim nampak condong hanya mempertimbangkan aspek formal-administratif semata tanpa melihat fakta dan signifikansi ancaman dampak sosial dan lingkungan, yang cukup baik jadi pertimbangkan hakim dalam Putusan TUN Jayapura.

“Terkait Putusan Kasasi tentang pelanggaran asas pemberian kesempatan yang layak, asas ini belum ditemukan dalam literatur hukum. Seharusnya hakim menerapkan asas kepentingan umum, mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum, dalam pertimbangan putusan”, jelas Aan Eko Widiarto.

Proses persidangan di PT TUN dan Kasasi di Mahkamah Agung juga dilakukan secara tertutup, sehingga ada keterbatasan dalam memantau dan mengetahui proses musyawarah hakim. Hal ini mempengaruhi opini masyarakat yang mempertanyakan situasi persidangan dan putusan pertimbangan yang digunakan hakim

“Harus ada perubahan dalam sistem peradilan untuk dapat dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau masyarakat”, jelas Nur Amalia, selaku penasehat hukum Pemerintah Kabupaten Sorong.

Dalam Surat Pernyataan Bersama Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat, yang disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa perlu kebijakan pemerintahan yang adil dan bersih, transparan dan bertanggung jawab, dan dengan memajukan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Koalisi juga menghimbau kepada media massa dan semua pihak untuk melakukan pemantauan atas proses pengadilan yang sedang berlangsung.

“Kami meminta Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam persidangan perkara gugatan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan untuk dilakukan secara terbuka, membuat putusan yang adil dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak, serta mempertimbangkan fakta lapangan terkait keberadaan dan hak-hak hidup masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan hidup”, kata Sopice Sawor, tokoh Perempuan Adat dari Suku Tehit Afsya, Kabupaten Sorong Selatan..

Perwakilan masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil dalam Surat Pernyataan meminta dan mendukung Bupati Sorong dan Bupati Sorong Selatan dalam melakukan upaya hukum atas gugatan perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan di Kabupaten Sorong Selatan.

Kami tetap mendukung Bupati Sorong dan Sorong Selatan untuk melakukan perlawasan hukum  demi keadilan, perubahan dan pemajuan tata kelola yang menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, dan keberlanjutan lingkungan hidup. Dukungan dan sikap ini disampaikan Yustinus Konjol, perwakilan Suku Tehit dari Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan, dan Seljun Kayuri, perwakilan Suku Moi dari Kampung Gisim, Distrik Segun, Kabupaten Sorong.

Dalam pertemuan Koalisi dengan Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan dan Uli Parulin Sihombing, di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 16 November 2022, pertemuan dengan Ketua Satgas Supervisi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Wilayah Maluku Papua, Dian Patra, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, 17 November 2022, pihak Komnas HAM dan KPK, mendukung dalam melakukan pemantauan proses pemantauan agar majelis hakim dapat memberikan putusan yang adil dan tidak didasarkan kepentingan tertentu.

“Kami akan mempelajari putusan dan memberikan pendapat hukum dan membuat amicus curiae (sahabat peradilan) terhadap perkara dimaksud”, ungkap Uli Parulin Sihombing, Koordinator Subkomisi Penegakan HAM.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat juga menyampaikan Amicus Curiae terhadap Perkara Nomor 576.K/TUN/2022 antara PT ASI melawan Bupati Sorong Selatan, dan Perkara Nomor 577.K/TUN/2022 antara PT PUA melawan Bupati Sorong Selatan.

Terima kasih

Jakarta, 17 November 2022

Kontak Person:

Natalia Yewen: +62 813-1753-7503

Hollan Abago: +62 821-9819-2376

Silas Kalami: +62 821-9813-3740

November 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Amicus Curiae untuk Majelis Hakim Mahkamah Agung

by Admin Pusaka Juli 26, 2022
written by Admin Pusaka
Juli 26, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Pemberian Izin Perusahaan Sawit PT PNM Melanggar Ketentuan Adat

by Admin Pusaka April 25, 2022
written by Admin Pusaka

Tahun 2014, Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (BTPM) atas nama Gubernur Provinsi Papua menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 01/SK.IUP/KS/2014 Tanggal 28 Maret 2014 tentang Izin Usaha Perkebunan kepada perusahaan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), luas areanya mencapai 30.920 hektar, yang terletak di Distrik Unurumguay, Namblong, Nimboran, Nimbnokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Salah satu kewajiban dalam diktum KEEMPAT SK Kepala Badan PTMP tersebut adalah PT PNM wajib menyelesaikan proses perolehan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pemimpin Organisasi Perempuan Adat Namblong (OPAN), Rosita Tecuari, yang juga tokoh perempuan adat setempat, menyampaikan perusahaan PT PNM belum pernah bermusyawarah dan meminta persetujuan masyarakat adat secara luas terkait pemanfaatan dan pengalihan hak atas tanah dan hutan adat untuk usaha perkebunan kelapa sawit.

“Pelepasan tanah adat secara adat dilakukan dengan sepengetahuan Iram, lembaga adat yang punya otoritas mengatur hak adat, namun Iram bukan penguasa tanah dan tidak bisa melepaskan tanah adat”, jelas Rosita Tecuari.

Pemanfaatan tanah dan hutan adat harus melalui musyawarah melibatkan pemimpin adat, Iràm, Takai, Du neskingwou, Lum, Leng dan masyarakat adat setempat, serta disaksikan marga-marga sektiar pemilik tanah yang berbatasan.

Diduga PT PNM hanya melakukan pertemuan dan menggunakan orang-orang tertentu, tokoh marga, untuk mendapat persetujuan. Hal ini terungkap dalam pertemuan dengan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua Bapak Solaiyen Murin Tabuni, S.E, bersama perwakilan masyarakat adat dan Solidaritas Aksi  Selamatkan Lembah Grime-Nawa terdiri dari PT. PPMA, Walhi Papua, Jerat Papua, LBH Papua, DAS Namblong, ORPA Namblong, DAS Oktim, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Green Peace Indonesia, Auriga Nusantara, TIKI Jaringan HAM Perempuan Papua, (Senin, 25 April 2022)

Dalam Siaran Pers Solidaritas Aksi  Selamatkan Lembah Grime-Nawa (25/04/2022), disampaikan  masyarakat menyampaikan tuntutan agar kepala dinas mencabut izin usaha perkebunan PT permata nusa mandiri (PT PNM)  di wilayah lembah Grime Kabupaten Jayapura. Pemberian izin  tidak sesuai dan melanggar ketentuan adat.

Baca juga: Kertas Kebijakan Selamatkan Lembah Grime Nawa

“Kami sudah cek ternyata perusahaan PT PNM sudah mendapat izin yang sangat luas mencakup seluruh tanah adat dari 7 suku dan kampung-kampung adat dilembah Grime. Pemerintah memberikan izin diatas tanah orang lain yang tidak setuju. Kami tidak pernah memberikan persetujuan”, kata Mathias Nawa,  Ketua Dewan Adat Suku Namblong.

Aktifitas perusahaan PT PNM telah mengakibatkan ketegangan diantara masyarakat adat dan menimbulkan rasa tidak aman. Masyarakat adat setempat berdalil kerusakan hutan, perampasan tanah, dan rasa tidak aman, serta ancaman kehilangan sumber kehidupan, menjadi alasan menuntut pemerintah mencabut izin PT PNM.

Pandangan dan sikap serupa disampaikan perwakilan masyarakat adat dan Solidaritas Aksi  Selamatkan Lembah Grime-Nawa saat bertemu dengan Bupati Jayapura dan Kabid Perkebunan Provinsi Papua pada pertemuan minggu sebelumnya.

Kepala Dinas PMPTSP Provinsi Papua menyampaikan telah memperoleh surat pencabutan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) pada awal tahun 2022, ada 31 perusahaan di Provinsi Papua yang izin pelepasan kawasan hutan dicabut salah satunya adalah PT PNM, karena izin kawasan pelepasan kawasan hutan telah dicabut dengan sendirinya izin-izin lainnya tidak berlaku. Kami telah berkomunikasi dengan KLHK, menunggu tindakan selanjutnya. Jika perusahaan terus melakukan membuka hutan itu tindakan ilegal, masyarakat minta stop saja.

“Izin PT Permata Nusa Mandiri sudah tidak berlaku lagi”, ujar Kepala Dinas PMPTSP Papua, Solaiyen Murin Tabuni, S.E.

Masyarakat Adat menunggu tindakan pemerintah mencabut izin untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat adat.

PUSAKA, April 2022

April 25, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Info Grafis

Dugaan Pelanggaran Hukum Perusahaan Kelapa Sawit PT Permata Nusa Mandiri

by Admin Pusaka April 23, 2022
written by Admin Pusaka
April 23, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
AktifitasBerita

Surat Terbuka: Mendesak Bupati Sorong Selatan Menetapkan Panitia Masyarakat Hukum Adat

by Admin Pusaka April 18, 2022
written by Admin Pusaka

Produk kebijakan pemerintah Provinsi Papua Barat terkait Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat mengalami perkembangan berarti. Tahun 2019, Pemerintah Provinsi Papua Barat menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman, Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.

Dalam Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, Pasal 7 – Pasal 14, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten wajib memberikan pengakuan terhadap keberadaan MHA yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Pelaksanaan pengakuan MHA melalui proses penelitian hukum terhadap kriteria MHA, yakni memiliki : (a) letak dan batas wilayah adat; (b) sejarah asal usul MHA; (c) hukum adat yang tumbuh dan berlaku ; (d) kelembagaan atau sistem pemerintah adat; atau (e) harta kekayaan dan atau benda-benda adat.

Lalu tahun 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan MHA dan Wilayah Adat.  Guna menindaklanjuti kebijakan pengakuan MHA tersebut, saat ini pada tingkat provinsi, sudah dibentuk tim kerja untuk percepatan pengakuan dan penetapan MHA dan wilayah adat di Provinsi Papua Barat, berdasarkan SK Gubernur Papua Barat Nomor 189/63/3/2022. Pergub dan SK Gubernur Papua Barat ini memberikan arahan pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagai bagian dalam proses penetapan dan percepatan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di wilayah Provinsi Papua Barat.

Namun implementasi isi kebijakan tersebut masih minim penerapannya. Pada tingkat kabupaten, misalnya pemerintah daerah Sorong Selatan sudah ada wacana untuk untuk mendiskusikan dan membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat tingkat kabupaten. Rencana dan inisiatif Pemda Sorong Selatan mendapat tanggapan peserta diskusi terfokus yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Betala Rakyat dan Relawan Peduli Sosial dan Lingkungan, di Gedung Putih Kota Teminabuan, pada Rabu, 13 April 2022.

Sarce Saflesa, perempuan adat Tehit, mengungkapkan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat, termasuk perempuan adat, diperlukan untuk memastikan terpenuhinya kesejahteraan dan kepastian hak-hak atas tanah dan hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat adat.

“Kami juga mengharapkan keterlibatan perempuan adat dalam Panitia Masyarakat Hukum Adat dan seluruh rangkaian kebijakan program pemberdayaan masyarakat adat”, ungkap Sarce Saflesa.

Setalah mendiskusikan perkembangan kebijakan tersebut dan proses pembentukan kebijakan peraturan di daerah Kabupaten Sorong Selatan, peseta dari perwakilan masyarakat adat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perempuan, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa, pemimpin organisasi masyarakat sipil, menyampaikan surat terbuka dan rekomendasi kepada pemerintah daerah Sorong Selatan yang menyoroti dan meminta Bupati Sorong Selatan secepatnya menetapkan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, dan mendukung pendanaan program untuk percepatan penetapan pengakuan hak masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan.

Aliansi juga mendesak Bupati Sorong Selatan segera secepatnya melaksanakan amanat Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, untuk memberikan pengakuan, perlindungan, pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat ; mengeluarkan putusan perlindungan tempat penting dan tempat sakral, serta kebijakan program untuk melakukan identifikasi tempat penting dan sakral, yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat adat setempat.

“Kami meminta Bupati Sorong Selatan untuk mendorong dan mendukung percepatan proses pembahasan dan penetapan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Selatan tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, yang digagas dan diusulkan oleh DPRD Kabupaten Sorong Selatan sejak tahun 2019 lalu”, tegas Yusuf Momot.

Selengkapnya Surat Terbuka baca disini: Surat Terbuka untuk Bupati Sorong Selatan, April 2022

 Ank, April 2022

April 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Press Release: Masyarakat Sipil Mendukung Langkah Hukum Bupati Sorong untuk Melakukan Kasasi

by Admin Pusaka Maret 30, 2022
written by Admin Pusaka

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi TUN Makassar memutuskan mengabulkan gugatan perusahaan dan menyatakan batal keputusan Bupati terkait pencabutan izin usaha perusahaan kelapa sawit PT Pusaka Agro Lestari (PAL) dan PT Sorong Agrosawitindo (SAS) di Sorong.

“Kami sudah membaca putusan PTTUN Makassar terkait gugatan perusahaan terhadap putusan bupati tentang pencabutan izin. Pertimbangan putusan ini hanya mempersoalkan prosedur pencabutan izin yang diatur dalam peraturan menteri, namun Majelis hakim belum mempertimbangkan sikap masyarakat adat yang menolak izin usaha perusahaan dan hak-hak masyarakat dirampas, serta ancaman hilangnya hutan alam di daerah ini,” ungkap Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kebijakan Bupati Sorong, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang melakukan evaluasi perusahaan dan hingga pemberian sanksi-sanksi, termasuk pencabutan izin, merupakan bagian dari perbaikan tata kelola pengembangan usaha perkebunan supaya lebih adil, berpihak pada masyarakat dan lingkungan, sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Kebijakan ini harus diwujudkan, karenanya pemerintah  diharapkan tidak mendiamkan putusan PTTUN Makasar ini yang akan mencederai kebijakan peraturan dan suara masyarakat adat.

“Organisasi masyarakat sipil mendesak Bupati Sorong untuk mengajukan kasasi atas Putusan PTUN Makassar yang memenangkan gugatan perusahaan kelapa sawit PT Papua Lestari Abadi (PT PLA) dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Pemerintah tidak boleh mundur dalam menghadapi gugatan korporasi, yang diduga melakukan pelanggaran”, minta Sulfianto Alias dari Perkumpulan Panah Papua.

Kajian dan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama Tim Korsup  KPK dan  Bupati dari beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat, membuktikan perusahaan telah melanggar syarat dan ketentuan dalam izin-izin usaha, serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan mengancam kelestarian lingkungan.

Kemenangan kedua perusahaan bisa menjadi preseden kurang baik dan jika tidak disikapi akan membuat  perusahaan tidak jera dan kejahatan bisnis tidak dapat dikendalikan.

“Kami khawatir putusan ini dihasilkan oleh pemahaman terbatas dan kelalaian hakim dalam pemeriksaan perkara dan membuat putusan yang adil bagi masyarakat adat dan lingkungan alam di Papua”, kata Sulfianto.

Ketua LMA Malamoi, Silas O. Kalami dan Ketua Perkumpulan Mongka Papua, Nerius D. Sai, menambahkan dan menyatakan mendukung tegas Bupati Kabupaten Sorong untuk Kasasi di Mahkamah Agung.

“Pada prinsipnya, Bupati sorong punya hak untuk membela dirinya sebagai Bupati yang dijamin dalam Undang Undang Otsus. Bupati punya kewenangan mengatur perusahaan di wilayah pemerintahannya. Harapannya pemerintah nasional, pemerintah provinsi Papua Barat, para Bupati, KPK, dan berbagai pihak dapat membantu Bupati Sorong karena perkebunan kelapa sawit tidak hanya di Sorong tapi di daerah lain” tuntut Nerius D. Sai.

 

Manokwari, 28 Maret 2022

Koalisi Masyarakat Sipil di Papua Barat:

Sulfianto Alias, Perkumpulan Panah Papua

Nerius D Sai. Perkumpulan Mongka Papua

Silas O. Kalami, LMA Malamoi

Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Kontak Person:

Sulfianto +62 811-5309-289

Maret 30, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Gereja Mengajak Memberikan Penghargaan yang Tinggi Terhadap Ciptaan Allah

by Admin Pusaka Januari 18, 2022
written by Admin Pusaka

Tanggung jawab Gereja adalah mengajak manusia untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah, termasuk lingkungan hidup. Pernyataan ini disampaikan Sekretaris KPKC Klasis GKI Teminabuan, Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si, pada aksi protes penolakan kelapa sawit di pelataran Taman Trinati, Kota Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan (10 Januari 2022).

“Pengrusakan lingkungan telah menimbulkan banyak dampak negatif, yaitu pemanasan global, pencemaran udara, air, tanah, dan lain-lain. Oleh karena itu sikap ekspolitatif terhadap lingkungan merupakan bentuk pengrusakan terhadap karya Allah”, tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si., yang disambut tepuk tangan dan sorak sorai peserta aksi. 

Massa aksi lebih dari 100 orang, berasal dari perwakilan masyarakat adat Tehit, Kais dan Maybrat, dari Distrik Teminabuan, Konda, Saifi, Seremuk, Kais, Wayer dan Moswaren. Selain itu, peserta aksi berasal dari warga gereja setempat, tokoh perempuan adat, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa.

Aksi protes ini terjadi menyusul beredar dan tersiarnya informasi Surat Panggilan PTUN Jayapura, Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR,  Tanggal 30 Desember 2021, kepada Bupati Sorong Selatan, terkait gugatan perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa, yang diketahui izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut dicabut oleh Bupati Sorong Selatan, pada Mei 2021 lalu. Masyarakat adat yang terancam bereaksi mengecam sikap perusahaan, menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit dan mendukung Bupati Sorong Selatan menghadapi gugatan perusahaan.

Tokoh perempuan adat Tehit dan Kepala Distrik Konda, Sopice Sawor, mengatakan pemerintah distrik dan masyarakat adat di Distrik Konda mendukung sepenuhnya Bupati Sorong Selatan dalam persidangan pencabutan perizinan di PTUN Jayapura, masyarakat dengan tegas menolak perkebunan kelapa sawit di Distrik Konda, Sorong Selatan.

Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa dari Kampung Wersar dan Tapiri, menuliskan dalam spanduk aksi “Dukungan kami menjadi bagian dalam menjaga dan melestarikan alam sebagai ciptaan Tuhan bagi kelangsungan hidup kami, anak kami dan cucu cece kami”. Ungkapan serupa disampaikan LMA Suku Tehit.

Dalam Surat Pernyataan Klasis GKI Teminabuan, Komisi Diakonia Hukum dan KPKC, Nomor: 002/1-7.3/G-16.a/I/2022, Tanggal 10 Januari 2022, sikap gereja  yang mewadahi 37 Jemaat, 1 Pos Pelayanan, 5 (lima) wilayah pelayanan Klasis GKI Teminabuan, menyatakan dengan tegas  menolak pembangunan lahan dan pabrik kelapa sawit yang berdampak pada kerusahaan lingkungan secara global.

“Sebab lingkungan hidup harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan demi menjaga keseimbangan ekologis”, ungkap tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si.

Ank, Jan 2022

Januari 18, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28 Dubai
  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo