Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#PTUNJayapura

Berita

Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan

by Admin Pusaka November 3, 2023
written by Admin Pusaka

Dalam penanganan perkara lingkungan hidup hakim diharuskan untuk berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni Prinsip Substansi Hukum Lingkungan, Prinsip Pencegahan Bahaya Lingkungan (Prevention of Harm), dan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development); prinsip pemberdayaan masyarakat, pengakuan terhadap daya dukung dan keberlanjutan ekosistem dan yang tidak kalah penting adalah pengakuan atas hak masyarakat adat. Di samping itu, Prinsip Keadilan termasuk di dalamnya Prinsip Keadilan Antar-Generasi (Intergenerational Equity) juga merupakan prinsip yang relevan untuk dipertimbangkan karena perkara in casu berkaitan dengan perubahan iklim yang berdampak besar bagi generasi mendatang.

Pendapat ini disampaikan akademisi Universitas Gadjah Mada dan ahli hukum lingkungan hidup,  I Gusti Agung Made (Igam) Wardana, S.H., LL.M., Ph.D. Igam dalam pendapat hukum atas Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin masyarakat adat Awyu, Hendrikus Woro, berpendapat dalam perkara lingkungan, hakim juga dituntut untuk melakukan aktivisme yudisial (judicial activism) dengan melakukan penafsiran progresif atas aturan hukum yang mengedepankan kepentingan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat sesuai doktrin in dubio pro natura.

Prinsip Substansi Hukum Lingkungan  belum menjadi pertimbangan majelis hakim PTUN Jayapura dałam Gugatan Lingkungan Hidup yang diperkarakan pemimpin Suku Awyu, Hendrikus Woro.

Kamis (02/11/2023), sidang Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, yang  dipimpin Merna Cinthia, S.H., M.H., telah membuat putusan yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Putusan hakim tersebut menjadi kabar buruk dan kemunduran bagi perlindungan lingkungan hidup dan masyarakat adat Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman penggundulan hutan oleh perusahaan kelapa sawit.

Hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan Amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL. Padahal, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa. Hal ini disampaikan Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dalam siaran pers.

Baca disini Salinan_putusan_6_G_LH_2023_PTUN_JPR, Gugatan Lingkungan Suku Awyu, 021123

“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. LMA adalah lembaga yang tidak jelas status hukum dan kedudukannya dalam tatanan adat, mereka tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.

Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

“Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.

Pejuang Lingkungan Hidup dari suku Awyu,  Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan ke PTUN Jayapura merasa kecewa dan sedih atas putusan majelis hakim yang tidak adil. Namun begitu Hendrikus bertekad tidak akan mundur memperjuangkan tanah dan lingkungan hidup.

“Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar. Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini. Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” tegas Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.

Ank, Nov 23

November 3, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaLaporan

Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

by Admin Pusaka November 1, 2023
written by Admin Pusaka
November 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Majelis Hakim Pegang Teguh Prinsip In Dubio Pro-Natura dalam Membuat Putusan Perkara Demi Kelanjutan Hutan Papua

by Admin Pusaka November 1, 2023
written by Admin Pusaka
November 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Saksi Ahli: AMDAL Dokumen Awal yang Tidak Boleh Dilakukan Bersamaan Operasi Perusahaan

by Admin Pusaka Oktober 2, 2023
written by Admin Pusaka

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia. Namun negara seringkali abai dan lalai dalam menjamin dan memenuhi hak konstitutional tersebut. Meskipun sudah ada kesepakatan untuk menjalankan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan, namun pemerintah mengembangkan proyek pembangunan dengan label ‘proyek strategis nasional’ dan pemberian izin eksploitasi sumber daya alam dilakukan tanpa memperhatikan aspek daya dukung dan daya tampung, dan keberlanjutan lingkungan hidup dan mahluk hidup. Keputusan politik ekonomi dan kepentingan akumulasi kapital seringkali didahulukan dibandingkan mempertimbangkan etika sosial dan lingkungan.

Pemerintah mempunyai mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)  untuk mencegah dampak dari operasi penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam, yang direncanakan dan mempengaruhi kerusakan terhadap lingkungan hidup. AMDAL merupakan penilaian dampak positif atau negatif dari perencanaan proyek pembangunan yang melingkupi aspek lingkungan, geologi, sosial budaya dan ekonomi, bahkan hingga kesehatan.

Saksi ahli, Dr. Anton Silas Sinery,  S.Hut., MP, dalam persidangan gugatan iklim yang diajukan perwakilan suku Awyu di PTUN Jayapura (Kamis, 21/09/23), menyampaikan penilaian AMDAL terdiri dari beberapa tahap, yakni uji tahap proyek, uji konsistensi, uji relevansi dan uji kedalaman, menggunakan metode dan data ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan dan menggunakan laboratorium yang terakreditas.

“Kajian dampak lingkungan, AMDAL ini merupakan dokumen awal yang tidak boleh dilakukan bersamaan operasi produksi”, jelas Anton Sinery.

Dalam hal uji konsistensi, Anton Sinery menjelaskan dan memberikan contoh misalnya terkait lokasi proyek dan penduduk marga, maka harus disebutkan dalam dokumen kampung dan marga terdampak ini, dengan luas sekian dan dampaknya terhadap 12 marga, semua harus terbuka dan melibatkan masyarakat.

Peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan diakui sebagai salah satu prinsip utama dalam Deklarasi Rio De Janeiro hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan Tahun 1992. Asas kelima Deklarasi Rio 1992 menyebutkan partisipasi seluruh bangsa dan umat manusia dalam memusnahkan kemiskinan untuk kualitas kehidupan. Tentunya termasuk partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sehat.

Berkaitan dengan AMDAL, keterlibatan masyarakat dilakukan sebelum penyusunan Kerangka Acuan AMDAL. Anton Sinery mengatakan pada tahap konsultasi publik seharunya pelaku usaha bersama pemerintah daerah mengumumkan kepada publik terkait rencana usaha dan mendiskusikan siapa perwakilan masyarakat adat yang akan ikut serta dalam penyusunan AMDAL dan duduk dalam sidang komisi penilai AMDAL. Masyarakat terdampak yang terlibat adalah masyarakat yang berada dalam wilayah studi areal konsesi sesuai Izin Lokasi dan masyarakat diluar izin lokasi, namun secara sosial masih mempunyai hubungan dengan lokasi konsesi.

“Penetapan wakil masyarakat diserahkan kepada masyarakat untuk menentukan siapa wakil yang menjadi Komisi AMDAL, tidak ada ketentuan, Kepala Kampung atau Bamuskam, melainkan melalui proses mufakat, yang hasilnya diserahkan ke secretariat”, jelas Anton Sinery.

Ketika ditanyakan Kuasa Hukum Penggugat, Tigor G Hutapea, S.H., bagaimana jika masyarakat pemilik lahan terdampak tapi tidak dilibatkan dalam proses AMDAL. Anton menjelaskan bahwa secara  prosedur hal itu tidak memenuhi aturan dan secara etis seharusnya tidak demikian.

“Karena kita akan menciptakan suatu konflik yang terjadi di masa datang”, ungkap Anton Sinery.

Kebebasan masyarakat dalam menyampaikan usul pendapat dan tanggapan dijunjung tinggi dalam proses AMDAL, sehingga setiap masyarakat yang memiliki kepentingan dan terdampak wajib hukumnya diberikan kesempatan menyampaikan pendapat secara bebas. Saran pendapat dapat dilakukan secara tertulis dan merekam pendapat masyarkat yang tidak bisa menulis. Semua usulan saran  harus diberikan secara bebas, tanpa intimidasi, tanpa paksaan atau ada pengaruh dari pihak manapun. Masyarakat terdampak tidak boleh diwakili dan diabaikan dengan dalil memiliki tipikal sama.

“Objek studi adalah masyarakat terdampak, jangan tanya masyarakat di kota terus mereka bilang kami, tidak bisa begitu. Metodenya kita dibatasi wilayah studi, jika ada 12 marga maka tanya 12 marga bukan satu marga mewakili 11 marga lainnya”, jelas Anton Sinery.

Saksi Ahli Anton Sinery menyarakan hal yang perlu diperhatikan dalam AMDAL, membuat penyaringan syarat administrasi penetapan izin, koordinat lokasi dan rekomendasi tata ruang, apabila tidak sesuai dapat ditolak, apakah layak secara keruangan? jika tidak sesuai, wajib hukumnya ditolak.

“Tahun 2021 – 2022, saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Food Estate Papua, lokasinya dekat dengan lokasi (masyarakat), saya dapat sprindik dari kementerian pertahanan, tim saya ada 12 orang. Ketika konsuktasi publik pertama diterima dengan baik dan konsultasi kedua ditolak. Saya menghargai dan berhenti, kita buat berita acara (penolakan). Kemeterian Pertahanan tidak mau dan kita diganti, itu idealism kita, itu fakta. Ketika satu saja menolak maka kita tolak wajib hukumnya”, cerita Anton Sinery, yang mempunyai banyak pengalaman mulai dari konsultan AMDAL hingga penilai AMDAL.

AMDAL merupakan syarat keluar izin lingkungan sehingga bagi pelaku usaha yang tidak memiliki AMDAL, cacat hukum, harus dibatalkan. Menurut Anton Sinery izin lingkungan dan/atau perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila ada dugaan dan bisa dibuktikan pelanggaran terkait informasi data yang digunakan terjadi pemalsuan. Jika mengandung cacat hukum dan pemalsuan, dan sebagainya, maka dihukum pidana paling lama satu tahun dan denda satu miliar sampai tiga miliar.

Ank, Okt 2023

Oktober 2, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
BeritaPress Release

Siaran Pers: Pejuang Lingkungan Hidup dari Suku Awyu Ajukan Gugatan Perubahan Iklim ke PTUN Jayapura

by Admin Pusaka Maret 13, 2023
written by Admin Pusaka
Maret 13, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Keadilan di Pengadilan dan Suara Masyarakat Adat

by Admin Pusaka September 2, 2022
written by Admin Pusaka

Sudah seminggu lamanya, masyarakat adat di Distrik Konda, Distrik Teminabuan, Distrik Wayer dan Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan, memperbincangkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar, tentang Rapat Majelis Hakim PTTUN Makassar pada 10 Agustus 2022, yang mengabulkan permohonan banding perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia, dan menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan dari kedua perusahaan tersebut pada Mei 2021 silam.

Masyarakat adat setempat resah jika putusan Majelis Hakim ini akan menjadi pembenaran bagi kedua perusahaan tersebut untuk dapat kembali beroperasi, dan merampas tanah serta hutan adat Suku Tehit, Suku Gemna, Suku Kais dan Suku Maybrat. Suku-suku ini berdiam di daerah konsesi perusahaan tersebut. Keseluruhan luas konsesi dua perusahaan itu diperkirakan sebesar 62.000 hektar.

“Kitorang punya hutan hanya sepanggal, cukup untuk kehidupan manusia di kampung saja. Kalau perusahaan diberi izin untuk ambil hutan lagi, maka masyarakat hidup bagaimana dan dari mana?” gugat Yulian Kareth, tokoh masyarakat adat Suku Afsya dari Kampung Mbariat, Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan.

Wilayah hidup masyarakat adat di Kampung Mbariat berada di atas urat tanah kawasan hutan di daratan Kali Bariat hingga ke daerah rawa dan hutan mangrove di sepanjang Kali Kaibus. Luasnya 3.196 hektar. Lebih dari separuh wilayah adat mereka menjadi sasaran perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa. Suku Gemna dan sub suku Mlakya secara formal memburaskan situasi ini melalui sidang adat.

Pertimbangan hukum Majelis Hakim yang disampaikan adalah seputar pertimbangan yuridis dari aspek prosedural. Antara lain seperti tenggang waktu pengajuan gugatan, prosedur penerbitan putusan, proses tahapan pemberian sanksi, kesalahan penulisan dan lain sebagainya.

Pertimbangan tersebut dirasa belum cukup adil, tidak mempertimbangkan suara masyarakat adat. Ia justru mengundang sikap miring terhadap negara, lembaga peradilan dan perusahaan, dikarenakan beresiko menimbulkan kerugian dan hilangnya hak rakyat.

Sebagaimana terungkap dari berita-berita di media, putusan pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut izin perusahaan dikarenakan adanya kerugian negara dan keinginan untuk meminta perusahaan bertanggung jawab.

Pemerintah berniat mencari perusahaan yang terindikasi mengangkut hasil hutan kayu dan yang mengsertifikatkan tanah untuk kepentingan perusahaan mendapatkan uang, dan merugikan negara. Pemerintah akan meminta perusahaan untuk mengembalikan atau mempertanggungjawabkan kerugian daerah.

Hal ini diungkapkan Yohan Hendrik Kokorule, Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Sorong Selatan, setelah pemerintah mencabut izin-izin usaha empat perusahaan perkebunan di daerah Sorong Selatan, yakni PT Anugerah Sakti Internusa, PT Persada Utama Agromulia, PT Internusa Jaya Sejahtera dan PT Varia Mitra Andalan.

“Ini tidak akan terulang lagi. Karena perusahaan kelapa sawit, bisnis mereka ilegal”, tegas Yohan Hendrik Kokorule, di hadapan ratusan masyarakat adat yang melakukan aksi protes pada 20 Mei 2021.

Namun, dua perusahaan tersebut, PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia, anak perusahaan Indonusa Agromulia Group, menggugat putusan bupati tentang pencabutan izin melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada tanggal 29 Desember 2021. Masing-masing penggugat yakni PT Anugerah Sakti Internusa, dengan register perkara Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR, dan PT Persada Utama Agromulia dengan register perkara Nomor 46/G/2021/PTUN.JPR.

Perusahaan menuntut agar putusan bupati tersebut dinyatakan batal atau tidak sah. Perusahaan berdalil bahwa putusan bupati yang mencabut izin perusahaan telah merugikan kepentingan perusahaan. Kerugian yang dimaksud yakni antara lain perusahaan tidak dapat melanjutkan kegiatan usaha perkebunan, terhentinya perundingan dan pembicaraan dengan pihak perbankan yang akan membiayai investasi, terganggunya kepentingan ekonomi masyarakat, dan juga kerugian besar karena mengeluarkan biaya pengurusan perizinan.

Dalil ini bertolak belakang dengan realitas sosial dan tuntutan masyarakat dalam aksi protes yang menolak keberadaan dan rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak sosialisasi pemerintah daerah dan tim evaluasi perizinan, yang hasilnya menemukan adanya kerugian negara, dan perusahaan tidak memenuhi kewajibannya, seperti memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat paling lambat tiga tahun, dan pelanggaran administrasi penerbitan izin usaha perkebunan tanpa izin lingkungan, serta kejanggalan administrasi lainnya.

Demikian pula, keterangan saksi di PTUN Jayapura, Frans Salmon Thesia, pejabat Kepala Distrik Teminabuan dan juga pemilik hak ulayat, menyampaikan tidak pernah kenal dan tidak pernah tahu aktivitas perusahaan. Ia tidak pernah tahu ada pemilik hak ulayat yang melepaskan tanahnya kepada perusahaan tersebut.

Menurut pendapat ahli Victor T.H. Manengkey, S.H., M.H., terkait kepentingan masyarakat, putusan bupati tentang pencabutan izin sebetulnya upaya menyelamatkan bukan hanya masyarakat setempat, tetapi menyelamatkan lingkungan hidup yang ada di tempat itu.

Majelis Hakim PTUN Jayapura berpendapat bahwa pengajuan gugatan perusahaan telah melampaui waktu 90 hari kerja sejak hasil upaya administratif diterima penggugat, sesuai Pasal 5 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung RI No 6 Tahun 2018 tentang pedoman penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan setelah menempuh upaya administratif.

Majelis Hakim PTUN Jayapura (23 Mei 2022) menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak diterima.

Lembaga peradilan idealnya haruslah menghasilkan putusan dan pertimbangan yang adil, mengutamakan keadilan, kebenaran, dan kepentingan perlindungan rakyat banyak dan keberlanjutan lingkungan.

Ank, Sept 2022

September 2, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Aksi Aliansi Menuntut Majelis Hakim PTUN Jayapura Tidak Menerima Gugatan Perusahaan

by Admin Pusaka April 12, 2022
written by Admin Pusaka

Selasa siang, (12 April 2022) puluhan pemuda dan tokoh masyarakat adat di Sorong Selatan, melakukan aksi di Taman Tripati, pinggir pros jalan trans Papua, Kota Teminabuan. Mereka membawa poster-poster yang mengecam keberadaan perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti PT ASSI kam pu tanah dimana,  PT Persada Agro Mulia ko pu hak wilayah dimana, Tolak Kelapa Sawit, Dukung Bupati Sorong Selatan di PTUN Jayapura.

Aliansi aksi ini menyuarakan dukungan terhadap Bupati Sorong Selatan yang digugat perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui PTUN Jayapura terkait putusan Bupati yang mencabut izin perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia pada Mei 2021.

Perusahaan penggugat dalam tuntutannya (Desember 2021) meminta Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakan keputusan Bupati Sorong Selatan tidak sah.

Namun, surat aliansi pemuda dan masyarakat adat di Sorong Selatan, yang dibacakan pada aksi tersebut, menyatakan meminta Majelis Hakim PTUN Jayapura untuk tidak mengabulkan dan tidak menerima gugatan perusahaan karena keberadaan dan rencana aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut ditolak masyarakat adat.

Koordinator Aliansi, Ones Wetaku, menyampaikan masyarakat adat menolak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat di Sorong Selatan. Perusahaan tidak punya hak dan mendukung kebijakan bupati mencabut izin perusahaan.

Sarce Saflesa, tokoh perempuan adat Suku Tehit, mendukung aksi aliansi hari ini, “kita harus bicara hak-hak, kita suarakan hal-hal yang benar, sebelum terlambat, sebelum hutan habis maka mari kita bicara”, kata Sarce Saflesa.

Aliansi aksi pemuda dan masyarakat adat di Sorong Selatan, terdiri dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Sorong Selatan, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sorong Selatan, Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Sorong Selatan, DPD KNPI Sorong Selatan, Relawan Tolak Sawit Sorsel, Himpunan Mahasiswa Sorong Selatan, Ikatan Mahasiswa Lima (S) Distrik Sawiyat Raya, Badan Eksekutif Mahasiswa Kampus Oyo Papua, Masyarakat Adat Konda, Lembaga Masyarakat Adat Suku Gemna, Lembaga Masyarakat Adat Knasaimos, Lembaga Masyarakat Adat Suku Maybrat Tee, Pemuda Adat Imeko, Pemuda Adat Mlafle Suku Tehit,

Ank, April 2022

April 12, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Press Release

Press Release: Masyarakat Sipil Mendukung Langkah Hukum Bupati Sorong untuk Melakukan Kasasi

by Admin Pusaka Maret 30, 2022
written by Admin Pusaka

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi TUN Makassar memutuskan mengabulkan gugatan perusahaan dan menyatakan batal keputusan Bupati terkait pencabutan izin usaha perusahaan kelapa sawit PT Pusaka Agro Lestari (PAL) dan PT Sorong Agrosawitindo (SAS) di Sorong.

“Kami sudah membaca putusan PTTUN Makassar terkait gugatan perusahaan terhadap putusan bupati tentang pencabutan izin. Pertimbangan putusan ini hanya mempersoalkan prosedur pencabutan izin yang diatur dalam peraturan menteri, namun Majelis hakim belum mempertimbangkan sikap masyarakat adat yang menolak izin usaha perusahaan dan hak-hak masyarakat dirampas, serta ancaman hilangnya hutan alam di daerah ini,” ungkap Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Kebijakan Bupati Sorong, Pemerintah Provinsi Papua Barat dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang melakukan evaluasi perusahaan dan hingga pemberian sanksi-sanksi, termasuk pencabutan izin, merupakan bagian dari perbaikan tata kelola pengembangan usaha perkebunan supaya lebih adil, berpihak pada masyarakat dan lingkungan, sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Kebijakan ini harus diwujudkan, karenanya pemerintah  diharapkan tidak mendiamkan putusan PTTUN Makasar ini yang akan mencederai kebijakan peraturan dan suara masyarakat adat.

“Organisasi masyarakat sipil mendesak Bupati Sorong untuk mengajukan kasasi atas Putusan PTUN Makassar yang memenangkan gugatan perusahaan kelapa sawit PT Papua Lestari Abadi (PT PLA) dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS). Pemerintah tidak boleh mundur dalam menghadapi gugatan korporasi, yang diduga melakukan pelanggaran”, minta Sulfianto Alias dari Perkumpulan Panah Papua.

Kajian dan rekomendasi dari Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama Tim Korsup  KPK dan  Bupati dari beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat, membuktikan perusahaan telah melanggar syarat dan ketentuan dalam izin-izin usaha, serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan mengancam kelestarian lingkungan.

Kemenangan kedua perusahaan bisa menjadi preseden kurang baik dan jika tidak disikapi akan membuat  perusahaan tidak jera dan kejahatan bisnis tidak dapat dikendalikan.

“Kami khawatir putusan ini dihasilkan oleh pemahaman terbatas dan kelalaian hakim dalam pemeriksaan perkara dan membuat putusan yang adil bagi masyarakat adat dan lingkungan alam di Papua”, kata Sulfianto.

Ketua LMA Malamoi, Silas O. Kalami dan Ketua Perkumpulan Mongka Papua, Nerius D. Sai, menambahkan dan menyatakan mendukung tegas Bupati Kabupaten Sorong untuk Kasasi di Mahkamah Agung.

“Pada prinsipnya, Bupati sorong punya hak untuk membela dirinya sebagai Bupati yang dijamin dalam Undang Undang Otsus. Bupati punya kewenangan mengatur perusahaan di wilayah pemerintahannya. Harapannya pemerintah nasional, pemerintah provinsi Papua Barat, para Bupati, KPK, dan berbagai pihak dapat membantu Bupati Sorong karena perkebunan kelapa sawit tidak hanya di Sorong tapi di daerah lain” tuntut Nerius D. Sai.

 

Manokwari, 28 Maret 2022

Koalisi Masyarakat Sipil di Papua Barat:

Sulfianto Alias, Perkumpulan Panah Papua

Nerius D Sai. Perkumpulan Mongka Papua

Silas O. Kalami, LMA Malamoi

Franky Samperante, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat

Kontak Person:

Sulfianto +62 811-5309-289

Maret 30, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
AktifitasBerita

Siaran Pers: PT Inti Kebun Lestari Sinilai Melanggar Berbagai Kewajiban

by Admin Pusaka Desember 3, 2021
written by Admin Pusaka

Tanggal 30 november 2021 kembali digelar lanjutan sidang gugatan PT Inti Kebun Lestari melawan Bupati Kabupaten Sorong dengan nomor perkara 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR di pengadilan TUN Jayapura. Kuasa hukum bupati menghadirkan 5 orang saksi fakta dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Sorong dan 2 perwakilan masyarakat hukum adat.

Dian Patria saksi dari KPK menerangkan sejak tahun 2018 seluruh kepala daerah di provinsi Papua Barat berkomitmen melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit. KPK bertugas mendampingi tim yang dibentuk provinsi dan kabupaten melakukan tindakan evaluasi. Ada 24 izin perusahaan di evaluasi, hasilnya 16 perusahaan perizinannya ditertibkan dengan luas mencapai 340.000 hektar dengan 70% wilayahnya merupakan kawasan hutan alam. Evalusi yang dilakukan KPK dari kurang lebih 600 ribu hektar luas konsensi di Papua Barat hanya 17 ribu hektar  yang melakukan pembayaran pajak, hingga ada potensi kerugian negara berkisar 20 triliun, sehingga evaluasi izin-izin penting dilakukan termasuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup.

Benediktus Heri Wijayanto selaku Ketua tim evaluasi perijinan sawit di provinsi Papua Barat menerangkan dalam proses evaluasi telah memanggil seluruh perusahaan untuk memberikan data dan mendengar hasil rekomendasi Tim, termasuk PT Inti kebun lestari. Dari penelitian dokumen dan lapangan, PT Inti Kebun Lestari sebagian besar tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Izin Usaha Perkebunan, sehingga tim merekomendasikan kepada pemerintah Kabupaten sorong untuk melakukan pencabutan izin kerena banyak pelanggaran.

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sorong menerangkan  “sejak mendapatkan izin lokasi PT IKL tidak pernah mengajukan proses permohonan hak atas tanah, hanya mengirimkan laporan upaya pendekatan ke masyarakat adat, sehingga didalam rapat evaluasi kabupaten sepakat untuk mencabut izin lokasi PT IKL. Keterangan ini diperkuat kesaksian dua masyarakat adat, Manase Fadan dari Kampung Klasman dan Ruben Malakabu dari Kampung Malaus yang menerangkan tidak mengetahui izin-izin yang dimiliki perusahaan, masyarakat baru mengetahui ada izin diatas tanah ulayat setelah bupati saat ini mencabut izin-izin perusahaan. Saat gugatan berlangsung beberapa orang yang mengaku perwakilan perusahaan mendekati masyarakat namun masyarakat adat telah memutuskan menolak kehadiran perusahaan sawit ditanah ulayat.

Sekretaris Eksekutif JERAT Papua, Septer Manufandu menilai banyak izin perusahaan yang bermasalah, mulai jangka waktu izin yang melewati batas waktu, perusahan yang tidak memenuhi janji kepada masyarakat adat. Tindakan yang dilakukan oleh Bupati Sorong adalah langka yang baik seusai dengan regulasi yang mengakui hak masyarakat adat seperti diatur Perda Nomor 10 tahun 2017tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum  adat. Perbup Nomor 6 tahun 2020 tentang apa implementasi tentang wilayah adat dan Perdasus gubernur Papua barat Nomor 9 tahun 2019 tentang masyarakat hukum adat di provinsi Papua barat.  Tindakan yang diambil Bupati merupakan tindakan penyelematan hutan, Tanah dan manusia Malamoi.

Saat berlangsungnya sidang, Forum mahasiswa peduli Hak Masyarakat Adat Papua mengelar unjuk rasa meminta hakim menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat di tanah Papua dengan memutus menolak gugatan perusahaan. Mahasiswa menilai kehadiran perkebunan kelapa sawit saat ini tidak memberikan dampak kehidupan bagi masyarakat adat justru menyingkirkan kehidupan masyarakat hukum adat dari tanah leluhur.

Sidang untuk perkara Nomor 29/G/2021/PTUN.JPR dan 30/G/2021/PTUN.JPR dilanjutkan pada tanggal 07 desember 2021 dengan mendengar keterangan ahli dari tergugat, pada hari  yang sama akan PTUN akan memutus perkara Nomor 31/G/2021/PTUN.JPR dan 32/G/2021/PTUN.JPR yang diajukan PT Sorong Agro Sawitindo dan PT Papua Lestari Abadi.

Kontak Person :

  1. Tigor Hutapea – Pusaka : 081287296684
  2. Harun – JERAT PAPUA: 081247562890
  3. Eko – Forum Mahasiwa: 081314891035
Desember 3, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

West Papuan Indigenous Rights vs Palm Oil Company Land Grab: Landmark Court Case Enters Decisive Final Week

by Admin Pusaka November 25, 2021
written by Admin Pusaka

Jayapura & Jakarta, 23 Nov. 2021 – NGOs are stepping up calls for Indonesia’s national government to show support for Indigenous rights in West Papua as a landmark court case enters its final week of hearings. The Jayapura Administrative Court is scheduled to conclude hearings on Thursday in the case which involves three palm oil companies in Sorong regency, West Papua Province fighting to overturn the cancellation of permits which had allowed them to convert forest areas into plantations, in the face of opposition by Indigenous landowners.

“Indigenous peoples’ organisations, the Sorong regency government and national NGOs have all taken a stand to rescue these Indigenous forest lands from conversion for palm oil production. These permit revocations are the only concrete outcome so far from President Jokowi’s palm oil moratorium and permit review process,” said Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua. “But when the chips are down, Jakarta is silent on the case, allowing cashed-up companies to take a bullying court case to retain control of Indigenous lands they were never morally entitled to,” said Wirya.

Years of Indigenous peoples’ complaints about plantation industry land-grabbing in West Papua province, and concerns about the vast area of tropical rainforest slated for clearing, lead the provincial government to undertake a review of oil palm plantation permits, recommending in February this year that over a dozen plantation concessions be revoked, and the forest areas be returned for sustainable management by their Indigenous owners.[1] The head of Sorong district, Johny Kamuru went ahead and revoked the recommended permits, but three of the companies affected, PT. Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, and PT Sorong Agro Sawitindo are suing Kamuru and the head of Sorong’s investment agency in Jayapura Administrative Court to reverse the decision.

The palm oil permit review process falls under a mandate provided by Indonesian President Joko Widodo in 2018, administered by the Coordinating Ministry for Economic Affairs and the Ministry of Environment and Forestry.[2] Yet neither ministry has made public comment, formal representations or provided expert evidence to support Sorong district’s permit revocations.

The valuable forested land claimed by the three companies covers 90,031 hectares, an area larger than New York City. Greenpeace Indonesia’s Papua Forests Campaigner Nico Wamafma said “Considering the influence of power and money in the justice system, and the importance of this case for Indigenous rights in West Papua, a coalition of NGOs has requested the national Judicial Commission to monitor proceedings.”[3]

On 18 November a joint public interest amicus curiae (‘friend of the court’) brief was lodged by the Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN), the Papua office of the Indonesian Forum for the Environment (WALHI), Pusaka Foundation, and Greenpeace Indonesia.[4] Pusaka Foundation’s Tigor Hutapea said “In our submission, we asked the court to appreciate the wider implications of this case. This is not a commercial dispute about permits. It is about the public interest in protecting Indigenous land rights, biodiversity and environmental sustainability in Papua.” AMAN’s Fecky Mobalen added: “In the amicus curiae brief we called on the court to respect publicly stated Indigenous opposition, and provide justice in recognition that permits were issued without their consent.”

Notes:

[1] See Joint Press Release by Papua Barat Province and Corruption Eradication Commission

[2] Presidential Instruction 8/2018 Concerning Postponement And Evaluation Of Oil Palm Plantation Licenses And Increasing Productivity Of Oil Palm Plantations.

[3] Submission (available on request) dated 22 Sep 2021 received by Judicial Commission (Komisi Yudisial) with ref. no. 1092/X/2021/S.

[4] Link to amicus curiae brief

[5] Greenpeace Indonesia in collaboration with Watchdoc will release a movie about deforestation in Papua later this month, watch the teaser here

Photos & map:

  • Location map
  • Indigenous Moi people demonstrate in front of the Sorong district government office in support of the Sorong district head, who is being sued by palm oil companies after his decision to uphold Indigenous land rights (Photo 1 and Photo 2, credit: AMAN Sorong)
  • Indigenous Moi men and women protest on International Indigenous Peoples Day August 9, 2020, in front of the Sorong district government office, calling for the cancellation of palm oil permits over their ancestral lands.  Credit: Natalia Laurensia Carmelia Yewen / Mongabay Indonesia. 

Contacts:

  • Igor O’Neill, Greenpeace Indonesia Forests Campaign. [email protected] +61-414-288-424
  • Tigor Hutapea, Pusaka Foundation: +62-812-8729-6684
  • Fecky Mobalen, Sorong chapter of the Indigenous Peoples’ Alliance of the Archipelago (AMAN): +62 822-4863-6709
  • Wirya Supriyadi, Advocacy Coordinator at WALHI Papua: +62-812-1858-508
November 25, 2021 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Newer Posts
Older Posts

Recent Posts

  • Seruan Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia untuk COP 28 Dubai
  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo