Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#SaveLembahGrimeNawa

Berita

Politik Perizinan yang Merampas Hak Masyarakat Adat

by Admin Pusaka November 21, 2022
written by Admin Pusaka

“Dorang punya hukum-hukum segala macam, dorang atur supaya torang punya tanah itu dorang pancuri dengan aturan”

Ungkapan ini disampaikan oleh salah satu peserta aksi dalam orasi solidaritas di depan Kantor Bupati Jayapura. Aksi massa ini bertujuan menuntut pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perjuangan menyelamatkan Lembah Grime Nawa di Jayapura, Papua. Namun, ini bukan sekadar pernyataan melainkan pesan yang mengungkapkan situasi hukum (negara) saat ini. Hukum diproduksi tidak bertujuan untuk merubah, menata dan menertibkan kesemrawutan sosial agar tercapai kehidupan sosial yang adil, bermartabat, damai dan kesejahteraan rakyat banyak. Justru sebaliknya, digunakan penguasa untuk memperlancar kepentingan ekonomi, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan kelompok orang atau kelembagaan sosial ekonomi dan politik.

Menurut Alan Hunt (Wijaya, 2008) terdapat beberapa tema mengenai hakikat hukum. Pertama, hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya dari politik. Kedua, hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan (mewujudkan) monopoli negara atas beragam instrumen represif. Ketiga, isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas dominan. Keempat, hukum itu bersifat ideologis, dengan demikian hukum menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang melekat pada kelas yang berkuasa.

Kita juga mengalami dan menyaksikan, bagaimana hukum digunakan secara menyimpang “mengsubversi keadilan” untuk jadi alat memanipulasi, menggusur dan merampas hak-hak rakyat, hak atas tanah dan hutan, dan penghancuran lingkungan hidup. Menjadi alat represi untuk melakukan kekerasan dan pembenaran melakukan pembatasan. Situasi yang tidak ubahnya sejak masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda seperti peraturan tanam paksa yang mewajibkan warga tunduk pada kepentingan kolonial untuk menghasilkan komoditi komersial dan merubah pranata sosial. Pemerintah kolonial memberlakukan peraturan Agrarische Wet (1870) untuk melanggengkan akumulasi primitif dan investasi perkebunan skala luas dengan menancapkan hak legal atas tanah agar bisa dijadikan komoditas. Prinsip Domein Verklaring dalam peraturan ini menjadi alat perampasan tanah-tanah yang tidak digarap langsung, termasuk tanah adat, yang tidak bisa dibuktikan secara tertulis disebut “tanah tidak bertuan”, diubah statusnya menjadi tanah milik negara.

Peraturan Agrarische Wet (1870) dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang diharapkan mengakhiri hukum agraria penjajahan yang kelam dan tidak menjamin kepastian hukum. Namun perampasan tanah untuk kepentingan akumulasi kapital terus terjadi. UUPA 1960 diabaikan dan kebijakan baru pertanahan untuk kepentingan pasar bergonta-ganti.

Di Tanah Papua, perampasan tanah dan proses pemisahan hubungan masyarakat adat dari alat produksi dan subsistensi mereka (tanah dan hutan adat) sedang berlangsung. Proses ini mau tidak mau memaksa mereka menjual tenaga kerja ke pemilik sarana produksi untuk mendapatkan upah. Ekspansi kapital dengan cara primitif dan pengerukan hutan alam untuk menghasilkan surplus telah mengakibatkan kerusakan hutan (deforestasi), konsentrasi dan monopoli kekuasaan, serta eksploitasi sarana produksi, tanah, hutan dan kekayaan tambang mineral yang tak berkesudahan.

Daerah perbatasan teritorialisasi (negara) dan pedalaman yang minim akses infrastruktur konektivitas menjadi sasaran ekspansi kapital. Topografi dan sumber daya di daerah ini dibingkai sebagai ‘tanah kosong’, tidak produktif, hidup miskin, tertinggal, sehingga menjadi dalih untuk alasan perluasan proyek pembangunan dan usaha komersial. Hal ini diperkuat dengan klaim hutan negara dan rencana pemanfaatan geografi negara (RTRW). Klaim tanah dan hutan adat diakui dengan syarat harus dapat dibuktikan melalui peraturan daerah dan syarat ketentuan yang dikeluarkan pemerintah pusat yang relatif tidak mudah dan mahal.

Berbeda dengan korporasi yang mendapat kemudahan dan kelancaran untuk mengantongi surat izin dari negara, pemerintah dan aparatus keamanan negara juga memperlancar urusan korporasi untuk mendatangi daerah ini dan bertemu penduduk asli dan tuan tanah. Perusahaan memohon tanah, hutan dan kekayaan alam, yang ditukarkan dengan uang kompensasi, janji lapangan kerja dan kesejahteraan.

Idealnya, kebijakan pembangunan dan pemberian izin usaha bisnis ekstraktif mengutamakan asas kepentingan umum bagi rakyat banyak dan daya dukung lingkungan. Asas kepentingan umum merupakan bagian dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Pasal 10 ayat (1) huruf g, UU Nomor 30 Tahun 2014), dengan penjelasan asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif.

Pemberian izin dan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), masih jauh dari asas kepentingan umum. Dalam konflik antara masyarakat adat Namblong dengan perusahaan kelapa sawit, PT PNM, pemerintah mengabaikan asas kepentingan umum. Pemerintah memberikan kumpulan izin, mulai dari lokasi, lingkungan, konversi kawasan hutan, usaha perkebunan dan hak guna usaha (HGU). Dalam proses ini, pengetahuan dan nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat sama sekali tidak dipertimbangkan. Akhirnya, masyarakat adat pemilik tanah dan warga negara semakin terpinggirkan.

Namun sejatinya, masyarakat adat di Lembah Grime Nawa mempunyai komitmen sosial dan moral pengetahuan yang diwariskan untuk mengelola dan memanfaatkan tanah dan hutan secara berkelanjutan. Hal ini tersirat dalam ekspresi dan keluhan peserta aksi dari masyarakat akar rumput yang menjadi korban konflik dan merasakan dampak akuisisi tanah.

“Tanah kami diambil, hutan sudah dirusak dan illegal logging masih berjalan…, kami tidak mau pembangunan yang merusak hutan, kami mau pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuhkan”, tegas Mama Regina Bay.

Namun visi, pengetahuan dan praktik hidup mereka, belum menjadi prioritas pertimbangan pembangunan. Perkebunan cokelat, kopi, sagu, matoa, yang diusahakan secara mandiri dan menjadi sumber pendapatan keluarga, dan berkontribusi pada pendapatan negara, terancam digusur industri perkebunan kelapa sawit yang merusak dan menggundulkan hutan alam Lembah Grime Nawa.

Pemerintah daerah Jayapura telah mengupayakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan wilayah adat di daerah Lembah Grime Nawa, namun perusahaan tetap menggusur dan mengembangkan usaha secara ilegal. Bupati Jayapura mengeluarkan surat peringatan ketiga, perusahaan PT PNM belum bergeming.

Ank, Nov 2022

November 21, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail
Berita

Gerakan Selamatkan Lembah Grime Nawa

by Admin Pusaka September 18, 2022
written by Admin Pusaka

Jayapura, 07/09/2022, massa aksi sekitar 100 orang, terdiri dari gabungan warga asal Lembah Grime Nawa, pemuda dan mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil, melakukan aksi long march menuju Kantor Bupati Jayapura dan berorasi di halaman kantor Bupati. Massa aksi berorasi dan membawa spanduk tuntutan dan poster meminta Bupati Kabupaten Jayapura segera mencabut izin PT Permata Nusa Mandiri, Torang Bisa Hidup Tanpa Kebun Sawit, Tapi Torang Tra bisa Hidup Tanpa Tanah dan Wilayah Adat, Hutan Adat bukan Hutan Sawit, Kembalikan 30.920 Ha Tanah Kami yang Dirampas, Tanah Adat Hutan Adat Milik Masyarakat Adat, Hutan Papua Benteng Terakhir Krisis Iklim.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Pusaka, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Permata Nusa Mandiri (PNM), anak dari perusahaan PT Indo Gunta yang diduga memiliki hubungan dengan Salim Group. Perusahaan PT PNM mendapatkan Izin Lokasi dari Bupati Jayapura pada tahun 2011, untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 32.000 ha, berlokasi di Distrik Unurum Guay, Namblong, Nimboran, Nimbokrang, Kemtuk, Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura. Lalu bupati memperpanjang Izin Lokasi pada tahun 2014 dan 2017, dan berakhir pada tahun 2020.

Dalam ketentuan izin lokasi, perolehan tanah harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan melalui pelepasan hak atas tanah ; penerima izin dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan sebelum memulai pekerjaan agar disepakati batas kampung, dusun, dengan persekutuan masyarakat hukum adat atau masyarakat dengan lainnya ; apabilan perolehan tanah tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu izin lokasi yang diberikan termasuk waktu perpanjangannya, maka perolehan tanah tidak dapat dilakukan oleh pemegang izin lokasi ini menjadi gugur dengan sendirinya.

Kebanyakan masyarakat adat dan pemilik tanah di Lembah Grima Nawa, maupun  Dewan Adat Suku (DAS) Namblong, menolak memberikan tanah dan hutan adat kepada PT PNM. Pada Juli 2022, pemimpin masyarakat adat Lembah Grime Nawa bersama Dewan Adat Suku Namblong melakukan musyawarah bersama dan membuat kesepakatan yang dituangkan dalam Berita Acara Musyawara Masyarakat Adat Daerah Grime Nawa, antara lain menyatakan menolak perusahaan dan mendesak Bupati Jayapura, Kepala Dinas PMPTSP, BPN, Menteri BKPM, untuk mencabut izin-izin usaha perusahaan PT PNM.

Sepanjang tahun 2014 – 2018, pejabat pemerintah menerbitkan izin-izin usaha lainnya tanpa persetujuan masyarkat adat setempat, pejabat Bupati Jayapura menerbitkan Izin Lingkungan melalui SK Bupati Jayapura Nomor 62 Tahun 2014 ; Kepala Badan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal Provinsi Papua menerbitkan Izin Usaha Perkebunan melalui SK Nomor 01/SK.IUP/KS/2014, Menteri Kehutanan RI menerbitkan Izin Pelepasan Kawasan Hutan P[roduksi yang dapat Dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit melalui SK Nomor SK.680/MENHUT-II/2014, seluas 16.182,48 ha ; pejabat Menteri ATR/BPN dan Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan SK dan Sertifikat Hak Guna Usaha kepada perusahaan pada tahun 2018. Izin-izin dan HGU diterbitkan tanpa persetujuan masyarakat adat secara luas.

Koordinator aksi, Yustus Yekusamon, menyampaikan dalam Pers Release Selamatkan Lembah Grime Nawa bahwa masyarakat adat Lembah Grime Nawa menolak keberadaan perusahaan PT PNM yang mengambil tanah dan hutan, karena merusak lingkungan, tanah dan hukum adat.

“Seluruh masyarakat adat daerah Grime Nawa bersepakat tidak menyerahkan tanah dan hutan adat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit atau perusahaan lain yang menyebabkan hilangnya ha katas tanah dan hutan adat”, ungkap Yustus, dan menjelaskan kesepatan tersebut didasarkan konsultasi yang telah dilakukan dengan kelompok masyarakat Orya, Namblong, Klesi, Kemtuk, Eseng, dan sebagainya.

“Kami butuh pembangunan yang ramah lingkungan, itu yang kami butuh. Masih ada cokelat, masih ada sagu, masih ada kopi. Kelapa sawit kami tidak mau, kami tidak mau itu merusak tanah kami. Anak cucu kami nanti kemana. Kami masyarakat adat, kami perempuan minta, Bupati hari ini berikan SK pencabutan izin PT Permata Nusa Mandiri”, tuntut Regina Bay, aktivis perempuan adat Namblong dalam aksi unjuk rasa.

Bupati Hentikan Aktivitas Perusahaan

Tahun 2019, perusahaan PT PNM membuka lahan pembibitan dan pengembangan lahan kebun kelapa sawit. Kegiatan tidak berjalan dan dibiarkan. Awal tahun 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan SK 01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022, Tanggal 5 Januari 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, dalam lampiran SK Menteri LHK 01/2022 terlampir izin PT PNM dicabut. Namun dilapangan, PT PNM justeru menggusur dan merobohkan hutan alam untuk pengembangan kebun kelapa sawit yang berlangsung sejak Januari 2022 hingga saat ini. Dalam tempo delapan bulan, lebih dari 100 hektar hutan hilang.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Jayapura, Delila Giay, mengirimkan Surat  Nomor 068/64/DPM-PTSP/2022 Tanggal  23 Februari 2022 tentang  penghentikan sementara kegiatan PT PNM, dengan alasan terkiat SK Menteri LHK 01/2022. Perusahaan tetap mengabaikan surat Kadis PMPTSP tersebut. Perusahaan PT PNM juga menggugat melalui PTUN Jakarta terkait putusan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi yang dipimpin Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang mencabut izin perusahaan PT PNM pada Maret 2022.

“Ketidakpastian penerbitan izin yang dilakukan KLHK berdampak negative untuk masyarakat adat di Lembah Grime Nawa, Provinsi Papua. Pengumuman pencabutan izin oleh Presiden awal tahun menjadi janji kosong bagi masyarakat, mengingat PT PNM justeru masih melakukan lan clearing pasca pengumuman tersebut”, jelas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam  Siaran Pers Bersama (13 September 2022).

Pemda Jayapura bereaksi, pada Mei 2022, Bupati Jayapura membentuk Tim Evaluasi Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Jayapura, Tahun 2022. Pertimbangan pembentukan tim evaluasi dalam rangka mendorong kepatuah pelaksanaan kewajiban pemegang izin usaha.

Wakil Bupati Jayapura, Giri Wijayantoro, yang bertemu dengan peserta aksi selamatkan Lambah Grime Nawa (07/09/2022) mengatakan Izin Lokasi yang dikeluarkan untuk PT PNM telah habis masa berlakunya dan tidak akan diperpanjang, seharusnya tidak boleh ada aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan.

Pada 08 September 2022, beredar  Surat Bupati Jayapura Nomor 188.4/1556/SET, ditujukan kepada Manager PT PNM, yang bersifat penting, tentang Penghentian Aktivitas PT Permata Nusa Mandiri. Surat dimaksud ditandatangani Wakil Bupati Jayapura, Giri Wijayantoro.

Dalam surat dituliskan, mengingat Izin Lokasi yang diberikan telah berakhir dan adanya penolakan masyarakat adat pemilik hak ulayat, maka pemerintah Kabupaten Jayapura dengan tegas meminta kepada PT Permata Nusa Mandiri agar segera menghentikan (ditulis huruf besar dan tebal) semua aktivitas operasionalnya diatas lahan dimaksud mulai tanggal dikeluarkan surat ini hingga ditetapkannya Keputusan Pencabutan Izin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit oleh pemerintah Kabupaten Jayapura.

Bupati juga memanggil perusahaan PT PNM. Bupati menjelaskan pertemuan dengan perusahaan dan tim evaluasi perizinan,  bahwa tim masih mengkaji dan sepanjang belum tuntas maka perusahaan harus menghentikan aktivitas apapun.

“Tidak boleh ada aktivitas apapun, karena banyak regulasi yang perlu dipastikan. Perusahaan minta untuk kami bisa kerja ini pekerjaan, kami katakan tidak, mengapa, karena izin lokasi yang pernah diberikan sudah selesai masa berlakunya dan tidak ada perpanjangan. Perusahaan tidak pernah mengajukan untuk perpanjangan, izin lokasi sudah selesai tahun 2020, jadi selesai”. Jelas Bupati Jayapura.

Gerakan selamatkan Lembah Grime Nawa akan kembali mendatangi pemerintah hingga izin perusahaan dicabut. Koordinator aksi, Yustus Yekusamon, menyatakan masyarakat adat akan kembali mendatangi Kantor Bupati Jayapura pada 21 September 2022, untuk memastikan pencabutan izin PT Permata Nusa Mandiri.

Ank, Sept 2022

September 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Info Grafis

Dugaan Pelanggaran Hukum Perusahaan Kelapa Sawit PT Permata Nusa Mandiri

by Admin Pusaka April 23, 2022
written by Admin Pusaka
April 23, 2022 0 comment
1 FacebookTwitterEmail

Recent Posts

  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura
  • Majelis Hakim Pegang Teguh Prinsip In Dubio Pro-Natura dalam Membuat Putusan Perkara Demi Kelanjutan Hutan Papua

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo