Logo
  • Beranda
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
    • Siaran Pers
    • Info Grafis
    • Cerita dari Kampung
    • Laporan
    • Peraturan
  • Galeri
  • Kontak
  • Bahasa Indonesia
  • English
Tag:

#SuaraPusaka

Berita

Keadilan Bumi dan Masyarakat Adat

by Admin Pusaka September 26, 2023
written by Admin Pusaka

Peristiwa Rempang, Batam, yang penuh kekerasan dan berdarah-darah, kembali mempertontonkan pengabaian dan kelalaian negara untuk melindungi hak masyarakat, sebaliknya negara cenderung membela kepentingan pembangunan kawasan industri Rempang Eco City, yang diduga dikendalikan dan dimiliki pemodal besar dari dalam dan luar negeri. Masyarakat adat di Pulau Rempang membela hak-haknya dan menolak proyek investasi yang akan menggunakan tanah adat mereka, karena merampas dan menghilangkan mata pencaharian, dan sebagainya.

Pejabat Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan proyek Rempang sudah mempunyai kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Bahlil menyinggung adanya pihak di luar negeri yang terlibat di balik konflik Rempang. “Setiap Kepri mau maju, ada investasi besar, selalu ada menghalangi,”, kata Bahlil.

Kita sering mendengarkan dan membaca pernyataan pejabat negara dan korporasi, maupun kajian-kajian yang mengabaikan dan mendiskreditkan sikap dan suara kritis masyarakat adat, keberadaan dan hak-hak mereka, pengetahuan dan cara hidup, dengan sebutan miring seperti penghalang, penghambat pembangunan, penghambat kemajuan, dan sebagainya.

Beberapa waktu lalu, Suku Afsya di Distrik Konda, Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat Daya, menolak perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala luas beroperasi di wilayah adat mereka. Alasannya, tanah dan hutan yang mereka miliki sangat terbatas, hanya cukup untuk menghidupkan generasi mereka pada masa mendatang. Selain itu, mereka khawatir kehilangan identitas sosial budaya, hutan larangan dan keramat, dusun pangan tempat mata pencaharian dan sumber makanan, dan sebagainya.

Pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat, hukum dan kebiasaan pengelolaan dan perlindungan  hutan dan tanah, larangan dan pemali adat tertentu, sering diberikan cap ‘udik’ terbelakang, lalu masyarakat adat dipindahkan paksa, hutan sumber hidup masyarakat digusur dan tradisi adat dilarang dengan berbagai alasan sosial ekonomi, politik dan hukum, yang melibatkan  negara, institusi sosial keagamaan dan pihak luar komunitas. Padahal kebiasaan pengetahuan dan sistem sosial yang dijalankan masyarakat adat berhubungan dengan bagaimana menjaga dan menjalankan sistem nilai, norma dan budaya, corak ekonomi, yang diwariskan sejak lama, merupakan keyakinan dan kebanggaan. Berbeda dengan pandangan pengambil kebijakan, teknokratis, oligarki dan penguasa modal, tanah dan hutan adat sebagai komoditi untuk akumulasi keuntungan kapital dan memajukan peradaban sosial.

Kini situasi runyam dengan adanya ketidakadilan meluas, penundukan  dan eksploitasi hak-hak masyarakat terus berulang terjadi dalam berbagai bentuk, krisis ekologi dan kejadian darurat iklim yang berdampak serius terhadap keberlanjutan hidup manusia dan lingkungan di bumi. Dalam situasi tersebut, justeru pengetahuan adat dipromosikan sebagai solusi pengurangan resiko bencana iklim. Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim (Intergovermental Panel on Climate Change, IPCC), yang meneliti adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, dalam Laporan Penilaian Keempat (2007) menerima sistem pengetahuan masyarakat adat diakui sebagai komponen penting dalam strategi mitigasi bencana dan pengurangan risiko di abad kedua puluh satu.

Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, dalam Dialog Kebudayaan acara masyarakat adat Papua bercerita tentang tanah, hutan dan kehidupan, yang diselenggarakan Pusaka di Salihara Art Gallery, Jakarta (20/09/2023), menjelaskan dan mengajak kepada publik dan pengambil kebijakan untuk merubah tatanan pola berpikir melihat masyarakat adat, bukan sebagai penghambat kemajuan, masyarakat adat bukan penghambat pembangunan, tetapi melihat dari sisi yang sebaliknya, melihat potensinya.

Selanjutnya, Yulia Sugandi Phd, antropolog dan peneliti, penulis buku Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua (2008) ; The Notion of Collective Dignity Among Hubula in Palim Valley, Papua (2014), menguraikan laporan dari IPBES (Intergovermental Science Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services, 2022), atau platform antara pemeritah yang berisikan para ilmuwan independent, yang melihat kesehatan bumi, bahwa kejadian krisis ekologis yang akut, akar masalahnya karena tidak adanya sustainability aligned value, tidak adanya nilai-nilai yang seimbang.

“Ketidakseimbangan nilai yang dipunyai masyarakat adat, dengan inilai-nilai yang dibawa, yang diusung pembangunan, sama sekali tidak sejalan, tidak seimbang, ini akar krisis ekologis se dunia,” jelas Yulia.

Masalah hutan Papua bukan masalah Papua saja, melainkan masalah masyarakat dunia dan keadilan bagi semua. Sekarang bukan keadilan sosial dan keadilan lingkungan saja, istilahnya planetary justice, keadilan bumi, dan itu sudah dipakai semua orang. Yulia memaparkan bahwa keadilan bumi, ada tiga unsur keadilan, yakni pertama, Keadilan Lintas Batas, melampaui batas administrasi ; kedua, Keadilan Lintas Generasi, menyangkut bagaimana masa depan anak-anak, bukan berbicara masalah apa yang ingin kita dapatkan dalam hidup kita sekarang. Mengenai keadilan generasi, semua masyarakat adat mempunyai pengetahuan ini, keadilan tujuh generasi, bukan satu atau dua generasi. Masalah hutan bukan hanya generasi kita saja, tetapi juga generasi sesudah kita meninggal. 3. Keadilan untuk Non Manusia, karena masyarakat adat kalau kita katakan pembangunan memakai SDG (Sustainable Development Goals), keberlanjutan, padahal yang lebih tinggi dari pada sustainability, keberlanjutan itu adalah budaya regenerative.

“Budaya regenerative adalah radikal empati,  empati yang sangat radikal, bahwa yang kita rasakan manusia, itu keadilan non manusia, pohon sakit kita sakit, kalau keadilan restoratif, restorative justice, misalnya restorasi gambut, itu mengenai apa yang bisa kita perbaiki, itu masih terpisah dari alam, tetapi masyarakat adat berbicara masalah budaya regenaratif, radikal empaty, bukan hanya melihat saya bisa menggunakan apa saja lingkungannya, tetapi saya adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan, jadi relasinya lain, kita bicara relasi identitas bukan relasi properti,” jelas Yulia.

Masyarakat adat adalah potensi, bukan penghalang, maka dalam konteks global apa yang disebut etnoekologi dan etnobotani telah dipraktikkan masyarakat adat, seperti larangan pemanfaatan dan penebangan tanaman pohon. Yulia mencontohkan pola hidup dan pengetahuan masyarakat adat di Lembah Baliem, Papua, ada silo, ada pawi, pilibit ekama, merupakan sistem pengetahuan, larangan dan pemetaan secara ekologis, yang dinamakan dengan ecological intelegen merupakan potensi sangat besar mengatasi krisis ekologis.

Berbeda dengan budaya regenerative, kebijakan pembangunan dijalankan dengan logika yang linear, ekstraktif, eksploitasi, yang memanfaatkan sumber daya hanya untuk kepentingan sendiri, berbeda dengan masyarakat adat pemanfaatan sumber daya alam melakukan praktik resiprositas, hubungan timbal balik, bukan hanya apa yang bisa di dapatkan tetapi apa yang bisa saya berikan, semua ada seimbang.

“Kalau kita bicara mengenai sustainability, bicara masalah keseimbangan hidup kita semua, bukan keseimbangan hidup pribadi lagi, saya mengajak untuk melihat kembali bahwa kita melihat ini (kehidupan masyarakat adat) sebagai potensi yang tersia-siakan, mari kita belajar dan hasil belajar ini yang disebut refleksi ekologi, belajar keadilan bumi,” ungkap Yulia.

 

Ank, Sept 2023

 

September 26, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Peraturan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang Undang.pdf

by Admin Pusaka Januari 1, 2023
written by Admin Pusaka
Januari 1, 2023 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Masyarakat Adat Awyu Gugat DPMPTSP Provinsi Papua Terkait Transparansi Informasi Perizinan

by Admin Pusaka Oktober 18, 2022
written by Admin Pusaka

Tokoh masyarakat adat Suku Awyu, Hendrikus Woro, asal Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel,  mengajukan permohonan sengketa informasi publik kepada pejabat Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua, dikarenakan pebajat Kepala DPMPTSP Papua diduga melakukan pelanggaran terhadap hak pemohon dengan tidak menyediakan informasi publik, sebagaimana ketentuan Pasal 28 F UUD 1945 dan Pasal 7, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Sejak tahun 2019, Hendrikus Woro dan masyarakat adat Awyu yang berdiam disekitar Kali Digoel hingga Kali Mappi, resah dengan adanya perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari, yang akan beroperasi di wilayah adat mereka dan menghilangkan hutan adat. Terjadi pro dan kontra, bahkan upaya kriminalisasi dan ancaman kekerasan terhadap warga yang melibatkan aparat kepolisian dan operator perusahaan.

Masyarakat adat Awyu menolak rencana perusahaan. Beberapa kali Hendrikus Woro bersama perwakilan komunitas bertemu dan menyatakan sikap penolakan ini dalam pertemuan resmi dengan pemerintah daerah, pemerintah provinsi, DPRD dan MRP, namun belum ada tanggapan berarti.

Berdasarkan informasi yang beredar bahwa Perusahaan Modal Asing (PMA) PT Indo Asiana Lestari, asal negeri jiran Malaysia,  telah mengantongi Izin Lokasi yang diterbitkan Bupati Boven Digoel dan Izin Usaha Perkebunan diterbitkan DPMPTSP Papua. Namun, masyarakat adat Awyu belum pernah mendapatkan dan menerima dokumen informasi perizinan dimaksud dan belum pernah memberikan persetujuan atas rencana perusahaan tersebut.

Pada 26 Juli 2022, Hendrikus Woro, dari Tanah Merah, Boven Digorl, pergi ke pusat pemerintahan Kantor DPMPTSP Papua di Jayapura, berjarak sekitar 352 Km, dengan waktu tempuh satu jam menggunakan pesawat Trigana Air.  Hendrikus bertemu petugas DPMPTSP, menjelaskan maksudnya dan menyampaikan surat permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan perusahaan PT Indo Asiana Lestari.

Namun Surat Tanggapan Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan DPMPTSP Papua (08 Agustus 2022) dan surat tanggapan atas keberatan pada 30 September 2022 yang lalu, tidak sesuai dengan permintaan untuk mendapatkan informasi yang diminta.

“Saya telah menjelaskan secara baik tujuan dari permohonan informasi publik untuk mengetahui perkembangan perizinan perusahaan di tanah adat saya”, kata Hendrikus Woro.

DPMPTSP Provinsi Papua terkesan tidak transparan dengan membatasi dan menutupi akses masyarakat untuk memberikan dan memperoleh informasi. Pemerintah justru memberikan syarat yang memberatkan.

Dalam Siaran Pers(18/10/2022), pendamping hukum menyampaikan permintaan pejabat DPMPTSP kepada Pemohon Hendrikus Woro untuk melengkapi syarat yang diketahui kepala kampung, distrik, pemerintah daerah hingga Lembaga masyarakat adat, tidak sesuai ketentuan.

“Syarat ini memberatkan pemohon, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik  tidak mengatur syarat tersebut, justru DPMPTSP wajib memberikan informasi karena bersifat terbuka dan wajib tersedia”, tegas Emanuel Gobay, Pembela Hukum dari LHB Papua.

Baca Siaran Pers disini: Siaran Pers Masyarakat Adat Awyu Gugat DPMPTSP Provinsi Papua

Untuk memperjuangkan memperolah keadilan atas hak informasi, Hendrikus Woro menggugat DPMPTSP Provinsi Papua ke Komisi Informasi Publik (KIP) Provinsi Papua, tujuan sengketa ini agar KIP Papua memutus informasi yang dimohon adalah informasi yang bersifat terbuka sehingga wajib dibuka dan diberikan kepada Hendrikus woro dan menyatakan DPMPTSP Provinsi Papua telah salah.

Pendamping hukum dari LBH Papua dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkapkan telah  menerima kuasa dari Hendrikus Woro untuk mendampingi dalam sengketa dugaan pembatasan dan penutupan informasi public yang dilakukan pejabat DPMPTSP Papua, sehingga tidak mau membuka ketersediaan izin usaha perkebunan PT Indo Asiana Lestari.

“Sesuai Pasal 11 ayat 1 huruf b UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, Informasi publik yang diminta pemohon merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Hal ini juga diatur dalam peraturan Komisi Informasi Publik Nomor 1 Tahun 2021 tentang standar layanan informasi public”, jelas Tigor G Hutapea, Kuasa Hukum.

Tindakan DPMPTSP yang tidak memberikan permintaan informasi publik merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pemohon sesuai pasal 28 F UUD 1945 dan UU  No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi publik, Komisi informasi publik harus berpihak kepada masyarakat adat untuk memutuskan ini.

Ank, Okt 2022

Oktober 18, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Solidaritas dengan Alam

by Admin Pusaka Oktober 16, 2022
written by Admin Pusaka

Alkitab mengajarkan agar manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah. Dalam hal ini, manusia dilihat sebagai bagian integral dari alam bersama tumbuh-tumbuhan, hewan dan ciptaan lainnya. Tanggung jawab manusia untuk memelihara dan mengelola lingkungan hidup, bukan mendominasi apalagi mengeksploitasinya.

Hal ini disampaikan Flora Kareth, S.Sos., MM., perwakilan GKI Papua Klasis Teminabuan, sebagai narasumber dalam diskusi HAM dan Lingkungan dalam Perspektif Iman Kristen, yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Aula Pertemuan Gereja Alfa, Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan. Diskusi dan pelatihan advokasi ini dihadiri tokoh pemuda, aktivis perempuan, relawan tolak sawit dan peduli sosial.

Menurut Flora Karet, secara teologis bahwa manusia dan alam adalah ciptaan, properti dan bait Allah, semuanya berada dalam suatu hubungan perjanjian dengan Allah, barang siapa merusak alam, maka dia merusak hubungan perjanjian itu.

Flora menjelaskan perspektif Iman Kristen tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir atas anugerah Tuhan, yang dimiliki semua orang tanpa membeda-bedakan suku, ras dan agama.

“Alkitab mengajarkan supaya umat Kristiani menghargai HAM, karena hukum yang terutama adalah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dan hukum yang kedua adalah mengasihi sesama manusia, seperti menghargai diri sendiri”, jelas Flora Kareth.

HAM bersumber dari Allah dan melanggar HAM berarti melanggar ketentuan Allah.

“Tidak satu orang pun atau lembaga manapun termasuk suatu negara yang berwenang untuk mengurangi bahkan membatalkan hak-hak tersebut kecuali Allah itu sendiri”, jelas Flora Kareth.

Peserta pelatihan mendiskusikan situasi lingkungan hidup yang semakin hari semakin rusak. Kita melihat dan merasakan sendiri bagaimana perubahan lingkungan telah terjadi dan berdampak langsung pada kehidupan manusia. Bumi semakin panas, terjadi bencana banjir, pencemaran air, udara dan tanah, yang menurunkan kualitas hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini juga menjadi wujud ketidakadilan bagi ekologi.

“Harus ada kesadaran bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan, dengan demikian membawa kita untuk membangun solidaritas dengan alam. Kita memperlakukan lingkungan hidup sebagai ciptaan yang harus dikasihi, dijaga, dipelihara dan dipedulikan”, jelas Flora Kareth.

Solidaritas dengan alam ini dirawat, dijaga dan dikelola dengan spritualitas ekologi yang didasarkan pada penghayatan iman dan ajaran Allah. Spritualitas ekologi didasarkan pada pengalaman manusiawi yang berhadapan dengan kehancuran lingkungan hidup. Spritualitas ekologi terwujud dalam beragam tindakan etis dan tanggung jawab mengelola dan memelihara lingkungan hidup.

Flora mengajak kepada seluruh peserta untuk mencintai dan memperlakukan lingkungan hidup dengan sentuhan kasih sebagaimana sikap Tuhan. Manusia dipanggil untuk secara kreatif memelihara kualitas kehidupan, kesejahteraan bersama dengan seluruh alam.

Ank, Okt 2022

Oktober 16, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Desain Hukum Pembangunan Food Estate Skala Luas dałam Kawasan Hutan

by Admin Pusaka September 24, 2022
written by Admin Pusaka
September 24, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Berita

Konflik dan Penggundulan Hutan Meningkat di Papua

by Admin Pusaka Agustus 1, 2022
written by Admin Pusaka

Informasi analisis peta citra satelit Nusantara Atlas menunjukkan telah terjadi Deforestasi di Papua sejak awal Januari – Juni 2022 seluas lebih dari 1.150 hektar. Kebanyakan areal deforestasi tersebut berada pada areal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, yang melakukan ekspansi bisnis.

Ada lima lokasi perusahaan teridentifikasi tempat kejadian deforestasi terbesar di Papua, yakni PT Inti Kebun Sawit dan PT Inti Kebun Sejahtera, kedua perusahaan ini beroperasi di Distrik Moi Segen dan Seget, Kabupaten Sorong ; PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura, dan PT Selaras Inti Semesta di Kabupaten Merauke.

Kondisi di lapangan di Sorong, Jayapura dan Merauke, ditemukan berbagai permasalahan aktifitas penggundulan hutan. Pada April 2022, anggota marga Mugu mempersoalkan dan menghentikan aktifitas perusahaan PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), terjadi keributan ketegangan dengan marga Klagumut, yang diduga memberikan restu perusahaan PT IKSJ.

Perusahaan menggusur hutan adat milik marga tanpa musyawarah dan kesepakatan Marga Mugu. Kepala Distrik Moi Segen dan Dewan Adat memediasi pertengkaran antara marga dan perusahaan di Balai Kampung Klasari pada 18 Juli 2022.

“Hutan adat kami terdapat tempat penting bersejarah disebut Mambus Wisnik, Tawili Wolu, Kelem Wobeles, yang digusur perusahaan, kami tidak pernah mengizinkan perusahaan dan kami menuntut perusahaan bertanggung jawab memulihkan kembali hutan adat ini, perusahaan dan pihak yang merusak harus diberikan sanksi”, jelas Efron Mugu.

Kasus serupa terjadi di Kampung Masmili, Distrik Moisegen, perusahaan PT IKSJ menggusur kawasan hutan adat dan mendapatkan perlawanan Marga Kutumun. Sejak April 2022, Nelson Kutumun dan beberapa keluarga, membuka hutan di Dusun Klawiri, persis berbatasan dengan bekas hutan yang telah digunduli perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ).

Mereka mendirikan beberapa rumah panggung dari kayu, berdiam dan berkebun di Dusun Klawiri. Sebelumnya, anggota Marga Kutumun ini tinggal di Kampung Masmili, Distrik Moi Segen, Kabupaten Sorong.

“Kami buka dusun ini untuk menghadang dan menghentikan rencana perusahaan kelapa sawit yang memperluas kebun sawit dan menghabiskan hutan kami”, jelas Nelson Kutumun, saat ditemui Pusaka di Dusun Klawiri, pada Juni 2022.

Marga Kutumun menghadang dan menolak rencana perluasan PT IKSJ karena luas pembukaan hutan melebihi kesepakatan antara marga dan perusahaan, yakni panjang 1000 meter dan lebar 500 meter.

Berdasarkan peta citra satelit dan keterangan Marga Kutumun yang berdiam di Dusun Klawiri dan Kampung Masmili, deforestasi di Dusun Klawiri terjadi untuk pengembangan kebun kelapa sawit. PT IKSJ menggusur hutan sejak Desember 2021 dan meningkat cepat pada Januari 2022, hingga menyebabkan lebih dari 100 hektar hutan hilang. Aktifitas penggundulan hutan oleh PT IKSJ berhenti pada pertengahan Juni 2022. Diperkirakan deforestasi di Dusun Klawiri  lebih dari 200 hektar.

Menurut Nelson Kutumun, operator perusahaan PT IKSJ menjanjikan akan mengukur ulang luas hutan yang digusur dan bertanggung jawab atas hutan hilang. Masyarakat resah karena belum ada tanda terang dari janji perusahaan dan penanaman sawit terus berlangsung hingga saat ini.

Kebanyakan masyarakat tidak mengantongi surat-surat dokumen perusahaan terkait rencana perusahaan, surat resmi perizinan dan peta lokasi, surat kesepakatan perusahaan dengan marga dan sebagainya. Masyarakat hanya mengingat perusahaan datang dengan janji-janji pembangunan dan kesejahteraan.

Marga Klafiyu di Kampung Ninjemur, sejak awal meminta seluruh surat dan dokumen peta lahan dari perusahaan PT IKSJ. Ditemukan dalam surat penyerahan dan pelepasan tanah adat, marga mendapatkan kompensasi sebesar Rp. 50.000/ha dan kompensasi kayu mix, tanam tumbuh sebesar Rp. 185.000/ ha. Artinya nilai tanah dan kekayaan alam didalam hutan sebesar Rp. 235.000 per hektar atau 1 m2 = Rp.23.500.  Angka tersebut tidak sebanding dengan nilai dan harga pasar kayu merbau Rp. 3.000.000, perkubik.

Ketegangan antara marga pemilik tanah dengan perusahaan menandakan buruknya pengelolaan bisnis perkebunan yang mengabaikan hak masyarakat, tidak adil dan tidak menjalankan prinsip keberlanjutan lingkungan. Pihak yang diuntungkan dari deforestasi adalah birokrat korup dan korporasi yang tidak bertanggung jawab. Sedangkan masyarakat setempat mengalami kehilangan mata pencaharian dan kesulitan akses pemanfaatan sumber pangan, terpaksa menerima kompensasi yang tidak adil dan menanggung resiko bencana ekologis.

Pada awal Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen dan kebijakan pemerintah mencabut izin-izin yang tidak produktif dan tidak sesuai peraturan, dengan dalil “mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan alam”.  Pada 05 Januari 2022, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut 192 izin konsesi di kawasan hutan, 51 izin diantaranya berada di Papua dengan luas 1.287.030,37 hektar.  Namun perusahaan tersebut masih tetap beraktivitas menggunduli hutan dan deforestasi meluas.

Masyarakat adat Papua bertahun-tahun melindungi hutan dengan tradisi pengetahuan dan norma adat, sebelum perusahaan datang dengan aturan, surat izin dari pemerintah, uang dan alat kekerasan negara, sebagai jalan menggunduli hutan adat.

Ank, Juli 2022

 

Agustus 1, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail
Laporan

Catahu Pusaka 2021: Kemenangan Masyarakat Adat

by Admin Pusaka Februari 17, 2022
written by Admin Pusaka
Februari 17, 2022 0 comment
0 FacebookTwitterEmail

Recent Posts

  • Siapa Diuntungkan Proyek Strategis Nasional Papua
  • Suku Awyu Ajukan Banding atas Gugatan Perubahan Iklim ke Pengadilan Tinggi TUN Manado
  • Kami akan banding karena ini menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang diabaikan
  • Surat Terbuka untuk Majelis Hakim PTUN Jayapura
  • Majelis Hakim Pegang Teguh Prinsip In Dubio Pro-Natura dalam Membuat Putusan Perkara Demi Kelanjutan Hutan Papua

Recent Comments

Tidak ada komentar untuk ditampilkan.
Yayasan Pusaka
  • Tentang Kami
  • Privacy Policy
Publikasi
  • Berita
  • Aktifitas
  • Publikasi
  • Galeri
Sosial Media
  • Youtube
  • Twitter
  • Instagram
  • Facebook
Logo