#SukuTehit
Alkitab mengajarkan agar manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah. Dalam hal ini, manusia dilihat sebagai bagian integral dari alam bersama tumbuh-tumbuhan, hewan dan ciptaan lainnya. Tanggung jawab manusia untuk memelihara dan mengelola lingkungan hidup, bukan mendominasi apalagi mengeksploitasinya.
Hal ini disampaikan Flora Kareth, S.Sos., MM., perwakilan GKI Papua Klasis Teminabuan, sebagai narasumber dalam diskusi HAM dan Lingkungan dalam Perspektif Iman Kristen, yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat di Aula Pertemuan Gereja Alfa, Kampung Wersar, Distrik Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan. Diskusi dan pelatihan advokasi ini dihadiri tokoh pemuda, aktivis perempuan, relawan tolak sawit dan peduli sosial.
Menurut Flora Karet, secara teologis bahwa manusia dan alam adalah ciptaan, properti dan bait Allah, semuanya berada dalam suatu hubungan perjanjian dengan Allah, barang siapa merusak alam, maka dia merusak hubungan perjanjian itu.
Flora menjelaskan perspektif Iman Kristen tentang Hak Asasi Manusia (HAM), bahwa HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir atas anugerah Tuhan, yang dimiliki semua orang tanpa membeda-bedakan suku, ras dan agama.
“Alkitab mengajarkan supaya umat Kristiani menghargai HAM, karena hukum yang terutama adalah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, dan hukum yang kedua adalah mengasihi sesama manusia, seperti menghargai diri sendiri”, jelas Flora Kareth.
HAM bersumber dari Allah dan melanggar HAM berarti melanggar ketentuan Allah.
“Tidak satu orang pun atau lembaga manapun termasuk suatu negara yang berwenang untuk mengurangi bahkan membatalkan hak-hak tersebut kecuali Allah itu sendiri”, jelas Flora Kareth.
Peserta pelatihan mendiskusikan situasi lingkungan hidup yang semakin hari semakin rusak. Kita melihat dan merasakan sendiri bagaimana perubahan lingkungan telah terjadi dan berdampak langsung pada kehidupan manusia. Bumi semakin panas, terjadi bencana banjir, pencemaran air, udara dan tanah, yang menurunkan kualitas hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini juga menjadi wujud ketidakadilan bagi ekologi.
“Harus ada kesadaran bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan, dengan demikian membawa kita untuk membangun solidaritas dengan alam. Kita memperlakukan lingkungan hidup sebagai ciptaan yang harus dikasihi, dijaga, dipelihara dan dipedulikan”, jelas Flora Kareth.
Solidaritas dengan alam ini dirawat, dijaga dan dikelola dengan spritualitas ekologi yang didasarkan pada penghayatan iman dan ajaran Allah. Spritualitas ekologi didasarkan pada pengalaman manusiawi yang berhadapan dengan kehancuran lingkungan hidup. Spritualitas ekologi terwujud dalam beragam tindakan etis dan tanggung jawab mengelola dan memelihara lingkungan hidup.
Flora mengajak kepada seluruh peserta untuk mencintai dan memperlakukan lingkungan hidup dengan sentuhan kasih sebagaimana sikap Tuhan. Manusia dipanggil untuk secara kreatif memelihara kualitas kehidupan, kesejahteraan bersama dengan seluruh alam.
Ank, Okt 2022
Surat Terbuka: Mendesak Bupati Sorong Selatan Menetapkan Panitia Masyarakat Hukum Adat
Produk kebijakan pemerintah Provinsi Papua Barat terkait Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat mengalami perkembangan berarti. Tahun 2019, Pemerintah Provinsi Papua Barat menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman, Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Dalam Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, Pasal 7 – Pasal 14, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten wajib memberikan pengakuan terhadap keberadaan MHA yang berada di wilayah Provinsi Papua Barat. Pelaksanaan pengakuan MHA melalui proses penelitian hukum terhadap kriteria MHA, yakni memiliki : (a) letak dan batas wilayah adat; (b) sejarah asal usul MHA; (c) hukum adat yang tumbuh dan berlaku ; (d) kelembagaan atau sistem pemerintah adat; atau (e) harta kekayaan dan atau benda-benda adat.
Lalu tahun 2021, pemerintah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan MHA dan Wilayah Adat. Guna menindaklanjuti kebijakan pengakuan MHA tersebut, saat ini pada tingkat provinsi, sudah dibentuk tim kerja untuk percepatan pengakuan dan penetapan MHA dan wilayah adat di Provinsi Papua Barat, berdasarkan SK Gubernur Papua Barat Nomor 189/63/3/2022. Pergub dan SK Gubernur Papua Barat ini memberikan arahan pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat sebagai bagian dalam proses penetapan dan percepatan pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di wilayah Provinsi Papua Barat.
Namun implementasi isi kebijakan tersebut masih minim penerapannya. Pada tingkat kabupaten, misalnya pemerintah daerah Sorong Selatan sudah ada wacana untuk untuk mendiskusikan dan membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat tingkat kabupaten. Rencana dan inisiatif Pemda Sorong Selatan mendapat tanggapan peserta diskusi terfokus yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Betala Rakyat dan Relawan Peduli Sosial dan Lingkungan, di Gedung Putih Kota Teminabuan, pada Rabu, 13 April 2022.
Sarce Saflesa, perempuan adat Tehit, mengungkapkan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat, termasuk perempuan adat, diperlukan untuk memastikan terpenuhinya kesejahteraan dan kepastian hak-hak atas tanah dan hutan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat adat.
“Kami juga mengharapkan keterlibatan perempuan adat dalam Panitia Masyarakat Hukum Adat dan seluruh rangkaian kebijakan program pemberdayaan masyarakat adat”, ungkap Sarce Saflesa.
Setalah mendiskusikan perkembangan kebijakan tersebut dan proses pembentukan kebijakan peraturan di daerah Kabupaten Sorong Selatan, peseta dari perwakilan masyarakat adat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan perempuan, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa, pemimpin organisasi masyarakat sipil, menyampaikan surat terbuka dan rekomendasi kepada pemerintah daerah Sorong Selatan yang menyoroti dan meminta Bupati Sorong Selatan secepatnya menetapkan Panitia Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, dan mendukung pendanaan program untuk percepatan penetapan pengakuan hak masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan.
Aliansi juga mendesak Bupati Sorong Selatan segera secepatnya melaksanakan amanat Perdasus Nomor 9 Tahun 2019, untuk memberikan pengakuan, perlindungan, pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat ; mengeluarkan putusan perlindungan tempat penting dan tempat sakral, serta kebijakan program untuk melakukan identifikasi tempat penting dan sakral, yang pelaksanaannya melibatkan masyarakat adat setempat.
“Kami meminta Bupati Sorong Selatan untuk mendorong dan mendukung percepatan proses pembahasan dan penetapan rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sorong Selatan tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sorong Selatan, yang digagas dan diusulkan oleh DPRD Kabupaten Sorong Selatan sejak tahun 2019 lalu”, tegas Yusuf Momot.
Selengkapnya Surat Terbuka baca disini: Surat Terbuka untuk Bupati Sorong Selatan, April 2022
Ank, April 2022
Cerita Alex Sesa dari Teminabuan, Sorong Selatan, 11 Februari 2022
Puluhan warga dari Kampung Bariat, Distrik Konda, palang tutup kantor Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Jumat pagi, 11 Februari 2022. Mereka protes karena pergantian tiba-tiba Kepala Distrik Konda. Dalam video aksi protes yang dikirimkan warga.
Marten Kareth, warga Kampung Bariat mengatakan “Kami tolak, kami tidak terima orang dari luar, kalau nanti dia jual negeri ini, dia jual kami punya tempat ini. Kami punya anak-anak sendiri yang tugas di Distrik Konda. Kami tidak izinkan orang dari luar yang datang tugas disini,” kata Marten.
Kepala Distrik Konda saat ini diketahui okut berjuang hak-hak adat masyarakat Konda.
Gereja Mengajak Memberikan Penghargaan yang Tinggi Terhadap Ciptaan Allah
Tanggung jawab Gereja adalah mengajak manusia untuk memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah, termasuk lingkungan hidup. Pernyataan ini disampaikan Sekretaris KPKC Klasis GKI Teminabuan, Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si, pada aksi protes penolakan kelapa sawit di pelataran Taman Trinati, Kota Teminabuan, Kabupaten Sorong Selatan (10 Januari 2022).
“Pengrusakan lingkungan telah menimbulkan banyak dampak negatif, yaitu pemanasan global, pencemaran udara, air, tanah, dan lain-lain. Oleh karena itu sikap ekspolitatif terhadap lingkungan merupakan bentuk pengrusakan terhadap karya Allah”, tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si., yang disambut tepuk tangan dan sorak sorai peserta aksi.
Massa aksi lebih dari 100 orang, berasal dari perwakilan masyarakat adat Tehit, Kais dan Maybrat, dari Distrik Teminabuan, Konda, Saifi, Seremuk, Kais, Wayer dan Moswaren. Selain itu, peserta aksi berasal dari warga gereja setempat, tokoh perempuan adat, pemimpin organisasi pemuda dan mahasiswa.
Aksi protes ini terjadi menyusul beredar dan tersiarnya informasi Surat Panggilan PTUN Jayapura, Nomor 45/G/2021/PTUN.JPR, Tanggal 30 Desember 2021, kepada Bupati Sorong Selatan, terkait gugatan perusahaan PT Anugerah Sakti Internusa, yang diketahui izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut dicabut oleh Bupati Sorong Selatan, pada Mei 2021 lalu. Masyarakat adat yang terancam bereaksi mengecam sikap perusahaan, menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit dan mendukung Bupati Sorong Selatan menghadapi gugatan perusahaan.
Tokoh perempuan adat Tehit dan Kepala Distrik Konda, Sopice Sawor, mengatakan pemerintah distrik dan masyarakat adat di Distrik Konda mendukung sepenuhnya Bupati Sorong Selatan dalam persidangan pencabutan perizinan di PTUN Jayapura, masyarakat dengan tegas menolak perkebunan kelapa sawit di Distrik Konda, Sorong Selatan.
Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa dari Kampung Wersar dan Tapiri, menuliskan dalam spanduk aksi “Dukungan kami menjadi bagian dalam menjaga dan melestarikan alam sebagai ciptaan Tuhan bagi kelangsungan hidup kami, anak kami dan cucu cece kami”. Ungkapan serupa disampaikan LMA Suku Tehit.
Dalam Surat Pernyataan Klasis GKI Teminabuan, Komisi Diakonia Hukum dan KPKC, Nomor: 002/1-7.3/G-16.a/I/2022, Tanggal 10 Januari 2022, sikap gereja yang mewadahi 37 Jemaat, 1 Pos Pelayanan, 5 (lima) wilayah pelayanan Klasis GKI Teminabuan, menyatakan dengan tegas menolak pembangunan lahan dan pabrik kelapa sawit yang berdampak pada kerusahaan lingkungan secara global.
“Sebab lingkungan hidup harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan demi menjaga keseimbangan ekologis”, ungkap tegas Pdt. Yonesti, Y. Sagrim, S.Si.
Ank, Jan 2022
Siaran Pers: Masyarakat Adat Papua di Kabupaten Sorong Selatan Menekankan Perlunya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses dan Penyusunan Kebijakan Daerah
(Teminabuan, Sorong Selatan, 15 November 2021). Setelah Bupati Sorong Selatan mencabut izin-izin usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit berlokasi di Distrik Konda, Teminabuan, Moswaren, Saifi dan Seremuk (Mei 2021). Masyarakat adat di dalam dan sekitar daerah eks izin usaha tersebut menuntut pemerintah mengembalikan dan mengakui hak dan klaim masyarakat adat sebagai pemilik dan penguasa tanah dan hutan adat tersebut. Masyarakat adat berkehendak mengelola dan memanfaatkan lahan dan hasil hutan di wilayah adat berdasarkan inovasi pengetahuan adat setempat, mandiri, adil dan lestari.
Aspirasi tersebut disampaikan peserta kegiatan Dialog Kebijakan yang berlangsung di Gedung Putih Trinati, Kota Teminabuan, Sorong Selatan, pada 08 – 09 November 2021, diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan Relawan Pemuda Tolak Sawit dan Peduli Lingkungan Sosial di Sorong Selatan.
“Saat ini, kami masyarakat adat Sub Suku Afsya dan Nakna di Distrik Konda sudah duduk dan sedang membuat peta tanah dan hutan adat, peta tempat-tempat penting, yang kami minta pemerintah akui dan lindungi hak masyarakat adat”, ungkap Sopice Sawor, tokoh perempuan adat dari Distrik Konda, pada pertemuan Dialog Kebijakan bersama pengambil kebijakan (08/11/2021).
Dialog Kebijakan bertema Kebijakan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua Barat, diikuti perwakilan masyarakat adat dari Distrik Saifi, Seremuk, Teminabuan, Wayer, Moswaren, Konda, Kais, Kais Darat dan Inanwatan, Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong Selatan, DPMA Knasaimos, DAP Sorong Selatan, LPHD Sira – Mangroholo, LMA Sorong, AMAN Sorong Raya, Samdhana Institute, Greenpeace Indonesia, Bentara Papua, ECONUSA, PBHKP, PMKRI, GMKI, GAMKI, GMNI dan relawan pemuda.
Peserta menekankan perlunya keterlibatan masyarakat adat seluas-luasnya dalam proses pembahasan rancangan kebijakan peraturan daerah. Peserta mengusulkan substansi pengaturan mencakup dan memuat hak-hak masyarakat adat, antara lain: hak untuk menguasai dan memiliki, mengelola dan memanfaatkan tanah adat, hutan, dan kekayaan alam lainnya ; hak menyelenggarakan kelembagaan adat, hukum adat dan peradilan adat ; hak untuk melindungi dan melestarikan adat istiadat, bahasa, pendidikan adat, tempat sakral dan kepercayaan ; hak untuk menentukan pembangunan ; hak bebas untuk dipilih sebagai wakil rakyat, menentukan dan memilih wakil rakyat; hak perempuan adat ; hak untuk mendapatkan dan melakukan perlindungan lingkungan yang sehat ; hak mendapatkan pemulihan atas pelanggaran hak-hak masyarakat adat ; hak masyarakat adat untuk bebas berkumpul dan berpendapat.
Kebijakan pengakuan, perlindungan dan penghormatan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat merupakan hak konstitusional masyarakat adat, yang harus dipenuhi negara, jelas Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.
Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Sorong Selatan, Theodorus H. Thesia, SH., dan Sekretaris DPRD Sorong Selatan, Yoseph Bless, SH., menjelaskan bahwa pemerintah daerah menerima usulan dan mendukung aspirasi masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan. Bapemperda DPRD telah menetapkan ranperda pengakuan dan perlidungan hak masyarakat adat sebagai salah satu program legislasi tahun 2021.
“DPRD Kabupaten Sorong Selatan telah melakukan sidang pleno mendiskusikan rancangan perda tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Sorong Selatan, namun masih diperlukan pembobotan dan masukkan materi rancangan perda”, jelas Theodorus H. Thesia.
Dalam diskusi lanjutan dengan Kabag Hukum, Bapemperda dan Sekwan DPRD Sorong Selatan di Kantor Bupati Sorong Selatan, Teminabuan, pada 10 – 11 November 2021. Ketua Bapemperda, Agustinus M. Way, Wakil Ketua Bapemperda, Daud Senanfi, dan Sekretaris Bapemperda, Naomi N. Sagisolo, menjelaskan ranperda tentang pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat merupakan inisiatif DPRD Sorong Selatan. DPRD akan usahakan perda ini segera bisa ditetapkan, disosialisasikan dan diundangkan dalam lembaran daerah di Sorong Selatan.
“Kami usahakan ranperda ini dipastikan Desember 2021 ini, DPRD sedang menyusun tahapan proses pembahasan dan akan dipaketkan dengan APBD induk untuk mempercepat pembahasan,” ungkap Agustinus Way.
Bapemperda siap menerima masukkan dari masyarakat adat, relawan pemuda dan organisasi masyarakat sipil untuk pembobotan dan memperkaya legal drafting, termasuk penyelesaian naskah akademik, agar sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah.
Nicodemus Wamafma, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyampaikan “Inisiatif DPRD ini sesuatu yang membahagiakan dan menjawab harapan masyarakat. Greenpeace akan selalu bersama mitra pembangunan dan sebagainya, akan siap mem back up, surat yang disampaikan DPRD kepada mitra pembangunan, bagian penting dari diskusi itu, kita akan berdiskusi untuk pembobotan, termasuk juga nasakah akademi dan legal drafting”, ungkap Nicodemus Wamafma.
***
Kontak Person:
- Holland Abago : +62 821 9819 2376
- Franky Samperante : +62 813 1728 6019
- Nicodemus Wamafma : +62 821 9758 5110