#TanahPapua
Dialog Bermartabat Menuju Pemecahan Masalah di Tanah Papua secara Beradab
Tanah Papua dirundung dukacita mendalam, peristiwa kekerasan berulang dan warga sipil menjadi korban hingga kematian. Sepanjang September hingga Oktober 2021, terjadi kekerasan, penangkapan dan pengungsian penduduk di Maybrat, Teluk Bintuni, Intan Jaya, Kiwiriok, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan sebagainya. Konflik berkepanjangan dan kekerasan bersenjata terjadi lebih 58 tahun di Tanah Papua.
Gereja tidak boleh diam ketika berhadapan dengan kenyataan di mana ada penderitaan dan penindasan, di mana terjadi praktik ketidakadilan dan perampasan atas hak-hak dasar masyarakat terutama, kaum yang lemah. Tugas Gereja adalah harus bersuara untuk mereka yang tak bersuara (the voice of the voiceless) danharus menjadi promotor keadilan, kebenaran, dan kedamaian.
Situasi tersebut membuat Pastor Katolik se Papua menyampaikan seruan moral yang menggugah melalui Jumpa Pers (11/11/2021). Para pemimpin Gereja harus lebih proaktif terlibat memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kedamaian; bukan diam membisu dan menghindari persoalan hidup umatnya, mencari kenyamanan diri di balik tembok gedung Keuskupan, Pastoran, dan Biara.
Bahwa Tanah Papua bukanlah tanah kosong. Di tanah ini, telah ada dan sedang hidup manusia berkulit hitam dan berambut keriting, etnis Melanesia dan berbagai etnis serta ras lainnya. Tanah Papua merupakan milik Orang Asli Papua sejak zaman leluhur sebelum digabung/bergabung dengan negara Indonesia.
“Tugas negara mestinya mencerminkan apa yang diajarkan, yakni melindungi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, mensejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia melalui pembangunan yang merata, menciptakan keadilan dan perdamaian abadi bagi seluruh rakyat Indonesia, dan melindungi unsur-unsur masyarakat Indonesia terhadap gangguan dari dalam maupun dari luar. Namun kenyataan berbicara lain”, ungkap Pastor John Bunai Pr, juru bicara Pastor Katolik se Papua .
Pastor se Tanah Papua melalui keterangan pers meminta antara lain kepada para Duta Besar negara-negara sahabat dan Pemerintah negara Republik Indonesia adalah mendesak semua kubu yang berperang, yaitu TNI/POLRI dan TPN/OPM agar segera mengadakan gencatan senjata/jeda kemanusiaan; mendorong Pemerintah RI agar segera pula membuka ruang dialog dengan orang Papua, dalam hal ini dengan ULMWP (dan JDP/melalui JDP). Mendukung diundangnya Komisioner Tinggi PBB untuk HAM, supaya dapat melihat dan mendengar sendiri bagaimana kondisi HAM yang sebenarnya di Papua.
Selengkapnya baca: Seruan Para Pastor se-Papua 2021
Pastor John Bunai, Pr, mengatakan dialog adalah langkah dan cara yang sangat bermartabat, menuju pemecahan masalah/konflik di Tanah Papua secara beradab.
Ank, Nov 2021
Press Release: Investasi Tidak Boleh Menggangu Tempat Penting Masyarakat Adat
(Merauke, 31 Oktober 2021). Penghidupan kampung terus mengalami perkembangan dan perubahan sosial ekonomi dalam kecepatan dan ritme yang berbeda dari setiap kampung, tergantung pada kondisi geografis, aliran sumberdaya dari luar kampung dan relasi proyek-proyek atas nama pembangunan pedesaan, pembangunan infrastruktur, konektivitas dan telekomunikasi, yang masuk hingga ke pelosok kampung dan merubah corak ekonomi, kelembagaan sosial dan budaya, kebiasaan hingga nilai-nilai dan norma adat yang tergerus.
Potret penghidupan tersebut didapatkan dari diskusi hasil kajian awal penghidupan pedesaan menggunakan kerangka Gender Equality and Social Inclusion (GESI) dan pendekatan partisipatif, yang fokus mengkaji kehidupan Orang Asli Papua hubungannya dengan tanah dan sumberdaya alam pada kampung dipesisir (duve) dan pedalaman (dek) di Kabupaten Merauke, yang terdampak dari Program MIFEE dan terancam rencana program Food Estate Papua.
Lembaga Advokasi Perempuan Papua (eLAdPPer), Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KAME) dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Pusaka), bersama perwakilan masyarakat adat Marind dari Kampung Dumande, Onggari, Distrik Malind, Kampung Ivimahad, Wapeko dan Kaliki, Distrik Kurik, Kampung Zanegi dan Baad, Distrik Animha, dan masyarakat adat Yeinan dari Kampung Erambu, Distrik Sota, bertemu di Merauke pada 28 – 30 Oktober 2021, untuk mendiskusikan penghidupan pedesaan, perubahan, taktik dan usaha masyarakat adat menghadapi perubahan maupun program-program pembangunan daerah dan nasional yang menggunakan lahan dan hutan dalam skala luas.
“Kita tidak bisa terima saja setiap program yang mau masuk, karena terkadang program itu tidak sesuai dengan kehidupan kita di kampung, namun program jalan terus dan ujung-ujungnya kita hanya jadi penonton”, jelas Daniel Ndiken, Kepala Kampung Onggari, Distrik Malind.
Masyarakat adat (perempuan dan laki-laki) tersingkir dari pembangunan, mereka tidak lagi dapat menentukan dan mengendalikan program kampung, banyak hal baru dan rumit. Pengambilan keputusan dilakukan oleh otoritas pemerintah di daerah dan nasional. Keluhan ini disampaikan kepada pihak pemerintah dari Bappeda, Dinas Ketahanan Pangan dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Merauke.
Perwakilan masyarakat adat mempersoalkan tidak adanya transparansi dan informasi terkait proyek-proyek investasi yang akan masuk ke kampung untuk memanfaatkan tanah dan hasil hutan. Banyak kasus pelanggaran hak masyarakat dan mereka belum memiliki akses keadilan yang memadai. Masyarakat tidak punya pilihan dan terpaksa menyerahkan tanah dengan pembagian manfaat tidak adil.
Kampung dan kekayaan alam di wilayah adat dari Orang Asli Papua sedang menjadi sasaran pembangunan oleh pemerintah dan investor pemilik modal. Peserta sepakat pembangunan yang masuk dan akan datang ke kampung harus menghormati dan melibatkan masyarakat adat setempat (perempuan dan laki-laki), harus bermusyawarah dan masyarakat bebas memutuskan tanpa tekanan. Program yang masuk ke kampung Orang Asli Papua harus melihat dan mempertimbangan karakteristik lokal, nilai-nilai sosial dan budaya, lingkungan, kehidupan masyarakat, ekonomi dan mata pencaharian yang sudah ada sebelumnya.
Lokasi investasi tidak boleh ‘mengganggu’ (menggunakan) tempat penting masyarakat adat, tempat keramat dan bersejarah, dusun sagu, hutan alam, sumber air, tempat mencari masyarakat, rawa, kampung lama, kuburan tua, sumur alam, habitat hewan endemik, dan sebagainya.
Peserta merumuskan tiga rekomendasi penting bagi pemerintah terkait keberlangsungan penghidupan kampung yakni agar memberikan perlindungan hukum kepada hak-hak masyarakat adat, termasuk memberikan kepastian tentang status tanah adat milik masyarakat ; agar memberikan perhatian lebih kepada pembangunan sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan dan budaya, yang bertujuan pada perubahan prilaku dan peningkatan sumber daya manusia Orang Asli Papua; pendampingan yang seutuhnya dari OPD-OPD terkait untuk pengembangan ekonomi masyarakat adat.
Perlu ada perubahan paradigma dan pendekatan dalam program pembangunan skala besar di Tanah Papua, yakni program pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang ditentukan dan mengutamakan pengetahuan, inovasi teknologi dan kemampuan masyarakat adat setempat (perempuan dan laki-laki) pada skala tertentu, dengan tetap mengutamakan perlindungan dan penghormatan hak masyarakat adat, keadilan sosial dan keberkelanjutan lingkungan.
“Negara harus mengupayakan mekanisme perlindungan dan pemberdayaan terhadap hak hukum masyarakat adat Papua (perempuan dan laki-laki) secara adil, utamanya masyarakat miskin, kelompok penyandang disabilitas, termasuk melindungi tempat-tempat penting sumber hidup masyarakat adat”, jelas Rassela Melinda, Kepala Kajian Advokasi dan Pengelolaan Pengetahuan PUSAKA.
Merauke, 31 Oktober 2021
Kontak Person:
Okto Waken, SKP Keuskupan Agung Merauke : +62 822-4802-1318
Beatrix Gebze, eLaDPPer Papua : +62 813-4413-6416
Rassela Melinda, Pusaka : +62 823-3023-8691