Perusahaan perkebunan kelapa sawit tidak kehilangan akal, setelah gugatan mereka dimenangkan oleh bupati Sorong. PT Inti Kebun Lestari kini datang dengan nama baru yaitu PT Sorong Global Lestari (SGL), yang saat ini sedang berusaha untuk mendekati pemerintah daerah Kabupaten Sorong dan masyarakat adat.
Pada tanggal 14 Maret 2023, bertempat di salah satu hotel di kota Sorong, PT SGL gelar rapat koordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Dinas Perijinan Provinsi Papua Barat Daya, Dinas Pertanahan dan Kehutanan Kabupaten Sorong, serta empat kepala distrik, yakni Distrik Salawati, Distrik Klamono, Distrik Malabotom, dan Distrik Segun. Rapat koordinasi tersebut untuk mengkaji tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pada lahan seluas 16.305,16 ha dengan rincian penggunaan lahan adalah, untuk kebun inti seluas 11.739,71 ha, kebun plasma 2.934,93 ha, pembibitan 91,81 ha, pabrik Pengelolahan Kelapa Sawit (PKS) kapasitas 90 ton/jam akan di bangun dilahan seluas 25 ha, dan untuk menunjang kegiatan perkebunan dan pabrik akan dibangun perumahan karyawan diatas lahan seluas 100 ha yang tersebar di 13 lokasi. Untuk menjaga kelestarian lingkungan PT SGL menyiapkan lahan seluas 1.423,69 ha untuk kebutuhan buffer zone dan daerah sempadan sungai maupun sempadan jalan. Dalam rapat koordinasi tersebut beberapa pihak meminta perusahaan lebih fokus untuk penyelesaian hak ulayat masyarakat adat dan limbah cair sebelum perusahaan beroperasi.
Rapat koordinasi dimaksud untuk mendengar saran dan pendapat dari pihak dan atau instansi terkait, terutama masyarakat terdampak dari aktivitas perusahaan. Dan untuk menyusun dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), sehingga dapat mempermudah pihak perusahaan untuk memperoleh berbagai izin yang mereka butuhkan.
Respon Masyarakat Adat Yang Terdampak
Setelah menggelar rapat koordinasi pada 14 Maret 2023, PT SGL kemudian berencana untuk melakukan sosialisasi dan atau konsultasi publik bersama masyarakat adat yang terdampak dibeberapa distrik yang menjadi sasaran aktivitas mereka.
Pada 16 Maret 2017, marga Fadan di Kampung Klasman dikagetkan dengan undangan pertemuan dari PT Sorong Global Lestari, undangan dengan nomor surat 008/E/SGL/III/2023, pada intinya hendak mengundang marga Fadan untuk mengadakan rapat koordinasi dalam rangka pelaksanaan studi AMDAL rencana pembangunan perkebunan dan pabrik pengelolahan kelapa sawit di kabupaten Sorong, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Maret 2023 di Balai Kampung Klaglu (SP 3).
Setelah menerima undangan, marga Fadan tidak tinggal diam. Dalam waktu singkat mereka segera menyiapkan atribut dan tuntutan penolakan untuk diserahkan kepada pihak perusahaan. Atribut seperti kertas warnah ukuran kecil, serta spanduk dengan tulisan yang pada intinya menolak kehadiran perusahaan diwilayah adat mereka.
Waktu yang ditunggu pun tiba, sekitar pukul 09.00 Wit beberapa mobil mewah melintas dari arah distrik Klamono ke Distrik Malabotom dengan tujuan akhir balai kampung Klaglu. Besar harapan akan disambut baik oleh masyarakat adat yang telah mereka undang. Namun, yang terjadi tidak demikian, marga Fadan dan beberapa marga lain seperti marga Simi, marga Malalu, marga Malagilit punya pandangan yang berbeda tentang perkebunan sawit.
Dengan memegang kertas dan spanduk bertuliskan penolakan, masyarakat adat datangi balai kampung Klaglu dan bertemu pihak perusahaan. Selanjutnya marga Fadan bersama beberapa marga lainnya, menyampaikan pernyataan penolakan serta menyerahkan kertas penolak yang telah mereka siapkan.
Mewakili perusahaan, James Simanungkalit mengatakan pihaknya telah membeli sebagian lokasi PT Inti Kebun Lestari (IKL) yang izinnya telah dicabut oleh Bupati Sorong pada tahun 2021. Sehingga kehadiran mereka untuk mengsosialisasikan hal tersebut serta mendengar masukan dari masyarakat adat untuk proses studi mengenai analisis mengenai dampak lingkungan hidup dan tidak memaksa masyarakat adat untuk menyerahkan tanah adatnya. Setelah kehadiran mereka ditolak oleh masyarakat adat di wilayah Klamono, dihari yang sama perusahaan bergegas untuk bertemu dengan masyarakat adat Moi dari Distrik Segun Kabupaten Sorong.
Respon yang sama juga disampaikan oleh masyarakat adat Moi dari Distrik Segun. Bertemu di sala satu Café di alun-alun Aimas Kabupaten Sorong, perwakilan marga yang hadir menyampaikan bahwa mereka menolak kehadiran perkebunan kelapa sawit.
Mewakili marga Sawit, Simon Sawat yang juga adalah Kepala Kampung Malamas dan pemilik tanah adat yang akan dijadikan sebagai lahan operasi PT SGL, menyampaikan alasan marga Sawat menolak kehadiran perkebunan sawit karena sebagian tanah adatnya telah digunakan oleh pemerintah untuk pemukiman warga (Transmigrasi). Sebagai masyarakat adat kami sangat bergantung pada hutan, sehingga jika hutan dibabat habis untuk perkebunan kami akan kehilangan sumber kehidupan. Sungai akan tercemar dengan limbah kelapa sawit dan kami akan susah untuk mencari ikan. Simon mencontohkan masyarakat adat Moi di distrik Moi Sigin yang tanah adatnya telah diserahkan untuk perusahaan kelapa sawit PT Inti Kebun Sejahtera, meraka tidak sejahtera setelah hutan mereka diserahkan untuk perkebunan sawit. Konflik antar marga juga tidak terhindarkan setelah adanya perusahaan sawit, misalnya yang terjadi antara marga Mugu Kwolat dan marga Klagumut yang saling mengkalin tanah adat akibat batas alam yang sudah di gusur oleh bul doser milik perusahaan, tapi juga yang terjadi antara marga Kutumun dan Marga Sawat, tutur Simon.
Simon mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit sangat merugikan masyarakat adat, seingga ia meminta kepada pemerintah untuk tidak menerbitkan Ijin Lokasi, Ijin Lingkungan dan Ijin Usaha Perkebunan kepada PT Sorong Global Lestari karena masyarakat adat telah menolak kehadiran perusahan tersebut.
Sebelumnya, pada tahun 2020 dan tahun 2021 bupati Sorong mencabut beberapa ijin perusahaan PT Mega Mustika Plantation (2020), PT Cipta Papua Plantation (2021), PT Papua Lestari Abadi (2021), PT Sorong Agro Sawitindo (2021), PT Inti Kebun Lestari (2021). Beberapa perusahaan merasa kecewa dengan kebijakan pencabutan ijin tersebut, diantaranya PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) kemudian mengugat bupati Sorong ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jayapura, gugatan tersebut dimenangkan oleh bupati Sorong. Ketiga perusahaan tersebut mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Makasar permohonan banding, dimenangkan oleh ketiga perusahaan, hakim PTTUN Makassar pada amar putusannya membatalkan putusan hakim PTUN Jayapura. Bupati Sorong tidak tinggal diam, melalui kuasa hukumnya, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), hakim MA dalam amar putusannya menguatkan putusan PTTUN Makasar atas PT PLA dan PT SAS, sedangkan PT IKL hakim MA justru mengabulkan Kasasi Bupati Sorong.
Apa yang Harus Masyarakat Adat Moi Lakukan?
Masyarakat adat Moi, telah bersentuhan dengan investasi sejak tahun 1935. Kehadiran investor dengan iming-iming kesejahteraan telah merampas tanah masyarakat adat Moi. Setelah Indonesia merdeka, kedatangan migrasi dari tanah Jawa dan beberapa daerah lain atau kita kenal dengan istilah transmigrasi telah mendatangkan penduduk dalam jumlah yang besar ke tanah Papua dan juga tanah Moi, sehingga sekali lagi masyarakat adat Moi harus menyerahkan tanah adat mereka untuk para transmigran.
Tidak sampai disitu hutan Malamoi yang kaya, menarik para pembalak kayu untuk hancurkan hutan Malamoi. Setelah kayu habis diambil, lalu muncul perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2004-2005 untuk membumihanguskan hutan Malamoi. Mungkin ada yang bertanya, apakah masyarakat adat Moi telah sejahtara dan hidup layak? Pertanyaan tersebut dapat dijawab secara cepat dan tegas dengan kata “TIDAK”, masyarakat adat Moi hidup sengsara dan jauh dari kata sejahtera. Lalu apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat Moi untuk menjaga tahan dan hutan adat yang tersisa.
Pada tahun 2017, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sorong menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 (Perda 10/2017) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Dengan adanya perda 10/1017 pemerintah daerah kabupaten Sorong memberikan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat Moi.
Perda tersebut, mendudukan masyarakat adat Moi sebagai subjek hukum. Dengan kedudukannya sebagai subyek hukum, masyarakat adat Moi dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk melindungi hak dan kepentingannya.
Masyarakat adat Moi dapat menentukan bentuk pembangunan diwilayah adatnya sesuai denga kebutuhan mereka dan apabilah pemerintah hendak merencanakan pembangunan harus terlebih dahulu meminta izin kepada masyarakat adat setempat (Moi).
Masyarakat adat berhak menolak rencana pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah, sehingga tidak ada alasan atas nama pembangunan tanah masyarakat adat Moi harus di korbankan.
Oleh sebabnya, dengan hak yang dimiliki, masyarakat adat Moi harusnya lebih kuat lagi mempertahankan kepemilikan atas tanah adat yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Ijin perkebunan kelapa sawit, akan menghilangkan status kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya, beberapa dokumen perjanjian yang penulis peroleh dari masyatakat adat Moi di Moi Sigin tertuang kata “Melepaskan Tanah kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk kepentingan PT Inti Kebun Sejahtera”, perusahan yang telah membabat habis hutan Malamoi untuk perkebunan Sawit.
Menolak hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah keharusan bagu masyarakat adat Moi, sehingga tanah dan hutan adatnya tidak berpindah tangan dan status kepemilikannya.
Perkembangan hukum Indonesia, telah memudahkan pemerintah dan pemodal untuk merampas tanah milik masyarakat adat, merampas dengan dasar Hak Menguasa Negara. Penyalahgunaan pasal 33 UUD 1945, pasal tersebut sering digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk merampas tanah masyarakat adat. Sejatinya pasal tersebut tidak memposisikan negara sebagai pemilik atas semua kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat adat. Negara hanya bertugas untuk melindungi dan bukan sebagai pemilik.