Tahun 2008, kita dihadapkan pada krisis pangan global. Sebagai respon atas krisis pangan tersebut, pemerintah Indonesia mengembangkan program perluasan lahan pertanian tanaman pangan dan energi dalam skala luas, yakni MIFFE – Merauke Integrated Food and Energy Estate, yang direncanakan seluas 1,2 juta hektar tanah di wilayah Kabupaten Merauke, yang digadang-gadang akan mampu memperkuat ketahanan pangan nasional sekaligus berkompetisi di pasar ekspor pangan global. Tahun 2020, dengan dalil serupa krisis pangan, Presiden Joko Widodo mengembangkan kebijakan program Food Estate di Indonesia, termasuk di Papua, yang mengtargetkan lahan proyek seluas lebih dari 2,6 juta ha untuk pembangunan kawasan Food Estate di tiga kabupaten, yakni Merauke, Boven Digoel dan Mappi.
Setelah sepuluh tahun berlalu, apa yang terjadi dan tengah dialami oleh Masyarakat Adat setempat dan tanahnya? ; Apakah MIFEE telah mencapai tujuannya untuk menguatkan ketahanan pangan komunitas ? Bagaimana kondisi penghidupan, pemenuhan pangan, hak atas tanah komunitas-komunitas terdampak MIFEE tersebut?
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat bersama dengan Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua, melakukan dokumentasi lapangan terkait situasi dari masyarakat adat dan tanahnya yang terdampak proyek MIFEE, yang dilakukan selama kurang lebih dua tahun terakhir di Merauke, utamanya berfokus pada permasalahan pangan, penghidupan, hak atas tanah, identitas dan lain-lain sebagainya.
Dokumentasi lapangan tersebut tertuang dalam laporan berjudul Seakan MIFEE belum juga cukup ; Lumbung Pangan dan Riwayat Kegagalannya di Tanah Marind. Kami menumukan dan menilai bahwa program lumbung pangan dan energi nasional telah gagal mencapai tujuannya sendiri, yakni memperkuat pangan dan memberdayakan komunitas setempat. Zanegi, Salah satu kampung yang kami dokumentasikan, Zanegi, menunjukkan secara gamblang kontradiksi Food Estate pada tubuhnya sendiri. Program yang konon ingin menciptakan ketahanan pangan justru menciptakan kondisi yang memprihatinkan ; komunitas dihilangkan kemampuannya untuk memproduksi dan mendapatkan pangannya secara subsisten dan mandiri, dan justru terseret dalam mekanisme kerja upahan di perkebunan HTI. Mereka yang awalnya juga mampu memenuhi pangannya dari aktivitas pemanfaatan hutan seperti mencari ikan, berkebun, berburu dan meramu, kini harus menggantungkan pangannya dari luar kampung dan hutan melalui proses-proses transaksional (jual beli) dengan uang segar sebagai medium satu-satunya untuk terlibat dalam proses pertukaran tersebut.
Dulunya, kanal pemenuhan pangan di Kampung Zanegi tidak bersifat tunggal, ada banyak cara untuk mereka mengakses pangan harian, berburu, meramu, berkebun di hutan, berkebun pekarangan, memancing di kali, dll. Namun hari ini, keberagaman aktivitas pemenuhan pangan itu memudar. Masifnya pembongkaran hutan untuk Hutan Tanaman Industri menyebabkan hilangnya sumber-sumber penghidupan, pangan dan bahkan keragaman hayati hutan itu sendiri. Aktivitas subsistensi menjadi rumit atau bahkan sulit dilakukan, berburu, misalnya, tidak lagi mungkin dilakukan di sekitar kampung akibat pembukaan hutan besar-besaran.
Tertutupnya kanal keberagaman pemenuhan pangan akibat bisnis hutan ini mengurung masyarakat setempat pada pilihan yang tak terelakkan ; menjadi buruh upahan di Hutan Tanaman Industri. Mereka berbondong-bondong bekerja untuk mendapatkan uang segar, di mana uang tersebut pada akhirnya juga digunakan untuk kebutuhan pangan.
Laporan ini juga mendokumentasikan keterlibatan Perempuan dalam kerja-kerja upahan di perkebunan kayu tidak pernah bernilai moneter, tenaga perempuan hanya dianggap sebagai ‘tambahan belaka’ dan tidak dihitung sebagai utama, sehingga dianggap wajar jika Perempuan (dan bahkan anak-anak) tidak diupah dalam kerja-kerja di kebun kayu tersebut. Sementara itu, setelah bertungkus lumus kerja tanpa upah, mereka juga harus tetap menjalankan peran domestiknya ; menyediakan pangan dan merawat anak. Kerja ini di masa-masa lampau memang semata dimaksudkan untuk memastikan keberlangsungan dan kebertahanan rumah tangga dan masyarakat, namun pada konteks komunitas yang berhadapan dengan ekspansi HTI, tentu kerja-kerja reproduksi sosial tersebut menyokong proses akumulasi modal dan keuntungan oleh perusahaan. Perempuan dalam hal ini memastikan pangan, gizi, nutrisi, kesehatan, kewarasan, dan faktor-faktor pendukung lainnya, dari seorang pekerja upahan, untuk dapat bekerja secara maksimal agar mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi kelas yang mempekerjakannya.
Laporan ini tidak hadir di ruang kosong, kita tahu bahwa pemerintah hari ini kembali memilih Food Estate sebagai kebijakan pangan dan pertanian strategis, namun dengan justifikasi yang ‘terlihat’ lebih mendesak, yakni seperti antisipasi krisis pangan akibat pandemic covid-19 dan upaya pemulihan ekonomi nasional. Pilihan kebijakan tersebut seolah mengabaikan semua situasi yang dialami oleh komunitas akar rumput yang berhadap-hadapan langsung dengan praktik korporasi. Meskipun tidak dipungkiri telah banyak dokumen-dokumen serupa telah disusun oleh para akademisi, aktivis pangan, organisasi masyarakat, NGO, dan lain-lain, yang menyoroti dampak-dampak brutal dari projek ekstraktif lumbung pangan ini dari berbagai aspek. Kemungkinan besar laporan ini diabaikan dan diperlakukan serupa seperti laporan-laporan sebelumnya oleh para pengambil kebijakan, tetap ada dan bahkan – kita tahu- cukup besar. Namun, cerita ini tetap harus disampaikan. Publik berhak mengetahui apa dan bagaimana situasi Masyarakat Adat di Merauke, khususnya yang berada dalam konsesi MIFEE, agar timbul kesadaran untuk sama-sama mengkritisi, menolak, dan mendelegitimasi proyek Food Estate yang tengah berjalan.
Selain itu, ambisi lainnya dari laporan ini adalah menghadirkan cerita resiliensi komunitas-komunitas terdampak tersebut dalam memenuhi pangan, mempertahankan penghidupan dan hak atas tanah nya hari ini. Ini untuk menunjukkan bahwa dalih Food Estate untuk meningkatkan ketahanan pangan komunitas tampak seperti mimpi kosong di siang hari. Ia lebih mirip retorika menyenangkan para pemilik modal, sebagaimana yang terjadi sebelum-sebelumnya. Masyarakat dengan segala macam keterbatasan kuasa, modal, serta bahkan kontradiksi di dalam tubuhnya itu sendiri (konflik horizontal), memiliki caranya sendiri untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Selengkapnya laporan dapat dibaca disini: Laporan Torang Semda ini Hanya Jadi Penonton Saja: Lumbung Pangan dan Riwayat Kegagalannya di Tanah Marind, PUSAKA, 29082022
Tim Pusaka, Agustus 2022