#HakMasyarakatAdat
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.8032/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2022 Tentang Penetapan Status Hutan Adat Syungle Woi Yansu dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Syuglue Woi Yansu seluas 16.493 hektar di Kampung Pupehabu, Kampung Bring, Kampung Hyansip, Kampung Jagrang, Distrik Kemtuk Gresi, Kabupaten Jayapura
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.8030/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2022 Tentang Penetapan Status Hutan Adat Ku Defeng Wai dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Yano Wai seluas 594 hektar di Kampung Singgriwai, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.8303/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2022 Tentang Penetapan Status Hutan Adat Ku Defeng Meyu dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Yano Meyu seluas 501 hektar di Kampung Meyu, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.8304/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2022 Tentang Penetapan Status Hutan Adat Ku Defeng Akrua dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat Yano Akrua seluas 2.226 hektar di Kampung Yenggu Baru dan Kampung Yenggu Lama, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura
Catatan WGII: Penyempurnaan RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
PRESS RELEASE
Working Group ICCAs Indonesia (WGII) Sampaikan Pandangan dan Catatan Penyempurnaan RUU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE)
Senin, 13 Februari 2023 – Working Group ICCAs Indonesia (WGII) bersama Walhi selenggarakan Konferensi Pers untuk menyampaikan pandangan koalisi masyarakat sipil dan masyarakat adat terhadap legislasi RUU KSDAHE. “Insiatif dari proses legislasi RUU sudah berjalan sejak tahun 2016, namun sempat dicabut dari prolegnas, dan tahun 2022 dimasukkan kembali ke program legislasi nasional. Saat ini RUU ini sudah masuk pada tahapan Pembicaraan Tingkat I. Sudah dibentuk Panitia Kerja RUU, dan pemerintah juga sudah sampaikan DIM yang didalam pokoknya masih ‘kekeuh’ dengan penyelenggaraan konservasi versi UU No.5 Tahun 1990, yang di dalamnya mengisyaratkan paradigma konservasi menjadi lebih state-centered” jelas Kasmita Widodo, Koordinator WGII.
Catatan Penting tentang RUU KSDAHE
Yance Arizona, PhD menyampaikan “Ada perubahan positif dalam substansi RUU KSDAHE usulan DPR RI, namun dalam substansinya belum bisa sepenuhnya mengilustrasikan meaningfull participation baik didalam proses penyusunan maupun penyelenggaraan konservasi, padahal RUU ini sangat penting untuk menggeser model konservasi lama dan mendorong konservasi yang lebih inklusif dan berbasis HAM”
Masyarakat Adat dan Lokal memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), ada sekitar 1,6 juta ha wilyah adat yang tumpang tindih dengan wilayah konservasi, laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menunjukan adanya tumpang tindih peta partisipatif seluas 4,5 juta ha diwilayah Konservasi. Berdasarkan data HuMawin, dari 86 konflik kehutanan, sebanyak 27 konflik berada di Taman Nasional, dimana 13 kasus diantaranya merupakan kasus kriminalisasi dan kekerasan. “Masyarakat adat mengalami historis konflik yang panjang dengan kawasan konservasi, dan rentan mengalami kriminalisasi dalam pratik penyelenggaraan konservasi di Indonesia. RUU justru dapat menjadi solusi untuk mengurai konflik antara masyarakat adat dengan kawasan konservasi, namun dengan semakin menguatnya pengakuan bersyarat bagi masyarakat adat, dan bukan menyederhanakan. RUU ini bisa jadi menjadi batu hambatan baru dalam perjuangan pengakuan hak masyarakat adat di wilayah konservasi”. Jelas Monica Ndoen (Stafsus Sekjend AMAN).
Pengalaman demikian dirasakan sangat nyata. Putu Ardana dari Komunitas Adat Dalem Tamblingan menyampaikan pengalamannya menghadapi kerumitan dalam memperoleh pengakuan bagi hutan Adat Alas Mertajati “Kami sudah menjaga hutan, jauh sebelum wilayah kami ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam. Penunjukan hutan kami sebagai Taman Wisata Alam jauh dari konsep konservasi yang kami yakini. Sebab selama ini kami memperlakukan Alas Mertajati sebagai areal yang disucikan, belum lagi pengakuan melalui kebijakan daerah juga menemui jalan buntu. Pertanyaan mendasar kami, apakah negara sudah mempelajari konsep konservasi yang dilakukan masyarakat adat, dan menjadikannya rujukan? Menurut saya konsep konservasi masyarakat adat jauh lebih holistik dan canggih”.
Nadya Demadevina, Reseach Coordinator HuMa menyampaikan dugaannya bahwa “Aspek formil dan materil RUU KSDAHE masih sarat dengan ego rumpun disiplin ilmu tertentu. RUU KSDAHE ini jelas jelas tidak melakukan pendekatan law making yang inter-disipliner sehingga, secara subtansi tidak merasa perlu untuk meng-adress persoalan sosial dan konflik misalnya”
“Rezim konservasi 90-an sudah harus ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Penduduk Indonesia telah bertambah hampir 100 juta sejak tahun 1990 lalu dan penting untuk menyesuaikan paradigma konservasi yang menghormati dan mengakui hak asasi manusia dan menjawab tantangan krisis iklim hari ini. Masyarakat adat dan komunitas lokal tidak bisa lepas dari sumber-sumber penghidupannya dan secara sadar, mereka telah mempraktikkan ‘konservasi’ versi mereka dan harus diakui bahwa merekalah pelaku utama konservasi tersebut. Dokumentasi praktik konservasi ala masyarakat adat juga sudah banyak dilakukan. Misalnya oleh WGII, dan sekarang sudah mencapai angkat 460.000ha, dengan indikasi 4,5 juta hektar” Tambah Ode Rakhman (Deputi Eksternal Walhi).
Dalam konteks Global, hasil kesepakatan Conference of the Parties (COP) ke -15 on Convention of Biological Biodiversity (CBD) mulai menunjukan harapan baru dalam penguatan praktik konservasi yang inklusif dan berbasis HAM. Pertemuan anggota CBD ke 15 menghasilkan target- target yang sudah sangat baik dapat mengakomodir hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal termasuk didalamnya perempuan dan pemuda dalam penyelenggaraan konservasi diantaranya target 1,3,9,19 dan 23. Sebagai negara anggota CBD, pemerintah indonesia perlu merefleksikan intensi dan komitmen yang sama dalam kesepakatan internasional tersebut kedalam peraturan perundang-undangan dilevel nasional termasuk RUU KSDAHE.
Tuntutan dan Ajakan Koalisi Masyarakat Sipil
“Koalisi masyarakat sipil melalui WGII menuntut dan mengajak pemerintah dan perumus undang- undang untuk dapat memperbaiki aspek Formil dan Materil dari RUU KSDAHE yang secara komprehensif dituangkan didalam naskah Policy Brief Tujuh Catatan Penyempurnaan RUU KSDAHE Untuk Penguatan Peran dan Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konservasi” Cindy Julianty, program manager WGII menyampaikan konklusi.
Liputan Konferensi Pers dapat diakses pada : Youtube Channel Walhi Nasional Naskah Policy Brief dapat diakses pada webiste : http://iccas.or.id
Narahubung :
Lasti Fardila (0813-8860-1039)
Sorong diceritakan sebagai salah satu daerah paling tajir di Provinsi Papua Barat. Isi buminya mengandung dan menghasilkan minyak dan gas bumi (migas), dan bahan tambang mineral lainnya. Sejak awal abad 19, korporasi trans nasional dan perusahaan negara menguras kekayaan migas ini untuk membangkitkan mesin industri raksasa dan penggerak roda ekonomi lainnya.
Berdasarkan data Dana Bagi Hasil (DBH) Kementerian Keuangan, total dana bagi hasil migas di Kabupaten Sorong sebesar Rp. 13.967.965.000, atau sekitar 10,5 persen dari total dana bagi hasil dari migas dan non migas (Rp. 133.528.826.000) pada tahun 2021.
Namun, tanah dan kekayaan alam yang dimiliki dan menjadi tempat hidup dari suku bangsa Moi ini belum mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup, utamanya bagi Suku Moi, Orang Asli Papua di daerah ini. Berbanding terbalik dengan kemegahan korporasi yang diperoleh dari keuntungan dan eksploitasi nilai lebih bisnis migas.
Berdasarkan angka statistik kelayakan hidup yang ditunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Papua Barat, diketahui pencapaian IPM Kabupaten Sorong (2021) diberikan status indeks pembangunan manusia sedang, artinya kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak, dapat terpenuhi. Namun secara nasional, IPM Provinsi Papua Barat pada Mei 2022 (65,26) berada di nomor dua terendah setelah Provinsi Papua (60,62), bandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta dengan capaian IPM tertinggi (81,11).
Angka standar hidup layak yang diukur dari pengeluaran per kapita yang disesuaikan masyarakat di Provinsi Papua Barat pada tahun 2021 mencapai Rp. 7,93 juta per tahun. Angka pengeluaran biaya hidup ini menunjukkan rendahnya kemampuan daya beli masyarakat dan sebaliknya sulitnya masyarakat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara memadai dan berkwalitas, dan termasuk keterbatasan mengakses hasil pembangunan.
Fakta potret kesulitan sosial lebih lebar menunjukkan ketidakadilan dan kesulitan hidup Orang Asli Papua, lebih dari sekedar angka statistik ini. Mereka menempuh jalan berliku-liku untuk mendapatkan hak-hak pembangunan.
Mariana Ulimpa, perempuan adat asal Suku Moi, Kabupaten Sorong, sedang memperjuangkan hak keluarga dan komunitasnya untuk dapat hidup layak dan dihormati. Marga Idik, Mamringgofok dan Klawom, pemilik ulayat dari lokasi produksi migas di Klamono, menuntut pemerintah memenuhi kewajibannya membagikan hasil bisnis migas kepada pemilik ulayat.
Tahun 2010, masyarakat pemilik tanah adat menuntut haknya dan sesuai perjanjian untuk mendapatkan dana bagi hasil dan janji program kesejahteraan. Tidak ada kejelasan dan kepuasan. Tahun 2019 dilalui dengan berbagai aksi-aksi menyurat dan bertemu DPR, pejabat kementerian, Staf Ahli Presiden dan Pertamina EP di Jakarta. Mediasi dan dialog yang ditempuh bersengkarut dengan berbagai argumentasi dan dalil, yang memakan waktu lama, namun belum juga ada hasil baik dan memuaskan.
“Di situ saya kembali, jatuh pemalangan pada tanggal 15 September 2019, dilapangan produksi Klamono. Disitulah tibalah bapak bupati Jhony Kamuru bertemu masyarakat ditempat pemalangan, dengan dibuka palang secara tertulis dibuat untuk masyarakat bahwa poin-poin yang sebagai tuntutan masyarakat itu ada berapa poin sekali bahwa ada asrama khusus tiga marga, dana pendidikan diserahkan ketiga marga yang ada di satu Klamono dan dana bagi hasil (DBH)”, jelas Mariana, saat melakukan aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022).
Beberapa kali palang adat sebagai peringatan dan larangan adat dilakukan untuk menghadang dan menghentikan aktivitas PT Pertamina EP. Palang selalu juga dibuka setelah ada insentif janji.
Tahun 2021, Mariana pernah diberikan kesempatan menyulut lentera api PON XX Papua dari area PT Pertamina EP Klamono, tapi Mariana tidak langguk dan surut menuntut haknya. Alih-alih, Mariana kembali melakukan dan memimpin aksi protes di Kantor Bupati Sorong (28/11/2022), menuntut hak-hak pemilik tanah adat. Mariana membacakan tuntutan yang dicetak diatas banner, antara lain menuntut Pemda Kabupaten Sorong segera menjawab dana pendidikan anggaran tahun 2022, menjawab Dana Bagi Hasil 10 Persen ; menjawab asrama pelajar Putra-Putri.
Pemda Provinsi Papua Barat telah menetapkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 3 Tahun 2019, Tanggal 18 Juli 2019, tentang Pembagian Penerimaan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan Gas Bumi Antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan keseluruhan penerimaan yang diterima Kabupaten/Kota penghasil, dibagi sebagai berikut: pendidikan sebesar 30 % (tiga puluh persen);dana alokasi kesehatan dan perbaikan gizi sebesar 20 % (dua puluh persen); pemberdayaan masyarakat adat sebesar 33 % (tiga puluh tiga persen); beasiswa perguruan tinggi untuk orang asli papua sebesar 5 % (lima persen); Bantuan Langsung Tunai kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat sebesar 10% (sepuluh persen); dan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebesar 2 % (dua persen). Pasalnya belum bisa diterapkan dalam kasus ini.
Mariana tidak dapat bertemu bupati karena tidak berada di tempat. Staf Ahli Bupati Sorong, Suroso, menolak mengambil keputusan. Kepala Bagian Hukum, Demianus Aru, menyemangati untuk menanggapi tuntutan masyarakat.
“Kami juga punya beban moril, kami konsen sekarang ini, antara BLT dan beasiswa bisa berjalan sama-sama, kami punya target pokoknya jangan sampai lewat dari Desember”, ungkap Demianus Aru.
Aksi damai bubar dan masih ada pertanyaan tersisa soal bagaimana mewujudkan tuntutan. Sementara mesin-mesin industri terus menguras kekayaan migas dan menumpuk cuan.
Ank, Des 2022